Share

Bab 158

Penulis: Bhay Hamid
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-07 14:49:53

Raka berdiri di atas batu besar dekat pasar baru yang menghadap ke dermaga kecil. Wajahnya tenang, tapi tatapannya menyimpan tekad.

“Waktu kita sudah dekat,” ucap Raka lantang kepada para warga yang berkumpul. “Hasil bumi kita melimpah, rempah-rempah kita harum, rotan dan kain dari para pengrajin sudah siap. Tapi kita tidak bisa terus menunggu pedagang dari luar datang ke desa ini.”

Seorang lelaki tua, Darsa, mengangkat tangan, “Kamu ingin kami berdagang ke luar desa, Raka?”

Raka mengangguk. “Ya. Kita yang membawa barang kita sendiri ke luar. Jika kitab awa Ke kota madya, ke pasar Kemusuk seperti yang kalian ketahui pajak tidak masuk akal di berikan kepada para pedagang kita. Dan biar mereka tahu bahwa Kali Bening tidak cuma tahu menanam dan menenun, tapi juga tahu cara berniaga.”

Sorak kecil muncul, tapi wajah-wajah ragu masih terlihat.

Seorang pemuda, Tawi, bersuara, “Kalau kita lewat Kemusuk dan kota madya, mereka pasti minta pajak. Kadang semaunya. Kadang bayar, kadang cuma dimint
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 159

    Hawa beku menusuk bahkan hingga ke tulang. Tapi di dermaga sungai Kali Bening, suara palu tak berhenti. Asap tipis mengepul dari dapur kayu tempat para tukang menghangatkan tangan dan mengeringkan perkakas. Di tengah semuanya, kerangka besar kapal dagang berdiri megah—bagaikan tulang naga yang belum ditumbuhi kulit.Para tukang bekerja dengan mantel wol ringan yang dijahit ibu-ibu Kali Bening, hangat dan tahan lembab. Kades Raka berjalan di antara mereka, menepuk bahu satu per satu.“Kerja kalian luar biasa. Tanpa semangat seperti ini, kapal ini hanya akan jadi mimpi,” katanya sambil tersenyum.“Kalau Tuan mengutus seseorang untuk terus bawa kami teh hangat dan pisang goreng seperti tadi pagi, kami bisa selesaikan kapal ini sebelum salju merata,” jawab Kerta si tukang utama, disambut tawa kecil para pekerja.Tapi senyum Raka cepat memudar saat ia masuk ke ruang kecil yang dijadikan tempat menyimpan dokumen dan catatan perjalanan para pedagang. Di atas meja kayu, puluhan gulungan bambu

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-07
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 160

    Angin musim dingin menyapu lereng Kali Bening dengan suara lirih, seolah membawa kabar yang tak ingin didengar siapa pun. Hari itu, Raka baru saja selesai memeriksa kemajuan pembangunan kapal di pelabuhan, ketika seorang pemuda berlari mendekat sambil terengah-engah.“Tuan Raka... Riko... Riko jatuh sakit parah,” katanya terbata, wajahnya pucat karena lelah dan cemas.Langkah Raka terhenti. Ia menoleh cepat. “Riko?”Pemuda itu mengangguk cepat. “Ia tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Katanya sudah lama ia sembunyikan, tapi sekarang tubuhnya seperti tak mau bergerak.”Tanpa banyak tanya lagi, Raka langsung bergegas menunggangi kudanya dan memacu dengan cepat. Langkahnya cepat menyusuri jalan batu yang hangat di bawah kaki kuda putih raka, menuruni bukit kecil menuju rumah kayu besar nan megah di pinggir desa, tak jauh dari aliran sungai kecil yang hampir membeku.Begitu sampai, tiga wanita keluar dari rumah itu. Wajah mereka terlihat lelah dan khawatir. Salah satunya, istri tertua Ri

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-08
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 161

    Musim dingin kali ini datang lebih panjang dan menggigit. Langit tak henti-hentinya menurunkan salju, mengubur ladang-ladang, menutup jalan-jalan, dan menghalangi sinar matahari dari menyentuh tanah. Angin dari utara menderu seperti suara serigala lapar, menghantam atap rumah dan menerbangkan debu salju ke segala arah.Di ujung desa Kali Bening, Raka berdiri di menara penjaga benteng, memandang luas ke arah lembah yang perlahan menghilang dalam rintikan salju.“Ini badai paling buruk yang pernah kita alami,” gumamnya.Di sampingnya, Tomi, kepala penjaga desa, mengangguk sambil menarik jubah bulunya lebih erat.“Pohon-pohon besar di sisi barat tumbang semalam, Tuanku. Tiga atap rumah hampir terangkat kalau gentingnya tak seberat itu,” lapor Tomi.Raka menarik napas panjang. Ia telah mempersiapkan musim dingin sejak dua bulan lalu. Gudang makanan penuh. Kayu bakar ditumpuk di setiap sudut desa. Rumah-rumah warga telah dibangun ulang setahun terakhir menggunakan bata merah dan genting ta

