Merona mendapat pesan singkat dari Grazian yang memintanya untuk bertemu di parkiran. Lewat pesan singkat itu juga Grazian mengatakan bahwa dirinya hari ini ke kampus membawa mobilnya. Merona yang sudah tahu pun langsung menghampiri dan masuk begitu melihat sedan hitam milik Grazian.
“Ada apa?” tanya Merona kemudian saat sudah duduk manis di sisi Grazian.
“Makan siang.” Jawab Grazian lantas mengemudi mobilnya keluar dari kampus. “Ada kelas lagi jam berapa?”
Merona bersandar pada kursi dengan nyaman. “Satu setengah jam lagi, jangan cari tempat yang jauh.”
“Oke tuan puteri.”
Grazian membawa Merona ke salah satu restoran cepat saji, tak seberapa jauh dari kampus namun jarang menjadi tempat makan bagi anak-anak kampusnya. Mereka mengambil tempat duduk di sudut, memesan beberapa menu makan sekaligus. Merona meringis saat melihat banyaknya makanan yang Grazian pesan. Pramusaji yang melayani mereka mencatat pesanan Grazian dengan baik, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan pesanan keduanya.
“Tadi pagi kamu enggak sarapan?” Tanya Merona pada akhirnya.
Grazian menggeleng. “Mana sempet, bangun tidur langsung mandi terus ke temuin kamu.”
“Pulang kuliah aku mau ke Bogor ya.”
“Aku antar.”
Merona menunduk, menghindari tatapan Grazian. “Aku mau sendiri, lagi pula nanti malam kamu harus…”
“Enggak Roo! Aku enggak akan biarin kamu ke sana sendirian dan lagi aku enggak akan datang ke acara ulang tahun perusahaan sialan itu!”
Kalimat penuh ketegasan itu akhirnya membungkam Merona. Grazian jika sekali berkata tidak maka, selamanya akan tidak. Sering kali Merona mendapati dirinya tersesat dan kesulitan menyangkal setiap tindak tanduk lelaki yang duduk santai di depannya itu sambil memainkan ponselnya. Merona yakin Grazian tengah membalas pesan-pesan dari deretan kekasihnya.
Pernah Merona bertanya apa Grazian tidak lelah menjalani hubungan seperti itu? hubungan tanpa arah dan kepastian. Saat itu Grazian menjawab dengan lantang bahwa dirinya butuh pelarian jika tidak maka, Merona bisa saja menjadi pelampiasan Grazian dalam segala hal. Sedangkan Grazian sendiri tidak ingin menyakiti Merona.
Sadar bahwa suasana hati Grazian memburuk Merona meraih tangan lelaki itu untuk digenggam. Mengusap punggung tangannya. “Kamu inget enggak waktu aku mau bunuh diri terus kamu bilang kalau sekejam apapun keluarga, mereka akan tetap menjadi keluarga. Satu hubungan yang tak bisa diputus oleh apapun kecuali Tuhan.”
Grazian ingat pernah mengatakan itu pada Merona. Mengatakan bahwa membenci keluarga hanya akan menyakiti hati sendiri. “Itu sebelum aku tahu pengkhiatan itu, Roo.” Dua orang pramusaji datang mengantar makanan mereka. Grazian langsung diam menunggu mereka segera pergi. Setelah dia kembali berkata. “Makan dulu, jangan bahas apapun. Aku lapar.”
Ada udang bakar di sana. Merona mengambil satu untuk dipisahkan antara dagingnya dan cangkang. Grazian suka udang tapi, paling malas memisahkan cangkangnya. Merona selalu melakukan hal itu untuk Grazian, sama seperti ketika Merona makan ayam maka, Grazian akan memisahkan kulitnya dan memberikannya pada Merona si penggemar kulit ayam.
