Share

Hijrah yang Tak Kau Hargai
Hijrah yang Tak Kau Hargai
Penulis: Alshrye

Bab 1 Niat hati

Aku tak menyangka akan seburuk ini. Jika ada yang salah dalam langkahku. Aku mohon maafkan. Ini sudah jadi jalanku. Tak tahu apa harus diteruskan. Apa harus kuhentikan langkahku ini?

"Tidak malu kamu?"

"Apa sih, Bu?"

"Tetangga mengira kamu radikal. Senang kamu dibilang teroris?"

"Memang salahku apa? Aku juga yang pakai. Sama sekali aku tak mencelakai orang. Aku pakai cadar untukku."

"Kamu tidak lihat di berita. Ramai tentang teroris."

"Itu hanya oknum. Mereka hanya sebagian aliran sesat. Tidak semuanya begitu!"

"Ibu malu kalau jalan sama kamu."

"Kalau Ibu malu, ya sudah. Aku juga tidak ada merugikan orang."

"Sebaiknya kamu pikir lagi kalau mau pakai."

"Astaghfirullah."

Dia ibu tiriku. Aku sudah dari kecil diasuh olehnya. Ayahku saat ini bekerja dinas ke luar kota.

***

Ini sekelumit kisah ku di masa lalu. Aku hidup bersama ibu tiri. Ibu tiriku yang mengatur semuanya. Uang sekolah pun, ia yang pegang. Sehingga untuk keperluanku, selalu minta padanya. Aku meminta uang kiriman ayah padanya. Ia hanya berikan sekedarnya. Pernah diberikannya tak cukup sama sekali. Terpaksa aku mengirit dan memakai keperluanku seadanya. Bahkan, untuk membeli pembalut aku harus bilang. Tak segampang itu mendapatkan hati ibu tiriku.

Pernah satu waktu kutelepon ayah. Aku minta dikirimkan saja uangnya. Sehingga aku membuat ATM sendiri agar bisa ditransfer. Saat itu aku baru lulus sekolah. KTP pun aku baru buat.

"Ayah, kirimkan saja aku uang. Sekarang aku sudah punya ATM."

"Yah, kirimkan rekeningmu. Memang kenapa dengan ibu? Bukannya ayah sudah titip ke dia?"

"Aku segan minta padanya. Ia sering sibuk dengan usaha katering. Bagian untukku ayah kirimkan saja lewat ATM!"

"Ya. Sudah dulu Ayah mau kerja."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Akhirnya aku minta pada ayah. Aku mengatakan semuanya. Syukurlah ayah mau mengirimkannya. Ayah memang sering dinas keluar kota. Dia adalah seorang pegawai negeri. Namun tempatnya bekerja, jauh dari tempat tinggal. Jadi aku harus hidup dengan ibu tiri. Ayah dan ibu tiriku tidak mempunyai anak. Mereka hanya punya aku semata wayang. Ibu kandungku sudah 16 tahun meninggal. Ia meninggal karena sakit leukemia. Saat aku usia dua tahun, ia meninggal.

Sebagai muslimah, aku selalu menjalankan ibadah. Namun, aku belum mengenakan hijab. Aku salat, belum mengenakan hijab. Layaknya identitasku sebagai seorang muslimah tak terlihat. Setiap kali aku memasuki mesjid untuk salat. Tapi, aku tak kenakan kerudung. Orang-orang yang berkerudung heran melihatku. Temanku yang berhijab tak masalah. Mereka mengharapkan aku berhijab. Aku harus memantapkan hati untuk berhijab.

"Tazkiyah kamu sangat cantik." Puji temanku saat kami bercermin.

Aku menyisir rambutku yang terurai panjang. Rambutku sedikit ikal, selalu kurapikan.

"Makasih, Dhea. Kamu juga cantik. Wanita soleha, hehe."

"Kalau kamu pakai hijab. Aku yakin kamu tambah cantik."

"Yah, do'akan aku dapat hidayah. Biar aku jadi muslimah yang seutuhnya."

"Amin."

***

Aku baru saja mendaftar di universitas. Ayah menyuruhku mengambil jurusan ekonomi. Ia ingin aku melanjutkan seperti dia. Sebenarnya aku sangat ingin mengambil jurusan Bahasa asing. Tapi, ayah ingin yang berbeda.

Setelah selesai dari kampus, aku pulang. Aku belum bisa menggunakan kendaraan. Sehingga ayah belum membelikanku kendaraan. Jadi untuk sementara, aku pergi menggunakan bis kota. Kadang Dhea mengantarkanku ke rumah. Ia sekalian main ke rumahku.

Hari ini aku naik bis kota. Setelah sampai, aku menyusuri jalan ke rumah. Akhirnya aku tiba di depan rumah. Aku langsung membuka pintu pagar. Kulihat ibu tiriku sudah pulang. Tampaknya ia tak terlalu sibuk hari ini.

"Assalamu'alaikum!"

