Aku tak menyangka akan seburuk ini. Jika ada yang salah dalam langkahku. Aku mohon maafkan. Ini sudah jadi jalanku. Tak tahu apa harus diteruskan. Apa harus kuhentikan langkahku ini?
"Tidak malu kamu?""Apa sih, Bu?""Tetangga mengira kamu radikal. Senang kamu dibilang teroris?""Memang salahku apa? Aku juga yang pakai. Sama sekali aku tak mencelakai orang. Aku pakai cadar untukku.""Kamu tidak lihat di berita. Ramai tentang teroris.""Itu hanya oknum. Mereka hanya sebagian aliran sesat. Tidak semuanya begitu!""Ibu malu kalau jalan sama kamu.""Kalau Ibu malu, ya sudah. Aku juga tidak ada merugikan orang.""Sebaiknya kamu pikir lagi kalau mau pakai.""Astaghfirullah."Dia ibu tiriku. Aku sudah dari kecil diasuh olehnya. Ayahku saat ini bekerja dinas ke luar kota.***Ini sekelumit kisah ku di masa lalu. Aku hidup bersama ibu tiri. Ibu tiriku yang mengatur semuanya. Uang sekolah pun, ia yang pegang. Sehingga untuk keperluanku, selalu minta padanya. Aku meminta uang kiriman ayah padanya. Ia hanya berikan sekedarnya. Pernah diberikannya tak cukup sama sekali. Terpaksa aku mengirit dan memakai keperluanku seadanya. Bahkan, untuk membeli pembalut aku harus bilang. Tak segampang itu mendapatkan hati ibu tiriku.Pernah satu waktu kutelepon ayah. Aku minta dikirimkan saja uangnya. Sehingga aku membuat ATM sendiri agar bisa ditransfer. Saat itu aku baru lulus sekolah. KTP pun aku baru buat."Ayah, kirimkan saja aku uang. Sekarang aku sudah punya ATM.""Yah, kirimkan rekeningmu. Memang kenapa dengan ibu? Bukannya ayah sudah titip ke dia?""Aku segan minta padanya. Ia sering sibuk dengan usaha katering. Bagian untukku ayah kirimkan saja lewat ATM!""Ya. Sudah dulu Ayah mau kerja.""Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Akhirnya aku minta pada ayah. Aku mengatakan semuanya. Syukurlah ayah mau mengirimkannya. Ayah memang sering dinas keluar kota. Dia adalah seorang pegawai negeri. Namun tempatnya bekerja, jauh dari tempat tinggal. Jadi aku harus hidup dengan ibu tiri. Ayah dan ibu tiriku tidak mempunyai anak. Mereka hanya punya aku semata wayang. Ibu kandungku sudah 16 tahun meninggal. Ia meninggal karena sakit leukemia. Saat aku usia dua tahun, ia meninggal.Sebagai muslimah, aku selalu menjalankan ibadah. Namun, aku belum mengenakan hijab. Aku salat, belum mengenakan hijab. Layaknya identitasku sebagai seorang muslimah tak terlihat. Setiap kali aku memasuki mesjid untuk salat. Tapi, aku tak kenakan kerudung. Orang-orang yang berkerudung heran melihatku. Temanku yang berhijab tak masalah. Mereka mengharapkan aku berhijab. Aku harus memantapkan hati untuk berhijab."Tazkiyah kamu sangat cantik." Puji temanku saat kami bercermin.Aku menyisir rambutku yang terurai panjang. Rambutku sedikit ikal, selalu kurapikan."Makasih, Dhea. Kamu juga cantik. Wanita soleha, hehe.""Kalau kamu pakai hijab. Aku yakin kamu tambah cantik.""Yah, do'akan aku dapat hidayah. Biar aku jadi muslimah yang seutuhnya.""Amin."