Share

Bab 218

Author: Bhay Hamid
last update Last Updated: 2025-05-31 16:33:25

Suara lonceng kayu bergema dari menara sekolah Giri Amerta, menggema lembut ke seluruh penjuru Kali Bening. Hari baru dimulai. Debu tanah terangkat pelan oleh langkah kaki ratusan pelajar yang datang dari arah barat, utara, bahkan sejauh perbatasan timur Kerajaan Surya Manggala.

Di bawah beringin besar, dua orang tua sedang duduk memperhatikan rombongan anak-anak muda yang datang berbaris rapi, membawa tas anyaman dan gulungan lontar. Salah satunya, Ki Tarang, tukang kayu tua dari Desa Ketangi, menggeleng pelan.

“Lihatlah, Nyi. Dulu jalan ini cuma dilewati petani dan pedagang garam. Sekarang, langkah-langkah muda dari segala penjuru datang hendak berguru.”

Nyi Sampar, istrinya, menyahut sambil menepuk lutut. “Berkat Lurah Raka. Tapi jangan sebut dia Lurah saja, Ki. Di pasar orang-orang menyebutnya Cendekiawan Besar dari Kali Bening.”

Ki Tarang terkekeh. “Kalau begitu, nanti kita lihat, siapa duluan jadi cendekiawan, cucu kita atau anak bupati dari Kadipaten Kemuning yang katanya baru
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 223

    Malam itu, angin dari timur membawa hawa lembab yang menusuk tulang. Di bawah langit tanpa bulan, dua sosok berjubah gelap menyusup melewati rimbunnya hutan Kosambi yang membentang di perbatasan Giri Amerta. Langkah mereka ringan, seperti bayangan yang tak ingin diketahui keberadaannya. Keduanya adalah mata-mata yang dikirim oleh Ki Aryo dan Ki Anom, dua bangsawan istana lama yang hatinya semakin panas menyaksikan kejayaan Giri Amerta di bawah kepemimpinan Raka.“Ki Baja, kita tak boleh terlalu lama di sini. Pengawal mereka bukan orang sembarangan,” bisik salah satu dari mereka, Ki Sura, sambil mengamati dinding kota dari balik rerimbunan.“Tenang, Ki. Kita harus membawa kabar yang bisa mengguncang meja-meja rapat mereka,” jawab Ki Baja, sembari menajamkan penglihatan ke arah meBaja pengawas yang berdiri gagah di kejauhan.Dari tempat tersembunyi itu, mereka mencatat dengan mata kepala sendiri—penjagaan di Giri Amerta bukan sekadar formalitas. Di setiap penjuru tampak prajurit bersenj

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 222

    Langit di atas Istana Surya Manggala dipenuhi mendung, seakan mencerminkan suasana hati para pembesar kerajaan yang tengah bersidang di Balairung Agung. Ruangan megah dengan tiang-tiang batu hitam itu dipenuhi oleh suara-suara tinggi yang saling bersahutan.Di antara kerumunan, berdirilah seorang lelaki paruh baya, mengenakan jubah panjang warna coklat tua dengan ikat kepala perak berukir lambang Kadipaten Kemusuk. Dialah Aryo, pejabat tinggi dari selatan barat kerajaan."Paduka Raja dan para sesepuh yang mulia," ucap Aryo lantang setelah diminta bicara, "telah tiba masanya kita waspada terhadap geliat Giri Amerta. Daerah itu telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi baru yang... jika dibiarkan, bisa mencederai kewibawaan pusat!"Beberapa pejabat menoleh, saling pandang. Di sisi kanan ruangan, Ki Jumanta, penasihat istana berambut putih yang dikenal kalem, mengelus jenggotnya. Sedangkan Ki Brama, pengurus urusan kas kerajaan, tampak mengernyitkan dahi.Nyi Ratri, satu-satunya pejabat wa

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 221

    Di balairung Kadipaten Kemusuk yang bergemuruh oleh teriakan prajurit berlatih, Adipati Wiryo duduk di singgasananya dengan wajah tegang. Surat yang baru saja dibacanya telah membuat darahnya mendidih. Surat itu datang dari Ki Aryo, pejabat utusannya yang mengawasi perkembangan di Giri Amerta.“Raka telah mendirikan dewan kota dan membentuk pemerintahan sendiri. Ia mengangkat lima belas pejabat muda dan kini memerintah layaknya raja kecil. Pengaruhnya menyebar cepat ke wilayah sekitar.”Adipati Wiryo mengepal tangannya.“Anak muda itu sudah melampaui batas. Hari ini membentuk kota, besok bisa-bisa memproklamirkan kerajaan sendiri!”Ki Sontro, panglima Kadipaten Kemusuk, melangkah maju dengan kepala tertunduk.“Titah, Adipati?”“Kumpulkan lima kompi pasukan. Kita siagakan di perbatasan selatan. Biar si Raka tahu, langit Kemusuk belum runtuh!”Sementara itu, di Kota Giri Amerta, langit pagi berselimut awan tipis. Raka dan Cakra berdiri di atas menara batu benteng barat. Mata mereka meny

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 220

    Pagi itu, angin semilir meniupkan harum bunga kosambi yang sedang mekar di pekarangan Balai Kota. Di alun-alun Giri Amerta, ratusan penduduk berkumpul dalam lingkaran besar. Hari ini adalah hari yang telah lama dinanti hari di mana Raka akan mengumumkan struktur pemerintahan Kota Giri Amerta.Langkah kaki pemuda-pemuda terdengar dari arah selatan balai. Lima belas anak muda mengenakan pakaian sederhana berwarna tanah dan ikat kepala berwarna biru tua. Mereka bukan bangsawan, bukan keturunan priyayi, tetapi pemuda cerdas dari ladang, sungai, sekolah, dan bengkel kayu. Di tangan mereka, masa depan kota diletakkan.Cakra mendampingi raka di belakangnya dan membawa sebuah gulungan nama-nama yang telah mereka sepakati berdua dan mendapat dukungan langsung dari para warga yang memilih mereka di setiap dusun.Raka berdiri di panggung kayu sederhana. Di sisi kirinya, Cakra berdiri tenang. Di sisi kanan, dua bendera—bendera Giri Amerta dan lambang baru sebuah penyu dengan dua batang padi bersi

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 219

    Giri Amerta berwarna biru pucat. Embun masih menggantung di pucuk-pucuk rumput saat ratusan warga mulai memenuhi pelataran Balai Kota yang baru saja selesai dibangun. Balai megah itu berdiri di antara dua desa Kali Bening dan Anggur dengan menara kecil yang memayungi dua bendera lambang pohon beringin dari Kali Bening dan lambang matahari dari Desa Anggur.Hari itu, sebuah rapat akbar digelar. Bukan sekadar musyawarah biasa, melainkan penentuan arah baru dua desa di bawah satu kepemimpinan Kota Giri Amerta.Di dalam balai, para sesepuh dan tokoh desa duduk berjajar. Di barisan depan, Kades Cakra dari Desa Anggur tampak anggun dengan jubah biru tua, duduk berdampingan dengan Raka yang mengenakan pakaian sederhana berwarna tanah, namun dengan sorot mata yang kuat dan tenang.Ki Galendra, juru bicara dari pihak rakyat, berdiri lebih dulu. Suaranya lantang dan menggema.“Wahai hadirin, hari ini sejarah tengah ditulis. Dua desa yang dahulu hanya dihubungkan oleh jalan tanah, kini hendak di

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 218

    Suara lonceng kayu bergema dari menara sekolah Giri Amerta, menggema lembut ke seluruh penjuru Kali Bening. Hari baru dimulai. Debu tanah terangkat pelan oleh langkah kaki ratusan pelajar yang datang dari arah barat, utara, bahkan sejauh perbatasan timur Kerajaan Surya Manggala.Di bawah beringin besar, dua orang tua sedang duduk memperhatikan rombongan anak-anak muda yang datang berbaris rapi, membawa tas anyaman dan gulungan lontar. Salah satunya, Ki Tarang, tukang kayu tua dari Desa Ketangi, menggeleng pelan.“Lihatlah, Nyi. Dulu jalan ini cuma dilewati petani dan pedagang garam. Sekarang, langkah-langkah muda dari segala penjuru datang hendak berguru.”Nyi Sampar, istrinya, menyahut sambil menepuk lutut. “Berkat Lurah Raka. Tapi jangan sebut dia Lurah saja, Ki. Di pasar orang-orang menyebutnya Cendekiawan Besar dari Kali Bening.”Ki Tarang terkekeh. “Kalau begitu, nanti kita lihat, siapa duluan jadi cendekiawan, cucu kita atau anak bupati dari Kadipaten Kemuning yang katanya baru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status