Terdengar suara printer bekerja dipagi hari.
“Pagi-pagi udah sibuk sama printer.”
“Aku mau mengundurkan diri dari kantor. Ingin punya lebih banyak waktu bersamamu.”
Entah kenapa jawaban Sultan membuatku tersenyum. Mudah-mudahan dia benar-benar berubah. Ia tampak sibuk dengan pekerjaannya. Aku melangkah ke dapur bermaksud memasak. Ternyata, di meja sudah tersedia sarapan. Aromanya menggoda. Aku memang lapar, seharian kemarin nafsu makan hilang.
“Aku sudah masak, kamu makan duluan aja. Aku mau ke kantor dulu pagi ini sambil belanja keperluan resto. Aku udah kenyang minum teh sama sedikit roti tadi.”
“Kamu gak mau sarapan bareng sama aku?”
“Aku buru-buru Sayang, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Sayang? Sudah lama sekali aku tidak mendengar panggilan itu. Hari ini Sultan begitu mani
Lebih dari setahun berlalu. Usia Adnan juga sudah menyentuhtiga tahun. Ia lucu dan manis. Sultan seperti yang kukira, kebiasaan baiknya beribadah hanya ritual semata. Tak ada ruh di dalamnya. Aku muak melihatnya yang selalu kesiangan salatsubuh.Jika dibangunkan,dia akan bilang “nanti sebentar lagi.” Ia juga sering melambatkan salat isya atau mungkin tidak shalat. Padahal, salat yang paling berat bagi orang munafik adalah salat subuh.Kupilih untuk menyibukkan diri dibutik. Akhir-akhir ini pesanan gaun muslimah semakin meningkat. Aku dan Nirmala sampai kewalahan melayani pesanan yang datang. Mereka tak hanya membeli baju yang sudah tersedia, tapi juga minta dibuatkan gaun pesta yangtidak terkesan glamour.Yah, sebaik-baik pakaian tentu pakaian takwa, yang menutup aurat, tidak ketat, tidak transparan, dan tidak mencolok. Intinya tidak menarik perhatian.Nirmala sampai berkali-kali pulang
Hari ini pesanan Angela,tunangan Mr. Lucas,seharusnya sudah selesai. Terakhir kemarin tinggal memasang payet. Dua gaun selesai dalam waktu kurang dari dua bulan. Untunglah. Kukira akan meleset dari waktu yang ditentukan. Sampai dibutik,Ayana menatapku dengan wajah yang cemas. Ayana,pegawai baru yang menemani Nirmala, menggigit bibir,matanya memerah.“Kenapa Wajahmu begitu,Na?”“Mbak Kay maaf banget ya. Gaun Bu Angela agak tersayat,tadi jatuh terus kesangkut sama tanaman hias yang disampingnya”“Hah? Astaghfirullah. Rusaknya parah gak? Apa kita harus ngulang bikin lagi. Aduh,aku dah bilang besok bisa diambil lagi.”Gaun berwarna merah itu rusaknya cukup mengerikan. Bisa diperbaiki sebenarnya,hanya saja akan merubah modelnya. Dan kalau diambil besok berarti aku harus menyelesaikannya malam ini. Segera kuhubungi Bude Larsih supaya menjemput Adnan dan mengant
“Bagaimana perkembangan suamimu, Kay?”tanya Umi Ratna melalui telepon.“Aku tidak tahu Umi. Sampai sekarang belum ada bukti kalau dia memang bermain api lagi. Tapi aku merasa ada yang tidak beres. Hari ini dia pulangdari pelatihan. Selama ini sikapnya biasa saja, kami juga akrab, seperti pasangan normal lainnya. Dia kan pandai menyembunyikan sesuatu.”“Ya sudah kamu lihat saja dulu perkembangannya. Tidak gampang mengajak orang kembali kejalan Allah. Apalagi kalau dia sendiri belum berniat. Kamu harus mengetuk hatinya berulang kali,” papar Umi Ratna.Aku tahu beliau berniat menguatkan. Meski sebenarnya Umi Ratna telah lama menyarankan perpisahan. Sebab,analisanya secara hitung-hitungan psikologis menyatakan Sultan memang tidak akan berubah, kemungkinannya kecil sekali. Jika bukan karena Allah sendiri yang menyentuhnya, maka ia akan tetap seperti itu.Yah, Sultan hatinya keras.Bagaimana
Mobil berhenti setelah duapuluh menit melaju kencang. Kini aku berdiri disisi jembatan. Dibawahnya ada sungai yang mengalir. Kupandangi langit yang mulai menampakkan bintang-bintang. Udara dingin berhembus sejak tadi. Meski aku mengenakan pakaian dan jilbab panjang yang menutup tubuh dengan sempurna, tetap saja hawa dingin itu terasa. Terbayang kisah masa lalu.“Terimakasih sudah menerima pinanganku. Sekarang kamu adalah bidadari yang akan menjadi teman hidupku. Batinku merasa damai.”Kalimat pertama yang diucapkan Sultan sesaaat setelah lamaran usai. Jantungku melompat kegirangan. Sekuat tenagamenahan rasa malu saat itu. Keindahan yang kini hanya menjadi ilusi. Bayangan manis dan pahit pun silih berganti. Akukah bidadarimu? Keraguan menggelayut. Bukan, akulah tameng yang sengaja diambil untuk menutupi kebusukan.Jam 10 malam. JembatanKali Lanangsudah sepi. Tiada orang atau kendaraan