***Aku baru saja mendaftar di universitas. Ayah menyuruhku mengambil jurusan ekonomi. Ia ingin aku melanjutkan seperti dia. Sebenarnya aku sangat ingin mengambil jurusan Bahasa asing. Tapi, ayah ingin yang berbeda.Setelah selesai dari kampus, aku pulang. Aku belum bisa menggunakan kendaraan. Sehingga ayah belum membelikanku kendaraan. Jadi untuk sementara, aku pergi menggunakan bis kota. Kadang Dhea mengantarkanku ke rumah. Ia sekalian main ke rumahku.Hari ini aku naik bis kota. Setelah sampai, aku menyusuri jalan ke rumah. Akhirnya aku tiba di depan rumah. Aku langsung membuka pintu pagar. Kulihat ibu tiriku sudah pulang. Tampaknya ia tak terlalu sibuk hari ini."Assalamu'alaikum!"Tak ada jawaban, mungkin ibu tiriku sedang sibuk. Pintu rumah tak terkunci. Tapi ada bi Kusma di rumah. Ia pembantu di rumah. Sejak aku kecil, ia sudah bekerja disini."Hei!""Ibu."Tiba-tiba ibu tiriku menegurku. Mukanya tampak sangat masam. Aku tak tahu apa yang terjadi? Namun aku tetap menyalaminya."Assalamu'alaikum, Bu.""Wa'alaikumsalam. Kamu itu tukang ngadu yah!""Ada apa, Bu?""Pura-pura gak tahu lagi. Kamu ngadu soal keuangan yah. Bilang gak dapat jatah. Padahal kukasih terus kamu uang. Sampai jatahku saja seharusnya lebih, jadi dikit. Semua gara-gara kamu!""Maaf, Bu. Aku hanya butuh uang banyak. Apalagi aku harus daftar kuliah. Uang dari Ibu kurang.""Pantas saja kamu jarang minta uang. Rupanya diam-diam kamu minta!""Tapi aku memang butuh, Bu.""Sudahlah. Mulai sekarang, kamu jangan minta transfer lagi. Biar aku saja yang kasih!""Tapi Bu..""Gak usah membantah. Jadi anak itu yang nurut. Usaha kateringku jadi terhambat gara-gara kamu!""Yah, Bu."Aku merasa cobaanku kian berat. Mungkinkah karena ibadahku yang kurang. Ujian datang silih berganti. Seandainya kukenakan hijab, akankah merubah semua?Tuhan tolong aku. Aku percaya engkau akan memberikan hidayah padaku. Akan kututup diri ini. Semoga jalan ini sebenarnya untukku berubah. Aku akan hijrah. Merubah penampilanku. Kalau tidak salah, dulu ibuku berkerudung. Mendiang ibu kandungku banyak jilbab. Tapi aku tak tahu dimana simpanannya. Lebih baik kutanyakan bi Kusma. Ia sudah lama bekerja disini. Sebelum aku lahir, ia sudah bekerja disini."Bi!""Yah ada apa, Neng?"Aku hendak menanyakan hijab dengannya. Semoga ada untukku kenakan.Aku sangat ingin berhijab. Lalu, kucoba mencari bekas kerudung ibuku dulu. Bibi Kusma memberitahu tempat menyimpannya. Hijabnya tersimpan rapi dalam lemari. Namun lemari itu sudah berdebu."Ini hijabnya, Neng. Sebenarnya hijab bu Aliana banyak. Tapi ini sudah sedikit berkurang.""Kenapa Bi? Rusak terus dibuang yah?""Gak.""Dikasih buat keluarganya, dibawa nenek?""Bukan. Semua barang bu Aliana tersimpan rapi. Semua barangnya yang bagus, diambil bu Rafika."Aku terkejut mendengar pernyataan bibi Kusma. Rupanya ibu tiriku mengambil barang ibu. Seharusnya itu jadi milikku. Mungkin diambilnya karena aku masih kecil. Menurutnya aku tak bisa pakai. Namun sekarang aku sudah besar. Alangkah baiknya ibu tiriku memberikannya. Akhirnya kuambil semua yang masih layak pakai. Meskipun modelnya sudah jadul. Aku sangat bahagia bisa pakai barang ibuku. Lalu