Share

Bab 182

Penulis: Bhay Hamid
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-16 15:57:15

Musim salju telah benar-benar pergi. Tanah utara Kali Bening, yang semula keras membeku, kini mulai lunak. Es yang mencair membentuk aliran-aliran kecil di antara kebun dan ladang. Matahari muncul lebih lama, dan angin membawa aroma tanah basah yang menyimpan harapan.

Di lereng utara, Raka berdiri di atas batu besar. Di bawahnya, para petani dan kepala dusun berkumpul, menanti penjelasan. Di samping Raka, berdiri seorang lelaki tua kurus berkumis putih, membawa gulungan kain berisi gambar-gambar dan angka.

“Kalian lihat tanah itu?” ujar Raka sambil menunjuk ke hamparan tanah berundak.

“Lihat, lembut dan dalam. Tapi bila dibiarkan, air akan menyeret humusnya ke bawah. Kita butuh pola tanam baru. Ladang-ladang ini akan dibentuk berteras.”

“Teras?” tanya seorang petani bingung.

“Ya. Kita gali lajur-lajur mendatar seperti tangga. Air akan mengalir pelan, tidak langsung menghanyutkan. Dan setiap petak bisa ditanami berbeda,” ujar lelaki tua di samping Raka.

“Namanya Kira, ia datang dari ba
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 183

    Matahari masih miring ke timur saat Raka dan rombongannya tiba di batas hutan yang lebat. Kabut tipis menggantung di antara batang-batang kayu tua, tapi udara pagi membawa aroma rumput liar dan tanah lembab yang segar. Di depannya, terbentang sabana Boko—hamparan luas berumput tinggi yang tamKi seperti permadani hijau keemasan, bergelombang oleh hembusan angin pagi.“Tanah ini… belum terjamah siapa pun sejak zaman kakek buyut kita,” gumam Raka, menepuk leher kudanya.“Hanya suara burung dan jejak rusa yang menghuni sini,” ujar Karba, kepala regu pengawal yang menyertai Raka.“Lihatlah betapa luas dan datarnya sabana ini. Dataran yang baik, angin yang bersih, dan air yang mengalir dari kaki bukit. Tempat yang sempurna,” Raka memandang jauh sambil memejam sejenak, seolah melihat masa depan di balik gelombang rumput.Tak lama, sebuah keputusan dibuat. Raka memerintahkan pengukuran lahan dan pembangunan Kampung Boko, perkampungan baru untuk generasi muda. Ia ingin tempat ini dihuni oleh o

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 182

    Musim salju telah benar-benar pergi. Tanah utara Kali Bening, yang semula keras membeku, kini mulai lunak. Es yang mencair membentuk aliran-aliran kecil di antara kebun dan ladang. Matahari muncul lebih lama, dan angin membawa aroma tanah basah yang menyimpan harapan.Di lereng utara, Raka berdiri di atas batu besar. Di bawahnya, para petani dan kepala dusun berkumpul, menanti penjelasan. Di samping Raka, berdiri seorang lelaki tua kurus berkumis putih, membawa gulungan kain berisi gambar-gambar dan angka.“Kalian lihat tanah itu?” ujar Raka sambil menunjuk ke hamparan tanah berundak.“Lihat, lembut dan dalam. Tapi bila dibiarkan, air akan menyeret humusnya ke bawah. Kita butuh pola tanam baru. Ladang-ladang ini akan dibentuk berteras.”“Teras?” tanya seorang petani bingung.“Ya. Kita gali lajur-lajur mendatar seperti tangga. Air akan mengalir pelan, tidak langsung menghanyutkan. Dan setiap petak bisa ditanami berbeda,” ujar lelaki tua di samping Raka.“Namanya Kira, ia datang dari ba