Merona tersenyum saat Grazian makan dengan lahap. Lelaki itu benar-benar terlihar kelaparan. Grazian saat makan lebih suka hening, Merona tahu itu jadi dia pun mengikuti aturan makan Grazian. Menerima suapan dari Grazian saat lelaki itu menyodorkan makanan ke mulutnya. Saling pandang, tersenyum dan menyuapi mereka benar-benar selayaknya sepasang kekasih
Tapi, jika ditanya apakah mereka kekasih? Maka, Merona tidak bisa menjawab tegas dengan ‘Iya’ tapi, juga tidak bisa mengatakan tidak. Dilihat dari dekatnya mereka, berbagi tempat tinggal dan mengetahui rahasia masing-masing yang tidak bisa disepelekan. Kedekatan keduanya dari sudut pandang Merona hanyalah dua insan yang terluka, yang berusaha saling menjaga tanpa mau kehilangan dan tanpa status yang jelas. Perasaannya terhadap Grazian menjadi sesuatu yang nyaris mustahil akan berbalas.
Dari sudah pandang Grazian, gadis yang bersamanya sekarang itu adalah tumpuan hidupnya. Alasannya bertahan, tempatnya pulang membagi luka dan tangisnya. Kejam memang tapi, Grazian yang tahu perasaan Merona tak pernah sekalipun menyatakan cinta pada gadis itu. Jika memanggil Merona dengan sebutan sayang maka, semua gadis pun dipanggil sayang olehnya.
Selesai makan Grazian kembali mengantar Merona ke kampus. Menurunkan gadis itu di depan gerbang kampus. Grazian masih ada urusan dengan pacarnya yang lain tapi, Grazian menjanjikan akan menjemput Merona dan mengantar gadis itu ke Bogor. Merona mengangguk setuju saja.
***
Jam empat sore Merona sudah selesai dengan kelasnya. Dia mengirim pesan pada Grazian untuk memberi tahu tapi, langkah Merona terhenti saat Aresh menghadang jalannya. “Ada apa, Resh?”
“Gue mau tanya tadi pas makan siang lo sama siapa?” Aresh Melipat tangannya di dada menunggu jawaban Merona.
“Harus banget ya aku kasih tahu?”
“Ya haruslah, lo naik mobil mewah Roo. Mobil siapa itu?”
Merona melangkah melewati Aresh yang kini mengikutinya. “Emang kenapa kalau aku naik mobil mewah? Enggak pantas karena aku cuma anak beasiswa?”
“Bukan begitu maksud gue tapi, aneh aja Roo. Waktu gue bawa mobil dan mau anter jemput lo nolak. Ya gue merasa tersinggung aja karena lo menolak ajakan gue tapi, enggak dengan orang lain.”
Berhenti melangkah, Merona menghadap Aresh. Menatap tepat di mata lelaki yang sudah pernah menyatakan cinta padanya itu. “Dia bukan orang lain buat aku, Resh. Dia alasan aku sampai sekarang masih hidup. Dia satu-satunya orang yang ada untuk aku saat aku sengsara disaat yang lain mengusir dan memilih pergi."
Aresh terdiam akan penuturan gadis itu. “Grazian, iyakan?” tanyanya kemudian. Bisa Aresh lihat keterkejutan Merona karena dirinya tahu perihal Grazian.
“Bukan.” Merona mencoba menyanggah.
“Gue tahu Roo selama ini lo tinggal sama Grazian. Itu alasannya lo enggak mau gue antar jemput dan gue juga tahu kalau lo terikat sama dia.” Sedikit berbisik Aresh menuturkan apa yang dia ketahui tentang Merona dan Grazian.
“Apa yang kamu tahu lagi?” tanya Merona penuh selidik. Bagaimana pun hubungannya dengan Grazian harus tetap menjadi rahasia.
“Enggak banyak, hanya sebatas tahu lo tinggal bersama play boy itu.”
