Tubuh Liana memang tidak bisa bergerak. Ia juga tidak bisa melontarkan perkataan dari bibir merah mudanya. Namun, tetap saja ia terus khawatir kepada prediksi yang terus terpikirkan olehnya.
Ketika Ratih membaca pesan Liana melalui isyarat kedipan mata dengan bantuan sandi morse, ia pun berlari dan menuju barak pusat. Melihat Ratih berlari, kini Liana merasa bebannya sedikit terangkat.
“Syukurlah, aku bisa menyampaikan pesan itu kepada Ratih. Semoga kita semua bisa mencegah sekaligus mengantisipasi bencana itu.” Setelah memikirkan banyak kemungkinan lain yang ada di dalam otaknya. Liana pun tertidur pulas karena efek dari kondisinya.
***
“Mama, Liana sudah sadar,” ucap Sofi menghampiri mama yang sibuk mengumpulkan beberapa album foto lama keluarganya.
“Syukurlah,” balas mama memegang dada kemudian bersyukur kepada Tuhan, seakan-akan inilah kesempatannya untu
Semua orang kini meletakkan pandangan tajam kepada ponsel Liana. Dengan tangan gemetar, Liana mencoba menguatkan diri walaupun ia baru terbangun dari kondisi yang menentukan hidup dan matinya.“Izinkan aku untuk menjawab penelpon gelap itu,” pinta Aji mengulurkan tangan dengan tatapan khawatir melihat kegelisahan di mata Liana.“Tidak Aji, ini antara aku dan dia,” balas Liana mencoba menguatkan diri dengan menghela napas dan mulai menegakkan bahu.Awalnya Liana mengira bahwa semua ancaman itu datang untuknya. Namun setelah semua peristiwa yang ia alami, Liana sadar bahwa Jack kini tidak hanya mengincar dirinya.“Aku akan terus hidup, hingga tugasku selesai,” jawab Liana mendekatkan bibirnya ke ponsel dengan percaya diri.“Tentu, kamu akan terus hidup. Karena aku membutuhkanmu, untuk menyelesaikan semua misiku.”
Bloommm… Semua orang yang mendengar pengumuman dengan sirene darurat itu kemudian bergegas untuk berlindung. Sirene darurat dibuat untuk tanda bahaya serius, yang hanya boleh dibunyikan disaaat seperti ini. Liana memeluk Loli erat sembari menutup semua cela barak yang tersisa. Loli yang ketakutan terus memeluk Liana sembari memejamkan matanya. Semilir angin yang tadinya menyejukkan, kini berhembus begitu kuat dan kencang. “Bertahan!” teriak Liana melalui walkie talkie yang terhubung ke semua barak di posko ini. Bloomm… Suara ledakan itu menggelegar di seluruh penjuru. Menyadari hal itu, Liana memasang pagar pelindung diseluruh posko. Alhasil, karena alat itu semua yang ada di ruang lingkup posko masih tetap aman. “Liana, apa kamu baik-baik saja?” tanya Salma melalui walkie talkie. “Aku baik-baik saja. Te
Kini, hanya Liana yang bisa menjelaskan semua kejadian itu. Namun, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Liana tidak ingin mengatakan sesuatu yang membuat orang lain cemas, namun kali ini nashi dunia akan ditentukan melalui ucapannya.“Benar, danau Toba memanglah hanya sebuah danau indah. Namun, pada awalnya danau Toba merupakan super volcano yang meletus hebat hingga memicu bencana global. Setelah itu kaldera Toba tertutup bebatuan beku di dasar danau tersebut. Dari pengamatan yang sudah saya lakukan, aktifnya gunung itu dipicu oleh alat pemusnah massal,” jelas Liana menggenggam tangannya erat-erat ketika dia memutuskan untuk menunda kelanjutan dari penjelasannya.Semua orang yang mendengar hal itu, kini menghela napas dan terus bertanya-tanya. Meskipun sebagian tidak mempercayai kenyataan yang telah diungkap oleh Liana, bukti tentang ledakan dan kepulan asap itu meyakinkan akal sehat mereka, bahwa kini bencana ini
Setelah mendengar keputusan itu, Aji melepaskan tangan Liana tanpa berkata apapun. Kini, Liana memiliki tekad yang tidak seorang pun bisa menghentikannya, bahkan ketika itu adalah perasaannya sendiri.Melihat sahabatnya berjalan dengan air mata yang masih terlihat menetes, Salma dan Ratih mengehentikannya, kemudian mengajaknya berbicara.“Liana, apa yang terjadi?” tanya Salma terkejut melihat sahabatnya menangis di situasi seperti ini.“Mengapa kamu menangis?” tanya Ratih kemudian mengusap air mata Liana.“Teman-teman, aku butuh bantuan kalian,” pinta Liana menggenggam erat tangan kedua sahabatnya itu.Tanpa memberikan penjelasan apapun soal air mata itu, Liana justru meminta kedua sahabatnya untuk andil dalam misi penting kali ini. Namun, mereka akan tetap berada di belakang layar untuk mengamati Liana. Sebelum itu, Liana berencana untuk mengunjungi kedua orang tuanya.
