Adonis smirked, loosening his tie as he stepped closer. “Stop pretending, Zoe. Or should I say… Mrs. Walter?” His voice was low, teasing. “You’re drooling over me, admit it. I know exactly how happy you are to be married to Adonis Walter.” Zoe folded her arms, rolling her eyes. “Over my dead body.” “Oh, come on,” he said, shrugging off his tuxedo and letting it drop carelessly to the floor. “You get to have all this.” He unbuttoned his shirt and tossed it aside, leaving his toned chest on full display. Defined abs, sharp collarbones, muscles that flexed with every slight movement—he looked like he walked straight out of a magazine. Zoe’s eyes betrayed her for a split second before she quickly looked away. Damn it. Even if she disliked him, she couldn’t deny the truth. This man was hot. Zoe Powers agrees to an 18-month contract marriage with Adonis Walter to save her father’s company. What starts as a deal soon turns into something real. But with Adonis’ bitter ex-girlfriend and jealous brother scheming against them, will their love survive the storm?
View MoreLena merasa sedikit heran dengan bosnya pagi ini. Ia dipanggil menghadap ke ruangan si Bos. Lena duduk diam di kursi yang ada di hadapan Jayadi, bosnya. Ia menunggu si Bos berbicara. Suasana hening terasa dalam ruangan berukuran enam kali tujuh meter. Ruangan Jayadi, bos perusahaan raksasa yang bergerak di bidang konstruksi.
"Nanti siang enaknya makan apa ya?" Tiba-tiba saja menanyakan soal makan siang. "Loh inikan masih pagi, Pak," jawab Lena sambil tersenyum. "Ya kan nggak apa-apa toh, kebetulan kamu sudah di sini saya tanyakan itu." Lena merasa ada yang ganjil dengan bosnya. Lena masih duduk di hadapan si bos dengan pikiran sedikit bertanya-tanya. "Kamu kok seperti orang bingung." Jayadi memandang sekretarisnya itu sambil tersenyum. Lena menekurkan kepalanya. Ia tak berani lama-lama menatap wajah si Bos. "Iya Pak, saya cuma agak heran. Tak biasanya Bapak menanyakan makan siang sepagi ini " Lena kembali tersenyum, namun tetap tak berani menatap lama mata bosnya itu. Walaupun bosnya masih tergolong muda, bagi Lena lelaki yang sudah sukses membawa perusahaan mereka jadi perusahaan raksasa ini sangat berwibawa. "Ya udah, nanti kita bahas soal makan siangnya. Sekarang bagaimana soal proposal yang saya suruh kerjakan kemaren?" "Sedikit lagi selesai, Pak. Sedang diperbaiki." "Oke nanti saya cek ya, apa sudah oke atau belum." "Baik Pak." "Ya sudah, selesaikan segera!" "Baik Pak." Lena sudah dua belas tahun bekerja di perusahaan milik Jayadi. Boleh dikatakan Lena salah seorang kepercayaan Jayadi yang ikut bersamanya membawa perusahaan mereka jadi perusahaan raksasa. Lena sebenarnya sudah bekerja sejak perusahaan ini dipimpin oleh Pak Sudarmaji, papanya Jayadi. Saat itu Lena baru jadi sarjana. Ia masih baru belajar bekerja di sebuah perusahaan. Lena sangat berterima kasih pada Pak Sudarmaji yang telah menerima Lena bekerja. Saat itu keluarga Lena benar-benar sedang terpuruk dan mengalami kesulitan keuangan. "Izin pak. Saya kembali ke ruangan saya" kata Lena sambil berdiri dari kursi di hadapan Jayadi. "Iya."Jayadi menjawab Lena sambil membuka pesan WA yang baru masuk di handphonenya. Setelah Lena keluar dari ruangan, pikiran lelaki muda itu kembali pada gadis penjual mie ayam dekat kantornya ini. Ingatan Jayadi kembali pada saat ia di jalan mau ke kantor pagi tadi. Jayadi telah melihat gadis penjual mie ayam yang cantik jelita. "Terpesona". Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan sorot mata Jayadi ketika melihat gadis penjual mie itu. Cantiknya tak ketulungan. Persis seperti gosip-gosip para karyawan di kantornya. Ia menikmati betul kecantikan si gadis penjual mie dari balik kaca mobil mewahnya. Saat itu, ia terjebak macet dan berhenti persis di depan tempat jualan mie ayam Bu Masna. Tempat itu hanya berjarak lima puluh meter dari kantor perusahaan milik Jayadi. Para karyawan perusahaan Jayadi sering makan mie ayam di sini. Apalagi menurut para karyawan mie ayamnya enak. Dan yang tak kalah menarik si penjualnya yang sangat cantik. Putri dari Bu Masna penjual mie ayam. Jayadi hanya tersenyum dan membenarkan pembicaraan para karyawannya. Tidak hanya karyawan laki-laki, karyawan perempuan pun ikut-ikutan menjadikan gadis penjual mie ayam itu sebagai bahan gosip. "Busyeet, cantiknya memang kebangetan." Kalimat itu terdengar dari mulut Jayadi. Ia kembali tersenyum. Saat itu ia menyetir mobil sendiri ke kantor. Itulah salah satu kebiasaan Jayadi. Walaupun dia memiliki dua orang sopir pribadi, saat-saat tertentu dia hanya ingin menyetir mobil sendiri. Mobil mewah milik Jayadi berhenti persis di depan warung mie ayam itu sekitar lima belas menit. Orang-orang di warung mie tak memperhatikan keberadaan seorang pengusaha muda kaya raya yang tengah mengamati gadis penjual mie dari balik kaca mobilnya. Jayadi berdiri dan mengitari meja kerjanya seperti sedang memikirkan sebuah ide. Tak berapa lama, ia kembali duduk di kursi dan menggoyangkan kursi eksekutif yang sekaligus Ibarat singgasana baginya. Singgasana tempat dia memerintah kerajaan bisnisnya yang telah dia pimpin sejak sepuluh tahun ini. Sepuluh tahun yang lalu, papanya telah mewariskan perusahaan besar yang bergerak di bidang konstruksi ini padanya. Ia telah berhasil mengembangkan perusahaan konstruksi pemberian papanya ini sebagai perusahaan raksasa. Dari bisnis konstruksi, Jayadi juga telah memperluas bidang usahanya di bidang properti dan perhotelan. Jayadi memencet bel tanda panggil ke ruang sekretarisnya, Lena. Ia memanggil Lena kembali. "Iya, pak." Lena membuka pintu ruangan Jayadi. Ia tergesa-gesa duduk di hadapan Jayadi. "Nanti siang saya mau makan mie ayam saja. Tuh yang di sebelah sana itu. Suruh Wika atau Kasri membeli ke sana." "Mie ayam buk Masna di pinggir jalan itu? Bapak mau makanan itu?" "Iya, kamu heran ya " Jayadi tersenyum pada Lena. "Nggak pak. Maaf pak. Cuma tak biasanya bapak mau makanan di pinggir jalan begitu." Lena tak habis pikir, biasanya si bos besar itu minta dipesankan makanan dari restoran mahal. Itupun kalau dia ingin makan di kantor. Malah lebih sering mengajak Lena dan beberapa karyawan makan di restoran hotel atau restoran mewah. Apalagi kalau ada meeting dengan mitra bisnis atau orang penting. "Pokoknya siang ini saya mau makan itu." Ia menegaskan lagi keinginanannya makan siang mie ayam Bu Masna pada Lena "Iya pak." "Beli lima puluh porsi. Bagi-bagi pada staf." "Wah banyak pak?." Lena bergegas berdiri "Ih, kamu kok heran melulu." "Eh, iya Pak." Lena hanya tersenyum dikatakan begitu oleh Jayadi.. "Lena, jangan lupa minta juga nomor handphone Bu Masna atau anaknya itu. Besok-besok kalau saya mau lagi, tinggal telepon dan minta diantarkan sama mereka saja." "Baik pak." Lena keluar dari ruangan Jayadi dengan bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan bosnya yang tiba-tiba ingin makan siang mie ayam Buk Masna. Lena yang sudah lama mendampingi Jayadi sebagai sekretaris mulai mencium gelagat mencurigakan dari si bos. Wah, jangan-jangan, jangan-jangan si bos sudah ketularan dengan staf dan para karyawan yang tergila-gila pada anak tukang jual mie ayam itu. Ah, nggak mungkin, pikir Lena. Berarti satu hal mengejutkan telah terjadi pada si bos. Jangan-jangan dia suka pada gadis itu. Maklum si bos sudah umur dua puluh sembilan tahun tapi belum punya isteri. Jayadi memang belum menikah sampai sekarang. Jangankan menikah, punya kekasih saja tak ada. Lena tahu betul itu. Kedua orang tuanya sudah menginginkan Jayadi menikah. Pak Sudarmaji dan istrinya juga merasa heran kenapa putra sulungnya itu belum dapat jodoh. Sudah banyak gadis-gadis cantik dan berkelas yang ditawarkan padanya tapi belum ada yang cocok. Saat Jayadi sedang melamun, Lena masuk bersama Wika stafnya. "Ini pak pesanan mie ayamnya." Lena menyuruh Wika mengambil mangkok. "Oh, nggak pakai kotak gitu ya?" Jayadi menatap kantong plastik yang berisi mie ayam. "Nggak Pak, Bu Masna masih membungkusnya dengan plastik." "Ya udah, tak apa. Kamu pindahkah