Share

5. Cerita-Cerita

Grazian dan Merona sampai di Bogor saat malam. Mereka menginap di salah satu hotel, sebelum kemudian pagi-pagi mereka check out. Tujuan mereka adalah salah satu pemakan di kawasan Bogor, di sinilah mereka sekarang. Di pemakan yang sepi tanpa sempat sarapan.

Merona terlahir kembar hanya saja kembaran Merona meninggal ketika lulus SMP dahulu. Namanya Pelangi, nama yang terukir di batu nisan tepat di sebelah makam kosong atas nama Merona Jingga. “Maaf ya karena aku udah buat kamu meninggal, sekarang rasa memang pantas kalau mama dan papa anggap aku sudah meninggal juga.”

Grazian yang duduk di sisi Merona nampak tidak peduli dengan apa yang Merona lakukan. Lelaki itu sibuk membalas pesan-pesan manis yang dikirimkan oleh para jajaran kekasihnya. Bagi Grazian itu rasanya sangat menyenangkan. Membuat gadis-gadis itu melambung lalu setelah bosan dia putuskan hubungan. Dua atau tiga hari, paling lama sebulan.

“Zian, aku lagi sedih kok kamu malah senyum-senyum gitu?” tanya Merona kesal akan tingkah lelaki itu.

“Apaan sih Roo, ganggu orang aja deh.” Grazian memasukkan ponselnya ke saku celana. Mata hitamnya menatap Merona. “Lagian ngapain sih kamu sedih-sedih begitu? Orang tua kamu juga enggak peduli kamu masih hidup. Buat apa ditangisin, mendingan sekarang kita cari sarapan. Aku lapar.”

“Kamu rese kalau lapar, Zian.”

“Nah, itu tahu.” Grazian menarik tangan Merona meminta gadis itu segera beranjak dari sana. “Kamu enggak butuh mereka. Kamu hanya butuh aku.”

Merona berjalan bersisian dengan Grazian, menatap tautan tangan mereka. “Tapi, aku tetap saja ingin dianggap anak sama orang tua aku sendiri. Dibuang menyakitkan Zian.”

“Ya dan aku tahu rasanya maka dari itu aku enggak akan merengek menangisi mereka yang enggak ingin aku ada.”

Sampai di mobil Grazian mempersilahkan Merona masuk. Tujuan mereka sekarang adalah mencari sarapan lalu kembali ke Jakarta. “Orang tua kita aneh ya? Punya anak dibuang, dianggap mati padahal di luar sana banyak para orang tua yang ingin punya anak.”

“Gak usah bahasa masalah itu Roo, aku jadi lapar banget nanti. Bisa-bisa kamu yang aku makan.”

Merona terkekeh mendengar penuturan Grazian dengan kesalnya. “Ya udah kalau gitu kita cari sarapan.”

Merona dianggap mati oleh keluarganya sendiri karena sudah menjadi penyebab kematian Pelangi. Hari itu mereka baru saja dinyatakan lulus Sekolah Menengah Pertama. Merona ingin ikut dengan teman-temannya untuk merayakan kelulusan mereka dengan turun ke jalan padahal orang tuanya melarang keras tapi, Merona merasa bahwa itu adalah momen yang tidak bisa diulang. Merona lalu memaksa Pelangi ikut serta tanpa tahu bahwa maut sudah menunggu mereka.

Menaiki pick up milik salah satu teman sekolahnya, Merona dan Pelangi ikut berdesakan di belakang. Sorak sorai riang terdengar berubah menjadi jeritan menyakitkan ketika mobil berisi bahan bakar menubruk mereka dari depan hingga berguling ke jurang, lalu terjadi ledakan. Cepat tanpa tahu siapa yang selamat dan terbakar. Merona sendiri terlempar jauh jatuh ke rerumputan. Samar-samar matanya menangkap kobaran api yang melahap pick up hitam yang dinaikinya.

Saat membuka mata tiga hari pasca kecelakaan itu Merona ditampar keras oleh ayahnya. Dituding menjadi penyebab kematian Pelangi. Merona terpukul karena kembarannya menjadi salah satu korban tak selamat, lebih terpukul lagi karena hanya dirinyalah satu-satunya yang selamat dari tabrakan maut itu. Pelangi yang menjadi kebanggan keluarga harus pergi terlalu cepat. Keluarga Merona tak siap akan hal itu.

Setetes air mata jatuh membasahi pipi Merona ketika ingatan itu muncul tepat saat mobil yang dinaikinya melintasi jalan yang menjadi saksi kecelakaan yang merenggut lebih dari dua puluh nyawa itu. Grazian melirik Merona, dia tahu benar setiap kali melewati jalan itu Merona pasti akan teringat kisah pilunya.

“Roo, bubur ayam mau enggak?” tanya Grazian.

“Boleh deh.” Balas Merona mengusap air matanya. Dia sedikit bergeser untuk bisa merangkul lengan Grazian dan menyandarkan kepalanya di pundak lelaki itu. “Sebentar aja, Zian.”

Grazian membiarkan Merona mengambil dirinya sesaat.

****

Grazian benar-benar brengsek tiada tanding, setelah mengantar Merona pulang lelaki itu langsung pergi untuk menemui salah satu pacarnya yang entah keberapa. Teman kencannya banyak tinggal pilih mau yang mana. Hari ini pilihan Grazian jatuh pada salah satu teman sekelas Merona yaitu si anak wakil menteri kesehatan—Erika. Duduk di salah satu kafe yang menyediakan aneka macam camilan dan juga kopi, mereka benar-benar terlihat serasi.

