“Dinda. Bapak sepertinya tambah parah. Kita bawa ke rumah sakit saja ya?”
Wajah ibu panik. Aku mengiyakan. Setelah membawa perlengkapan secukupnya kami berangkat mengantar Bapak ke rumah sakit. Bapak tidak sadarkan diri. Tubuhnya dingin. Aku masih bisa merasakan pria berusia 69 tahun itu bernapas, meski sangat lemah. Ibu menggenggam tanganku erat-erat. Terlihat kecemasan di wajahnya, meski ia tetap berusaha untuk tampak tenang.
Para perawat membawa Bapak ke UGD sebelum akhirnya di tempatkan di sebuah ruangan kelas satu. Bapak nampak tertidur, dokter baru saja memeriksa keadaannya.
Ponselku berdering.
“Iya Alvin, maaf aku gak bisa nerima telpon dulu.”
“Kenapa Kay? Kamu kok kayanya panik.”
“Bapak masuk rumah sakit, kata dokter tekanan darah tingginya naik.”
“Oh gitu ya udah gak apa-apa. Pulang kantor nanti aku akan jenguk Bapak. Assalamu&
“Ada apa sih Mbak?Ya udah iya iya aku pulang sekarang.”Wajah Sultan berubah kemerahan. Terlihat matanya menatap lesu ke layar ponsel. Lalu, terdengar bunyi ponsel. Alis Sultan berkerutsekilas setelah membaca pesan itu. Ia memejamkan mata. Tangannya memegangi pelipis sambil sedikit memijat. Pria itu seperti sedang dalam tekanan.Dia terperanjat menyadari kau berdiri di dekatnya.“Kay, aku harus kembali ke Batu. Mbak Widya ngirimpesannyuruh aku pulang dulu.”Aku menatapnya datar, tapipenasaranjuga. Kenapa Mbak Widya menelponnya? Ada masalah baru lagikah? Mungkin masalah mertuaku yang terlilit hutang rentenir atau mereka bertengkar hebat lagi. Sultan pamit pada Bapakyang menatap kepergian menantunya dengan mata basah. Ibu seperti biasa,tersenyum lembut.Adnan merengek ingin ikut pulang dengan ayahnya. Anak itu memang selalu ingin ikut kenmanapun Sultan pergi. Sult
“Aku mohon ampuni aku Katrina, jangan minta cerai!”“Masih punya muka Mas jenengan bilang begitu. Kamu pikir aku tempat sampah huh? Seenaknya kau mesum dengan pria berotot itu. Lalu pulang memasang wajah seolah tak bersalah begitu.”Mata ibu berapi-api sesuai dengan besarnya amarah yang ia luapkan. Tangannya menunjuk-nunjuk wajah Bapakyangmemelas. Pria itukuyu,persis seperti ayam kurang makan. Tampak awut-awutan.Benar-benar mencerminkan suasana pikirannya yang carut-marut.“Jangan tampakkan wajahmu di hadapanku pezina. Kamu manusia tidak tahu malu. Apa kau pikir Allah tidak melihatmu?”Percuma, kata-kata itu tidak menembus hati Bapak ternyata. Ia minta maaf karena ketahuan saja, bukan karena merasa bersalah. Jika ia merasa dilihat Allah maka,takkan ia lakukan perbuatan keji itu. Ibu bisa membaca situasi, ia sudah tahu akan percuma bicara dengan lelaki setengah wanita ini. Ing
“Kenapa hidupku begini Ummi? Bapakku sama aja sama Mas Sultan. Apa aku lahir hanya untuk menjalani kehidupan gak jelas begini? Katanya karma gak ada. Kok aku seperti kena karma sih?” Aku meletakkan kepala di meja kamar dengan ponsel menempel di telinga. Setetes embun jatuh mengenai kayu berwarna cokelat tua itu.“Di dalam dirimu itu ada pola yang menjadi daya tarik bagi penyuka sesama jenis. Itu terjadi karena kamu sejak kecil melihat seorang laki-laki, yaitu Bapakmu. Sehingga standar laki-laki dalam hidupmu ya seperti Bapakmu. Secara tidak sadar, kamu membangun daya tarik bagi orang-orang yang penyuka sesama jenis, karena Bapakmu begitu.”“Hah?” Kepalaku kembali tegak sempurna. Apa tidak salah dengar? Aku yang menyebabkan pria semacam itu mendekat.“Seperti halnya anak perempuan punya ayah yang kasar. Maka orang-orang dengan tabiat kasar yang tertarik padanya. Karena dia telah membuat standar pemakluman bahwa laki
“Aku mendengarnya Kay. Semua itu. Tentang hubungan masa lalu mereka sampai terakhir di Palembang.” Mbak Widya meneteskan air matanya. Bening, sebening kasih sayangnya untuk Sultan. Adiknya yang malang dan menderita.“Gimana kalau kita tuntut aja orang itu. Si Martin itu...”Aku menggeleng.“Mbak... Seperti halnya Sultan. Mr. Lucas juga punya luka. Dulu dia pernah cerita kisah hidupnya padaku. Aku kenal orang itu waktu kuliah. Cukup dekat. Walaupun aku gak tahu bahwa dia seorang penyuka sesama jenis.”Dulu... Mr. Lucas melarikan diri dari dunia nyata dan terjebak dalam pergaulan sesama jenis. Itu benar. Saat ia sedang menjadi dosen, aku adalah mahasiswanya. Katanya dia nyaman bercerita kepadaku. Panggilan yang paling kuingat darinya adalah “si gadis manis yang lembut”. Aku selalu berusaha mengajarkan nilai Islam secara sederhana tanpa menghakimi. Orang sepertinya, dengan luka yang tak akan sembuh
