Share

Hijrah yang Tak Kau Hargai
Hijrah yang Tak Kau Hargai
Author: Alshrye

Bab 1 Niat hati

Author: Alshrye
last update Last Updated: 2023-10-21 11:14:55

Aku tak menyangka akan seburuk ini. Jika ada yang salah dalam langkahku. Aku mohon maafkan. Ini sudah jadi jalanku. Tak tahu apa harus diteruskan. Apa harus kuhentikan langkahku ini?

"Tidak malu kamu?"

"Apa sih, Bu?"

"Tetangga mengira kamu radikal. Senang kamu dibilang teroris?"

"Memang salahku apa? Aku juga yang pakai. Sama sekali aku tak mencelakai orang. Aku pakai cadar untukku."

"Kamu tidak lihat di berita. Ramai tentang teroris."

"Itu hanya oknum. Mereka hanya sebagian aliran sesat. Tidak semuanya begitu!"

"Ibu malu kalau jalan sama kamu."

"Kalau Ibu malu, ya sudah. Aku juga tidak ada merugikan orang."

"Sebaiknya kamu pikir lagi kalau mau pakai."

"Astaghfirullah."

Dia ibu tiriku. Aku sudah dari kecil diasuh olehnya. Ayahku saat ini bekerja dinas ke luar kota.

***

Ini sekelumit kisah ku di masa lalu. Aku hidup bersama ibu tiri. Ibu tiriku yang mengatur semuanya. Uang sekolah pun, ia yang pegang. Sehingga untuk keperluanku, selalu minta padanya. Aku meminta uang kiriman ayah padanya. Ia hanya berikan sekedarnya. Pernah diberikannya tak cukup sama sekali. Terpaksa aku mengirit dan memakai keperluanku seadanya. Bahkan, untuk membeli pembalut aku harus bilang. Tak segampang itu mendapatkan hati ibu tiriku.

Pernah satu waktu kutelepon ayah. Aku minta dikirimkan saja uangnya. Sehingga aku membuat ATM sendiri agar bisa ditransfer. Saat itu aku baru lulus sekolah. KTP pun aku baru buat.

"Ayah, kirimkan saja aku uang. Sekarang aku sudah punya ATM."

"Yah, kirimkan rekeningmu. Memang kenapa dengan ibu? Bukannya ayah sudah titip ke dia?"

"Aku segan minta padanya. Ia sering sibuk dengan usaha katering. Bagian untukku ayah kirimkan saja lewat ATM!"

"Ya. Sudah dulu Ayah mau kerja."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Akhirnya aku minta pada ayah. Aku mengatakan semuanya. Syukurlah ayah mau mengirimkannya. Ayah memang sering dinas keluar kota. Dia adalah seorang pegawai negeri. Namun tempatnya bekerja, jauh dari tempat tinggal. Jadi aku harus hidup dengan ibu tiri. Ayah dan ibu tiriku tidak mempunyai anak. Mereka hanya punya aku semata wayang. Ibu kandungku sudah 16 tahun meninggal. Ia meninggal karena sakit leukemia. Saat aku usia dua tahun, ia meninggal.

Sebagai muslimah, aku selalu menjalankan ibadah. Namun, aku belum mengenakan hijab. Aku salat, belum mengenakan hijab. Layaknya identitasku sebagai seorang muslimah tak terlihat. Setiap kali aku memasuki mesjid untuk salat. Tapi, aku tak kenakan kerudung. Orang-orang yang berkerudung heran melihatku. Temanku yang berhijab tak masalah. Mereka mengharapkan aku berhijab. Aku harus memantapkan hati untuk berhijab.

"Tazkiyah kamu sangat cantik." Puji temanku saat kami bercermin.

Aku menyisir rambutku yang terurai panjang. Rambutku sedikit ikal, selalu kurapikan.

"Makasih, Dhea. Kamu juga cantik. Wanita soleha, hehe."

"Kalau kamu pakai hijab. Aku yakin kamu tambah cantik."

"Yah, do'akan aku dapat hidayah. Biar aku jadi muslimah yang seutuhnya."

"Amin."

***

Aku baru saja mendaftar di universitas. Ayah menyuruhku mengambil jurusan ekonomi. Ia ingin aku melanjutkan seperti dia. Sebenarnya aku sangat ingin mengambil jurusan Bahasa asing. Tapi, ayah ingin yang berbeda.