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-08
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 162

    Langit kelabu telah menggantung selama berminggu-minggu di atas wilayah Kerajaan Surya Manggala. Angin menggila, hujan salju turun nyaris tak mengenal jeda. Pepohonan tumbang, sungai membeku, atap-atap runtuh, dan jalan-jalan menjadi ladang salju tebal yang sulit dilalui. Di balai kerajaan, para pejabat mencatat laporan kerusakan dari seluruh penjuru negeri.Raja Mahesa Warman berdiri tegak di depan peta besar yang terbentang di ruang pertemuan utama. Sorot matanya tajam namun wajahnya menyimpan kelelahan.“Berapa jumlah kerugian yang harus kita tanggung, Patih Darsa?” tanyanya pelan namun tegas.Patih Darsa membuka gulungan laporan dari para bupati dan panglima wilayah.“Hamba telah menghitung, Paduka. Kerajaan setidaknya harus mengeluarkan seratus ribu tael emas untuk memperbaiki jembatan, bendungan, gudang logistik, dan rumah warga,” ucapnya hati-hati.Mahesa Warman mengangguk perlahan, lalu menghela napas berat.“Kita tak bisa menghindar dari murka alam, tapi rakyat harus tetap ki

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-08
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 1

    “Baginda hari ini, adalah penyatuan ulang Kerajaan kita dan para pakar ilmuan banyak yang terbunuh sehingga kita kekurangan ilmuan.” “Segenting apa Patih.” “Dari lima ratus cendikiawan kita hanya tersisa tiga orang saja. Dalam beberapa pertempuran mereka menjadi tulang punggung Kerajaan untuk membantu peperangan dan menulis Sejarah peperangan, hingga tidak meninggalkan sisa dari mereka kecuali hanya tiga orang dan buku-buku catatan yang begitu banyak.” “Bagaimana dengan seleksi di penjuru negeri. Segera buat perekrutan secepatnya atau buat seleksi para anak muda untuk menjadi cendikiawan terpelajar. “Setiap warga yang mampu menghasilkan cendikiawan murni maka dia akan mendapatkan imbalan seribu koine mas.” Per bulannya. ‘’ Untuk beberapa tahun kedepan Kerajaan harus pulih Kembali seperti masa kejayaan Raja Warman.” Kita jangan mengulang kejadian konyol seperti penghianat itu yang telah membuat Raja Warman tewas dan menyebabkan pertikaian dan perpecahan ini.” “Sehingga merug

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 2

    Ingatan Raka begitu terus menerawang apa yang sebenarnya terjadi kapada dirinya dan kepada ketiga istrinya ini. Setelah mendengarkan cerita ini mereka begitu senang dan melihat pancaran kedewasaan muncul dari wajah Raka. “Kanda apakah semua ini sudah cukup menjelaskan keadaan kita saat ini.” “Sudah cukup aku sedikit mengingatnya.” Aku sangat berutang budi kepada kalian bertiga. Raka menatap dengan lekat tiga gadis cantik di depannya dengan begitu teliti hingga tidak terlewatkan satu incipun dan memperhatikan bagitu semangat. “Kamu kemarilah Raka memanggil gadis yang di sebelah kirinya dan menyurunya duduk di sebelah kiri Raka. “Coba kulihat tangan mu.” Raka memegang tangan yang begitu sempurna putih bersih dan harum. Kamu sedang haid sepertinya.” Gadis itu pun merah padam dan tersipu malu. Kali ini pertama dalam hidupnya ai di puji oleh lelaki yang begitu tampan dan berwibawa setelah bangun dari mati surinya. Dizaman ini laki-laki diberikan istri lebih dari tiga. Sehingga hal it

