Perkataan Angela berpengaruh dalam sisa hari Mark. Pernyataan bersedia gadis itu yang artinya mau tidak mau Mark harus mengikuti permainan Angela untuk berpura-pura dan itu membuat mood Mark terjun bebas.
"Pedro, apa malam ini La Hosta buka?" tanya Mark.
Pedro yang sedang berdiri mengamati sekitar, lalu menjawab, "buka, Tuan. Tuan Mark ingin kesana?"
Mark berdehem sebagai jawabannya lalu ia kembali mengokang pistolnya, menutup satu matanya dan menekan pelatuk.
Menembak adalah salah satu pelampiasan yang Mark lakukan saat pikirannya dan emosinya tidak stabil. Seperti saat ini, ia butuh pelampiasan agar suasana hatinya membaik.
Selain menembak ada satu cara pelampiasan lain yang biasa Mark lakukan.
***
Pintu kamar dibuka dari luar, badan Megan diguncangkan beberapa kali. Begitu matanya terbuka, sebuah pakaian dilemparkan padanya.
"Apa ini?" tanya Megan pada lelaki yang masih berdiri didepan pintu.
"Gunakan saja. Mandi dan beriaslah, pukul tujuh malam kau akan dijemput."
Klek. Pintu kembali tertutup.
Mandi? Berias? Yang benar saja!
Megan melangkah menuju kamar mandi yang ada dikamar itu. Kamar mandinya cukup mewah dan yang tak disangka Megan disana sudah disediakan pelatan mandi lengkap, bahkan ada bath-up nya juga.
Megan yang memang sudah merasa lengket dengan tubuhnya, bergegas melepas pakaiannya satu persatu. Lalu ia menuangkan cairan dengan aroma citrus dan melati.
Perlahan kaki jenjangnya memasuki bath-up yang sudah terisi air dan berendam disana.
***
Setengah tujuh malam, Megan sudah siap dengan dress berwarna merah menyala dibadannya. Warna dress itu sangat kontras dengan warna kulit putih Megan, wajah Megan pun sudah diriasi hiasan minimalis yang membuatnya semakin terlihat cantik. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai menutupi area punggungnya yang memang terbuka.
Megan mematut dirinya dicermin, entah kapan terakhir kalinya Megan berpakaian seperti ini? Mungkin empat tahun lalu? Atau tiga tahun lalu? Entahlah. Yang jelas saat itu Megan merasa bahwa dunia masih berpihak padanya.
Sesuai pemberitahuan yang Megan dapat, ia dijemput pukul tujuh tepat dan dimasukan ke sebuah ruangan lagi.
Megan terkejut saat mendapati ada sekitar enam wanita lain disana dan wanita-wanita itu sama terkejutnya dengan Megan.
Namun Megan tidak berniat menyapa mereka, ia menyendiri dan memilih tempat yang agak jauh.
Hingga salah satu dari mereka menghampiri Megan dan mengulurkan tangan.
"Nic," ucap gadis bermat biru tersebut. "Namaku Nicolette. Kamu bisa memanggilku Nic," Lanjutnya saat Megan tak kunjung mengulurkan tangan.
"Megan," jawab Megan akhirnya, ia menjabat tangan Nic.
"Kamu anak baru, ya?" tanya Nic.
"Anak baru?" Megan mengulang perkataan Nic karena tidak paham apa maksudnya.
"Iya. Semua yang disini—."
Penjelasan Nic terpotong saat seorang lelaki menyerukan perintah untuk segera bersiap.
Wanita-wanita tadi berbaris rapi dan didepan mereka ada tangga kecil. Megan mengira ini adalah pertunjukan fashion show dan mereka adalah model-model yang dibayar.
Satu persatu wanita itu menaiki tangga dan menghilang dibalik tirai, kemudian ada beberapa wanita yang kembali dan ada yang tidak. Termasuk Nicolette, wanita itu tidak terlihat lagi.
"Hei, yang baju merah, sekarang giliranmu untuk naik ke panggung!"
Megan yang merasa bahwa hanya dia satu-satunya wanita bergaun merah, bergegas naik ke tangga dan membuka tirai.