Pagi ini Adnan sibuk dengan peralatan sekolah barunya. Tak terasa dia sudah memasuki Sekolah Dasar. Adnan tumbuh begitu cepat. Dia makin tampan, banyak tetangga yang mendadak suka berfoto dengan Adnan sembari memamerkannya di media sosial. Sejak masih TK, Adnan bahkan sering mendapat hadiah dari teman-teman bermainnya. Dia seperti selebriti kecil di sekolah barunya.“Ibu, Adnan sayang sama Ibu. Ibu Jangan sering nangis ya!”Alisku berkerut. Memang, selama ini Adnan sering melihatku menangis dalam do’a. Kadang tak terasa bulir-bulir perih menetes tanpa sebab. Adnanlah yang selalu ada dan menghibur hati yang sudah tidak berbentuk lagi. Putraku ini kini sudah berusia 7 tahun. Ia berpikir dewasa. Mungkin karena terlalu sering bercakap-cakap dengan Pak Haryono.“Adnan tidak suka melihat Ibu menangis?”“Menangis tidak apa-apa ibu. Kata Kakek menangis akan membuat hati seorang perempuan lega. Tapi, nanti Adnan tidak bisa lagi
“Adnan ketemu,” suara berat Alvin seperti cahaya yang membuyarkan kegelapan hari ini. Setelah berjam-jam akhirnya terdengar juga kabar yang lebih terang. Adnan ditemukan.“Di mana anakku,” tanya Sultan.“Di rumah sakit. Ayo!”Alvin mengajakku, tapi Sultan sedang menggenggam erat tanganku.“Aku ikut Mas Sultan aja.”“Ya sudah aku bawa mobil kamu. Kalian ikuti aku.”Apa yang sebenarnya telah terjadi? Adnan ada di rumah sakit, artinya dia mengalami hal buruk. Pikiranku kacau sekali. Bayangan-bayangan perkataan tadi pagi terngiang terus mengisi kepalaku bergantian. Perjalanan ke rumah sakit yang hanya sekitar satu jam terasa seperti bertahun-tahun. Ulu hatiku nyeri membayangkan wajah Adnan yang entah seperti apa sekarang.Sampai di rumah sakit Alvin berjalan cepat. Kami tiba di sebuah ruangan di mana seorang anak kecil tengah terbaring lemah. Kepalanya diperban. Seluruh tub
“Adnan, ayo Nak! Cepet! Sarapan, terus pakai sepatu kita berangkat sekolah sebentar lagi!”Kubuka pintu kamar Adnan. Ia tidak ada, mungkin sudah turun ke bawah untuk makan. Aku terus menyebut nama Adnan sambil berlari-lari kecil menuruni anak tangga.“Adnan.”Semua orang di hadapan meja makan menoleh. Ibu, Bapak, ibu dan Bapak mertua, Rara, Mbak Widya, Mas Salman. Mereka menatapku dengan sendu. Jantungku seperti berhenti berdetak. Baru kusadari Adnan tidak mungkin ada di ruang makan, dapur, taman, atau sekolah. Aku jatuh terduduk menutup wajah dengan kedua tangan agar tak nampak air mata yang menetes.Suasana ruang makan hening, hanya terdengar sesekali bunyi air yang diteguk. Tak ada yang bisa makan dengan lahap. Kepergian Adnan yang terlampau tiba-tiba membuat ruang kosong dalam di jiwa. Masing-masing sibuk dengan pikiran dan hanya menatap makanan dengan hampa.“Kalau terus begini sepertinya Adnan akan menyiram
Malam kian larut. Tidak ada satu orang pun yang beranjak tidur. Wajah-wajah tegang berkumpul di ruang keluarga. Televisi menyala terang menampilkan acara penuh gurau. Tidak ada muatan pendidikan atau nasihat sama sekali. Hanya canda tawa yang tidak lucu.Duduk di sana ibu, ibu mertua, Bapak dan Bapak mertua. Mbak Widya masih di sini bersama suaminya berbincang entah apa. Rara tenggelam dengan musik jaz yang ia dengarkan sendiri. Aku duduk membaca novel karangan ibu. Tak lama terdengar suara pintu diketuk dan seseorang mengucapkan salam. Jam 11 malam, mungkin itu Sultan.Benar. Sultan masuk dengan lunglai. Matanya menatap lantai berwarna merah bata yang licin mengkilap. Semua orang mengamatinya dengan arti yang berbeda. Bapak mertuaku berdiri mendekatinya. Tangannya langsung menghantam pipi kanan Sultan. Bunyinya bak petir. Tak cukup sekali, ada empat kali tamparan bahkan akan terus berlanjut jika saja Mas Salman tidak segera melerai. Ibu dan ibu mertua masing-mas