Merona menghela nafas. “Maaf Resh kalau tindakan atau perkataan aku pernah menyinggung kamu tapi, aku mohon jangan bawa-bawa kehidupan pribadi aku dalam pembicaraan kita. Masalah aku tinggal dengan Grazian itu privasi. Jangan kamu umbar ke siapapun karena aku enggak suka dengan orang yang suka mengumbar urusan pribadi aku.”
Kali ini Aresh yang dibuat bungkam oleh Merona. Dirinya memang tidak berniat membocorkan rahasia itu pada siapapun, lagi pula dia hanya ingin tetap Merona di dekatnya. Aresh meraih tangan Merona. “Dia enggak baik buat lo dan gue enggak mau lo terpengaruh hal-hal buruk dari Grazian.”
Pelan-pelan Merona melepas tangan Aresh dari pergelangan tangannya. “Aku lebih tahu dia, Aresh lebih dari siapapun. Kamu enggak usah khawatir.” Katanya lalu pergi begitu saja sebab ponselnya sudah berdering. Grazian sudah menunggunya.
Bergegas Merona mengambil langkah lebar-lebar. Buku dalam pelukkannya nyari terjatuh tapi, segera dia perbaiki. Menarik tas dari punggungnya untuk memasukkan semua buku-buku tebal itu ke dalamnya, lalu kembali berjalan menuju gerbang. Dari pesan yang Grazian kirim lelaki itu mengatakan menunggunya di sana tapi, sebelum sampai Merona bisa melihat dari kejauhan ada Grazian di salah satu kedai kopi tengah mengobrol dengan dua gadis.
“Tebar pesona terus.” Kata Merona pada dirinya sendiri. Dia lalu mengambil ponselnya mengirim pesan tapi, nampaknya Grazian masih asyik dengan dua gadis itu. Merona memantaunya.
Dia duduk di salah satu bangku taman. Kembali mengirim Grazian pesan, berharap lelaki itu mau membacanya.
Masih asyik ya ngobrolnya? Kalau gitu aku ke Bogor duluan ya.
Dan Grazian dalam pandangan Merona masih belum membuka ponselnya. Benar-benar play boy kelas kakap yang pandai sekali tebar pesona dan mencuri banyak perhatian. Lima menit Merona menunggu akhirnya memilih untuk menghubungi lelaki itu, kali ini Grazian mengangkatanya. Mengambil jarak dari dua gadis yang sejak tadi berbincang riang dengannya.
Mata Grazian langsung mengedar ke sekeliling, melihat Rona ada di seberang sana. Lelaki itu tersenyum. “Kamu tunggu di sana, aku ambil mobil dulu.”
“Hmmm.” Merona hanya bergumam membalas perkataan Grazian, kemudian mematikan sambungannya.
Mata Merona tetap memperhatikan Grazian yang mengambil mobilnya yang terparkir di depan mini market, sedikit jauh dari tempat lelaki itu mengobrol dengan gadis-gadis yang ditemui di kedai kopi. Dari parkiran mini market, mobil Grazian harus putar arah untuk sampai di depan Merona. Langsung masuk seperti biasanya. Merona diam tanpa bicara.
“Maaf deh, tadi ceweknya ngajak kenalan duluan.”
Menyindir perkataan Grazian, Merona membalas dengan tenang. “Biasanya juga gitu. Mereka ngajak kenalan terus kamu ladenin, kamu simpan nomor ponsel mereka, kamu ngobrol sehari dua hari udah jadian. Aku udah paham gimana step kamu cari mangsa.”
“Emang cuma kamu yang paling ngerti aku.” Kata Grazian dengan kekehan lalu mengusak puncak kepala Merona.
Tapi, tangan itu segera ditepis Merona. “Kena karma tahu rasa kamu.”
“Ya enggaklah, aku kan main bersih.”
“Kalau karmanya lewat aku gimana?” kali ini Merona bertanya dengan serius. “Kamu yang main-main terus aku yang kena karmanya.”
