Semalaman aku menangis sesenggukan. Mataku sampai bengkak. Aku tak dapat lagi menahan tangis. Mas Hakim tak kunjung kembali ke kamar. Aku telah mencarinya kemanapun. Mungkin ia sudah pergi dari pagi tadi. Namun, kulihat tasnya masih ada di kamar. Berarti ia belum kerja."Dek.""Ya, Mbak."Aku coba tanyakan keberadaannya dengan Ivy. Dia adik perempuan mas Hakim. Ivy saat ini sedang libur kuliah. "Ada lihat mas Hakim gak?""Loh, Mbak memangnya gak tahu kemana?""Gak tahu..""Kayaknya tadi dia keluar dari kamar ibu.""Tidur disana semalam?"Tiba-tiba saja aku kelepasan bicara. Ivy bisa curiga nanti. Dikira aku bertengkar dengan mas Hakim. Apalagi kalau tahu, semalam mas Hakim tidak tidur di kamar kami. "Maksud Mbak apa tadi, tidur di kamar?""Maksud Mbak, dia dari kamar ibu tadi?""Ya.."."Jadi dia sudah keluar?""Yah, Mbak."Aku lantas mencarinya keluar rumah. Tak kunjung kutemukan ia. Sambil kutelepon dia, teleponnya tak aktif. Sampai aku melamun duduk di samping rumah. Saat itu juga
Semoga tak ada hubungan lebih antara suamiku dan muridnya. Aku terus berprasangka baik. Tak ingin berpikir buruk tentang mereka. Cukuplah cara mbak Namira membandingkanku dengan Cynthia. Sangat tak pantas sekali menurutku. Apalagi aku ini adalah istri sah mas Hakim.Rasa putus asa aku disini. Kalau bukan karena mas Hakim, aku sudah pergi. Sejak kemarin aku sudah tak betah berada disini. Muncul pergolakan batin dalam diriku. Aku merasa tak ada daya lagi. Berkali-kali kucoba menguatkan diri ini sendiri. Menangis, sudah sering kualami. Sampai aku lelah meluapkan segenap kesedihan. Mengapa mereka seperti tak punya hati padaku? Selama ini aku sudah berusaha menjadi istri yang baik. Tapi masih saja dipandang sebelah mata. "Tazkiyah!""Ya.."Ada yang memanggilku. Dari suaranya seperti mertuaku. Aku langsung menghampirinya. "Ada apa, Bu?""Tolong bantu rapikan ini. Banyak sekali barangnya. Ini harus segera dirapikan!""Ya, Bu."Aku kemudian membantu mertuaku merapikannya. Hanya kami berdua
Aku tak tahu arah kemana. Dalam pikiranku teringat mbak Rumaisya saja. Sebaiknya aku menghubungi dia. Sama sekali tak ada sanak saudaraku disini. Perkataan mas Hakim sangat menyakitkan. Hingga membuatku tak ingin kembali. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Ada apa Tazkiyah telepon?""Mbak Rum. Bisa aku ke rumahmu sekarang?""Yah. Mbak lagi di rumah. Kenapa kedengaran suaramu menangis? Apa yang terjadi?""Nanti akan kuceritakan pada Mbak Rumaisya. Aku lagi di jalan sekarang. Baru turun dari angkot. Sekarang aku lagi di halte. Sedang tunggu bis kota mau ke rumah, Mbak.""Apa mau Mbak jemput kesana?""Tak usah, Mbak. Aku sendirian saja kesana.""Oke, hati-hati ya!""Ya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku tiba di rumah mbak Rumaisya. Betapa kagetnya ia melihatku membawa tas besar."Tazkiyah, kamu darimana?""Dari rumah, Mbak.""Banyak sekali bawakanmu. Seperti dari perjalanan jauh. Ini bawakanmu banyak dan ada tas besar.""Iya, Mbak.""Kamu tak sama Hakim?""Gak, Mbak.""Ayo du
"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Kulihat seisi rumah tampak lengang. Tak ada yang banyak bicara. Mereka sibuk dengan urusannya. Begitupula mertuaku, dia hanya membalas salamku. Tak bicara sepatah kata pun. Aku seolah masuk ke dalam tempat asing. Tak ada yang baik untukku. Bahkan mas Hakim sendiri bersikap sama. Ini kesalahanku, keadaan ini jadi bertambah parah. Seharusnya aku bersikap lebih sabar pada mas Hakim. Kini aku seperti orang asing.Tiba-tiba perutku merasa lapar. Aku ingin makan. Namun aku segan untuk makan disini. "Mas Hakim.""Apa?""Aku belum makan siang.""Masih lapar. Tapi kamu bisa kabur.""Aku benar-benar lapar, Mas.""Ambil sendiri sana!""Tapi aku takut ibumu masih marah padaku. Aku tak enak ambil makanan.""Kamu tahu darimana dia marah? Mangkanya jangan main kabur saja.""Yah sudah aku ambil."Baru aku mau ke dapur. Lalu aku mendengar mbak Namira sedang ribut. Hingga kuurungkan untuk mengambil makanan."Sudahlah, Bu. Orang kayak gitu bikin malu saja. Aneh s
