“Ma, Keysa tidak suka pria ini. Dia terlalu muda, Ma... Apalagi pekerjaannya tidak jelas!” Rengekku pada Camila, ibu tiriku.
Dia memaksaku menikah dengan sembarang pria sesuai kemauannya hanya karena merasa malu pada teman-teman dan tetangga yang sering menyindirku karena aku belum menikah juga di usiaku yang sudah menginjak 36 tahun.
“Sampai kapan putrimu mau hidup sendiri Jeng? Malu loh dikatai perawan tua terus sama teman-teman kita.” Kalimat sindiran itu hampir berulang kali terdengar dari Bu Imah, tetangga sebelah rumah kami.
Sialnya lagi… Bu Imah hanya salah satu contoh dari sekian banyak penggosip yang tak pernah lelah membicarakan kehidupanku. Masih ada Bu Devi, Bu Siti, Bu Rosa dan banyak lagi. Mereka selalu membicarakan hal yang sama berulang kali, dan pada akhirnya membuat ibu tiriku juga turut menyindirku setiap hari.
Sampai pada suatu saat, teman-teman bedebahnya itu membawa foto beberapa pria yang juga sedang mencari istri untuk dijodohkan padaku. Totalitas sekali kan?
Lelah menghadapi ibu tiriku yang terus memaksaku untuk menikah, aku terpaksa menyerah dan memilih foto salah satu pria yang sedikit lebih tua dariku, juga memiliki pekerjaan yang baik sebagai seorang ASN di kantor Kecamatan. Tapi beberapa hari kemudian dengan seenaknya ibu tiriku malah memilihkan pria yang lain. Pria yang fotonya pernah kusingkirkan setelah tahu kalau usianya terpaut 10 tahun lebih muda dariku.
Bukannya aku terlalu pemilih hingga hanya menilai seseorang dari usianya saja. Bukan berarti aku tidak suka dengan pria yang lebih muda. Bukan… Tentu saja bukan begitu maksudku. Jika dia lebih muda, setidaknya cukup dengan jarak 1 atau 2 tahun saja. Apalagi jika dia memiliki pekerjaan yang baik, tentu aku pasti akan menerimanya. Sungguh!
Tapi ini 10 tahun?! Oh..., yang benar saja. Jarak usia kami terlalu jauh untuk menjalin hubungan cinta, apalagi menjadi suami-istri. Jika prianya yang lebih tua 10 tahun, mungkin tidak terlalu aneh. Kalau wanitanya? Entah untuk wanita lain, tapi bagiku itu sangat memalukan.
Selain itu, pria pilihan ibu tiriku juga tidak memiliki pekerjaan jelas. Belum lagi dia juga orang kampung yang tinggal di salah satu desa yang berada di Pulau Kalimantan. Bukannya aku ingin meremehkannya. Aku tahu, hidup di Jakarta bagi mereka tentu tidaklah mudah. Jangankan untuk mencari pekerjaan, untuk mencari makan saja dia mungkin akan kesulitan dan ujung-ujungnya akulah yang akan direpotkan.
“Cuma dia yang mau sama kamu, Keysa Andini!” Umpat ibu tiriku.
Aku tahu kalau ibu tiriku sudah menyebut namaku secara lengkap, dia sedang merasa gemas padaku. Andai sedang tidak ada maunya seperti ini, dia biasanya bukan hanya membentakku tapi juga tak segan untuk melemparkan barang-barang yang ada di dekatnya padaku.
“Lagian sudah untung mama mencarikan kamu suami. Ingat usiamu sudah mendekati kepala 4!” Tambahnya dengan nada ketus. Matanya mendelik padaku dengan sangat lebar seakan hendak keluar.
Aku hendak memprotesnya, tapi tatapan matanya membuatku menelan kembali kata-kataku.
‘Masih ada empat tahun sebelum aku berusia 40 dan itu masih lama. Kenapa Mama membulatkan usiaku sesukanya saja?! Yah… membulatkan ke 30 memang lebih jauh sih.’