Alangkah terkejutnya saat ia melihat apa yang ada di balik tirai itu.
***
La Hosta ada sebuah bangunan mewah bak istana milik seorang lelaki bernama Marco. Bangunan itu dikamuflasekan sebagai pertunjukan teater, padahal fungsi yang sebenarnya bukan itu.
Perdagangan manusia, lebih tepatnya wanita terjadi disana. Marco menjual atau menyewakan wanita-wanita cantik didalam sana dan tidak sembarangan orang bisa masuk ke area La Hosta.
Mark sudah duduk manis disalah satu kursi didepan panggung. Segelas wine ia goyang-goyangkan ditangannya sebelum ia mencicipi minuman itu.
Mark tidak sendiri, ada beberapa lelaki lain yang juga berada disana. Ada yang lebih muda dari Mark bahkan ada juga yang seumuran dengan papanya.
Ini wanita kelima yang tampil, namun dari kelima wanita itu belum ada satupun yang membuat Mark mengangkat tangannya. Belum ada satu dari mereka yang menarik perhatiannya, apalagi memancing hasrat Mark.
Wanita ke enam yang Mark tidak tahu namanya, jatuh ke pelukan seorang lelaki berusia 33 tahun. Padahal jika Mark lihat wanita itu masih sangat muda, Mark menebak usianya sekitaran 21 tahunan.
Tiba wanita ke tujuh masuk, Mark pun mengabaikan wanita itu karena ia berpikir pasti sama dengan yang lain.
Tapi suara perempuan yang sangat Mark kenali dan tidak akan pernah ia lupakan, membuatnya mengangkat wajahnya.
Wanita itu berdiri disana. Ditengah panggung dan tanpa rasa bersalah.
Ucapan selamat malam yang diucapkan wanita itu membuat memori yang Mark kubur dalam-dalam mulai naik perlahan-lahan. Membuat Mark mengingat peristiwa memalukan yang ia alami, mengingat peristiwa yang membuatnya harus mengalami trauma berkepanjangan.
Mark harus mendapatkannya.
Hari ini atau tidak sama sekali.
Wanita itu masih sama. Tatapan menggodanya, senyumnya bahkan tubuhnya -ah tidak, tubuhnya lebih berisi, wanita itu bahkan dengan tidak tahu malunya melempar senyum kesana kemari untuk menarik perhatian lelaki.
Murahan.
Jalang.
Sorot mata Mark menggelap saat ia mendengar ucapan dari pemimpin acara itu.
"Baiklah, nilai tertinggi jatuh pada Tuan Felix sebesar lima ratus juta. Palu akan saya ketuk tiga kali."
Tok.
Tok
"Satu Milyar."
Mark berucap tanpa mengangkat tangannya. Tapi siapapun yang ada disana tahu pemilik suara itu adalah Mark.
Setiap kepala yang ada disana menoleh, menganga tidak percaya dengan pendengaran mereka. Satu milyar hanya untuk seorang gadis? Gila. Bahkan dengan satu milyar seharusnya Mark bisa mendapatkan lima gadis sekaligus.
"Wah, penawar tertinggi dipegang oleh Tuan Mark. Apa ada yang mau menawar lagi? Palu akan saya ketuk tiga kali."
Tok.
Tok.
Tok.
Dan terdengar riuh tepuk tangan menggema di ruangan itu. Tanda bahwa Mark yang menang, Mark yang berhak membawa pulang wanita ke tujuh itu.
***
Megan terlihat kebingungan dengan apa yang terjadi didepannya. Kenapa orang-orang berlomba menyebutkan harga? Apa uang itu nanti untuknya?
Kalau begitu, Megan harus bersikap semanis mungkin hingga harga tertinggi yang ia dapat.
Tiba akhirnya seorang lelaki tampan menyebut angka satu milyar. Waw, itu jumlah yang fantastis! Dengan uang sebanyak itu, Megan bisa memulai kehidupan barunya yang lebih baik.
Persetan dengan papanya, Megan akan meninggalkannya disini. Papanya sudah mati bersama dengan kematian mamanya.