Setelah selesai dari kampus, aku pulang. Aku belum bisa menggunakan kendaraan. Sehingga ayah belum membelikanku kendaraan. Jadi untuk sementara, aku pergi menggunakan bis kota. Kadang Dhea mengantarkanku ke rumah. Ia sekalian main ke rumahku.

Hari ini aku naik bis kota. Setelah sampai, aku menyusuri jalan ke rumah. Akhirnya aku tiba di depan rumah. Aku langsung membuka pintu pagar. Kulihat ibu tiriku sudah pulang. Tampaknya ia tak terlalu sibuk hari ini.

"Assalamu'alaikum!"

Tak ada jawaban, mungkin ibu tiriku sedang sibuk. Pintu rumah tak terkunci. Tapi ada bi Kusma di rumah. Ia pembantu di rumah. Sejak aku kecil, ia sudah bekerja disini.

"Hei!"

"Ibu."

Tiba-tiba ibu tiriku menegurku. Mukanya tampak sangat masam. Aku tak tahu apa yang terjadi? Namun aku tetap menyalaminya.

"Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam. Kamu itu tukang ngadu yah!"

"Ada apa, Bu?"

"Pura-pura gak tahu lagi. Kamu ngadu soal keuangan yah. Bilang gak dapat jatah. Padahal kukasih terus kamu uang. Sampai jatahku saja seharusnya lebih, jadi dikit. Semua gara-gara kamu!"

"Maaf, Bu. Aku hanya butuh uang banyak. Apalagi aku harus daftar kuliah. Uang dari Ibu kurang."

"Pantas saja kamu jarang minta uang. Rupanya diam-diam kamu minta!"

"Tapi aku memang butuh, Bu."

"Sudahlah. Mulai sekarang, kamu jangan minta transfer lagi. Biar aku saja yang kasih!"

"Tapi Bu.."

"Gak usah membantah. Jadi anak itu yang nurut. Usaha kateringku jadi terhambat gara-gara kamu!"

"Yah, Bu."

Aku merasa cobaanku kian berat. Mungkinkah karena ibadahku yang kurang. Ujian datang silih berganti. Seandainya kukenakan hijab, akankah merubah semua?

Tuhan tolong aku. Aku percaya engkau akan memberikan hidayah padaku. Akan kututup diri ini. Semoga jalan ini sebenarnya untukku berubah. Aku akan hijrah. Merubah penampilanku. Kalau tidak salah, dulu ibuku berkerudung. Mendiang ibu kandungku banyak jilbab. Tapi aku tak tahu dimana simpanannya. Lebih baik kutanyakan bi Kusma. Ia sudah lama bekerja disini. Sebelum aku lahir, ia sudah bekerja disini.

"Bi!"

"Yah ada apa, Neng?"

Aku hendak menanyakan hijab dengannya. Semoga ada untukku kenakan.

Aku sangat ingin berhijab. Lalu, kucoba mencari bekas kerudung ibuku dulu. Bibi Kusma memberitahu tempat menyimpannya. Hijabnya tersimpan rapi dalam lemari. Namun lemari itu sudah berdebu.

"Ini hijabnya, Neng. Sebenarnya hijab bu Aliana banyak. Tapi ini sudah sedikit berkurang."

"Kenapa Bi? Rusak terus dibuang yah?"

"Gak."

"Dikasih buat keluarganya, dibawa nenek?"

"Bukan. Semua barang bu Aliana tersimpan rapi. Semua barangnya yang bagus, diambil bu Rafika."

Aku terkejut mendengar pernyataan bibi Kusma. Rupanya ibu tiriku mengambil barang ibu. Seharusnya itu jadi milikku. Mungkin diambilnya karena aku masih kecil. Menurutnya aku tak bisa pakai. Namun sekarang aku sudah besar. Alangkah baiknya ibu tiriku memberikannya. Akhirnya kuambil semua yang masih layak pakai. Meskipun modelnya sudah jadul. Aku sangat bahagia bisa pakai barang ibuku. Lalu kucoba kenakan kerudungnya. Aku merasa sangat nyaman. Seolah ibuku ada bersamaku saat ini.

"Cantik Neng Tazkiyah!" Puji Bibi Kusma padaku.

"Makasi, Bi."

"Neng Kiah mirip sekali dengan bu Aliana. Wajahnya putih bersih. Pakai kerudung jadi tambah berseri."

"Aku benar mirip ibu yah, Bi?"

"Iya, mirip sekali Neng."

Mendengar bibi Kusma bicara, aku terharu. Rasa rinduku semakin bertambah pada ibu. Dalam benakku berkata, "aku akan sepertimu ibu. Engkau perempuan soleha. Kau selalu kudo'akan."

Kemudian aku melipat semuanya. Lalu kubawa keluar. Aku hendak mencucinya.

"Sini biar Bibi bantu, Neng. Nanti sekalian Bibi cucikan, yah."

"Gak usah, Bi. Biar aku saja!"

"Loh kenapa?"

"Ini baju peninggalan ibu. Aku ingin mencuci pakaiannya. Sekalipun aku belum pernah berbakti padanya."

"Neng Kiah sabar yah. Ibu Neng Kiah sudah merasa bahagia. Dia bahagia karena bisa melahirkan Neng Kiah. Menurutnya, Neng adalah anugerah terindah yang Allah berikan."

"Makasih, Bi sudah mengingatkanku tentang ibu."

"Yah, Neng."

Aku tambah terharu mendengar bibi Kusma bicara. Ternyata ibuku adalah wanita terbaik. Aku semakin ingin berjuang bertemu ibu. Semoga kelak, aku bertemu dengannya di Jannah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 60 Drop

    Masa di rumah sakit ini hanya 3 hari berselang. Aku diizinkan dokter untuk pulang hari ini. Selama di rumah sakit, ayah tak lepas menjagaku. Sementara mas Hakim masih sibuk. Ia hanya libur satu hari pasca aku sesar. Itupun waktunya digunakan untuk mengubur ari-ari anak kami. Mas Hakim masih menyempatkan waktu luangnya malam hari saja. Kadang paginya ia mengunjungi kami. "Nanti kamu pulang naik taksi saja ya." "Kemana?" "Yah, pulang!"Mas Hakim menjawab dengan lugas. Ia seperti geram mendengar jawabanku. Yah, aku menjawabnya terkesan ketus. Selama berada di rumah sakit, aku merasa lebih nyaman. Aneh memang, biasanya pasien ingin cepat pulang. Sementara aku ingin tetap disini. "Kamu mau pulang tidak? Ayahmu suruh menginap di rumah saja. Kita tunggu dia selesai salat maghrib dulu. Baru setelah itu aku akan pesankan taksi online." Menyebalkan. Aku harus kembali hidup dengan dia. Lelaki yang selama pasca persalinanku hanya ada waktu malam saja. Itupun aku yang membersihkan pop

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 59 Setelah Lahiran

    Kurasakan ada sayatan yang menyentuh. Sekujur tubuhku seakan menggigil hingga aku sulit bicara. Mungkin ini pengaruh dari operasi. Keadaan di ruang operasi begitu dingin. Dokter pun memintaku untuk relax. Tak lama berselang, kudengar suara tangisan bayi. Bayiku mungkin telah lahir. "Bu, ini bayinya laki-laki." Disini aku masih terbaring. Kutatap bayiku tepat berada di sampingku. Seorang perawat yang menghantarkannya. Bayiku membuka matanya. Ketika didekatkan padaku, ia tak menangis. Ia tersenyum padaku. "Selamat yah, Bu Tazkiyah." "Ya." Dokter memberi ucapan selamat padaku. Aku bahagia anakku telah lahir. Lalu perawat membawa bayiku. Aku masih belum pulih dari bius dan operasi. Sementara bayiku dibawa perawat. Mungkin akan diperlihatkan pada mas Hakim juga. Aku mendengar tangisannya dari kejauhan. Setelah bayiku dibawa keluar ruang operasi. Kemudian setelah selesai operasi, aku keluar dari ruangan. Perawat mengiringiku keluar. "Ayo pindahkan. Loh suaminya mana? Ibu ini