ke mangkok itu. Dan bikinkan saya kopi." Jayadi berbicara pada Wika. "Baik, Pak." Wika memindahkan mie ayam ke mangkok. Di ruangan kerja Jayadi terdapat sebuah meja bundar kusus untuk makan. Wika pergi ke pantri meminta Dina membuat secangkir kopi. "Punya kamu mana? Kalian temani saya makan di sini." Jayadi memerintahkan Lena dan Wika menemaninya makan mie ayam di ruangan kerjanya. "Baik, Pak. Wika ambil punya saya dan juga punyamu, bawa ke sini." Lena menyuruh Wika mengambil mie ayam yang ditaruh di meja kerja Lena. Wika meletakkan secangkir kopi hitam panas di dekat Jayadi. Setelah itu dia pergi mengambil mie ayam untuk mereka. "Yang lain sudah dibagikan?" "Sudah, Pak. Cuma hanya dua puluh porsi tersedia," jawab Lena sambil tersenyum. "Ya namanya juga pedagang kecil, Pak." Lena mulai menyantap mie ayam miliknya mengikuti si bos. Lena tak habis pikir kenapa Jayadi belum juga bertemu jodoh yang cocok. Padahal umurnya sebentar lagi tigapuluhan. Terkadang Lena Ingin menawarkan beberapa gadis yang dikenalnya, tapi dia takut kena marah. Sore sepulang kerja, Jayadi malah menerima omelan Mamanya. "Kamu kenapa sih? Ditawarkan yang ini nggak mau, yang itu nggak mau. Kriteria kamu yang mana sih?" kata Bu Sudarmaji pada putranya. Dua hari yang lalu Pak Sudarmaji telah mempertemukan dan ingin menjodohkan Jayadi dengan anak gadis kolega bisnisnya. Anak seorang pengusaha pertambangan yang sangat kaya raya. "Ya, tidak cocok, gimana lagi, Mamaku sayang," jawab Jayadi dengan santai menanggapi celoteh si Mama. Jayadi belum juga merasa cocok. Ada saja kekurangan perempuan yang dijodohkan dengannya. Pak Sudarmaji dan istrinya pusing tujuh keliling memikirkan kapan dia bermenantu. Jef, adiknya Jayadi juga malah memilih mengambil S2 ke Eropa sana. Padahal umurnya cuma beda dua tahun dari Jayadi. Jef juga sudah patut menikah. Bagi Pak Sudarmaji dan istri terserah siapa saja antara Jayadi dan Jef yang duluan menikah. Mereka khawatir keburu tua tapi belum punya mantu, apalagi cucu.Zoe sat on her bed, scrolling through her phone. A notification popped up from her notifications. It was from her anonymous client. Now, she finally knew who he was.“Did you get home? I’d like to see you tomorrow. Maybe we could go for coffee?”Zoe thought about it. Then she replied, “Your next session isn’t until next week.”Avron quickly responded, “I don’t want to talk about that. I just want to see you. Coffee tomorrow?”Zoe was confused. Why was he so eager to meet her outside of their professional sessions? She didn’t understand what he wanted, but she agreed to meet him.The next day, she drove to a small café. Sat at a table near the window, glancing at her phone. She checked the time—Avron was late. She sent him a message, but there was no reply.She looked around the café, starting to get annoyed. “What am I even doing here?” she thought. She was angry, frustrated, and beginning to feel foolish. She grabbed her jacket and stood up, ready to leave.Just then, Avron was whee
Zoe sat in her office, staring at the bouquet Avron had given her. She didn’t understand his intentions, and the more she thought about it, the more confused she felt.The door opened, and Elena stepped in quickly. “Mrs. Walter is here to see you,” she said.Zoe’s heart sank, but she nodded. Before she could reply, Lana walked in, elegant and commanding.Elena hesitated. “Should I—”“You can leave,” Lana interrupted, taking a seat across from Zoe.Zoe sat up, already sensing it wasn’t going to be pleasant.“I don’t understand why you’re already back from your honeymoon,” Lana began. “You’re newlyweds, i didn’t spend all that money for you to ruin it.”Zoe tried to respond, but Lana continued. “Adonis is still reckless, still irresponsible. And I still see him with that gold digger. As a married man, and especially with a woman like you as his wife, there should be improvements by now.”“I’m doing my best,” Zoe said firmly. “He doesn’t want to—”Lana raised a hand, cutting her off. “Do