Bibir Megan tidak henti mengembang saat diumumkan bahwa satu milyar untuk dirinya. Ternyata ada juga ya pekerjaan yang lebih mudah dari sekedar menyebar brosur?
Megan diperintahkan untuk turun dari panggung. Kaki jenjangnya perlahan turun menapaki anak tangga, ia sedikit mengangkat gaunnya agar tidak tersandung. Hal itu membuat pahanya terekspose secara langsung.
"Kenapa tidak sekalian saja kau buka bajumu?"
***
Bersambung...
"Kenapa tidak sekalian saja kau buka bajumu?" Megan berhenti. Netra hazelnya menatap pada lelaki yang tadi menyebutkan angka satu milyar. Apa maksud perkataan lelaki ini? Ini sudah termasuk pelecehan bukan? "Maaf, anda bilang apa?" tanya Megan. Mark memandang sinis ke arah Megan. Anda katanya? Apa perempuan ini sedang bermain drama? Berpura-pura tidak mengenalinya? Memang tidak salah jika julukan Ratu Drama disematkan padanya semasa kuliah. Baiklah, Mark akan meladeni sampai dimana ia mampu bermain drama. "Kenapa tidak sekalian kau buka bajumu?" tanya Mark. Gelas wine ditangannya sudah berpindah di meja. Mark memutar kursinya menghadap Megan, tangannya bersidekap, kakinya menyilang dan matanya intens terfokus pada Megan yang terlihat kebingungan dengan ucapannya. "Aku sudah membelimu satu milyar, jadi
Megan terbangun di sebuah ruangan yang berbeda, ruangannya tidak sebesar yang sebelumnya. Setelah kejadian semalam, Mark dengan tidak berperasaan mengusir Megan begitu saja keluar dari kamarnya. Ternyata ruangan sebelumnya yang ditempati Megan itu adalah kamar Mark, pantas saja luasnya membuat berdecak kagum. Tapi ruangan yang Megan tempati sekarang pun tidak kalah luas dan mewah untuk ukuran kamar tidur, bahkan lebih luas jika dibandingkan dengan kamar tidur dirumah mewah Megan dulu. Nuansa putih dan krem mendominasi disana, satu lampu gantung raksasa berkilau menancap di plafon tengah ruangan, dua lemari besar ada di sisi ranjang, satu sofa terletak di depan ranjang ditambah tv layar datar yang tiba-tiba muncul dari dalam tembok jika Megan memencet remotenya. Tok... Tok... Tok... Megan belum selesai mengagumi kamar yang ia tempati saat pintu diketuk. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk
Megan adalah perempuan pertama yang dibawa Mark ke mansion ini selama Paula bekerja untuk Mark. "Pau? Mark itu orangnya seperti apa?" tanya Megan pada Paula yang sedang sibuk merapikan tanaman hias gantung. "Tuan Mark itu tidak bisa dibantah Nona. Tapi sebenarnya dia baik," jawab Paula. Huh, baik? Paula mengatakan itu karena Mark menggajinya. "Dia menakutkan ya?" Paula tertawa, lalu menoleh menatap Megan. "Nada bicara Tuan Mark memang seperti itu." "Boleh aku berkeliling tempat ini?" tanya Megan. Paula mengangguk. "Asal jangan naik ke lantai 3," Paula mengingatkan, jikalau Megan lupa. "Memang ada apa di lantai 3?" Megan ini tipe yang rasa penasarannya tinggi. Jika dilarang maka ia akan semakin penasaran. "Saya juga tidak tahu. Tapi sejak pertama saya bekerj
"Peraturan ketiga segera dimulai." Megan tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia ingin bergerak namun tubuh Mark mengunci pergerakannya. "Mau melakukan disini atau dikamarku?" tanya Mark. Suara rendah Mark penuh gairah dan tuntutan. Megan mati kutu. Lagipula kenapa ia bisa tertidur disini? Alih-alih masuk kamar dan mengunci pintunya. Tatapan tajam Mark masih setia mengintimidasi Megan yang berada dibawahnya. Mark fokus menelusuri wajah Megan, matanya, hidungnya, bibirnya dan senyum Megan yang dulu membuat Mark merasakan luka. Karena senyum itu yang menjerat Mark dan berakhir menjadi bahan taruhan. "Bangun!" sentak Mark tiba-tiba. Ia menarik bahu Megan kasar sehingga perempuan itu terduduk. Pergelangan tangan Megan di cengkeram Mark, terlihat bahwa Mark berupaya menarik Megan memasuki kamarnya. Megan mati-matian melawa