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 58 Menjelang Persalinan

    Akhirnya tiba hari saat aku selesai mengajukan resign. Saat di kantor, aku memasang muka tak enak pada rekan kerjaku. Ketika bertemu mereka, wajahku langsung memerah. Aku merasa malu. Baru kerja satu bulan, aku harus berhenti. Tentu pula dengan alasan hamil. Aku bertemu pula dengan Ilmi. Sangat tersipu malu aku saat bertemu dia. Rasanya tak habis pikir harus berhenti secepat ini. Bahkan aku sendiri malu dengan diriku sendiri. Semua ini untuk menuruti suamiku. "Mbak Tazkiyah." "Eh, Ilmi!" "Kemana saja, Mbak? Sejak aku mencarimu sampai ke rumah." "Maafkan aku Ilmi. Ini permintaan suamiku. Aku juga sedang hamil." Ilmi menatap ke arah perutku. Entah mengapa risih saat ia mengarah menatap ke perutku. Lantas aku hendak pergi dari pandangannya. "Sudah, ya. Mbak mau menghadap pimpinan dulu. Jujur, gak enak rasanya berhenti kerja secepat ini." "Ya, Mbak." Aku pun meninggalkan Ilmi. Kemudian mengarah ke ruangan pimpinan perusahaan. Setelah beberapa menit aku hendak pulang. Ta

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 57 Keinginan Setelah Melahirkan

    Malam itu, mas Hakim tak hentinya memperingatkanku. Tingkahnya seolah tak segan mengajakku berdebat. Ia menganggap ku selalu melawan bicaranya. Namun ia tak hentinya mengajakku berdebat. Sementara ia yang selalu memancing pertengkaran. Ia terus memperingatkanku untuk tak ikut campur urusan pekerjaan. Ia terus berdalih. Akan tetapi aku minta janji darinya. Aku ingin dia mengosongkan waktu sehari untukku. "Baik, aku akan mengosongkan waktu sehari. Asal kamu jangan terus membuat masalah. Aku tadi sangat malu dengan murid dan orang tua mereka." "Maaf. Aku hanya meminta kepastian darimu, Mas. Aku hanya punya kamu disini. Setelah Allah, tak ada perantara selain kamu." "Kamu juga jangan gampang terbawa suasana. Menurutmu masih ada Tuhan untukmu kan? Maka buktikanlah, jangan bisanya minta tolong aku terus. Mandiri sana, aku juga mau kerja!" "Aku hanya minta waktu sehari saja. Kosongkanlah waktu untukku." "Aku bisa memberikannya asal kau menurutiku. Lagian aku juga pulang ke rumah

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 56 Hasrat yang Keliru

    "Suami saya selalu sibuk. Kamu tidak tahu saja." "Sudahlah. Apa-apaan sih, Kiah? Muridku datang kesini niatnya tulus mau bertemu denganmu." Tiba-tiba saja mas Hakim memotong pembicaraanku. Tampak sekali di raut wajahnya. Ia merasa sangat khawatir. Takut bila aku salah bicara. "Aku juga tanya baik-baik, Mas. Gak apa kan? Maaf yah murid-murid pak Hakim. Ibu hanya mau tanya saja. Maklum, keadaan Ibu sedang hamil. Jadi butuh support dari suami. Sangat butuh sekali ia ada di samping saya. Gak setiap hari kok." Saat aku bicara, ada orang tua murid hendak mengutarakan pendapatnya. Mungkin ia mau menjernihkan obrolan kami. "Saya orang tuanya, Bu. Sebagai orang tua, saya maklum. Benar, Pak Hakim. Kondisi Bu Tazkiyah ini harus diperhatikan. Perempuan hamil itu rentan dengan fisik dan batinnya. Kalau bisa dikurangi dulu mengajarnya. Luangkanlah banyak waktu untuk mengurusi istri Bapak." Alhamdulillah. Ibu ini mengerti juga. Memang sesama perempuan bisa mengerti. Saling pernah mengala

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 55 Saat Bertemu Kembali dengannya

    Rasa cemburuku ini meradang. Hingga aku coba menyadarkan diriku sendiri. Kuseka diriku dengan air wudhu. Bismillah, aku menyucikan diriku dari segala dosa. Kusucikan hingga dalam hatiku. Berharap imanku bisa kuperbaiki. Terus menahan diri dari perbuatan suamiku sendiri. Aku berharap ia segera mendapatkan hidayah. Muncul niat dalam hati ini. Ingin kutuntaskan semua. Namun sebesar apapun rencanaku, tak mampu menahan rencana Allah. Dia lah Maha Besar. Maha Mengetahui dari segala yang ada di dunia dan akhirat. Kendatipun aku masih tetap berusaha mencari perantaranya. Akankah bisa aku bicara langsung dengan perempuan itu? Mas Hakim pasti menolakku untuk bertemu dengannya. Namun, masih bisa kuputar siasat untuk bertemu dengannya. Aku masih mencari alasan yang tepat. "Mas gak ngajar?""Ngajar?""Biasanya privat.""Gak. Hari ini aku libur.""Tumben.""Untuk apa juga kamu tanyakan itu. Bukankah kamu sering sibuk. Bahkan hampir melarangku mengajar privat. Bawakanmu cemburuan terus. Dikit-dik