Grazian yang semula ingin melajukan mobilnya memilih untuk menunda sejenak menanggapi perkataan Merona. “Itu enggak akan terjadi. Kamu selalu ada dalam perlindungan aku dan kamu aman.”
“Semoga.”
Pelan-pelan mobil mulai bergerak dari Jakarta menuju Bogor. Tempat tinggal Merona dahulu. Grazian sudah tahu kebiasaan Merona yang akan berkunjung ke Bogor disetiap akhir bulan. Bukan untuk menemui keluarganya tapi, untuk mendatangi pemakamannya sendiri. Merona dianggap sudah mati oleh keluarganya. Datang ke tempat itu untuk mengingatkan Merona pada betapa kejam keluarganya sendiri.
Sagara sudah pusing melihat ibunya yang sejak tadi mondar-mandir tak karuan. Bocah lelaki itu tak mengerti karena ucapan Merona tak sesuai seperti siang hari. Sagara dilarang datang ke ulang tahun adiknya Sulki. Alhasil Sagara melewatkan ajakan beberapa teman sepermainnya.“Siang tadi Mami bilang boleh, Mami juga yang akan antar. Kenapa sekarang enggak boleh?” tanya Sagara lesu.Merona berhenti mondar-mandir, dia menatap putra tunggalnya. “Maafin Mami ya.”“Mami harus kasih alasan yang jelas dong.”Tentu saja Merona tidak tahu harus memberi alasan jelas seperti apa. Langit tidak hujan, tidak pula ada badai. Sekuat apapun Merona mencari alasan, hasilnya tetap saja buntu. Sampai kemudian pintu rumahnya diketuk dari luar, Merona terlonjak kaget. Lalu terdengar suara beberapa anak memanggil anaknya.“Sagaaa!”Sagara melompat dari kursinya. Buru-buru dia keluar menghampiri kawan-kawannya. Merona tak sempat mencegah ketika anaknya itu membuka pintu depan rumah. Sagara tersenyum melihat tema
Kabar rumah angker yang sudah dibeli dan sedang dibongkar untuk renovasi itu langsung menyebar ke seluruh lingkungan. Termasuk Sagara, bocah itu bercerita pada Merona bahwa Om tampan yang dijumpainya tempo harilah yang membeli rumah tersebuh.Merona masih tak tahu siapa om tampan yang dimaksud anaknya. Lantai dia bertanya pada Chika. “Kamu tahu siapa om tampan yang dibicarakan Sagara?”“Oh itu, waktu di taman beberapa hari yang lalu ada om-om duduk di samping Sagara terus ngajak ngobrol. Kalau enggak salah namanya Zyan Malik.”Sesaat Merona terdiam. “Saya kan sudah bilang jangan dekat-dekat orang asing.”“Bukan orang asing, Mami. Nanti om tampan itu kan jadi tetangga kita juga.” Timpal Sagara sambil duduk di meja makan dan menarik piring berisi omlete dan roti panggang untuk cemilan sorenya.“Kok kamu tahu kalau om-om itu akan jadi tetangga kita?”“Tahulah,” jawab Sagara bangga. “Pulang sekolah tadi kan aku main di rumah Sulki yang rumahnya di depan rumah angker itu, Mi.”Merona waspa
Salah besar jika Grazian selama ini diam dan tidak tahu menahu keberadaan Merona. Pria itu tetap tahu kabar pujaan hatinya, meski hidup di bawah tekanan sang kakek tetap saja Grazian mengawasi Merona. Pria itu bahkan tahu soal Sagara—anaknya bersama Merona. Semua kemudahan yang Merona dapatkan pun tak lepas dari campur tangan Grazian. Hanya saja pria itu menahan diri untuk kontak langsung dengan Merona demi keselamatan mereka.Namun hari ini rupanya Grazian sudah tak sabar menahan diri lagi. Terlebih dia mempunyai kesempatan sejak kondisi kakeknya memburuk. Sepenuhnya kekuasaan sekarang ada di tangan Grazian, namun dia khawatir jika Merona enggan menemuinya. Jauh dari Merona membuat kehidupan Grazian berubah, terasa semakin kelam dan kotor dunianya. Grazian terkadang bertanya-tanya tentang apakah memang pantas dirinya untuk Merona?Grazian menatap Sagara lewat jendela mobilnya. Bocah lelaki itu tengah duduk di bangku taman bersama pengasuhnya. Ada anak-anak kecil lainnya yang bermain