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 3

    “Kanda, bagaimana buruan nya hari ini.”“Tidak terlalu buruk di ujung des aini ada sebuah safana dengan pohon-pohon kecil beserta rumput yang bagus untuk bersembunyi dan memiliki banyak hewan liar disana serta aku dapat membidik dengan baik satu ekor kijang Jantan ini.”Aina begitu terkejut Ketika Raka menunjukkan arah busurnya ke samping pagar rumah mereka yang reot.“Wah kijang ini cukup untuk kita berempat sampai dua hari kedepan.”Kemudian bagaimana dengan beras kita apakah masih ada?” Ujar RakaAndini…kemari kakak mau menanyakan sesuatu padamu.”“Iya kak sebentar aku kedepan.” Andini tergopoh-gopoh hingga kakinya tersandung dan langsung di sambut dengan sigap oleh Raka.Mata mereka saling memanah dan raka merasakan empuk di tangannya sesuatu yang tidak ingin ia lepaskan. Namun suara Aina membuat mereka berdua tersada.Momen yang membagongkan dan membuat libido siapapun segera membuncah dan ingin segera rasanya melanjutkannya di ranjang panas.Aihhh pikiran ini selalu….Kemudian

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 4

    Lima pasukan kuno segera mengemasi temanya seperti sedang membungkus ikan asin di pasar, mereka segera meninggalkan neraka di sore itu dengan wajah yang babak belur dan penuh dengan ketakutan. “Kanda darimana kanda mempelajari Gerakan itu, dan bagaimana kanda begitu lentur menggunakan daun busur ini hingga membuat pasukan yang mengerikan itu tidak berarti di hadapan kanda.” “Aini istriku yang cantik setelah aku bangun dari matiku kemarin aku mempelajari banyak hal tentang ini.” Sambil menyentuh da…yang lembut membuat Aini memerah padam “Kanda jangan seperti ini aku malu sama kak Aina.” Aina yang melihat itu juga menelan ludah dan menundukkan kepalanya tidak berani menatap lelaki gagah dan kuat didepannya. “Andai malam itu datang apakah kami bertiga mampu menandingi lelaki ini” Aina termenung didalam tunduknya. Kemudian Raka memeluk Aina dengan penuh gairah dan menyentuh buah da…yang membuat ia sedikit terbang seakan lepas nyawanya. Kanda jangan begitu malu dilihat orang.” Raka

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19

Bab terbaru

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 162

    Langit kelabu telah menggantung selama berminggu-minggu di atas wilayah Kerajaan Surya Manggala. Angin menggila, hujan salju turun nyaris tak mengenal jeda. Pepohonan tumbang, sungai membeku, atap-atap runtuh, dan jalan-jalan menjadi ladang salju tebal yang sulit dilalui. Di balai kerajaan, para pejabat mencatat laporan kerusakan dari seluruh penjuru negeri.Raja Mahesa Warman berdiri tegak di depan peta besar yang terbentang di ruang pertemuan utama. Sorot matanya tajam namun wajahnya menyimpan kelelahan.“Berapa jumlah kerugian yang harus kita tanggung, Patih Darsa?” tanyanya pelan namun tegas.Patih Darsa membuka gulungan laporan dari para bupati dan panglima wilayah.“Hamba telah menghitung, Paduka. Kerajaan setidaknya harus mengeluarkan seratus ribu tael emas untuk memperbaiki jembatan, bendungan, gudang logistik, dan rumah warga,” ucapnya hati-hati.Mahesa Warman mengangguk perlahan, lalu menghela napas berat.“Kita tak bisa menghindar dari murka alam, tapi rakyat harus tetap ki

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 161

    Musim dingin kali ini datang lebih panjang dan menggigit. Langit tak henti-hentinya menurunkan salju, mengubur ladang-ladang, menutup jalan-jalan, dan menghalangi sinar matahari dari menyentuh tanah. Angin dari utara menderu seperti suara serigala lapar, menghantam atap rumah dan menerbangkan debu salju ke segala arah.Di ujung desa Kali Bening, Raka berdiri di menara penjaga benteng, memandang luas ke arah lembah yang perlahan menghilang dalam rintikan salju.“Ini badai paling buruk yang pernah kita alami,” gumamnya.Di sampingnya, Tomi, kepala penjaga desa, mengangguk sambil menarik jubah bulunya lebih erat.“Pohon-pohon besar di sisi barat tumbang semalam, Tuanku. Tiga atap rumah hampir terangkat kalau gentingnya tak seberat itu,” lapor Tomi.Raka menarik napas panjang. Ia telah mempersiapkan musim dingin sejak dua bulan lalu. Gudang makanan penuh. Kayu bakar ditumpuk di setiap sudut desa. Rumah-rumah warga telah dibangun ulang setahun terakhir menggunakan bata merah dan genting ta