“Dia terlalu muda, Ma. Kerjanya juga tidak jelas,” keluhku lagi.
“Tidak usah memikirkan pekerjaannya! Harusnya sudah cukup dengan penghasilanmu bekerja di perusahaan manufaktur itu, kan? Lebih baik juga kalau dia di rumah, mengurus rumah. Dia juga bisa kerja sambilan membantu adikmu di toko kelontong kita.”
'Haiss… Yang benar saja!'
Ucapan itu membuatku meringis ngeri. Lelaki yang akan kunikahi sangatlah jauh dari yang kuimpikan selama ini, ―lagian keinginan untuk menikah sudah terhapus dari kamus hidupku. Aku juga tidak yakin apakah pria itu benar-benar mau menerimaku yang usianya jauh lebih tua darinya sebagai istri. Bisa saja dia memanfaatkanku, ingin hidup cukup sembari bermalas-malasan.
Beberapa teman segeng ku dari sejak SMA pernah bercerita kalau suami mereka hanya sibuk bermain game sepulang kerja, tanpa mau membantu mengurus rumah yang berantakan, juga anak.
Jika pria yang dalam pengawasan istri saat mereka sedang bersama di rumah saja seperti itu, bagaimana dengan suamiku nanti? Dia akan berada di rumah seharian selama aku bekerja.
Dia tentu akan bebas bermain game dan bermalas-malasan, atau malah membawa wanita lain untuk berduaan di rumah sementara aku sedang bekerja. Apalagi selama ini dia hidup di desa, tentu dia akan mudah tergoda untuk merayu wanita-wanita cantik Jakarta.
Harus kuakui jika melihat dari fotonya, dia cukup tampan, ―walaupun agak dekil juga sih. Ku rasa dia tidak bodoh untuk tidak menyadari kelebihannya itu untuk digunakan memikat wanita.
Belum lagi aku pernah mendengar Bu Devi, orang yang merekomendasikan pria itu pada ibu tiriku, memberikan informasi kalau pria itu mungkin anak luar nikah dari seorang pengusaha besar di Jakarta yang dibuang ke desa.
Bu Siti waktu itu menyela dan mengatakan kalau sebenarnya dia dulu pernah buka usaha dan bangkrut karena membuka usaha saat masih berusia 18 tahun, jadi belum punya pengalaman. Karena malu, pria itu akhirnya pindah ke Kalimantan.
Yang membuatku ngeri adalah ucapan Bu Rosa yang mengatakan kalau pria itu mungkin anggota mafia yang kabur ke Kalimantan saat kelompoknya diburu Polisi. Walaupun yang dikatakan Bu Rosa hanyalah terkaan, namun kata-katanyalah yang paling kuingat.
‘Huft… Jika itu benar, membayangkannya saja sudah membuatku ngeri. Menikah bukan akan membuatku nyaman dan bahagia berada dalam lindungan dan tanggung jawab suami, malah justru akan menambah masalah dalam hidupku.’
Sebenarnya yang paling penting di sini adalah aku. Aku sebenarnya bukan tidak laku, bukan pula terlalu memilih standar yang tinggi sehingga tidak menikah-menikah juga. Ada banyak pria yang ingin melamarku, bahkan sudah melamarku, namun kutolak mentah-mentah.
Bukan karena aku angkuh atau sok cantik, melainkan karena aku memang ingin hidup sendiri. Aku ingin hidup bebas di hari tuaku. Berjalan-jalan keliling dunia dengan uang yang sudah kusisihkan hingga saatnya nanti aku akan memakainya.
“Mama sudah menghubungi dia. Kamu tunggu saja. Pokoknya siapkan saja fotomu ukuran 4x6 sebanyak dua lembar,” ucap ibu tiriku sebelum berlalu pergi.
Aku hendak memprotes lagi, namun ibu tiriku sudah melengos pergi keluar rumah. Huh bisa kutebak, pasti ingin bergosip ke rumah Bu Imah tetangga kami yang terdekat. ‘Woah… Benar-benar tiada hari tanpa bergosip, bahkan aku harus jadi korbannya.’