kucoba kenakan kerudungnya. Aku merasa sangat nyaman. Seolah ibuku ada bersamaku saat ini."Cantik Neng Tazkiyah!" Puji Bibi Kusma padaku."Makasi, Bi.""Neng Kiah mirip sekali dengan bu Aliana. Wajahnya putih bersih. Pakai kerudung jadi tambah berseri.""Aku benar mirip ibu yah, Bi?""Iya, mirip sekali Neng."Mendengar bibi Kusma bicara, aku terharu. Rasa rinduku semakin bertambah pada ibu. Dalam benakku berkata, "aku akan sepertimu ibu. Engkau perempuan soleha. Kau selalu kudo'akan."Kemudian aku melipat semuanya. Lalu kubawa keluar. Aku hendak mencucinya."Sini biar Bibi bantu, Neng. Nanti sekalian Bibi cucikan, yah.""Gak usah, Bi. Biar aku saja!""Loh kenapa?""Ini baju peninggalan ibu. Aku ingin mencuci pakaiannya. Sekalipun aku belum pernah berbakti padanya.""Neng Kiah sabar yah. Ibu Neng Kiah sudah merasa bahagia. Dia bahagia karena bisa melahirkan Neng Kiah. Menurutnya, Neng adalah anugerah terindah yang Allah berikan.""Makasih, Bi sudah mengingatkanku tentang ibu.""Yah, Neng."Aku tambah terharu mendengar bibi Kusma bicara. Ternyata ibuku adalah wanita terbaik. Aku semakin ingin berjuang bertemu ibu. Semoga kelak, aku bertemu dengannya di Jannah.Pagi ini, aku bersiap untuk ke kampus. Hari ini tak seperti biasanya. Aku memilih pakaian yang akan kukenakan. Aku berencana untuk mengenakan hijab. Bismillah, akan kukenakan hijab ini. Semoga nanti menjadi jalanku membuka hidayah. Saat kukenakan, sangat terasa nyaman. Aku merasa jauh lebih baik.Setelah selesai, aku bergegas turun. Ketika hendak sarapan, aku terkejut. Ada seorang lelaki yang duduk disana. Aku tak mengenalinya. Lalu kutanyakan pada bi Kusma. "Bi, itu siapa yang duduk di kursi makan?""Keponakannya bu Rafika, Neng.""Kok aku baru lihat.""Dia keponakannya dari jauh. Orang dari kampung, memang belum pernah kesini.""Namanya siapa?""Namanya Zaky, Neng.""Zaky?""Iya.""Neng sudah mulai pakai hijab yah?""Iya, Bi.""Alhamdulillah. Semoga istiqomah yah, Neng.""Amin."Aku perlahan menghampiri meja makan. Lalu, lelaki itu menoleh ke arahku. Ia melihatku dengan tatapan aneh. Aku merasa takut ketika ia menatapku. Nakal sekali tatapannya. Badannya penuh dengan tato. Ia juga
Saat malam, aku tak dapat tidur. Aku keluar kamar ingin nonton televisi. Barangkali saja aku bisa mengantuk. Tanpa sadar, aku lupa sesuatu. Saat ini di rumah ada Zaky. Ketika menonton, aku malah tertidur. Televisi masih menyala. Aku tertidur pulas di sofa. Paginya aku terbangun. Tiba-tiba posisiku sudah berubah. Aku terbaring di sofa. Padahal tadi aku duduk. Tanpa sadar, waktu menjelang subuh. Aku beranjak dari sofa. Alangkah kagetnya aku. Ketika bangkit, kulihat Zaky di sampingku. "Aaaaaa!!!""Ada apa?" Tanya Zaky kaget.Aku teriak saat melihatnya. Zaky langsung terbangun. Aku tadi setengah sadar. Kemudian aku kembali mengingat lagi. "Zaky, apa yang kamu lakukan?""Tidur.""Yah aku tahu, kenapa kamu disini?""Aku tadi keluar kamar. Kudengar ada suara. Rupanya kamu menonton televisi. Kulihat kamu malah tidur. Jadi kumatikan saja.""Setelah itu, apa yang kau lakukan?"Aku bertanya dengannya sambil emosi. Dia tidur tepat di sampingku. Jangan sampai ia sudah berlaku aneh. Aku tak mau