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 160

    Angin musim dingin menyapu lereng Kali Bening dengan suara lirih, seolah membawa kabar yang tak ingin didengar siapa pun. Hari itu, Raka baru saja selesai memeriksa kemajuan pembangunan kapal di pelabuhan, ketika seorang pemuda berlari mendekat sambil terengah-engah.“Tuan Raka... Riko... Riko jatuh sakit parah,” katanya terbata, wajahnya pucat karena lelah dan cemas.Langkah Raka terhenti. Ia menoleh cepat. “Riko?”Pemuda itu mengangguk cepat. “Ia tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Katanya sudah lama ia sembunyikan, tapi sekarang tubuhnya seperti tak mau bergerak.”Tanpa banyak tanya lagi, Raka langsung bergegas menunggangi kudanya dan memacu dengan cepat. Langkahnya cepat menyusuri jalan batu yang hangat di bawah kaki kuda putih raka, menuruni bukit kecil menuju rumah kayu besar nan megah di pinggir desa, tak jauh dari aliran sungai kecil yang hampir membeku.Begitu sampai, tiga wanita keluar dari rumah itu. Wajah mereka terlihat lelah dan khawatir. Salah satunya, istri tertua Ri

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 159

    Hawa beku menusuk bahkan hingga ke tulang. Tapi di dermaga sungai Kali Bening, suara palu tak berhenti. Asap tipis mengepul dari dapur kayu tempat para tukang menghangatkan tangan dan mengeringkan perkakas. Di tengah semuanya, kerangka besar kapal dagang berdiri megah—bagaikan tulang naga yang belum ditumbuhi kulit.Para tukang bekerja dengan mantel wol ringan yang dijahit ibu-ibu Kali Bening, hangat dan tahan lembab. Kades Raka berjalan di antara mereka, menepuk bahu satu per satu.“Kerja kalian luar biasa. Tanpa semangat seperti ini, kapal ini hanya akan jadi mimpi,” katanya sambil tersenyum.“Kalau Tuan mengutus seseorang untuk terus bawa kami teh hangat dan pisang goreng seperti tadi pagi, kami bisa selesaikan kapal ini sebelum salju merata,” jawab Kerta si tukang utama, disambut tawa kecil para pekerja.Tapi senyum Raka cepat memudar saat ia masuk ke ruang kecil yang dijadikan tempat menyimpan dokumen dan catatan perjalanan para pedagang. Di atas meja kayu, puluhan gulungan bambu

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 158

    Raka berdiri di atas batu besar dekat pasar baru yang menghadap ke dermaga kecil. Wajahnya tenang, tapi tatapannya menyimpan tekad.“Waktu kita sudah dekat,” ucap Raka lantang kepada para warga yang berkumpul. “Hasil bumi kita melimpah, rempah-rempah kita harum, rotan dan kain dari para pengrajin sudah siap. Tapi kita tidak bisa terus menunggu pedagang dari luar datang ke desa ini.”Seorang lelaki tua, Darsa, mengangkat tangan, “Kamu ingin kami berdagang ke luar desa, Raka?”Raka mengangguk. “Ya. Kita yang membawa barang kita sendiri ke luar. Jika kitab awa Ke kota madya, ke pasar Kemusuk seperti yang kalian ketahui pajak tidak masuk akal di berikan kepada para pedagang kita. Dan biar mereka tahu bahwa Kali Bening tidak cuma tahu menanam dan menenun, tapi juga tahu cara berniaga.”Sorak kecil muncul, tapi wajah-wajah ragu masih terlihat.Seorang pemuda, Tawi, bersuara, “Kalau kita lewat Kemusuk dan kota madya, mereka pasti minta pajak. Kadang semaunya. Kadang bayar, kadang cuma dimint