Aku akhirnya hanya bisa mengurut dada sembari menghela napas panjang, berusaha menyabarkan diriku sendiri. “Sial… aku harus menemukan cara untuk keluar dari nikah paksa ini,” gerutuku sembari menatap punggung ibu tiriku dengan kesal.
Dari pintu tempat ibu tiriku baru saja pergi, tatapanku beralih pada pintu lain di mana ayah kandungku yang sudah lumpuh karena terkena serangan stroke selama 15 tahun ini berada.
Karena dialah aku tidak bisa melakukan apa-apa. Maksudku, aku terpaksa selalu mengikuti kemauan ibu tiriku. Bukan hanya kali ini saja, namun di banyak hal yang jika kuingat satu per satu, akan membuatku sakit kepala.
“Kenapa nasibku sesial ini?”
Aku pergi menghampiri kamar ayahku, membuka pintunya sedikit lalu mengintip ayahku yang sedang terbaring lemah tanpa daya.
Aku hanya berharap kalau ayahku tidak mendengar apa yang baru saja aku dan ibu tiriku bicarakan. Aku tidak ingin menambah beban pikiran padanya, padahal dia sudah cukup menderita dengan penyakitnya.
Saat sedang memerhatikan ayahku, aku tiba-tiba teringat pada rumah yang kami tempati ini. Rumah yang memiliki tanah luas hingga terhubung ke dua jalan besar Kota Jakarta.
Ibu tiriku selalu ingin menjual rumah dan tanah kami ini karena ada beberapa pengusaha yang sudah menawar untuk membeli, namun aku menolaknya. Sebagai ahli waris pertama dari rumah dan tanah ini, penjualannya harus dengan persetujuanku. Tapi kesalahan ayahku adalah dia akan membebaskanku dari status ahli waris ketika aku sudah menikah. Ayahku pernah mengatakannya saat aku masih kuliah dulu.
“Jadi Mama memaksaku menikah karena ingin mendapatkan rumah dan tanah ini, kan? Tsk…, halus sekali caranya.”
Hallo salam kenal, saya penulis baru... Mohon dukungannya ya... thank you (^^)
Garis takdir sering kali tidak berjalan sesuai keinginanku walau aku sudah berusaha mengikuti ke mana arah angin. Maksudku…, angin takdir yang diarahkan oleh ibu tiriku. Awalnya aku tidak ingin dipaksa menikah. Aku tidak peduli pada usiaku yang sudah 36 tahun dan masih belum juga menikah. Aku memang sudah tidak berencana untuk menikah. Aku ingin hidup bebas. Untuk itulah aku menyisihkan uang gajiku yang sudah banyak dipotong sana-sini. Aku menabung sedikit demi sedikit untuk menikmatinya suatu saat nanti. Aku ingin menggunakan uang tabunganku untuk berkeliling dunia, mengunjungi tempat-tempat indah yang selama ini hanya pernah kulihat melalui Youtube. Jangankan kepikiran menikah. Aku bahkan baru pernah berpacaran 2 kali dan semuanya berakhir kurang dari 1 minggu. Luar biasa bukan? Kekangan. Sikap posesif. Yah..., bisa dibilang karena itulah yang membuatku tidak senang menjalin hubungan dengan pria. Bahkan dengan siapa saja yang memiliki sikap seperti itu. Apa yang kualami di dalam
“Kami suami-istri, Pak,” sahut Steven menggantikanku. Aku segera melirik kembali ke arah spion. Memicingkan kedua mataku, ingin melihat reaksi pak sopir setelah Steven memberi jawaban. Pria paruh baya itu mengangguk-angguk kecil. Tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya. Kalaupun ada, hanya sedikit. Tidak berlebihan. “Saya pikir Neng ini kakaknya, Bang...,” ucap pak sopir. “Menikah dengan jarak usia satu atau dua tahun dengan wanita yang lebih tua tidak jadi masalah sih, Bang,” tambahnya lalu tertawa cekikikan. ‘Apa?! Tidak, tunggu...’ Aku sebenarnya agak kesal dengan apa yang dia bicarakan. Topik pembicaraannya memang kurang sopan. Terlalu bersifat privasi. Tapi..., satu sampai dua tahun? Apa jarak usia kami hanya terlihat sejauh itu? Aku tertawa. ‘Terlihat 1-2 tahun kan ya? Yuhu... Syukurlah tidak seburuk yang kukira.’ Pak sopir sampai menoleh padaku, terkejut saat aku tiba-tiba saja tertawa. “Maaf Neng kalau ternyata seumuran atau Neng-nya lebih muda. Hehe...” “Apa terlihat