Tak ada jawaban, mungkin ibu tiriku sedang sibuk. Pintu rumah tak terkunci. Tapi ada bi Kusma di rumah. Ia pembantu di rumah. Sejak aku kecil, ia sudah bekerja disini.

"Hei!"

"Ibu."

Tiba-tiba ibu tiriku menegurku. Mukanya tampak sangat masam. Aku tak tahu apa yang terjadi? Namun aku tetap menyalaminya.

"Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam. Kamu itu tukang ngadu yah!"

"Ada apa, Bu?"

"Pura-pura gak tahu lagi. Kamu ngadu soal keuangan yah. Bilang gak dapat jatah. Padahal kukasih terus kamu uang. Sampai jatahku saja seharusnya lebih, jadi dikit. Semua gara-gara kamu!"

"Maaf, Bu. Aku hanya butuh uang banyak. Apalagi aku harus daftar kuliah. Uang dari Ibu kurang."

"Pantas saja kamu jarang minta uang. Rupanya diam-diam kamu minta!"

"Tapi aku memang butuh, Bu."

"Sudahlah. Mulai sekarang, kamu jangan minta transfer lagi. Biar aku saja yang kasih!"

"Tapi Bu.."

"Gak usah membantah. Jadi anak itu yang nurut. Usaha kateringku jadi terhambat gara-gara kamu!"

"Yah, Bu."

Aku merasa cobaanku kian berat. Mungkinkah karena ibadahku yang kurang. Ujian datang silih berganti. Seandainya kukenakan hijab, akankah merubah semua?

Tuhan tolong aku. Aku percaya engkau akan memberikan hidayah padaku. Akan kututup diri ini. Semoga jalan ini sebenarnya untukku berubah. Aku akan hijrah. Merubah penampilanku. Kalau tidak salah, dulu ibuku berkerudung. Mendiang ibu kandungku banyak jilbab. Tapi aku tak tahu dimana simpanannya. Lebih baik kutanyakan bi Kusma. Ia sudah lama bekerja disini. Sebelum aku lahir, ia sudah bekerja disini.

"Bi!"

"Yah ada apa, Neng?"

Aku hendak menanyakan hijab dengannya. Semoga ada untukku kenakan.

Aku sangat ingin berhijab. Lalu, kucoba mencari bekas kerudung ibuku dulu. Bibi Kusma memberitahu tempat menyimpannya. Hijabnya tersimpan rapi dalam lemari. Namun lemari itu sudah berdebu.

"Ini hijabnya, Neng. Sebenarnya hijab bu Aliana banyak. Tapi ini sudah sedikit berkurang."

"Kenapa Bi? Rusak terus dibuang yah?"

"Gak."

"Dikasih buat keluarganya, dibawa nenek?"

"Bukan. Semua barang bu Aliana tersimpan rapi. Semua barangnya yang bagus, diambil bu Rafika."

Aku terkejut mendengar pernyataan bibi Kusma. Rupanya ibu tiriku mengambil barang ibu. Seharusnya itu jadi milikku. Mungkin diambilnya karena aku masih kecil. Menurutnya aku tak bisa pakai. Namun sekarang aku sudah besar. Alangkah baiknya ibu tiriku memberikannya. Akhirnya kuambil semua yang masih layak pakai. Meskipun modelnya sudah jadul. Aku sangat bahagia bisa pakai barang ibuku. Lalu kucoba kenakan kerudungnya. Aku merasa sangat nyaman. Seolah ibuku ada bersamaku saat ini.

"Cantik Neng Tazkiyah!" Puji Bibi Kusma padaku.

"Makasi, Bi."

"Neng Kiah mirip sekali dengan bu Aliana. Wajahnya putih bersih. Pakai kerudung jadi tambah berseri."

"Aku benar mirip ibu yah, Bi?"

"Iya, mirip sekali Neng."

Mendengar bibi Kusma bicara, aku terharu. Rasa rinduku semakin bertambah pada ibu. Dalam benakku berkata, "aku akan sepertimu ibu. Engkau perempuan soleha. Kau selalu kudo'akan."

Kemudian aku melipat semuanya. Lalu kubawa keluar. Aku hendak mencucinya.

"Sini biar Bibi bantu, Neng. Nanti sekalian Bibi cucikan, yah."

"Gak usah, Bi. Biar aku saja!"

"Loh kenapa?"

"Ini baju peninggalan ibu. Aku ingin mencuci pakaiannya. Sekalipun aku belum pernah berbakti padanya."

"Neng Kiah sabar yah. Ibu Neng Kiah sudah merasa bahagia. Dia bahagia karena bisa melahirkan Neng Kiah. Menurutnya, Neng adalah anugerah terindah yang Allah berikan."

"Makasih, Bi sudah mengingatkanku tentang ibu."

"Yah, Neng."

Aku tambah terharu mendengar bibi Kusma bicara. Ternyata ibuku adalah wanita terbaik. Aku semakin ingin berjuang bertemu ibu. Semoga kelak, aku bertemu dengannya di Jannah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status