- 6 Tahun Kemudian - "Selamat pagi!" Merona hangat menyapa pada pasien pertamanya hari ini. Seorang wanita muda yang tengah berbadan dua. Datang bersama suaminya. Merona tersenyum tatkala dengan sigap sang suami menarik kursi untuk istrinya duduk. "Jadi apa yang ibu rasakan?" tanya Merona ramah. "Saya enggak merasakan apa-apa, tapi suami saya, Dok. Kan saya yang hamil, terus kenapa dia yang mual-mual dan ngidam?" Merona tersenyum mendengar penuturan si ibu muda tersebut, lanjut kembali dia menjelaskan. "Itu namanya kehamilan simpatik, atau disebut juga dengan sindrom Couvade. Walaupun bapaknya mual-mual dan ngidam itu enggak berbahaya." Sang suami menjawab. "Sebenarnya saya enggak masalah untuk hal tersebut, Dok. Saya dan istri datang ingin melihat buah hati pertama kami." "Baik," balas Merona. Lalu bertanya. "Apa sebelumnya sudah pernah melakukan pemeriksaan?" Mereka menggeleng. Kening Merona berkerut, melihat kondisi perut yang sudah besar tersebut. "USG belum pern
Masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatannya. Grazian yang berada di kantor kakeknya untuk sebuah urusan itu, diam-diam menyusup pergi ke kediaman lama Merona. Pria itu yakin gadisnya ada di sana. Lolos dari beberapa pengawal yang menjaganya bukanlah hal yang mudah. Grazian bahkan harus menukar pakaiannya dengan office boy, lalu menutupi wajahnya dengan topi. Keluar dari pintu belakang, Grazian menyetop taksi di depan kantor kemudian.Jika sekarang Grazian tidak memaksakan dirinya bertemu Merona, maka Grazian khawatir tidak akan pernah ada lagi kesempatan bertemu Merona. Tahu benar bahwa kakeknya itu tidak main-main dengan segala rencananya. Pikiran Grazian tidak tenang selama dalam perjalanan, bagaimana dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Merona ketika mereka telah membagi segala rasa. Kenyataan bahwa Grazian terlampau mencintai Merona tak terelakan begitu saja.Maka saat taxi berhenti di depan rumah Merona, pemuda itu langsung turun membuka gerbang rumah yang rupanya tidak diku
Melihat bagaimana bahagianya Merona membuat Grazian tidak mempermasalahkan dirinya yang sudah mual menaiki macam-macam wahana. Malam yang semakin larut membuat keduanya semakin dekat merapat. Kembang api diluncurkan ke langit. Letupan-letupan indah itu menjadi penutup malah hangat mereka. Kini keduanya sudah kembali ke apartemen membawa serta sisa-sisa tawa.“Aku enggak nyangka kalau kamu ketakutan naik wahan ekstrim,” ucap Merona mengingat beberapa kejadian yang membuat Grazian nyaris muntah.“Bukan takut Sayang, tapi pusing.”“Udah tua ya?”“Bisa aja kamu,” lalu Grazian membawa Merona duduk di atas pangkuannya. Merapatkan tubuh ideal itu padanya. “Besok aku pergi, Roo.”Mata Merona mengerjap, kaget mendengar pengakuan Grazian. Memang sebelum Merona tahu bahwa Grazian akan pergi selama liburan, tapi dia hanya tidak menyangkan akan secepat itu. “Aku kira lusa atau beberapa hari lagi.”“Aku pikir begitu, tapi tadi sore kakek minta aku pergi besok.”Merona tidak tahu harus menjawab apa.