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 54 Periksa Kandungan

    Kujalani hari ini. Tak ingin kubayangkan pahitnya. Terasa sulit harus kulalui. Benakku berkata tak ingin lagi. Jangan seperti kemarin lagi. Harapanku tak ingin kandunganku bermasalah lagi. "Duh.."Tanganku gemetaran sambil memegangi perutku. Terasa amat keram. Aku takut masalah ini berdampak dengan kandunganku nantinya. Ingin memanggil mas Hakim. Namun aku segan. Ia membuatku takut. Berat rasanya menceritakan keadaanku. Sudah biasa aku menerima jawaban darinya. Tentu itu sangat menyakitkan. Jika kucoba beritahukan, ia pasti marah besar. Selanjutnya akan banyak kesalahanku yang dicecar olehnya. Namun, perut ini masih kian sakit. Terasa amat perih. Aku menangis, tak ingin terjadi hal buruk pada janinku. "Duh..""Kamu ini kenapa?""Perutku sakit, Mas.""Mangkanya. Aku kan sudah bilang, jangan banyak pikiran. Kamu stres terus!""Aku sudah coba lawan. Tapi tetap saja tak bisa kutolak. Mungkin aku sudah kecewa.""Maksudmu apa?""Ada rasa kecewa saja. Namun tak ingin kuperpanjang.""Itu k

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 53 Tak dihargai

    Mas Hakim sama sekali tak peduli yang kurasakan. Ia malah menuduhku yang tak benar. Rasanya mustahil bila aku berhubungan dengan Ilmi. Apalagi Ilmi adalah mantan Cynthia. Sudah pasti Ilmi yang ada hati padanya. "Hey kamu jangan melamun saja!""Apa Mas?""Matikan Televisinya kalau tidak ditonton lagi. Ini malah cuci piring. Aku capek tahu gak cari uang!""Tolong matikan sekalian, Mas.""Disuruh malah nyuruh. Jadi istri itu ngerti kalau dikasih tahu. Ini malah gak mau nurut!""Bukan gak mau. Mas maunya langsung dimatikan kan? Tanganku basah lagi cuci piring.""Kalau dikasih tahu bantah terus!""Aku hanya menjelaskan Mas. Biar Mas tahu kenapa aku tak bisa turuti sekarang. Kecuali kalau Mas mau tunggu aku selesai.""Ah dasar kamu ngelawan terus. Mana mau nurut.""Maksud Mas?""Apa?"Aku terdiam. Jujur, tak ingin kuulangi lagi. Bila kuteruskan, mas Hakim akan bertambah marah. Biarlah kutahan dan pendam saja. Tak sanggup rasanya bila begini. "Kumatikan ya, Mas!""Tak usah, biar aku saja!"

  • Hijrah yang Tak Kau Hargai   Bab 52 Aku yang Kecewa

    Beberapa hari ini, aku tak menelepon ayah lagi. Ibu tiriku terlalu sering mengganggu kami. Hingga aku tak dapat bicara banyak padanya. Ibu tiriku seolah ingin tahu yang kami bicarakan.Saat ini aku tak ada kegiatan. Teramat bosan rasanya. Jika tak ada yang dilakukan, ternyata lelah juga. Lelah menunggu waktu berganti. Andai aku masih kerja, mungkin takkan jenuh. Aku masih bisa menyibukkan diri. Di tempatku bekerja, tak begitu membuat kecapekan. Kondisiku yang tengah hamil ini, takkan membuat begitu lelah. "Tazkiyah!"Tiba-tiba mas Hakim mengagetkanku dengan suaranya. Jujur aku sangat terkejut. Tak habis pikir ia lakukan ini lagi. Ia tak henti membuatku takut "A-ada apa?""Coba kamu lihat keluar sana!""Ada apa sih, Mas?""Ternyata kamu belum berubah juga ya!""Maksudmu apa? Aku tak mengerti yang kau ucapkan.""Sana, kau lihat sendiri keluar!"Aku menjadi bimbang. Sebenarnya apa yang terjadi? Mas Hakim sangat marah. Ia memicingkan matanya. Tubuhku gemetaran, aku takut. Ada apa lagi i

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status