Semua terlihat begitu asing, ketika Liana membuka mata. “Ini seperti kiamat,” gumamnya kemudian menggigit bibir. Liana terus berjalan, menghindari cairan panas itu. Ia merasa kebingungan, karena tidak melihat siapapun yang melintas. Liana terus mengikuti jalan setapak, yang sudah diberi tanda, sehingga aman untuk dilewati.
Ketika sampai di persimpangan jalan setapak, ia melihat beberapa balok batu besar, seperti sebuah nisan. Karena penasaran, ia pun mencoba melihat batu apa itu sebenarnya.
“Semoga tenang dalam damai.” Kalimat itu, terukir di atas setiap batu besar. Beberapa nama pun terukir disetiap batu yang Liana lihat. Karena merasa kebingungan, ia pun berusaha mencari orang untuk bertanya.
“Permisi, batu ini, untuk apa ya?” tanya Liana kepada sepasang kekasih, yang mampir ke tempat itu.
“Ini, tugu peringatan. Setelah alat pemusnah itu, merenggut buah hati kami. Tugu ini, untuk memperingati kematian mereka,” ucap wanita itu, kemudian menaruh setangkai mawar merah, dan pergi.
“Alat pemusnah? Kematian, tunggu, tahun berapa sekarang. Maksudku, sejak kapan bencana ini terjadi?” ucap Liana, kemudian menghentikan langkah wanita itu.
“Ini adalah peringatan 8 tahun, setelah alat pemusnah itu, membuat bumi menjadi porak-poranda. Disana, adalah patung peringatan peristiwa itu,” jawab wanita itu, sambil menunjuk ke arah patung tertinggi, di tempat ini.
“Siapa dia?” tanya Liana, menatap patung itu.
“Dia adalah pahlawan kami. Tapi, kami tidak bisa menjelaskan, kenapa gadis muda itu memilih untuk mundur, ketika tujuannya menyelamatkan bumi, hampir tercapai. Meskipun tidak bisa menyelamatkan semua orang, kami sangat berterima kasih kepadanya,” balas wanita itu, kemudian menepuk pundak Liana dan pergi.
Liana melihat patung itu dari kejauhan. Jika dilihat-lihat, entah kenapa, patung itu menyerupai dirinya. Karena penasaran, ia pun berjalan mendekatinya. Ketika berdiri tepat di hadapan patung itu, ia melihat namanya terukir indah disana.
“Kenapa namaku, ada disini? Apa, yang ….” Belum sempat menyelesaikan semua pertanyaannya, fokus Liana teralihkan, ketika mendekar seseorang mengumpat dan menangis tersedu-sedu di belakangnya.
“Dasar, wanita jalang. Karena keegoisanmu, seluruh keluargaku, mati sia-sia,” ucap seorang pria, mengenakan jaket robek di beberapa bagian.
“Maaf, anda siapa?” tanya Liana, berusaha menenangkan pria itu, yang terlihat seumuran dengannya.
“Apa perdulimu nona? Wanita ini, dia yang menyebabkan keluargaku terbunuh. Saat alat pengaktif itu memiliki peluang, untuk dimusnakan, wanita yang diperingati dengan patung ini, memilih untuk menghilang, bersama keluarganya,” caci pria itu kemudian pergi.
Liana kemudian bersandar di pagar batu, dan menghela napas. Sebenarnya, apa yang terjadi, sehingga semua menjadi seperti ini. Kemudian, ia mendekati patung itu, dan memegangnya.
Mata Liana pun mulai terpejam. Ia, melihat beberapa kejadian yang berhubungan dengan dirinya di masa depan. Persis seperti yang diucapkan pria itu, Liana melarikan diri bersama mama dan papa, juga dengan seorang perempuan dan laki-laki.
Dalam pengelihatannya, Liana membiarkan sebuah alat pemusnah itu, menyebabkan kekacauan, hingga membumi hanguskan beberapa pulau. Terdengar teriakan orang yang meminta tolong, sambil memanggil namanya. Namun, Liana sama sekali tidak memperdulikannya.
“Apa, apa yang terjadi? Kenapa, aku tampak acuh tak acuh, ketika mereka memanggil, dan memohon kepadaku, kenapa aku membiarkannya?” tanyaku mundur beberapa langkah, dan memperhatikan patung itu dari atas sampai bawah.
“Dia adalah pahlawanku dulu, tidak dengan sekarang,” ucap seorang gadis dari belakang, ia terlihat lebih mudah dari Liana.
“Kamu, siapa?” tanyaku tersenyum ke arahnya.
“Kakak itu, dia menolongku. Tapi, ia membiarkan keluargaku mati, dan membuatku hidup sendiri. Karena dia, semua orang saat ini ada di bangsal gawat darurat, karena dia, aku merasa bersalah karena telah diselamatkan,” ucap gadis itu kemudian berlari, sambil menangis.