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 157

    Di tengah musim dingin yang membuat sebagian wilayah Kerajaan Surya Manggala lumpuh, satu peristiwa bersejarah terjadi di ujung Selatan Pelabuhan Teluk Penyu resmi berdiri.Di bibir teluk yang kini membeku sebagian, berdirilah bangunan pelabuhan kokoh dengan dermaga dari kayu besi dan batu kapur. Meski angin laut membawa dingin yang menggigit, semangat para pekerja dan warga desa menghangatkan suasana.“Lihatlah, Tuan! Bahkan es tak sanggup menghentikan kerja tangan rakyatmu,” ujar Janta sambil tertawa lepas.Raka berdiri tegak di depan Gudang Pelabuhan, mengenakan mantel tebal berwarna coklat tua. Ia mengangguk pelan, matanya menyapu seluruh sudut pelabuhan yang dibangun hanya dalam beberapa bulan yang lalu kini sudah dapat berdiri kokoh.“Tak ada yang bisa menghentikan niat baik, Janta. Apalagi jika dikerjakan bersama,” jawabnya.Raka melangkah ke pemanggangan rusa dan mengeluarkan serbuk bumbu khas rumah makan sekar kedaton kemudian mengaduknya di Loyang tanah, mencampurnya dengan

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 156

    Pagi itu salju tebal menutupi atap-atap genting merah desa kali bening, angin dari utara membawa kabar buruk ke Kali Bening. Sebuah surat resmi dari pejabat kecamatan Kemusuk dan kota madya utama tiba di balai desa.Raka membuka gulungan surat itu dengan tenang, dikelilingi para pengawal dan beberapa pemuka warga. Matanya menelusuri tulisan yang tercetak rapi, tapi isinya menyesakkan dada.“Mulai bulan ini, setiap usaha yang berjalan di wilayah Kali Bening dikenai sanksi administratif karena dianggap tidak sesuai jalur hukum wilayah kota madya, dan wajib membayar pajak tambahan sebesar tiga kali lipat dari ketentuan biasa.”Pandu mengumpat pelan. “Ini... ini tidak masuk akal, Tuan! Kita ini cuma desa!”Raka tetap tenang. Ia menggulung kembali surat itu dan meletakkannya di meja.“Kalau mereka ingin menjatuhkan kita dengan beban, maka kita tak perlu melawan beban itu… kita tinggal membuangnya.”Warga yang hadir saling berpandangan. Mereka berbicara dan mengeluarkan asap dari mulut mere

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 155

    Musim dingin menyelimuti tanah Surya Manggala. Salju tipis turun perlahan, menyelimuti atap rumah dan ranting-ranting pohon. Desa Kali Bening yang dahulu sunyi, kini menjadi bahan pembicaraan para pejabat di kota madya dan kecamatan Kemusuk.Di dalam sebuah pendopo bertiang kayu jati, Pejabat Kota Madya Utama, Tumenggung Wira Atmaka, menatap peta wilayah dengan wajah masam.“Kau tahu, sejak anak muda dari Kali Bening itu muncul... pendapatan dari kawasan selatan menyusut drastis,” gumamnya sambil menunjuk daerah yang dimaksud.Pejabat Kecamatan Kemusuk, Jagabaya Lodra, menyeringai sinis. “Bandit-bandit kita tak bisa lagi leluasa meminta ‘upeti jaga jalan’. Semua jalan dibersihkan oleh pasukan jaga desa.”Wira Atmaka mengangguk pelan. “Laporan terakhir menyebutkan, Kali Bening bahkan memiliki penjaga desa yang terlatih. Lengkap dengan aturan ronda dan pengawasan hasil bumi.”Lodra mencibir. “Apa yang bisa dilakukan pemuda kampung itu? Cuma karena ia bisa bela diri dan punya sedikit pas

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 154

    Sejak kembali dari kematian, Raka tak lagi sama.Ia bukan sekadar pemuda desa dari Kali Bening—namanya perlahan menjadi bisik-bisik di antara bangsawan dan prajurit. Banyak yang tak tahu persis apa yang terjadi selama ia "tidak bernyawa" itu. Namun setelah ia terbangun dari mati suri di pertapaan Gunung Kendalisada, mata Raka berubah. Tatapannya tajam, menyimpan ribuan rahasia dan seolah mampu menembus isi hati siapa pun yang berani menantangnya."Pemuda itu bukan Raka yang dulu," bisik Mahapatih Maheswara kepada Raja Mahesa Warman di balairung istana.“Sejak ia memgikuti ujian Kerajaan dan menjadi siswa terbaik dan memecahkan rekor 100 tahun milik raja angung raja manggala, aku sudah mendapat wirasat bahwa ia akan menjadi pemuda yang kuat.”Sang raja yang tengah menatap peta wilayah kerajaan hanya mengangguk pelan. "Aku tahu."Mahapatih menoleh, menatap mata pemimpinnya. "Tapi paduka belum tahu sepenuhnya seberapa jauh perbedaan itu."“Ia berkembang sangat cepat, bahkan desa kali beni

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status