Share

4. Baik dan Buruk

Merona mendapat pesan singkat dari Grazian yang memintanya untuk bertemu di parkiran. Lewat pesan singkat itu juga Grazian mengatakan bahwa dirinya hari ini ke kampus membawa mobilnya. Merona yang sudah tahu pun langsung menghampiri dan masuk begitu melihat sedan hitam milik Grazian.

“Ada apa?” tanya Merona kemudian saat sudah duduk manis di sisi Grazian.

“Makan siang.” Jawab Grazian lantas mengemudi mobilnya keluar dari kampus. “Ada kelas lagi jam berapa?”

Merona bersandar pada kursi dengan nyaman. “Satu setengah jam lagi, jangan cari tempat yang jauh.”

“Oke tuan puteri.”

Grazian membawa Merona ke salah satu restoran cepat saji, tak seberapa jauh dari kampus namun jarang menjadi tempat makan bagi anak-anak kampusnya. Mereka mengambil tempat duduk di sudut, memesan beberapa menu makan sekaligus. Merona meringis saat melihat banyaknya makanan yang Grazian pesan. Pramusaji yang melayani mereka mencatat pesanan Grazian dengan baik, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan pesanan keduanya.

“Tadi pagi kamu enggak sarapan?” Tanya Merona pada akhirnya.

Grazian menggeleng. “Mana sempet, bangun tidur langsung mandi terus ke temuin kamu.”

“Pulang kuliah aku mau ke Bogor ya.”

“Aku antar.”

Merona menunduk, menghindari tatapan Grazian. “Aku mau sendiri, lagi pula nanti malam kamu harus…”

“Enggak Roo! Aku enggak akan biarin kamu ke sana sendirian dan lagi aku enggak akan datang ke acara ulang tahun perusahaan sialan itu!”

Kalimat penuh ketegasan itu akhirnya membungkam Merona. Grazian jika sekali berkata tidak maka, selamanya akan tidak. Sering kali Merona mendapati dirinya tersesat dan kesulitan menyangkal setiap tindak tanduk lelaki yang duduk santai di depannya itu sambil memainkan ponselnya. Merona yakin Grazian tengah membalas pesan-pesan dari deretan kekasihnya.

Pernah Merona bertanya apa Grazian tidak lelah menjalani hubungan seperti itu? hubungan tanpa arah dan kepastian. Saat itu Grazian menjawab dengan lantang bahwa dirinya butuh pelarian jika tidak maka, Merona bisa saja menjadi pelampiasan Grazian dalam segala hal. Sedangkan Grazian sendiri tidak ingin menyakiti Merona.

Sadar bahwa suasana hati Grazian memburuk Merona meraih tangan lelaki itu untuk digenggam. Mengusap punggung tangannya. “Kamu inget enggak waktu aku mau bunuh diri terus kamu bilang kalau sekejam apapun keluarga, mereka akan tetap menjadi keluarga. Satu hubungan yang tak bisa diputus oleh apapun kecuali Tuhan.”

Grazian ingat pernah mengatakan itu pada Merona. Mengatakan bahwa membenci keluarga hanya akan menyakiti hati sendiri. “Itu sebelum aku tahu pengkhiatan itu, Roo.” Dua orang pramusaji datang mengantar makanan mereka. Grazian langsung diam menunggu mereka segera pergi. Setelah dia kembali berkata. “Makan dulu, jangan bahas apapun. Aku lapar.”

Ada udang bakar di sana. Merona mengambil satu untuk dipisahkan antara dagingnya dan cangkang. Grazian suka udang tapi, paling malas memisahkan cangkangnya. Merona selalu melakukan hal itu untuk Grazian, sama seperti ketika Merona makan ayam maka, Grazian akan memisahkan kulitnya dan memberikannya pada Merona si penggemar kulit ayam.