Wush …
Angin itu datang dengan tiba-tiba, dan terlalu kuat, sehingga mendorong dan membuat Liana terbentur, serta pingsan tepat di bawah patung itu.
***
“Aku, tidak bisa menolong mereka,” teriakku kepada mama dan papa.
“Liana dengarkanlah, kamu, tidak harus menyelamatkan kami. Kamu, harus menyelamatkan mereka,” pinta mama, memegang tangan Liana.
“Aku tidak mau, ayo pergi,” tolak Liana kemudian naik ke dalam pesawat, dan meninggalkan tempat itu.
Melihat semua itu, ia sadar, kenapa beberapa orang yang melihat patung it uterus menerus mengumpatnya. Mungkin, itu adalah pilihan egois yang Liana ambil, untuk menyelamatkan keluarganya. Namun, ia tidak sadar, jika pilihannya itu, mengakibatkan banyak nyawa tak bersalah, mati sia-sia.
Dalam pengelihatannya, Liana melihat berates-ratus orang berteriak, meminta tolong kepadanya. Ia melihat, beberapa orang dengan darah yang bercucuran di tubuh mereka, memohon kepadanya, untuk menyelamatkan anak mereka.
“Tolong kami, tolong kami.” Suara itu, terus menerus terdengar di benaknya.
Karena tidak kuat mendengar dan melihat semua itu, Liana menutup mata dan telinganya rapat-rapat. Namun, peristiwa dan suara itu, terus terlihat dan terdengar, meski Liana menutup mata dan membungkam telinganya.
“Kakak, tolong selamatkan aku,” pinta seorang gadis kecil dengan kepala yang berlumuran darah. Melihat hal itu, Liana berusaha untuk membantunya namun tidak bisa. Berulang kali ia mencoba merangkulnya, namun kenyataannya ini hanyalah mimpi.
“Aku, akan menyelamatkan kalian. Aku, pasti, akan berusaha, untuk membuat pilihan yang benar, saat waktunya tiba. Dan aku, akan terus hidup, sebagai penyelamat. Walaupun, akhirnya aku, harus mengorbankan nyawaku.” Cahaya itu, kembali membawa Liana kamarnya.
Kini, waktu sudah normal seperti semula. Pria itu, mencoba menikam leher Liana, namun ia gagal karena Liana menendangnya, hingga jatuh tersungkur.
“Kini, kamu berani melawanku,” murka pria itu, mencoba untuk berdiri.
“Tidak ada alas an bagiku, untuk tidak berani kepadamu,” balas Liana kemudian berdiri, dan menatap pria itu.
“Kamu, akan menyesal. Aku, akan membunuh, semua keluargamu. Terutama, kakak kandungmu,” bentak pria itu, kemudian berlari keluar.
Aaaa…
Suara teriakan itu berasal dari dapur, karena cemas, Liana berlari ke arah dapur. Ia melihat, papanya terkapar di lantai dengan darah yang terus mengalir. Kini, ia melihat pria itu menusuk perut mama, berkali-kali.
“Tidak…,” teriaknya dengan tubuh gemetar.
Salma kemudian mencabut sebuah kabel agar video itu berhenti, sebelum Liana melakukan hal yang tidak bisa dicegah. Semua orang terdiam dan terus memperhatikan Liana.“Aku akan membunuhnya,” ucap Liana kemudian mengaktifkan senjata andalan yang pernah ia siapkan bersama Panji, selama ada di bumi.Melihat itu, Sofi memeluk Liana dan berusaha menenangkannya. Sofi tahu, bahwa alat itu bahkan bisa menembak mati seekor godzila dengan sekali tembakan. Alat itu, dibuat khusus dan hanya Liana yang bisa memakainya.“Ada apa denganmu? Mereka hanya memancingmu Liana. Tidak mungkin, Aji dan Panji dalam kondisi itu,” jelas Sofi terus memeluk Liana.“Apa kakak tuli? Kak Panji jelas-jelas memanggil kakak, dan kini kakak memintaku untuk mengabaikannya? Apa kakak waras,” tanya Liana.Liana melontarkan pertanyaan itu sembari melepaskan pelukan Sofi. Ia berusaha menyembunyikan
Alat buatan Liana telah selesai. Alat berkilau yang ia kerjakan selama 13 jam non stop itu, akan menjadi salah satu komponen terpenting dalam sejarah penyelamatan planet ini.“Astaga, kenapa alat ini bisa berkilau?” tanya Ratih.“Ini adalah sebuah trik,” jawab Liana kemudian membawa alat itu dan pergi ke pusat teknologi kota.Salma dan Ratih bergegas mengikuti Liana. Mereka sadar bahwa saat ini, pilihan hidup mereka hanyalah membantu Liana dan kembali ke bumi bersama Aji dan Panji.***Proses evakuasi kota masih terus dilakukan. Semua penduduk diberi alat pelindung diri yang sudah dirancang khusus, untuk melindungi diri jika kota ini berhasil di ambil alih.“Tenanglah, Ana. Mereka berusaha memprovokasimu,” ucap Sofi terus memantau keadaan di luar sana.Sembari terus memantau lapisan keamanan, Ana mengaktifkan semua perlin
