Share

4. Akibat Kejadian di Cafe

Megan melepas tag nama yang menempel didadanya dan menyerahkan pada manajer kafe didepannya.

"Megan, Megan. Kamu salah mencari lawan. Papa perempuan yang datang bersama pacarnya kesini adalah sahabat dari pemilik kafe ini. Maaf saya tidak bisa membantu kamu," ucap manajer itu.

Megan melangkah gontai keluar dari ruangan manajernya. Pacar Tristan benar-benar melaporkan Megan pada pemilik kafe yang membuat Megan dipecat saat itu juga.

Galang yang melihat itu mencegat Megan. "Dipecat?"

"Semangat ya!" Megan mengepalkan tangannya layaknya seorang motivator.

Raut wajah Megan dan ucapannya sudah menjadi jawaban atas pertanyaan Galang.

Galang memeluk Megan, memberi semangat padanya. Satu tahun menjadi partner bekerjanya membuat Galang menyayangi Megan seperti adiknya sendiri.

Megan menatap bangunan ini untuk yang terakhir kalinya. Bangunan yang banyak memberinya cerita, pengalaman dan tentunya bangunan yang memberinya biaya untuk melanjutkan hidup.

'Semangat Megan! Kamu harus bisa!'

Desahan kecewa lolos dari bibirnya. Walaupun Megan sudah bekerja sebagai penyebar brosur juga, namun itu pekerjaan tidak tetap yang sewaktu-waktu pekerjaannya bisa dihentikan.

Megan tengah mencari lowongan pekerjaan tetap yang pas untuk dirinya. Kriteria usia menjadi penghalang utama Megan mendapatkan pekerjaan yang baru. Ada batas maksimal usia untuk tiap lowongan yang ia minati.

Matilah Megan kalau sampai minggu depan ia belum mendapatkan pekerjaan yang baru.

***

"Megan," panggil Arista.

Megan yang baru pulang itu kaget mendapati mamanya duduk di sofa dengan luka lebam di pipi.

Tasnya dilempar begitu saja dan Megan segera menghampiri mamanya. "Mama dipukul?" tanya Megan.

"Mama jatuh tadi. Kamu kok udah pulang?" tanya Arista mencoba mengalihkan perhatian Megan tapi sepertinya Megan tidak terpengaruh.

Tangan Megan masih menjelajahi wajah mamanya, memeriksa apakah ada luka lain lagi. Wajah mamanya masih nampak cantik, walaupun sudah mulai berkeriput.

Tidak ada lagi bulu mata disana, tidak ada lagi perona pipi dan mata, tidak ada gincu menghias bibirnya. Semua hilang bersamaan dengan bangkrutnya usaha Bastian.

Namun, Megan tahu mamanya bukan orang yang segampang itu mengeluh. Bahkan saat dititik terendah sekalipun, Arista masih bisa tersenyum dan menenangkan, berkata bahwa semua akan baik-baik saja.

"Mama bohong. Mama dipukul kan sama orang itu?"

"Mana lagi yang dipukul, Ma?"

"Anting Mama dimana? Diambil sama dia?"

Arista terdiam, ia seperti menahan sakit pada badannya. Tubuhnya sudah tidak sesegar dulu, kini habis digerogoti penyakit.

Brak.

Arista terjatuh. Ia tidak sadarkan diri di pelukan Megan. Megan yang kaget dan panik, lalu berteriak meminta pertolongan.

Satu jam kemudian...

Langkah setengah berlari disertai isakan dan panggilan Megan untuk mamanya, berharap mamanya membuka mata untuk menjawab panggilannya.

Harapannya pupus saat tiba didepan ruang ICU. Megan melihat dengan mata kepalanya, defibrilator* itu diletakan di dada. Gerakan berulang itu terjadi dua hingga tiga kali, hingga akhirnya tim medis meletakan alat itu di meja.

Megan meluruh melihat itu. Kakinya seakan tidak kuat menopang badannya, Megan jatuh terduduk.

Pintu ICU terbuka dan kata maaf yang diucapkan oleh Dokter itu cukup mewakili rentetan kalimat yang selanjutnya.

Dunia Megan rasanya runtuh. Setelah cobaan yang bertubi-tubi, bahkan semesta dengan teganya mengambil satu-satunya semangat hidupnya.

Jadi untuk apa Megan melanjutkan hidup?

***

Sudah dua hari berlalu semenjak kematian ibunya yang disebabkan pecahnya pembuluh darah karena benturan di kepala.

Lelaki bernama Bastian yang menyandang status sebagai ayah biologisnya tidak juga nampak.

Megan terdiam dikamar, memandang seutas tambang yang terletak didepannya. Setan berlomba-lomba membakat emosi Megan dan mematikan akal sehatnya untuk meraih tambang itu.

Sampai pintu kamarnya didorong dengan keras dari luar. Megan tersentak, bau minuman keras menyebar kemana-mana, membuat Megan refleks menutup hidungnya.