Rupa Grazian yang mendekati sempurna disandingkan dengan Erika yang mempunyai wajah pribumi. Manis nan lembut. Malu-malu setiap kali Grazian memandangnya. Bisa Grazian tebak kalau Erika adalah gadis yang belum pernah pacaran. Gelagatnya benar-benar lucu di mata Grazian. Tidak seperti kebanyakan gadis yang mendekatinya.

“Biar aku tebak kamu pasti belum pernah pacaran kan?” tanya Grazian dengan mata yang tajam memandang Erika.

Sambil menunduk malu gadis itu menggeleng. “Belum pernah. Selama ini aku hanya fokus ke pendidikan.”

“Terus kenapa sekarang ngajak aku pacaran?”

“Em… penasaran aja sama…..”

Byur!

Mata Erika membola kaget tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seorang Grazian untuk pertama kalinya disiram oleh mantan kekasihnya di muka umum dengan secangkir kopi yang dipesannya sendiri. Kini semua mata tertuju pada meja Grazian dan Erika, juga gadis yang baru semalam Grazian putuskan lewat pesan singkat.

“Brengsek ya kamu! putusin aku gitu aja ternyata kamu udah ada yang baru!”

Grazian terkekeh sambil mengambil tisu dari meja untuk mengelap wajahnya yang basah dan lengket. “Setiap menit juga selalu ada yang baru. Tahu kan peraturannya kalau jadi cewek gue. Eh? Lupa sekarangkan udah jadi mantan.”

See? Betapa brengseknya seorang Grazian.

“Aku salah apa sih? Perasaan selama ini aku kasih banyak hal buat kamu. Aku korbankan hal paling berharga buat kamu tapi, kamu?! kamu dengan kejam putusin aku gitu aja!”

Grazian mengangkat bahunya. “Gue enggak pernah paksa lo buat ngasih apapun ke gue. Lo sendiri yang suka rela, ingat?”

Benar memang bahwa Grazian tidak pernah memaksa lawan kencannya tapi, tetap saja tindakan Grazian di mata para perempuan adalah salah. “Aku harus bilang apa sama mama kalau kita putus?”

“Dih?! Emang itu masalah gue? bukan kali!”

“Tapi, aku udah terlanjur bilang kalau kamu mau menikahi aku!” teriak gadis itu frutasi di depan wajah Grazian.

“Gue enggak ada janjiin apapun ke lo atau ke pacar-pacar gue yang lainnya. kaliannya aja para cewek yang baper!”

Erika yang menyimak dengan baik itu jadi ragu-ragu untuk melanjutkan hubungannya dengan Grazian. Cara lelaki itu memperlakukan seorang perempuan jauh dari ekpektasi Erika. “Grazian kamu kok ngomongnya gitu?” tanya Erika kesal.

“Kenapa? Takut diperlakukan sama? Ya udah kita enggak usah pacaran. Cewek masih banyak. Bukan cuma kalian aja.” Kata Grazian lalu meninggalkan kafe begitu saja sambil bersiul tak peduli dengan tatapan beberapa orang.

Salah satu pengunjung berkomentar. “Orang ganteng bebas mau ngapain aja.”

Garazian tersenyum manis sambil mengedipkan mata pada sekumpulan gadis yang dilewatinya. Super duper brengsek tapi, kejadian hari ini benar-benar membuat Grazian kesal. Jaket kesayangannya harus kotor oleh kopi. Keluar dari kafe Grazian memilih kembali ke apartemennya. Dia butuh Merona untuk meredakan rasa kesal di hatinya.

Memacu motornya dengan cepat membelah jalanan ibu kota. Saat melewati sebuah warung yang biasa digunakan untuk tempat anak-anak motor, Grazian menghentikan motornya di sana. Menatap pada sekumpulan anak-anak muda berseragam sekolah menengah atas. Kehadiran Grazian disapa hangat oleh mereka.

“Bang, balap lagi kuy! Nanti malem anak-anak mau lawan Rondhe.” Tutur salah satu dari mereka.

“Terus kalian siapa yang turun?”

Lelaki kurus yang tadi mengajak Grazian bicara menunjuk seseorang di dalam warung yang tengah makan bakwan. “Si Genta, bang.”

Grazian tertawa. Lantang suaranya memanggil Genta. “Udah sembuh lo?!”

Genta keluar dengan cengiran khasnya. “Cuma ditusuk bang, bukan digorok.” Genta lalu memperhatikan penampilan Grazian. “Kenapa tuh baju? Kotor banget lo kayak habis nyemplung di got.”

“Tai lo! Malem gue pantau, kalau lo menang gue ajak ke sirkuit bulan depan.”

“Ada bayarannya enggak?” tanya Genta.”

“Ada lima puluh juta.”

“Yes! Gue pastiin malam ini menang.”

Grazian kembali menarik gas motornya dan melesat meninggalkan sekumpulan remaja yang pernah dia selamatkan saat mereka tawuran dua tahun yang lalu. Mereka melihat sendiri betapa hebatnya Grazian mengalahkan musuh-musuh mereka. Sejak saat itu mereka langsung saja menjadikan Grazian panutan. Kalau kata Merona ya wajar saja sebab mereka sesama kaum brengsek menjadikan Grazian sebagai panutan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status