Semua orang berkumpul di kediaman utama, termasuk Ana dan penjaga kota. Setelah bedebat dengan kakaknya, Liana terkejut mendengar sirine diikuti dengan sensor merah yang menyala dimana-mana.“Apa yang terjadi?” tanya Ratih terkejut sembari menggenggam tangan Salma.“Mereka datang!” teriak salah seorang penjaga yang tergesa-gesa masuk ke kediaman utama.“Situasi darurat, amankan kota!” perintah kepala penjaga kota kemudian berlari keluar.Tanpa mengatakan sepatah kata, Ana berlari keluar dan segera menuju ke pusat teknologi. Entah apa yang akan terjadi, Sofi menarik tangan Liana dan melarangnya untuk ikut campur.“Liana dengarkan aku,” perintah Sofi sembari memegang tangan Liana.“Apa yang kakak lakukan? Kita harus mengikuti Ana,” tanya Liana terkejut ketika Sofi menghentikan langkahnya.“Tidak! Kamu tidak boleh ikut campur. Ka-k
Tiba-tiba suara larangan terdengar. Suara yang tidak asing bagi Liana, namun ia sendiri tidak tahu suara siapa itu. Liana terus memegang liontinnya erat-erat. Berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi. Namun…“Pergilah Liana. Lari… cepat….” Teriakan larangan itu kembali mengusik Liana.Tanpa tahu apa arti dari suara itu, Liana dengan cepat mengaktifkan VEBU dan pergi meninggalkan tempat itu. Rasa berat hati meninggalkan tempat yang ia cari seharian penuh untuk menjawab tanda tanya di otaknya.***Sesampainya di kediaman utama, Liana terkejut beberapa penjaga beserta Ana memenuhi kediamannya. Terlihat pula Ratih dan Salma dengan raut wajah khawatir, sekaligus marah tanpa Liana tau apa penyebabnya.“Mengapa semuanya berkumpul di sini?” tanya Liana begitu sampai dan melihat semua orang.Tidak seorang pun membuka bibir mereka untuk
Mendengar perkataan kakaknya, Liana pun mencatat semua yang ia dengar. Sofi tidak lagi mengigau, atau terbangun sedikitpun. Namun, ucapannya itu, jelas membuat Liana merasa sangat penasaran.“Apa yang baru saja diucapkan kak Sofi? Mungkinkah, ingatan itu adalah kejadian yang tidak diketahui oleh siapapun, saat kak Sofi menghilang,” tanya Liana kepada dirinya sembari merapikan selimut Sofi.***Hari sudah berganti. Matahari di atas daratan mungkin sudah terbit saat ini. Tinggal di kota bawah tanah dengan waktu yang sama dengan daratan, membuat semua orang melupakan kenyataan bahwa mereka sudah hidup cukup lama di bawah sana.Dengan sinar matahari yang diserap langsung dari atas, mereka kerap kali tidak sadar bahwa saat ini tengah menjalani kehidupan di dalam bumi.“Selamat pagi,” sapa Ratih sembari membawa sepotong roti.“Apakah kak Sofi masih tertidur?&rdqu
“Mama akan melindungimu, jadi jangan bersuara.” Satu kalimat yang membungkam Sofi selama 5 tahun pertama dia tinggal di planet ini.Selama itulah, dia tidak berkomunikasi dengan siapapun. Bahkan, Sofi kerap kali menangis ketika mendengar bunyi benda keras yang berjatuhan.Kedua orang tua Ana berusaha untuk merawatnya seperti putri mereka sendiri. Namun, apadaya jika seorang anak terus merindukan kasih saying orang tua kandung mereka.“Saat itu, aku sedang menunggu,” ucap Sofi singkat.“Apa yang sebenarnya kakak tunggu?” tanya Liana semakin penasaran.“Mama,” jawab Sofi kemudian meneteskan air mata.Liana kemudian menggenggam kedua tangan Sofi erat. Ia sadar bahwa tidak seharusnya bertanya hal itu, karena akan membuat kakaknya semakin sedih. Namun, Liana ingin Sofi berbagih kesedihan itu dengannya.“Mama berkata,