"Pak Rahmad mau ikut masuk sekalian?" tawar Ify begitu mereka tiba di kedai es krim."Saya nunggu di sini saja, Neng! Neng Ify sana Den Atan aja yang masuk," tolak Pak Rahmad sopan."Tapi panas-panas gini enak sambil makan es krim di dalam, Pak!""Aduh, gigi saya teh gak kuat makan yang dingin-dingin, Neng!""Oh gitu ya, Pak! Saya beliin minuman sama camilan aja ya Pak! Tunggu sebentar!"Lalu tanpa mendengar jawaban Pak Rahmad, Ify berlalu pergi menggandeng Atan. Beruntung di samping kedai es krim terdapat mini market yang lumayan lengkap.Usai membelikan minuman dan makanan ringan untuk Pak Rahmad dan mengantarkannya ke mobil, Ify dan Atan masuk ke kedai es krim.Memesan dua cup berbeda rasa. Ify dengan rasa strawberry dan Atan rasa coklat. Keduanya tampak bahagia, berbincang ringan tentang keseharian Atan, dan sesekali Ify menggoda bocah itu yang membuat tawa keduanya pecah. Dilihat sekilas, keduanya seperti pasangan ibu dan anak yang harmonis. Beberapa pengunjung tampak mengulum sen
Cukup lama ketiganya berdiam di mobil. Rio masih tak mau menjalankan mobilnya melihat Ify yang belum benar-benar tenang. Ia juga tak bertanya apapun, dan hanya memberikan apa yang Ify butuhkan. Seperti air minum dan pelukan. Atan yang berada di kursi belakang kini sibuk dengan ponsel yang sengaja Rio kasih. Ia tak mau Atan yang rewel semakin merepotkan Ify."Sudah lebih baik?" tanya Rio begitu melihat napas Ify yang mulai stabil. Ify hanya mengangguk, lalu mengulas senyum, mengisyaratkan jika dirinya sudah baik-baik saja sekarang. "Mau langsung pulang aja? Kita bisa delivery buat makan malam, atau aku bakal minta koki datang ke apartemen-""Nggak Mas!" Ify memotong cepat. "Aku nggak apa-apa kok, kita bisa lanjut ke supermarket.""Kamu yakin?"Ify mengangguk tegas. Rio menghela napas, tak bisa lagi membantah kemauan Ify. "Tapi jangan dipaksakan, bilang sama saya kalau kamu sedang tidak baik-baik saja.""Iya, Mas! Aku udah nggak apa-apa, kok! "Rio mengangguk, lalu menjalankan mobilny
Ify berjalan perlahan mengekori langkah Rio yang berjalan dengan ragu di depan. Matanya mengedar melihat etalase yang menampilkan berbagai macam perhiasan. Dari yang desain sederhana hingga mewah, emas hingga berlian. Ify hanya mampu meneguk ludahnya membayangkan harga yang akan dikeluarkan. Matanya kemudian terpaku ke satu set perhiasan dibalik etalase. Set berlian berkilauan yang Ify taksir harganya mungkin bisa untuk dirinya bertahan hidup hingga tua. Desainnya begitu elegan dan tidak norak. Ify meraba lehernya yang kosong. Ck, Ify kemudian menggelengkan kepalanya. Ia di sini diminta Rio untuk membantu memilihkan perhiasan yang akan digunakan oleh Rio sebagai hadiah ulang tahun sang ibu. Maka, Ify harus fokus dengan perhiasan yang cocok untuk wanita paruh baya cantik itu. Rio yang merasa Ify tak lagi berjalan di belakangnya kemudian berhenti dan menoleh. Matanya menyipit melihat Ify yang tengah mengamati sebuah set berlian yang menurut Rio tidak cocok untuk wanita seusia ibunya. J
Rio mengumpat saat jalanan macet padahal tinggal beberapa ratus meter lagi dia sampai di toko perhiasannnya. Ia melongokkan kepala dari jendela dan melihat kerumunan massa dan beberapa petugas kepolisian yang mengatur lalu lintas. Ada juga sebuah ambulan di depan gedung. Perasaan Rio sudah tak karuan. "Ada apa ya, Pak?" tanya Rio kepada salah satu petugas yang lewat. "Oh, ada perampokan di toko perhiasan-"Tanpa mendengar kelanjutan ucapan dari petugas kepolisian itu, Rio langsung keluar dari mobil dan berlari menuju ke toko perhiasan. Ia tak mempedulikan teriakan para petugas yang melarangnya mendekat. Di otaknya kini hanya terfikir Ify, ia meninggalkan gadis itu begitu saja dengan tidak bertanggung jawab. Rio semakin dekat, deretan polisi bersenjata yang memblokade jalan keluar semakin membuat Rio sesak napas. Ia melayangkan pandangan ke sekitar, mencoba mencari eksistensi Ify, berharap gadis itu sudah ada di luar dan tidak termasuk sebagai sandera di dalam sana. "Tolong jangan t