Aku masih tak kunjung mendapat pekerjaan. Di rumah mertuaku, aku dipandang layaknya benalu. Padahal aku tak mengganggu siapapun. Sengaja aku tak banyak bicara di rumah. Itu agar aku tak serba salah. Namun, aku diam nyatanya masih membuat serba salah. "Zulfi, ini bajumu dicuci!""Nanti, capek aku baru pulang kerja."Mertuaku siang itu mengingatkan Zulfi. Ia menyuruhnya untuk mencuci bajunya. Zulfi memang belum belum menikah. Sehingga tak ada istri yang mengurus keperluannya. "Carikan istri buat Zulfi, Bu!" Ujar Mbak Namira."Susah mau carikan dia yang kayak gimana.""Jodohkan sama anak pak RT saja. Dia santri loh. Kayaknya mau sama Zulfi. Santri loh!"Suara mbak Namira seakan lantang menyebut santri. Aku juga ikut mendengarnya. Maklum, aku tengah mencuci piring kala itu. Dia memang menyukai santri. Mas Hakim memang latar belakangnya dari keluarga kyai. Terlebih lagi aku bukanlah seorang santri. Namun sayangnya, mereka kurang suka dengan cadar. Terlebih yang berpenampilan sunnah. Di m
"Jadi istri itu seharusnya membantu tugas suami. Aku saja sedang hamil, masih bisa cari uang.""Ssst.. nanti kedengaran Tazkiyah!""Biar saja, Bu. Dia gak bosan, di rumah terus? Kalau aku gak bisa loh, Bu. Berdiam diri hanya di rumah. Kegiatan tidak ada. Coba cari uang, bantu suami. Ini Hakim sudah kerja dari pagi sampai sore. Minggu saja, dia masih sempatkan privat."Mbak Namira tak putus membicarakanku.Kenapa dia serisih itu denganku?Pertama soal aqidah, kini kerjaan. Sikapnya membuatku tambah tak nyaman disini."Orang kayak gitu pemalas." Ungkap Mbak Namira."Yah, sudah. Terpenting dia sudah bantu ibu di rumah.""Lagian aku heran. Ngakunya sarjana, masih gak kerja juga."Teramat sakit aku mendengar perkataan mbak Namira. Segitu bencinya ia padaku. Itulah yang membuat aku menutup diri. Aku segan berkumpul bersama mereka. Aku tak berani lagi bicara dengan mbak Namira. Siang itu, mas Hakim pulang cepat. Aku merasa senang. Lalu kuhampiri ia dan kusalami tangannya."Tumben pulang cep
Aku sangat tak nyaman. Mbak Namira selalu bersikap buruk padaku. Rasanya ingin pergi dari sini. Namun aku tak bisa. Pukul setengah sembilan malam ia baru pulang. Setelah mas Hasan suaminya membujuk ia. Aku masih saja termenung disini. Tak habis pikir terjadi malam ini. Ketika kami baru pulang. Keesokan harinya mas Hakim berangkat kerja. Aku di rumah membantu mertuaku. Setelah sarapan dan cuci piring, lanjut menyapu. Kulihat Ivy baru bangun dari tidurnya. Ia langsung menonton tv. Aku pun tengah menyapu. Saat itu kusapu bagian bawah kursi. Sapu yang kupegang seperti menyentuh sesuatu. Lantas kutarik dan kutemukan sebuah pakaian. "Apa ini?""Itu bajunya mbak Namira gak?" Ujar Ivy. "Kamu yakin ini bajunya? Mbak temukan di bawah kursi panjang ini. Terselip di pinggir dinding." Ungkapku."Berarti ini bajunya!""Yah sudah, disimpan saja. Nanti serahkan ke mbak Namira. Dia mau pakai kan?""Hari ini kok pakainya. Tapi kotor gini. Yah sudah kutaruh saja ke cucian kotor.""Nanti mbak Namira g
Di kehamilan pertama ini, aku merasa mual. Seluruh badanku tak enak. Mau makan apapun, aku tak suka. Hanya ada beberapa makanan tertentu yang kuinginkan. Makan nasi pun tak selera. Pagi ini aku sudah beraktivitas. Walaupun sudah diingatkan, terpaksa kulakukan. Ibu mertuaku setiap paginya pergi ke sawah. Ia mengurusi sawahnya. Meskipun ada pekerja. Tapi ia menjadi lebih repot, ketika suaminya tiada. Ivy selalu kesiangan bangunnya. Itu sebabnya kukerjakan tugas rumah sendiri. Padahal ia sudah tahu aku hamil. Namun Ivy masih tak berubah. Mungkin ini memang nasibku di rumah mertua."Ivy!" Tiba-tiba mbak Namira datang. Aku mulai memasang sikap segan padanya. "Baru bangun kamu?" Tanya Mbak Namira pada Ivy."Yah, Mbak. Tadi malam aku mengerjakan tugas kuliah.""Palingan kamu habis main ponsel semalaman.""Hahaha. Mbak tahu darimana? Aku sekalian mengerjakan tugas kok, Mbak.""Gak percaya.""Daripada bosan. Itu apa, Mbak?""Oh ini, aku bawa sayur terong hasil kebunku. Ini dimasak nanti yah