Avron was escorted into Zoe’s office by his assistant, his wheelchair gliding smoothly across the floor.Zoe sat stiffly, her hands resting on the desk as she watched him. She couldn’t ignore the discomfort creeping up her spine. The last time she had seen him was at her wedding—the day he had made it clear that he wasn’t particularly happy about her presence in the Walter family.And now, here he was, sitting in front of her, smiling like they were old friends.She didn’t know much about him. She wasn’t sure if he liked her or not. She didn’t even know why he had booked this session in the first place.All she knew was that something about this felt… off.Zoe took a steady breath, pushing down the unease. She had a job to do.“Mr. Walter,” she greeted professionally, keeping her voice neutral. “Welcome. I assume you’re here for therapy?”Avron tilted his head slightly, amusement flickering in his eyes. “What else would I be here for? Do you sell chicken nuggets?”Zoe didn’t answer ri
Zoe stepped into her office building, the familiar scent of coffee and fresh paperwork greeting her. She hadn’t realized how much she had missed this place.The moment she walked in, her colleagues turned to her with bright smiles.“Mrs. Walter! You’re back already?” her assistant, Elena, gasped. “I thought you were supposed to be on your honeymoon.”Zoe gave a small smile as she adjusted her bag on her shoulder. “Plans change,” she said simply. “I’m here now, and that’s what matters.”The others exchanged glances, clearly curious, but no one pushed further. She was married to a billionaire now, and they wondered why she would be in a haste to work.“Your schedule is full today,” Elena informed her, handing over a tablet with her appointments. “Also, there’s something strange—an anonymous client booked a session, but they left no details.”Zoe frowned. “No name? No background information?”Elena shook her head. “Nothing at all. The appointment was for this morning, but they haven’t sh
Zoe walked past them quietly, not sure what to do. Her heart pounded as she realized who the woman was. Abigail.She kept walking, hoping to avoid a scene, but Abigail stepped in front of her, blocking her path.“And where do you think you’re going?” Abigail sneered, grabbing Zoe’s arm.Zoe looked at Adonis, expecting him to say something. To do something. But he only bowed his head, saying nothing.A sharp sting of disappointment hit her, but she masked it quickly. Without a word, she removed Abigail’s hand from her arm and turned to leave.Abigail’s eyes darkened. “How dare you?” she snapped and shoved Zoe.Zoe stumbled back, catching herself just in time. Anger flared in her chest. She had been silent for too long. Without thinking, she raised her hand and slapped her hard across the face.Abigail gasped, her head snapping to the side. She turned to Adonis, her eyes teary now.Adonis finally stepped in, grabbing Zoe’s wrist before she could strike again. “Enough!"Zoe’s chest rose
Zoe yanked her hand away from Adonis’s grip, her face set in frustration.“I’m tired of your little games, Adonis, let’s just go home.”Adonis stared at her, clearly not expecting that response. He let out a short laugh, shaking his head. “Home? Zoe, we just got here.”“I don’t care.” Her voice was firm, her eyes cold. “I don’t want to be here, pretending to be something we’re not. This is no honeymoon. This is not even a real marriage so we don’t need it.”His jaw clenched. “You’re overreacting.”“Am I?” She crossed her arms. “You act like this is all a joke, like you enjoy pushing my buttons. But I’m done playing along. So if you don’t mind, Get the PJ ready we’re going back to New York.”Adonis exhaled slowly, running a hand through his hair. “You’re not going anywhere, Zoe.”She scoffed. “Watch me.”She turned to leave, but he caught her wrist again, this time gently. “Fine, let’s go back to the hotel.”Zoe hesitated, surprised by his sudden agreement, but she nodded. Without anot
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments