Di rumah, aku menghabiskan waktu sendiri. Aku tak mau jadi keluhan orang. Kegiatanku hanya berdiam diri di rumah. Apalagi mbak Namira akan mengiraku hanya makan tidur saja. Kuputuskan untuk mencari pekerjaan. Sebelumnya aku sudah minta izin pada mas Hakim. Ia mengantarku ke tempat lowongan kerja. Setelah interview, aku pulang. Aku sendirian menyusuri jalan pulang. Ketika menanti bis di halte, ada yang kukenal. Namun, wajahnya tak begitu kuingat. Lalu, aku ke arah orang itu. "Zaky ya?"Orang itu tak mempedulikan panggilanku. Kemudian aku berjalan ke arahnya. Dia sedang duduk di pinggir trotoar. Sambil mendengar earphone yang dikenakannya. "Zaky!"Suaraku terdengar keras. Ia menoleh ke arahku. Kemudian ia menatapku. Seolah ia ingin mengingatku kembali. "Ya?" Ia pun melepas earphone dari telinganya. "Kau masih ingat aku?""Kamu.. Tazkiyah!""Zaky. Aku tak menyangka ini kamu. Ternyata penampilanmu banyak berubah.""Apa yang berubah, aku tetap sama.""Pakaian dan rambutmu sangat rapi
Aku tak ingin berhenti. Namun perjalananku selalu dihalaunya. Mas Hakim tak ingin aku melanjutkan hijrahku. Keinginanku pun harus pupus. Aku terpaksa menurutinya. Ia tak memberikanku izin. Jika aku memohon, ia akan terus memarahiku. Aku tak mau ribut terus dengannya. Ia akan terus marah. Aku tak enak bila kedengaran keluarganya. Apalagi kalau ibunya sampai tahu. Jika mereka bertanya, pasti aku yang salah. Sudah pasti keluarganya akan membela dia. Aku heran melihat sikap mas Hakim. Ia semakin berubah. Tambah lagi ia selalu sibuk. Sedikit sekali waktunya untukku. Setiap di rumah dia hanya bermain ponsel. Sedangkan waktu untukku saat tidur saja. Sekali pun bersamaku, dia hanya sebentar. Entah pikiran buruk apa yang terlintas. Aku malah ingin memeriksa ponsel mas Hakim. Saat kuperiksa, aku melihat foto mas Hakim bersama wanita. Aku tak tahu itu siapa. Saat itu muncul mas Hakim. Aku langsung menanyakannya."Mas, ini foto siapa?" Tanyaku sambil memperlihatkan ponsel."Itu muridku. Memang ke
Di rumah aku menjadi sasaran mbak Namira. Selalu ada yang diributkannya. Ia selalu mencari masalah denganku. Itu hanya masalah sepele."Bu. Ada lihat ayam gorengku?""Memang ada apa?""Lauk makan siangku hilang, Bu. Siapa yang makan?""Mungkin tikus. Banyak tikus disini ngambil makanan.""Heran kok bisa? Siang gini ada tikus!""Jangan taruh sembarangan makanannya.""Biasanya gak hilang kok. Baru kali ini lauk makan bisa hilang. Siapa sih yah ngambil?""Jangan marah gitu. Mungkin memang dimakan tikus.""Aneh."Orang di rumah diam saja. Tak ada yang berani melawan iparku. Dia terus menggerutu. Mengeluh dan menyalahkan orang sekitar. "Sudah, Namira. makan saja yang ada.""Anakku, mana mau makan itu, Bu. Aku sudah belikan ayam goreng malah hilang!"Aku di rumah merasa tak enak hati. Ingin pergi saja rasanya. Seolah aku juga bersalah dengan ini. Padahal aku tidak tahu apa-apa."Kamu masih saja pakai kerudung di dalam rumah." Ucap Mbak Namira."Aku nyaman kayak gini, Mbak.""Panas-panas gi
Lama kelamaan disini aku makin tak nyaman. Seolah akan diusir oleh mereka. Bukan di rumah saja. Tetangga dan orang sekitar sini juga demikian. Sebaiknya apa yang harus kulakukan?Aku coba menenangkan hatiku yang kacau. Kuambil air wudhu saat sepertiga malam. Aku ingin salat tahajud. Mudah-mudahan Allah memberiku petunjuk. Andai ada tempat yang nyaman buatku. Tapi tak ada. Aku masih belum menemukannya sekarang. Aku masih nyaman di tempat kemarin. Ada mbak Rumaisya disana. Pindah kesini malah membuatku tak tenang. Aku ingin pindah. Namun mas Hakim tak ingin mencari tempat lain. Aku pasrah tinggal disini. Sakitnya hati membuatku menangis."Kenapa kamu?"Mas Hakim muncul di hadapanku. Ia melihat aku yang menangis sesenggukan."Ada masalah apa?""Aku tak bisa lagi disini, Mas.""Kamu ini seharusnya jadi istri itu harus bersyukur. Tinggal di rumah ibuku malah tak betah.""Bagaimana bisa betah, Mas? Orang banyak menaruh curiga padaku. Padahal aku tak pernah sedikitpun melukainya.""Mangkany