"Gak disuruh masuk pacarmu yang kucel itu?" "Ibu apaan sih? Tolong jangan hina dia!"Aku tak sangka ayahku telah pulang. Aku langsung menghampiri dan menyalaminya."Assalamu'alaikum, Ayah." Salamku sambil menciumi tangannya."Wa'alaikumsalam. Siapa yang antar tadi?" Tanya Ayah."Itu loh, pacar kesayangannya Tazkiyah. Salamnya cuma Ayah saja. Ibu tirimu ini gak disalamin?" Singgung Ibu tiriku."Assalamu'alaikum, Bu." Ucapku sambil menyalami tangannya."Wa'alaikumsalam. Nah gitu dong! Itu baru anak Soleha. Sudah pakai jilbab. Akhlaknya harus baik dong. Ingat pacarannya hati-hati yah. Jangan berlebihan. Apalagi sering pulang malam." Kata Ibu tiriku. Aku sangat dongkol mendengarnya. Tak habis-habisnya dia menyindirku terus. Sengaja agar aku semakin tersudut. Dia ingin aku diperingatkan ayah."Benar kata Ibumu, Tazkiyah?""Aku pulang malam karena ada tugas kuliah.""Kamu pernah loh gak pulang sama sekali! Besoknya baru pulang.""Tazkiyah, jawab dengan jujur! Ayah sudah titipkan kamu sama
Rencana memang tak sesuai harapan. Aku sudah berusaha mencari. Nyatanya tak kudapatkan. Mungkin Allah belum memberikanku jalan. Apa niatku salah terlalu memikirkan jodoh?Mungkin ini peringatan dari Allah. Aku harus ikhlas menuntut ilmu. Bukan untuk meredam hawa nafsu. Menjadikan semua ini pelampiasan. Keinginan untuk mencari jodoh. Hingga kuputuskan mencari lewat biro ta'aruf. Aku selalu berdoa di sepertiga malam. Semoga mendapatkan imam yang rajin salat. Hanya itulah impianku. Jika salat tak ditinggalkan, ia takkan meninggalkanku. Aku tak mau mengalami luka yang sama. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Hatiku terenyuh, saat bekernalan. Pertama kalin aku mengenalinya. Ia yang pertama mengajakku berkenalan. Kutatap kedua bola matanya yang bening. Postur tubuhnya yang menawan. Kesannya begitu sangat berkarisma."Perkenalkan, Nama saya Tazkiyah." "Nama saya Hakim. Senang berkenalan denganmu.""Saya niat ikut ajang ini untuk ta'aruf.""Kapan bisa bertemu?""Terserah kapan bisa. Kam
Ketika waktu senggang, aku berencana mengutarakannya. Sengaja kuutarakan saat mas Hakim tenang. Kulihat ia sedang tidak ada beban. Jika pikirannya tenang, aku bisa bicara. Mas Hakim tampak sangat bahagia. Aku tak tahu apa yang membuat ia senang. Ia sedang bermain ponsel. Tampak serius sekali dan kadang tersenyum. Kutunggu ia selesai mengetik ponselnya. Lalu kudekati ia. Bismillah, coba kuutarakan hasrat ini."Mas Hakim." Sapaku."Yah?""Aku mau bicara sama Mas." Kucoba berkata dengan nada lembut. Supaya ia tidak marah. Aku perlahan ingin melunakkan hatinya. Maka kubuat ia sedikit nyaman denganku. Sebelumnya kusuguhkan ia kopi jahe kesukaannya."Ini aku buatkan kopi. Mas minum dulu!" Ujarku seraya tersenyum. "Yah, terima kasih."Mas Hakim usai juga minum kopi. Aku langsung mengatakannya. Keinginanku yang ingin bercadar. "Mas. Aku boleh tidak menutup diriku lagi?" Tanyaku."Menutup apa?""Ada hubungannya dengan penampilan."Aku berkata sangat ragu. Perasaan ini sangat takut. Tak ingi