“I-ini kan...” Aku menutup kembali ransel itu dengan cepat setelah tidak mendengar suara air lagi dari arah kamar mandi, lalu buru-buru pergi menjauhi sofa dan berdiri di dekat kitchen set, ingin berpura-pura bahwa aku tidak pernah beranjak dari sana sejak tadi. ‘Tidak... itu ketinggalan...’ Aku kembali lagi untuk mengambil gelas yang tadi kuletakkan di meja, dan tiba kembali di area kitchen set tepat sebelum Steven membuka pintu. Steven sedikit membungkukkan tubuhnya seraya menganggukkan kepala padaku. Aku memaksa bibirku untuk tersenyum, walau sangat susah untuk kulakukan. Rasa takutku membuatku susah untuk tersenyum. Senyumanku pasti akan terlihat aneh dimatanya. Aku melirik ke arah ransel. “Bodoh! Harusnya ku ambil saja pistolnya,” pikirku, menyesal tidak melakukannya. Entah Steven menyadari atau tidak, ia kemudian pergi menuju sofa. Duduk di dekat tas ransel, lalu membuka ritsletingnya. Dadaku menjadi sesak. Terutama saat melihat Steven mengeluarkan senjata api itu dari d
Setelah keluar dari kamar mandi, mataku langsung tertuju pada Steven yang sedang duduk di sofa. Terlihat jelas kalau dia sedang menungguku di sana. Tapi aku baru menghampirinya 20 menit kemudian, setelah selesai mengeringkan rambutku yang cukup panjang. “Maaf sudah salah menilaimu,” ucapku pelan. Aku duduk mengambil tempat di dekatnya. Sebenarnya tempat terjauh, karena sofa kami tidaklah panjang. Hanya satu baris sofa yang muat untuk 3 orang. Steven duduk di ujung dan aku duduk di ujung lain. “Tidak masalah. Saya juga ingin meminta maaf karena terlalu ceroboh.” Aku tersenyum kaku, lalu melirik pada tumpukan uang di atas meja. Aku sebenarnya tidak tahan untuk tidak melirik ke arah tumpukan uang itu sejak tadi. Tumpukan uang yang hampir tidak memberikan ruang kosong sama sekali pada meja kaca berukuran 0,5x1,5 meter di depan kami. “Jadi... apa maksudnya ini?” Mataku masih tertuju pada tumpukan uang. “Saya minta maaf karena tidak melakukan lamaran secara benar. Saya sebenarnya ingi
Setelah makan kami tidak langsung pulang, ―walaupun aku sebenarnya sangat ingin langsung pulang. Keinginan itu akhirnya kalah saat aku kebetulan melihat Steven menatap jalanan dengan wajah bingung yang aneh, di sepanjang perjalanan kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Entah dia bingung atau wajahnya seperti itu karena belum terbiasa dengan kota Jakarta, yang pasti aku jadi merasa kasihan padanya. Aku pun mengajaknya untuk jalan-jalan ke Mal yang berada tak jauh dari jalur jalan yang kami lewati, ―kebetulan aku juga belum pernah pergi ke Mal itu dan sekalian saja aku ingin melihat-lihat ke sana.Aku bisa melihat perubahan ekspresi Steven setelahnya. Bisa dikatakan, wajahnya tampak lebih ceria. Aku menebak, dia mungkin sedang merindukan kampung halamannya.‘Padahal dia baru dua hari di sini. Bagaimana kalau sudah satu minggu? Satu bulan? Atau satu tahun? Mungkinkah dia akan pergi meninggalkanku setelah itu?' Pikiranku malah menyimpang ke sana. Aku tidak peduli juga sih. Tapi..