Ruangan yang dipenuhi warna hitam dan coklat itu hening. Lima belas orang yang hadir disana, sudah duduk dikursi masing-masing tanpa suara. Fokus mata mereka berada di satu titik, didepan. Theo, asisten dan orang kepercayaan Mark bersuara didepan, memimpin rapat siang ini. Mark tidak akan bicara jika tidak diperlukan atau ada yang salah. Jadi selama Mark diam itu tandanya laporan yang mereka setorkan baik-baik saja, Mark tidak mentolerir kesalahan dalam laporan yang digunakan untuk bahan evaluasi dalam meeting. Sekecil apapun itu. 45 menit waktu meeting akhirnya selesai juga. Ditutup dengan hasil akhir bahwa proyek salah satu hotel yang ada di Negeri Gajah Putih akan selesai tiga bulan kedepan, setelah itu Mark dan beberapa petinggi perusahaan akan terbang kesana untuk melakukan peresmian. Mark meninggalkan ruang meeting terlebih dahulu. Sambil berjalan, Mark meraih ponsel didalam saku, ia memencet nomor tele
Tamatlah riwayatmu, Megan! Megan meringis saat Mark menariknya paksa. "Sedang apa disini? Menjual diri pada lelaki lain?" sindir Mark tajam. Perkataan Mark itu membuat Galang geram, kasar sekali laki-laki ini. Galang maju dan mendorong dada Mark namun cekalannya pada Megan tidak terlepas. "Jangan kasar sama cewek!" Mark yang terdorong mundur, maju kembali, dengan tatapan merendahkan ia melihat pada Galang. Biasa saja. Apa selera Megan sudah anjlok? Galang sudah mengepalkan tangan dan hampir melayangkan tinjunya pada Mark, namun Megan secara mendadak berdiri dihadapan Mark. Kedua tangan Megan terentang dan matanya terpejam, menanti tinju yang mendarat di wajahnya namun Megan tidak merasakan apapun. Saat matanya terbuka, Megan melihat kepalan tangan Galang menggantung diudara. "Lo ngapain disitu? Minggir!" bentak Galang.
Dua perempuan itu sama terkejutnya dengan Megan, apalagi melihat bibir Megan yang membengkak dan sedikit mengeluarkan darah."Perempuan liar manalagi yang kau bawa, Mark?"Megan yakin kata-kata itu merujuk padanya, Megan ingin membuka mulut untuk mengeluarkan bantahan bahwa ia tidak seperti itu.Namun perintah Mark lebih dahulu terdengar. "Pedro, bawa dia ke bilik."Pedro yang memang selalu siap untuk menerima perintah apapun dari Mark —bahkan ketika Mark meminta nyawanya, mungkin Pedro akan dengan senang hati memberikan, menunduk patuh.Teriakan Megan menghilang bersamaan dengan pintu ruang meeting yang tertutup, begitu juga gawai Mark yang kembali masuk ke sakunya."Mama, kenapa mendadak kesini bersama Angela?"Angela, yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari Thalia, kini berjalan menghampiri Mark. "Memangnya aku tidak boleh
Mark sudah siap untuk menghadiri undangan makan malam dari keluarga Angela. Sebuah alamat dan ancaman sudah Mark terima satu jam lalu dari Thalia. Tadinya, Thalia meminta Mark untuk berangkat bersama-sama dengannya dari rumah, namun Mark menolak.Mark tidak melihat Megan di manapun, padahal saat ini sudah jam makan malam. "Paula!" seru Mark, membuat Pau muncul dengan tergesa dari dapur. "Apa makan malam belum siap?""Sudah siap, Tuan. Nona Megan meminta makan malam diantar ke kamarnya."Mark menggeram marah mengetahui Megan belum juga menyadari posisinya. "Dia pikir dia siapa seenaknya memberi perintah?"