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 181

    Salju mulai surut dari tembok-tembok batu yang mengelilingi wilayah Desa Kali Bening. Kabut dingin yang selama berminggu-minggu menyelimuti lembah kini perlahan menghilang, memperlihatkan atap-atap rumah dan menara penjaga yang kembali berasap. Asap dapur, asap bengkel pandai besi, dan api unggun para pekerja mulai menari di udara.Di pelataran barat benteng, beberapa pemuda terlihat memindahkan kayu-kayu basah. Sebagian yang tua menyalakan api, menghangatkan tangan sambil bercanda.“Musim dingin tahun ini seperti istri tua yang tak mau pergi,” celetuk Ki Janta, sambil menggosok-gosokkan telaKi tangan ke bara api.“Tapi dia selalu pergi juga, Ki. Meski dengan enggan,” sahut Jeren, pemuda yang baru pulang dari pelatihan jaga malam.“Dan selalu kembali setiap tahun, seperti utang yang tak lunas-lunas,” tambah Ki Janta, membuat tawa meledak dari para pekerja di sekitarnya.Kehidupan mulai bergerak lagi. Benteng yang sempat membeku kini bergema oleh langkah-langkah kaki, suara pedati, dan

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 180

    Musim dingin mulai melemah. Es di parit-parit pinggir ladang mulai mencair, dan kabut pagi tak lagi sepekat sebulan lalu. Namun, di balik ketenangan Kali Bening, sebuah kabar busuk berhembus dari arah selatan.Di ruang pertemuan Kecamatan Kemusuk, Aryo duduk dengan wajah masam. Di hadapannya, Anom—pamannya raka, yang kini menjadi Kepala Desa Petir—tampak gelisah, memutar-mutar cincin peraknya."Paman... empat tahun lalu aku sudah bilang, bunuh saja Raka itu ketika ia masih jadi bocah dungu. Sekarang? Lihat apa yang terjadi. Desa itu jadi wilayah otonom. Rakyatnya loyal. Perdagangannya jalan. Sementara kau?" Aryo menatap tajam. "Masih di tempat yang sama. Dan aku? Hanya pejabat kecil!"Anom mengerutkan dahi. "Jangan gegabah, Aryo. Raka bukan orang yang mudah dijatuhkan. Apalagi sekarang, Mahapatih Maheswara dan Raja Mahesa Warman sendiri tampak melindunginya."Aryo bangkit dari kursinya. "Kalau begitu kita tiupkan saja isu. Katakan saja ia bersiap mencaplok wilayah selatan Desa Petir.

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 179

    Malam menggantung di atas Istana Surya Manggala. Udara dingin menyusup lewat jendela batu yang terbuka setengah. Di sebuah ruang sempit di balik dapur istana, lima orang duduk melingkar tanpa lilin, hanya diterangi cahaya obor yang jauh dari jangkauan. Jubah mereka berwarna gelap, suara mereka hampir tak terdengar.Seorang pria tua dengan garis-garis wajah seperti tergores pisau berbisik, “Kali Bening makin kuat. Pajak mereka kecil, tapi untung mereka besar. Sementara kita di sini, mulai kekurangan pedagang dan pembeli.”Seorang yang lain mengangguk. “Raja Mahesa Warman membiarkan Raka tumbuh seperti tunas liar. Dan Mahapatih Mahesawara hanya memuji-muji desa itu seolah ia bagian dari darah birunya.”Pria ketiga, seorang bangsawan dari wilayah utara yang dulunya punya ladang garam luas, menepuk lututnya dengan gusar. “Kita kirim orang. Diam-diam. Bukan atas nama kerajaan. Kita awasi desa itu dari dalam. Kalau perlu, kita tanam orang di sana. Buat keributan. Buat Raka lengah.”“Sudah k

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 178

    Embun es masih menggumpal di atas rerumputan pagi itu ketika kereta kayu melintas di jalan utama Kali Bening. Di kiri-kanannya, barisan toko dan gudang mulai buka lebih awal dari biasanya. Tak hanya menjual bahan makanan dan pakaian musim dingin, tetapi kini juga ada tempat penukaran garam, pengrajin besi ringan, bahkan penjual minyak tanah dari biji nyamplung.“Kau lihat itu?” tanya Darwan, pengurus logistik desa, pada seorang pedagang baru. “Dua tahun lalu, tempat ini cuma ladang kosong dan rumah reyot.”Pedagang itu tersenyum. “Tak kusangka, aku datang hanya untuk mencari pekerjaan di pabrik arang, tapi mungkin aku tinggal selamanya di sini.”Memang tak sedikit warga dari desa-desa kecil dan wilayah utara yang datang ke Kali Bening. Sebagian mencari pekerjaan. Sebagian lagi sekadar ingin hidup lebih tenang dari pajak tinggi kota madya.Jumlah penduduk bertambah cepat. Rumah-rumah yang dibangun dua tahun lalu kini padat penghuninya. Beberapa kepala keluarga bahkan mulai tidur di kan