Hari ini aku bisa jalan bersama mbak Rumaisya. Bahkan aku telah ke rumahnya. Sangat bahagia sekali. Pulangnya aku dijemput mas Hakim. Kami pun pulang ke rumah. Seperti biasa, setiap pulang disambut muka masam mbak Namira. Ia masih belum pulang ke rumahnya. Suaminya pergi keluar kota. Ia memutuskan menginap di rumah mertuaku. Apalagi kabarnya mbak Rumaisya tengah hamil muda. Dia tidak bisa pulang sendirian.Aku tambah tersudut. Mbak Namira saja yang sudah punya anak, kini hamil lagi. Sementara aku satupun belum ada. Aku tetap sabar. Namun, menyakitkannya, bila ada yang menyinggungku. Bukan hanya keluarga mas Hakim. Tetangga pun bicara demikian. "Bu, aku mau beli makanan manis ini. Kayaknya aku ngidam." Ungkap Mbak Namira."Kamu mau apa?""Mau makan buah, Bu.""Besok minta belikan suamimu.""Aku maunya sekarang.""Buah apa pinginnya?""Buah apel." "Aku mau belikan ke pasar. Tapi lagi sibuk jahit.""Aku kepingin sekarang, Bu.""Sebentar, Ibu panggil Tazkiyah dulu. Minta tolong belikan
Mas Hakim mengajakku pergi hari ini. Namun, ia menyuruhku menanti di tempat sekolahnya mengajar. Ia mengajar di sebuah Madrasah Tsanawiyah. Rencana aku akan interview lagi siang ini. Kebetulan mas Hakim pulang cepat. Ia mengajakku agar tak bolak-balik jemput ke rumah. Aku tak bisa pergi sendiri, sebab lokasi interviewnya tak kuketahui. Maklum aku bukan asli Jakarta. Jadi, aku tak tahu lokasinya. Saat itu, aku menunggunya di kantin. Kadang di mushola. Akhirnya tak berapa lama, Mas Hakim datang."Sudah selesai Mas ngajarnya?""Sudah. Aku diminta murid privatku mengajarnya hari ini. Gimana ya?""Mas mau ngajar dia?""Ya. Aku tak tahu dia minta mendadak. Kalau ditolak, aku tak dapat uang.""Yah sudah, Mas kesana saja.""Kamu gimana?""Antarkan saja aku. Nanti bisa pulang sendiri.""Benar gak apa?""Yah, Mas."Saat hendak pulang, kami malah berpapasan dengan Cynthia. Mas Hakim langsung menegurnya."Cynthia!""Yah, Pak Hakim.""Kamu tumben ke sekolah.""Saya mau mengambil ijazah."Cynthia
Semalaman aku menangis sesenggukan. Mataku sampai bengkak. Aku tak dapat lagi menahan tangis. Mas Hakim tak kunjung kembali ke kamar. Aku telah mencarinya kemanapun. Mungkin ia sudah pergi dari pagi tadi. Namun, kulihat tasnya masih ada di kamar. Berarti ia belum kerja."Dek.""Ya, Mbak."Aku coba tanyakan keberadaannya dengan Ivy. Dia adik perempuan mas Hakim. Ivy saat ini sedang libur kuliah. "Ada lihat mas Hakim gak?""Loh, Mbak memangnya gak tahu kemana?""Gak tahu..""Kayaknya tadi dia keluar dari kamar ibu.""Tidur disana semalam?"Tiba-tiba saja aku kelepasan bicara. Ivy bisa curiga nanti. Dikira aku bertengkar dengan mas Hakim. Apalagi kalau tahu, semalam mas Hakim tidak tidur di kamar kami. "Maksud Mbak apa tadi, tidur di kamar?""Maksud Mbak, dia dari kamar ibu tadi?""Ya.."."Jadi dia sudah keluar?""Yah, Mbak."Aku lantas mencarinya keluar rumah. Tak kunjung kutemukan ia. Sambil kutelepon dia, teleponnya tak aktif. Sampai aku melamun duduk di samping rumah. Saat itu juga
Semoga tak ada hubungan lebih antara suamiku dan muridnya. Aku terus berprasangka baik. Tak ingin berpikir buruk tentang mereka. Cukuplah cara mbak Namira membandingkanku dengan Cynthia. Sangat tak pantas sekali menurutku. Apalagi aku ini adalah istri sah mas Hakim.Rasa putus asa aku disini. Kalau bukan karena mas Hakim, aku sudah pergi. Sejak kemarin aku sudah tak betah berada disini. Muncul pergolakan batin dalam diriku. Aku merasa tak ada daya lagi. Berkali-kali kucoba menguatkan diri ini sendiri. Menangis, sudah sering kualami. Sampai aku lelah meluapkan segenap kesedihan. Mengapa mereka seperti tak punya hati padaku? Selama ini aku sudah berusaha menjadi istri yang baik. Tapi masih saja dipandang sebelah mata. "Tazkiyah!""Ya.."Ada yang memanggilku. Dari suaranya seperti mertuaku. Aku langsung menghampirinya. "Ada apa, Bu?""Tolong bantu rapikan ini. Banyak sekali barangnya. Ini harus segera dirapikan!""Ya, Bu."Aku kemudian membantu mertuaku merapikannya. Hanya kami berdua