Keseharian hidup Grazian dan Merona sangatlah jauh berbeda. Jika Grazian lebih suka keluyuran mencari tempat-tempat baru yang seru untuk nongkrong, Merona justru lebih senang menghabiskan waktunya belajar di kamar. Saat teman-temannya sibuk mengunggah segala kemewahan tempat dan makanan yang mereka nikmati ke sosial media, maka Merona hanya cukup dengan melihatnya. Bukan lantaran tidak ingin atau tidak tertarik, tapi ada hal yang lebih Merona prioritaskan yaitu belajar dengan baik lalu lulus kuliah segera.Merona ingin membuat Grazian bangga padanya sekaligus membuktikan pada kakek dan orang tuanya bahwa dia layak untuk Grazian. Kehidupan muda Merona hampir tidak seseru kawan-kawannya. Tidak banyak warna dalam dunianya, tapi kehadiran sosok Grazian sudah cukup memberinya pelangi. Perjuangan yang dilakukan Merona adalah semata-mata untuk bisa bertahan dengan Grazian, dan juga untuk hatinya sendiri.Maka saat duduk berdua seperti sekarang bersama Grazian adalah hal yang tak akan Merona
Merona takjub dengan perubahan yang terjadi pada Grazian. Hari ke hari cowok yang terkenal brengsek itu semakin menunjukkan kebaikannya. Tidak lagi bergelut panas dari ranjang ke ranjang lainnya. Tidak juga mengadu motor di jalanan. Grazian fokus dengan kuliahnya. Belajar, lalu mengurus kedai kopi miliknya dan sesekali datang menemui kakeknya untuk mengurus bisnis yang akan wariskan padanya. Jelas saja apa yang dilakukan Grazian membuat Merona senang tanpa ragu mengembangkan senyum bangganya. Hari-harinya saat menjalani ujian Grazian lebih rajin datang ke perpustakaan untuk belajar dan meminjam beberapa buku. Tak jarang Grazian juga ikut belajar kelompok bersama teman-temannya. Hal yang hampir tidak pernah dilakukan sebelumnya. Saat selesai ujian cowok itu akan bercerita pada Merona bahwa dia bisa mengerjakan soalnya dengan lancar bahkan mempunyai keyakinan kalau nilainya akann sangat bagus. Merona percaya itu karena sejatinya Grazian sangat cerdas, hanya saja tertutup oleh malasnya
Sepulang kuliah Merona dikagetkan dengan kedatangan ayahnya yang menunggu di lobi apartemen. Entah itu bagian dari rencana kakek atau tidak, yang jelas Merona selalu was-was bertemu ayahnya. Perasaannya berkecamuk antara benci dan juga sayang sebagai anak. Sisa-sisa rasa sakit hati itu masih subur tumbuh di hatinya. Sekuat apapun Merona membuangnya namun saat berhadapan langsung seperti sekarang hatinya kembali perih.Meski perih Merona tetap mendekat. “A-ayah ada apa kemari?” “Apa tidak boleh seorang Ayah datang untuk melihat kondisi putrinya?”Boleh-boleh saja. Tak ada yang salah dengan kunjungan Haris hari ini, tapi seandainya hal itu dilukakan lebih cepat mungkin Merona akan senang hati menerima kehadiran pria itu. Hanya saja yang tersisa sekarang adalah luka. “Kalau saja Ayah datang lebih cepat, mungkin aku akan senang.”“Roo, apa sesulit itu memaafkan orang tuamu sendiri?”Genangan air mata sudah siap tumpah dari pelupuk. Merona menatap ayahnya dengan pandangan kabur. “Apa ses