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 177

    Surat berstempel segel emas tiba di Balai Utama Desa Kali Bening, pagi-pagi sekali, saat embun masih menggantung di atap jerami dan asap tipis mengepul dari tungku warga. Diantarkan oleh utusan istana sendiri, dikawal dua pasukan berkuda, lengkap dengan pakaian tebal dan lambang Surya Manggala di dada.Raka membaca isi surat itu dengan diam. Namun saat matanya sampai pada kalimat terakhir, ia menarik napas dalam dan mengangguk perlahan.“Apa itu kabar buruk?” tanya Kades Cakra yang berdiri di sampingnya, setengah curiga melihat wajah Raka yang tak berekspresi.Raka menoleh, dan perlahan mengangkat surat itu.“Bukan. Ini pengakuan.”Beberapa jam kemudian, seluruh tokoh penting desa dikumpulkan di balai utama. Dari penjaga gerbang, kepala kelompok tani, pengurus penggilingan, hingga tetua adat hadir duduk bersila di ruang utama, menanti penjelasan dari sang pemimpin mereka.Raka berdiri tegak di tengah ruangan, surat itu kini sudah ditaruh di meja batu. Suaranya tenang, namun terdengar

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 176

    Musim dingin belum usai benar, tapi sinar matahari mulai lebih rajin menyentuh atap-atap rumah. Salju memang masih menutupi tanah, tapi setidaknya badai besar telah berlalu. Warga mulai keluar rumah lebih sering. Namun, begitu satu masalah pergi, masalah lain muncul.Sore itu, seorang ibu datang terburu-buru ke balai desa. Nafasnya terengah, pipinya memerah karena dingin.“Tuan Raka… maaf. Aku tidak tahu ke mana lagi harus mencari. Anak-anak kami belum makan sejak kemarin.”Raka menoleh, wajahnya tak berubah tapi sorot matanya langsung waspada. Ia memanggil dua pejabat desa yang ada di dalam balai.“Rupa, Togan. Segera buka gudang bagian timur. Gandum cadangan mulai dibagikan. Jangan tanya-tanya berapa jatahnya, cukup pastikan semua rumah mendapat bagian.”Rupa mengangguk, cepat dan tegas. “Akan segera kami jalankan.”“Dan satu lagi,” tambah Raka. “Jangan buat antrean panjang di depan gudang. Kita antar langsung ke rumah mereka. Gunakan kereta kuda dan bagikan diam-diam kalau bisa.”S

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 175

    Kabut pagi masih menggantung di ladang ketika sebuah kabar besar menyebar dari balai utama hingga ke sudut-sudut warung dan rumah: Desa Kali Bening kini resmi diakui sebagai desa mandiri. Tak lagi sekadar wilayah kecil di ujung timur Surya Manggala, kini Kali Bening berdiri sebagai entitas utuh, memiliki hak mengatur urusan dalam negerinya sendiri.Tentu, berita itu disambut gegap gempita oleh warga. Tapi di dalam Istana Surya Manggala, keheningan justru menyelimuti ruang pertemuan.“Raka... menolak jabatan komandan?” tanya Patih Jandra dengan suara tak percaya.“Benar, Patih,” jawab utusan kerajaan yang baru kembali dari Kali Bening. “Titah sudah dibacakan, penghargaan sudah disampaikan. Tapi ia tetap menolak jabatan itu.”“Padahal jika ia setuju, ia akan menjadi komandan semua desa bawahan Surya Manggala…” gumam salah satu bangsawan, “Apa yang sebenarnya dia inginkan?”“Semu aini benar seperti yang di sampaikan mahapatih maheswara, raka akan teguh pendiriannya tetap memilik mengabdi

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status