Mendengar suara teriakan Liana, Salma dan Ratih yang panik mencoba untuk melacak lokasi keberadaan sahabatnya itu. Dalam kondisi ini, mereka tidak bisa berbuat apapun, karena Liana tidak mau misi ini diketahui oleh orang lain.“Salma, apa yang harus kita lakukan?” tanya Ratih menggigit kuku jari jemarinya dengan tatapan cemas.“Kita harus menunggu, dan terus mengirimkan sinyal kepada Liana,” jawab Salma mengutak-atik alat yang diberikan Liana untuk mencari sinyal darinya.“Apakah Liana akan tertangkap kali ini? Misi ini sungguh membahayakannya,” tanya Ratih membantu Salma mencari sinyal keberadaan Liana dengan tangan bergetar.“Tidak, Liana akan selamat. Dia akan baik-baik saja,” jawab Salma dengan penuh keyakinan sembari mengingat wajah Liana dalam ingatannya.***“Di mana aku?” tanya Liana ketika membuka mata dan mendapati dirinya terjebak di dalam sebu
Aji kemudian berlari setelah mendapatkan lokasi terakhir Liana. Salma dan ratih segera menghubungi Prof. Rendra karena mereka tidak ingin sesuatu yang lebih buruk terjadi kepada Liana.“Tunggu aku, Liana. Aku akan segera membawamu pergi dari neraka itu,” seru Aji memakai baju penyelamatnya, bersama dengan tim andalan yang siap bergerak.***“Bos, apa dia mati?” tanya salah satu pengawal Jack karena melihat Liana terkapar tanpa tanda-tanda ia akan sadar.“Tentu tidak. Dia adalah alat sempurnaku untuk menghancurkan manusia-manusia keparat yang tidak tau cara memanusiakan manusia itu,” jawab Jack dengan senyuman semringah di wajahnya.Liana kemudian di pindahkan ke dalam ruangan khusus. Ia diikat disebuah kursia yang tidak lain adalah buatan kakaknya sendiri. Meskipun kali ini Liana tidak sadarkan diri, bayangan kedua orang tuanya membuatnya bangun.&ldq
Jack makin membabi buta dengan tatapan dendam yang pertama kali Liana saksikan. Melihat Jack mendekati Liana yang terkapar bersimpah darah, Aji kemudian menembak pria itu, dan segera membawa Liana pergi.“Liana, bertahanlah,” pinta Aji menggendong Liana sembari berlari bersama timnya untuk mencari tempat yang aman.Liana yang tadinya tidak sadarkan diri, perlahan membuka matanya dan mulai batuk-batuk. Menyadari hal itu, Aji berhenti dan menyuruh timnya untuk berjaga karena saat ini mereka masih berada di kendang musuh.“Liana, apa kamu bisa mendengarku?” tanya Aji mengelus lembut pipi Liana dengan tatapan sendu.“Benda prisma itu, tolong antar aku ke sana,” pinta Liana dengan napas berat dan tubuh yang makin melemah.“Tidak, kamu harus selamat dahulu. Kita bisa kembali lagi ke sini, untuk menghentikan alat itu,” balas Aji kemudian bergegas mengendong Liana unt
Semua tim yang bertugas di tarik mundur setelah benar-benar menyaksikan para pemberontak itu melarikan diri. Tanah masih bergetar hebat. Bahkan tim evakuasi mendapat ribuan panggilan darurat yang membutuhkan bantuan.“Komandan, apa yang harus kita lakukan?” tanya anggota tim kepada Aji yang tengah sibuk memeriksa walkie talkienya.“Kita harus pergi ke gunung Toba itu, cepat,” perintah Aji kemudian bergegas naik helikopter bersama timnya.Sementara keadaan rumah sakit begitu genting, meskipun relawan penyelamat sudah bertambah hingga angka 7.000 orang. Banyaknya korban berjatuhan dan trauma akibat bencana ini terus bertambah.Sementara Liana yang masih terbaring, berusaha untuk bangun dari keadaan itu namun ia tidak bisa. Tubuhnya kini mendapat perawatan khusus akibat semua luka yang ia dapatkan.***“Komandan, lihatlah gunung itu,” ucap salah