Rio terbangun dengan sakit kepala yang terasa mau pecah. Ia meringis saat merasa perih di tangan dan tertegun mendapat jarum infus menancap di tangan kirinya. Pingsankah? Rio mengedarkan ke sekeliling dan memang kini dirinya berada di salah satu kamar rumah sakit yang sama dengan Ify. Ify?? Rio pun dengan cepat bangkit, mencabut jarum infus secara sembarangan hingga mengeluarkan darah. Namun ia tak peduli, di otaknya kini hanya penuh dengan nama Ify. Jantungnya kembali berdetak anomali mengingat momen terakhir yang diingatnya adalah beberapa suster yang tiba-tiba berlarian keluar masuk ICU. "Rio sayang, kamu mau kemana?" Rio tersentak saat membuka pintu dan mendapati sang ibu sudah ada di depannya dengan pandangan khawatir. "Ma, Kok bisa ada di sini, Ify gimana Ma?" tanya Rio tak sabaran. Matanya mengedar tak tentu arah karena khawatir. "Sebelum kamu mengkhawatirkan orang lain, khawatirkan kondisimu dulu, my son! Kamu bahkan collapse di depan ICU." Sang ayah muncul di belakang
Satu bulan berlalu dijalani Ify dengan hati tak menentu. Karena dalam satu bulan itu, sejak dirinya masuk rumah sakit, Ify tak melihat penampakan Rio. Laki-laki itu seolah lenyap meskipun sesekali masih membalas pesannya.Berbagai pertanyaan yang dilontarkan Ify pun tak mendapat jawaban. Keluarga Rio pun tak mampu memberikan jawaban memuaskan. Karena Rio tak pernah ada di rumah.Dalam satu waktu Ify mendapat kabar jika Rio sedang ada di Jepang untuk urusan bisnis. Dalam waktu lainnya Rio sudah berada di Korea untuk undangan kolega. Rio seolah bertekat untuk keliling dunia.Marah dan bingung Ify rasakan. Ketakutan yang dulu kembali, membuatnya benar-benar jatuh dalam keputusasaan. Ia tak tahu apa salahnya hingga Rio terkesan menghindarinya."Ify, dipanggil Pak Bagas!" Ify menghentikan kegiatannya dan berlalu pergi tanpa kata. Sivia yang melihat sahabatnya kembali terpuruk seperti tiga tahun yang lalu hanya menghela napas panjang. Dalam hati ia sudah menyiapkan berbagai makian dan huja
Ify terbangun dengan malas-malasan saat mendengar bel apartemennya berbunyi. Ia baru saja terlelap dini hari usai menyelesaikan shift malamnya dan siapa yang sudah bertamu di pagi buta?"Rayy! Bukain pintu!" teriak Ify dari kamar yang tak mendapat balasan apapun.Dengan berdecak, gadis itu bangkit dari kasur dan mengucek matanya sembari menguap. Sama sekali tak mempedulikan penampilannya yang begitu acak-acakan. "Bodo amatlah siapa suruh bertamu di pagi buta," gumam Ify setelah melihat penampakannya yang mengerikan di kaca.Sebenarnya tak bisa dibilang pagi buta juga, sih! Soalnya matahari sudah terbit setinggi galah dan sinarnya bahkan sudah masuk ke dalam kamar Ify melalui celah-celah gorden. Namun bagi Ify yang baru tidur saat dini hari, ini masih terlalu pagi untuknya menyudahi mimpi.Dengan malas, Ify melangkah keluar dari kamar. Sepi, entah sang adik masih tidur atau sudah keluar Ify tak tahu. Memilih untuk segera membuka pintu karena sang tamu lagi-lagi memencet bel seolah tak
"Aku tahu kamu tidak ada hubungan dengan laki-laki itu, Mita!"Gerakan Ify yang tengah membuka pintu agar Tara cepat pergi kini mematung, sempat terkejut sejenak sebelum bersikap biasa."Lalu kenapa?"Tara sedikit bingung. Reaksi Ify tak seperti yang ia kira."Bukankah kau bilang kalau anak kecil itu anakmu? Tapi kau tidak ada hubungan apapun dengan ayahnya?""Apakah aku punya kewajiban menjelaskan semua hal padamu, Kak Tara?" Tara tergugu. Jawaban Ify yang begitu dingin mematahkan yang ia bangun sejak awal."Kau tahu apa yang dilakukan laki-laki itu agar aku tak bisa menemukanmu, Mita? Aku bisa menemukan tempat tinggalmu bukan tanpa pengorbanan," Tara tak berniat mengungkit sebenarnya, tapi ia sangat putus asa."Lalu aku harus apa, Kak?" Ify menatap Tara dengan pandangan lelah. Semua emosi kini berkumpul, membeludak dan tercampur membuat Ify sangat lelah dan muak. "Bahkan jika aku sedang tidak dekat dengan siapapun, aku tetap tidak bisa kembali."Lagi, Tara ditampar dengan ketegas