Merona tersenyum saat Grazian makan dengan lahap. Lelaki itu benar-benar terlihar kelaparan. Grazian saat makan lebih suka hening, Merona tahu itu jadi dia pun mengikuti aturan makan Grazian. Menerima suapan dari Grazian saat lelaki itu menyodorkan makanan ke mulutnya. Saling pandang, tersenyum dan menyuapi mereka benar-benar selayaknya sepasang kekasih

Tapi, jika ditanya apakah mereka kekasih? Maka, Merona tidak bisa menjawab tegas dengan ‘Iya’ tapi, juga tidak bisa mengatakan tidak. Dilihat dari dekatnya mereka, berbagi tempat tinggal dan mengetahui rahasia masing-masing yang tidak bisa disepelekan. Kedekatan keduanya dari sudut pandang Merona hanyalah dua insan yang terluka, yang berusaha saling menjaga tanpa mau kehilangan dan tanpa status yang jelas. Perasaannya terhadap Grazian menjadi sesuatu yang nyaris mustahil akan berbalas.

Dari sudah pandang Grazian, gadis yang bersamanya sekarang itu adalah tumpuan hidupnya. Alasannya bertahan, tempatnya pulang membagi luka dan tangisnya. Kejam memang tapi, Grazian yang tahu perasaan Merona tak pernah sekalipun menyatakan cinta pada gadis itu. Jika memanggil Merona dengan sebutan sayang maka, semua gadis pun dipanggil sayang olehnya.

Selesai makan Grazian kembali mengantar Merona ke kampus. Menurunkan gadis itu di depan gerbang kampus. Grazian masih ada urusan dengan pacarnya yang lain tapi, Grazian menjanjikan akan menjemput Merona dan mengantar gadis itu ke Bogor. Merona mengangguk setuju saja.

***

Jam empat sore Merona sudah selesai dengan kelasnya. Dia mengirim pesan pada Grazian untuk memberi tahu tapi, langkah Merona terhenti saat Aresh menghadang jalannya. “Ada apa, Resh?”

“Gue mau tanya tadi pas makan siang lo sama siapa?” Aresh Melipat tangannya di dada menunggu jawaban Merona.

“Harus banget ya aku kasih tahu?”

“Ya haruslah, lo naik mobil mewah Roo. Mobil siapa itu?”

Merona melangkah melewati Aresh yang kini mengikutinya. “Emang kenapa kalau aku naik mobil mewah? Enggak pantas karena aku cuma anak beasiswa?”

“Bukan begitu maksud gue tapi, aneh aja Roo. Waktu gue bawa mobil dan mau anter jemput lo nolak. Ya gue merasa tersinggung aja karena lo menolak ajakan gue tapi, enggak dengan orang lain.”

Berhenti melangkah, Merona menghadap Aresh. Menatap tepat di mata lelaki yang sudah pernah menyatakan cinta padanya itu. “Dia bukan orang lain buat aku, Resh. Dia alasan aku sampai sekarang masih hidup. Dia satu-satunya orang yang ada untuk aku saat aku sengsara disaat yang lain mengusir dan memilih pergi."

Aresh terdiam akan penuturan gadis itu. “Grazian, iyakan?” tanyanya kemudian. Bisa Aresh lihat keterkejutan Merona karena dirinya tahu perihal Grazian.

“Bukan.” Merona mencoba menyanggah.

“Gue tahu Roo selama ini lo tinggal sama Grazian. Itu alasannya lo enggak mau gue antar jemput dan gue juga tahu kalau lo terikat sama dia.” Sedikit berbisik Aresh menuturkan apa yang dia ketahui tentang Merona dan Grazian.

“Apa yang kamu tahu lagi?” tanya Merona penuh selidik. Bagaimana pun hubungannya dengan Grazian harus tetap menjadi rahasia.

“Enggak banyak, hanya sebatas tahu lo tinggal bersama play boy itu.”

Merona menghela nafas. “Maaf Resh kalau tindakan atau perkataan aku pernah menyinggung kamu tapi, aku mohon jangan bawa-bawa kehidupan pribadi aku dalam pembicaraan kita. Masalah aku tinggal dengan Grazian itu privasi. Jangan kamu umbar ke siapapun karena aku enggak suka dengan orang yang suka mengumbar urusan pribadi aku.”