Hampir sering aku bercadar. Sangat nyaman memakainya. Aku sampai tak ingin berhenti. Hasrat ini ingin terus tetap bertahan. Hingga pada akhirnya, aku terlena. Tanpa kusadari, mas Hakim mengetahuinya. Lambat laun sesuatu yang ditutupi akan terbuka."Kau pakai cadar?"Aku saat di rumah terkaget. Ketika ia pulang, tiba-tiba bicara demikian. "Apa Mas?""Aku melihatmu dengan Rumaisya tadi siang.""Mas tahu darimana itu kami?""Jelas-jelas dia bawa anaknya.""Mas lihat kami. Benar yang dilihat itu Fatih?""Iya. Fatih dan Rumaisya. Juga termasuk kamu. Kau pakai cadar juga?""Aku tak pernah minta uang buat beli cadar. Mas tahu pengeluaranku kan? Uang yang Mas beri juga..""Hey, aku tanya kau pakai cadar gak?""Iya, Mas. Itu aku."Rasa menyesalku tak jujur pada mas Hakim. Ia sangat marah padaku. Aku pun menangis."Kamu harus tahu. Aku tak suka kamu tanpa seizinku. Seenaknya pakai cadar!""Maaf, Mas."Aku memegang tangan mas Hakim. Ia langsung menangkisnya."Sudahlah! Capek aku dengar alasanmu
Aku berencana untuk ikut pengajian. Kebetulan di grup sedang ada jadwal kajian. Aku mengirim chat pada mbak Rumaisya. Jadi nanti bisa ketemu di mesjid. Setelah mempersiapkan diri, aku telah siap untuk pergi. Terpaksa sebelum pergi, kukenakan jaket. Ini kulakukan untuk menutupi jilbab besarku. Aku juga sudah mengirim chat pada mas Hakim. Sebelum pergi, aku menanti balasan darinya. Aku memutuskan meneleponnya karena terlalu lama. Mas Hakim tak mengangkatnya. Tak lama, ia mengirimkanku chat. Ia mengizinkanku pergi. Sebelum pergi, aku pamit pada mertuaku.Aku naik angkot saat pergi.Ketika pulang, mbak Rumaisya mengantarku. Ia sekalian ingin tahu rumah mertuaku. "Mampir dulu, Mbak Rum!" Ajakku."Kapan-kapan aja.""Ya.""Mbak pulang dulu yah.""Ya, hati-hati, Mbak. Makasih sudah anter!""Yah, sama-sama. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku masuk ke dalam rumah. Hari sudah hampir maghrib. Mas Hakim juga sudah pulang. Kukenakan kembali jaket untuk menutupi. "Sudah pulang kamu?" "Yah,
Di rumah, aku menghabiskan waktu sendiri. Aku tak mau jadi keluhan orang. Kegiatanku hanya berdiam diri di rumah. Apalagi mbak Namira akan mengiraku hanya makan tidur saja. Kuputuskan untuk mencari pekerjaan. Sebelumnya aku sudah minta izin pada mas Hakim. Ia mengantarku ke tempat lowongan kerja. Setelah interview, aku pulang. Aku sendirian menyusuri jalan pulang. Ketika menanti bis di halte, ada yang kukenal. Namun, wajahnya tak begitu kuingat. Lalu, aku ke arah orang itu. "Zaky ya?"Orang itu tak mempedulikan panggilanku. Kemudian aku berjalan ke arahnya. Dia sedang duduk di pinggir trotoar. Sambil mendengar earphone yang dikenakannya. "Zaky!"Suaraku terdengar keras. Ia menoleh ke arahku. Kemudian ia menatapku. Seolah ia ingin mengingatku kembali. "Ya?" Ia pun melepas earphone dari telinganya. "Kau masih ingat aku?""Kamu.. Tazkiyah!""Zaky. Aku tak menyangka ini kamu. Ternyata penampilanmu banyak berubah.""Apa yang berubah, aku tetap sama.""Pakaian dan rambutmu sangat rapi