Panjang umur!

Baru diomongin udah datang orangnya.

"Minta duit!"

Apa yang kelakuan seperti ini pantas disebut orang tua?

"Nggak ada duit," jawab Megan ketus.

Uangnya benar-benar sudah habis. Bahkan untuk biaya pemakaman ibunya, Megan meminjam uang pada Galang.

"Cepetan! Minta duit!"

"MEGAN NGGAK PUNYA DUIT LAGI, PA!" teriak Megan, marah. Bahkan ia sampai berdiri saat berteriak.

Gemuruh di dadanya membuat emosinya meledak. Semua yang dipendam Megan selama ini seperti bom waktu dan saat ini siap diledakan.

"BERANI NGELAWAN YA?!"

Tangan Bastian sudah terangkat untuk menampar Megan, tapi satu suara dibelakangnya menghentikan gerakan tangan lelaki itu.

"Wah, anak lo boleh juga. Kenapa nggak bilang kalo punya anak cewek?"

Seorang lelaki dengan tampilan preman dan kacamata di atas kepala menyela. Mata itu menatap tajam pada Megan seakan ingin mengulitinya.

Megan yang dilihat seperti itu langsung meraih jaket untuk menutupi badannya dari padangan liar lelaki itu.

"Lo mau? Gue jual nih," ujar Bastian.

Antara sadar atau tidak dengan ucapannya, yang jelas ucapan Bastian membuat Megan mengutuk perbuatan lelaki yang ia sebut papa itu.

"Lo masih punya utang sama Bos Marco. Sebutin aja butuh berapa, gue bawa anak lo. Sisa duitnya lo ambil di tempat biasa."

Tawa sumbang Bastian terdengar memuakan di telinga Megan. Ia masih berharap semoga sisi kemanusiaan papanya masih berfungsi untuk tidak menjualnya, biar bagaimanapun Megan ini darah dagingnya.

Megan menggeleng berulang kali, sebagau isyarat ia memohon pada papanya agar tidak dijual.

Tapi Bastian tidak mempedulikan Megan, ia malah mengulurkan tangan pada lelaki preman itu dan terucap kata deal. Sebagai tanda bahwa kesepakatan sudah diambil.

***

Megan meronta saat diseret paksa oleh dua orang lelaki. Tidak ada satupun warga yang berani menolongnya, karena sama saja bunuh diri jika mereka menolong Megan. Terdapat luka disudut bibir Megan karena tamparan saat ia hendak melarikan diri.

Sedangkan Bastian? Ia tertawa seakan tidak ada rasa bersalah sedikitpun setelah kematian istrinya dan menjual anaknya.

"Kalau anak lo bagus. Bos Marco pasti berani bayar mahal," kata lelaki preman itu.

"Pasti bagus! Gue jamin!" balas Bastian dengan penuh keyakinan.

Megan didorong paksa masuk kedalam mobil dan didalam mobil ia diapit oleh dua orang.

Sepertinya penderitaan Megan tidak berhenti sampai disini.

***

Mobil itu memasuki sebuah pekarangan rumah yang sangat luas. Terdapat beberapa pengawal yang berjaga disana, pintu mobil dibuka dari luar begitu mobil itu berhenti.

Megan yang tidak mau keluar membuatnya mendapat satu tamparan lagi dipipinya, membuat Megan meringis kesakitan. Mau tidak mau Megan keluar dari mobil.

Terlihat sebuah tangga didepannya begitu Megan keluar dan diakhir tangga itu terdapat pintu dua sisi yang berwarna putih gading. Megan menaiki tangga itu dengan lambat-lambat, ia tidak tahu ini tempat apa.

Begitu pintu dibuka, sebuah ruangan yang cukup besar terpampang di depan mata. Lantainya terbuat dari batu marmer dan sebuah lampu gantung yang sangat indah menghiasi bagian atas ruangan itu. Beberapa kursi layaknya kursi kerajaan tertata apik disana, terdapat juga beberapa meja yang diatasnya berisi gelas kosong, beberapa botol minuman keras bermerk terletak disisi gelas itu.

Dindingnya didominasi warna putih dan emas, membuat ruangan itu nampak semakin mewah dan elegan.

Ternyata diujung ruangan ada sebuah panggung kecil dengan tirai berwarna merah disana. Membuat Megan berpikir tempat ini seperti tempat pertunjukan teater.

Megan digiring masuk ke dalam sebuah kamar. "Jangan kabur kalau nggak mau mati," ucap lelaki yang membawanya.

Pintu kamar itu tertutup menyisakan Megan sendirian di dalam kamar itu. Disana hanya terdapat satu jendela dan jendela itu dilapisi teralis besi. Megan tidak bisa kabur dari sana.

Megan harus memutar otak untuk melarikan diri dari sini. Jika berujung sama-sama mati, Megan tidak mau mati konyol di tempat asing ini.

***

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status