Kali ini Aresh yang dibuat bungkam oleh Merona. Dirinya memang tidak berniat membocorkan rahasia itu pada siapapun, lagi pula dia hanya ingin tetap Merona di dekatnya. Aresh meraih tangan Merona. “Dia enggak baik buat lo dan gue enggak mau lo terpengaruh hal-hal buruk dari Grazian.”

Pelan-pelan Merona melepas tangan Aresh dari pergelangan tangannya. “Aku lebih tahu dia, Aresh lebih dari siapapun. Kamu enggak usah khawatir.” Katanya lalu pergi begitu saja sebab ponselnya sudah berdering. Grazian sudah menunggunya.

Bergegas Merona mengambil langkah lebar-lebar. Buku dalam pelukkannya nyari terjatuh tapi, segera dia perbaiki. Menarik tas dari punggungnya untuk memasukkan semua buku-buku tebal itu ke dalamnya, lalu kembali berjalan menuju gerbang. Dari pesan yang Grazian kirim lelaki itu mengatakan menunggunya di sana tapi, sebelum sampai Merona bisa melihat dari kejauhan ada Grazian di salah satu kedai kopi tengah mengobrol dengan dua gadis.

“Tebar pesona terus.” Kata Merona pada dirinya sendiri. Dia lalu mengambil ponselnya mengirim pesan tapi, nampaknya Grazian masih asyik dengan dua gadis itu. Merona memantaunya.

Dia duduk di salah satu bangku taman. Kembali mengirim Grazian pesan, berharap lelaki itu mau membacanya.

Masih asyik ya ngobrolnya? Kalau gitu aku ke Bogor duluan ya.

Dan Grazian dalam pandangan Merona masih belum membuka ponselnya. Benar-benar play boy kelas kakap yang pandai sekali tebar pesona dan mencuri banyak perhatian. Lima menit Merona menunggu akhirnya memilih untuk menghubungi lelaki itu, kali ini Grazian mengangkatanya. Mengambil jarak dari dua gadis yang sejak tadi berbincang riang dengannya.

Mata Grazian langsung mengedar ke sekeliling, melihat Rona ada di seberang sana. Lelaki itu tersenyum. “Kamu tunggu di sana, aku ambil mobil dulu.”

“Hmmm.” Merona hanya bergumam membalas perkataan Grazian, kemudian mematikan sambungannya.

Mata Merona tetap memperhatikan Grazian yang mengambil mobilnya yang terparkir di depan mini market, sedikit jauh dari tempat lelaki itu mengobrol dengan gadis-gadis yang ditemui di kedai kopi. Dari parkiran mini market, mobil Grazian harus putar arah untuk sampai di depan Merona. Langsung masuk seperti biasanya. Merona diam tanpa bicara.

 “Maaf deh, tadi ceweknya ngajak kenalan duluan.”

Menyindir perkataan Grazian, Merona membalas dengan tenang. “Biasanya juga gitu. Mereka ngajak kenalan terus kamu ladenin, kamu simpan nomor ponsel mereka, kamu ngobrol sehari dua hari udah jadian. Aku udah paham gimana step kamu cari mangsa.”

“Emang cuma kamu yang paling ngerti aku.” Kata Grazian dengan kekehan lalu mengusak puncak kepala Merona.

Tapi, tangan itu segera ditepis Merona. “Kena karma tahu rasa kamu.”

“Ya enggaklah, aku kan main bersih.”

“Kalau karmanya lewat aku gimana?” kali ini Merona bertanya dengan serius. “Kamu yang main-main terus aku yang kena karmanya.”

Grazian yang semula ingin melajukan mobilnya memilih untuk menunda sejenak menanggapi perkataan Merona. “Itu enggak akan terjadi. Kamu selalu ada dalam perlindungan aku dan kamu aman.”

“Semoga.”

Pelan-pelan mobil mulai bergerak dari Jakarta menuju Bogor. Tempat tinggal Merona dahulu. Grazian sudah tahu kebiasaan Merona yang akan berkunjung ke Bogor disetiap akhir bulan. Bukan untuk menemui keluarganya tapi, untuk mendatangi pemakamannya sendiri. Merona dianggap sudah mati oleh keluarganya. Datang ke tempat itu untuk mengingatkan Merona pada betapa kejam keluarganya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status