Aku dan Steven baru pulang kembali ke rumah kami jam 7 malam setelah selama seharian menghabiskan waktu berbelanja dan berjalan-jalan di Mal. Walau awalnya aku hanya ingin mengantarkannya berjalan-jalan, sejujurnya pada akhirnya aku sendiri juga menikmati waktu yang kami habiskan bersama hari ini, terutama karena aku bisa kembali berbaur dengan keramaian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Ya, sudah sangat lama bagiku, yang hampir tidak memiliki waktu dan uang lebih, untuk berjalan-jalan seperti ini. Dalam beberapa tahun belakangan ini, akhir pekanku biasanya cuma kuhabiskan untuk membaca novel ringan atau melihat-lihat referensi destinasi wisata di Youtube yang kemudian akan kumasukkan dalam daftar tujuan liburanku suatu saat nanti. Aku bahkan tidak ingat kapan punya waktu luang untuk berjalan-jalan seperti hari ini. Waktu luang? Sebenarnya, mungkin bukan waktu luang yang tidak kumiliki, melainkan uang. Apa karena gajiku kecil? Tidak juga. Sebelumnya mungkin s
“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya langsung menyukai Anda setelah melihat foto Anda. Saya tidak memikirkan lainnya.” Entah kenapa, kata-kata berbau pujian dari Steven membuatku sedikit malu hingga aku akhirnya diam dan melanjutkan pekerjaanku tanpa bertanya apa pun lagi. ‘Kenapa dia tidak bertanya balik? Apa dia tidak penasaran?’ Aku agak bingung kenapa Steven tidak mengajukan pertanyaan yang sama padaku. Jika menjadi dia, aku pasti akan penasaran dan bertanya hal serupa juga padanya. ‘Atau… apa dia takut kalau aku minta bercerai karena menikah di bawah paksaan?’ Aku melirik padanya, ―yang sudah sibuk membuka kardus-kardus kecil kembali dan benar-benar tidak terlihat ingin bertanya hal yang sama padaku. ‘Tapi tidak mungkin.’ Aku menatap ke kamar, ingat berapa banyak uang yang ada di sana, ―yang dibawanya ke sana-kemari tanpa takut dirampok, juga memberikannya padaku dengan santai. Dia bisa dengan mudahnya menemukan wanita cantik dengan uang seserahan sebanyak itu. Khususnya p
Karena ini hari Minggu, aku sengaja tidak memasang alarm di ponselku dan aku pun akhirnya bangun jauh lebih siang dari biasanya. Hal pertama yang kuingat setelah melihat jam di ponselku adalah Steven. Tidak seperti kemarin, kali ini aku langsung mengingatnya, ―terutama setelah beberapa puluh menit tidak bisa tidur karena harap-harap cemas kalau dia akan datang menyambut baik ‘ajakan’ tak sengaja dariku. Aku melihat dan meraba-raba tempat di sebelahku tidur yang masih rapi dan tidak merasakan hangat bekas ditiduri di sana. ‘Bodoh... Kalau dia sudah bangun lebih dari 30 menit tentu tidak akan terasa hangat.’ Aku menatap tubuhku, melihat pakaianku yang masih lengkap. Aku juga melihat pintu kamar yang sudah tertutup kembali. Entah kenapa, aku malah agak sedikit tersinggung. ‘Apa aku tidak menarik baginya? Apa karena jarak usia kami?’ Aku baru beranjak dari tempat tidur saat mendengar suara berisik di luar kamar untuk pergi mengecek sumber suara mengganggu tersebut. Perhatianku langs