Adnan sekolah diantar Bude Larsih. Aku tidak berminat keluar rumah.Segala urusan butik di-handleAyana dan Nirmala. Rasapenasaran terhadap apa yang Sultan sembunyikan membuatku gamang. Dia belum bangun, baru tidur selepas subuh. Mencari ponsel Sultan yang disembunyikan, menjadi misi kali ini. Dengan kaki melangkah perlahan, mirip seperti pencuri, aku mengendap-endapmasuk ke kamar.Dimulai darilaci meja dan lemari,tapi tak menemukan apapun. Kantong celana yang kemarin dia pakaipun kosong. Tak lupakolong bawah tempat tidur, hasilnyajuganihil.MobilSultan! Mungkin ada di sana. Aku hafal dimana ia meletakkan kunci mobil.Berbagai sisi mobil sudah tersentuh tangan, tapi tak menunjukkan tanda-tanda keberadaan gawai sialan itu. Lalu, tampak ujung sebuah benda yangtertutup dengan boneka kura-kura. Ini dia ponselnya. Setelah dapat,aku justru terkejut.Ini ponsel siapa?
Rumah ibu adalah tempat paling nyaman yang pernah kutemui. Lebih nyaman dari huniankusendiri. Meski tidak luas, sederhana, bahkan beberapa bagian dinding rumah ini masih terbuat dari kayu. Tapi kedamaian begitu terasa.Bapak duduk di kursi ruang keluarga sambil menyeruput kopi kental kesukaannya,ditemani dengan pisang goreng hangat buatan Ibu. Ditangannya ada sebatang rokok yang sudah hampir habis. Aku mendekati Bapak, Adnan baru saja tidur. Ibu sedang di dapur menyelesaikan pekerjaannya menggoreng pisang.“Wes tilemAdnan?”“Sampun, Pak.”Hening suasana malam. Angin semilir terasa makin dingin. Daun-daun pohon belimbing yang kekuningan didepan rumah mulai berjatuhan. Suara jangkrik bersahut-sahutan. Sesekali kucing mengeong melihat burung gagak berterbangan didekat rumah. Ibu datang dengan pisang goreng yang masih hangat. Kemudian,beliau duduk disebela
“Kay... aku ingin bercerita sesuatu. Untuk pertama kalinya kisah rahasia ini sampai ke telinga orang lain. Jangan tanya alasan kenapa aku memilih cerita denganmu.”“Apa... ada hubungannya sama aku?”Alvin menghela napsa. Dia memejamkan mata seolah sedang menggali ingatan yang jauh. Perlahan bibirnya mulai mengucapkan kata-kata. Sebuah cerita yang kamu juga harus tahu. Bahwa tidak ada orang yang sempurna, termasuk Sultan, aku, juga Alvin.***“Sayang, kamu pulang jam berapa?” tanya seorang perempuan cantik melalui sebuah sambungan telepon. Suara di seberang sana menjawab dengan santai.Padahal perempuan bergaun biru muda itu tengah menunggu dengan cemas. Ia berkali-kali menggigit kukunya yang runcing lalu menutup ponsel dan membuang dengan kasar ke atas tempat tidur.Mata bulatnya menatap sendu jalanan ibu kota. Jendela apartemen tempat tinggalnya sangat jernih. Ia bisa melihat seekor kucing yang tengah
“Dinda.Bapak sepertinya tambah parah. Kita bawa ke rumah sakit saja ya?”Wajah ibu panik. Aku mengiyakan. Setelah membawa perlengkapan secukupnya kami berangkat mengantar Bapakke rumah sakit. Bapak tidak sadarkan diri. Tubuhnya dingin. Aku masih bisa merasakan pria berusia 69 tahun itubernapas,meski sangat lemah. Ibu menggenggam tanganku erat-erat. Terlihatkecemasan diwajahnya, meski ia tetap berusaha untuk tampak tenang.Para perawat membawa Bapakke UGD sebelum akhirnya ditempatkan di sebuah ruangan kelas satu. Bapak nampak tertidur, dokter baru saja memeriksa keadaannya.Ponselku berdering.“Iya Alvin, maaf aku gak bisa nerima telpon dulu.”“Kenapa Kay? Kamu kok kayanya panik.”“Bapak masuk rumah sakit, kata dokter tekanan darah tingginya naik.”“Oh gitu ya udah gak apa-apa. Pulang kantor nanti aku akan jenguk Bapak. Assalamu&