MasukPukul tiga dini hari Grazian baru kembali dari kediaman Rachel. Memasuki apartemennya yang sepi, Grazian melirik pintu kamar Merona yang sedikit terbuka dengan cahaya lampu menyorot keluar lewat celah pintu. Grazian tahu kalau Merona sedang mengerjakan tugas-tugas kampusnya. Antara belum tidur atau baru saja bangun tidur.
Merona akan tidur lebih awal lalu bangun sekitar pukul dua dini hari atau pukul tiga dan takan tidur lagi sampai pagi menjelang, atau merona tidak tidur semalam lalu akan tidur pukul lima dan bangun pukul enam pagi. Waktu tidur Merona sangat sedikit, Grazian sering kali melihat Merona terlelap di antara tumpukan buku-buku tebalnya.“Roo?” panggil Grazian dan melangkah masuk ke kamar gadis itu. Diletakkannya paper bag berisi kopi dan roti dari kedai kopi kenamaan itu di atas meja belajar Merona. “Buat kamu, pasti lapar kan?”Merona menatap Grazian dari ujung kepala sampai kaki. Jejak merah di leher lelaki itu terlihat jelas. “Kalau mau tidur di sini mandi dulu yang bersih.”“Kamu selalu jijik ya Roo kalau lihat aku habis bercinta dengan perempuan lain? pasti aku di suruh bersih-bersih. Kotor banget kayaknya badan aku.”Merona menarik nafasnya pelan. “Bukan itu maksud aku, tapi itu badan kamu pasti lengket. Gak nyaman kalau langsung tidur.”“Bercanda sayang, enggak usah cemberut gitu,” kata Grazian diiringi kekehan kecil. Tangannya lalu mengusak kepala Merona. “Besok ada kuis ya?”“Hmmm, pak Budi.”“Bagus deh, belajar yang rajin ya calon dokter.”Setelah mengucapkan itu Grazian keluar dari kamar Merona. Dia memasuki kamarnya sendiri tepat di sebelah kamar Merona. Lelaki itu ingat benar saat pertamakali bertemu dengan Merona. Hujan hari itu, Merona kuyup dengan seragam sekolahnya membawa koper dan tas di punggungnya. Grazian tahu hari itu Merona tengah kesusahan, tapi Merona tetap menolongnya. Menyelamatkan Grazian dengan membawanya ke rumah sakit padahal gadis itu tak punya cukup uang.Dari kejadian hari itu Grazian diam-diam memperhatikan Merona di sekolah. Pernah sekali memergoki gadis itu bermalam di gudang sekolah. Lambat laun Grazian tahu bahwa Merona ditendang oleh keluarganya sendiri dari rumah. Sejak saat itu Grazian memilih untuk menjaga dan memberikan Merona tempat paling nyaman.Meski pada akhirnya dirinya pun nyaman dengan Merona. Gadis itu selalu jadi tempatnya pulang. “Roo!” teriaknya kembali menghampiri Merona seusai membersihkan diri. “Kamu mau mie instan enggak? Aku mau masak nih.”“Enggak ah, gak sehat.”“Mentang-mentang anak kedokteran, tapi ya udah deh enggak apa-apa. Besok jangan bangunin aku ya, libur soalnya.”“Iya tahu,” balas Merona, lalu terdiam mengingat sesuatu. “Tadi ada orangnya kakek ke sini.”Grazian pura-pura tak mendengar. Dia tetap melangkah sampai ke dapur. Hal itu membuat Merona kesal sendiri lantas mengikuti lelaki itu. “Pak Arman bilang kalau bisa besok kamu datang ke acara ulang tahun perusahaan.”“Buat apa? Jadi pajangan lagi kayak yang udah-udah?” tanya Grazian sini. Ingat benar bahwa dirinya hanya dicap anak haram di keluarga besarnya. Satu-satunya yang sayang pada Grazian adalah kakeknya sendiri.“Ini kakek yang minta, Zian.”“Tapi enggak dengan orang tua aku!” bentak Grazian karena paling sebal jika harus membahas keluarganya. “Mereka sampai kapapun enggak akan pernah anggap aku, Roo dan kamu tahu itu. Tolong jangan bicara apapun ke aku soal mereka.”Grazian menjadi sensitif dan pemarah jika sudah membahas tentang keluarganya. Merona tahu bahwa dirinya sudah menyinggung bagian terdalam dari hati lelaki itu maka, satu pelukkan dia berikan untuk meluruhkan segela emosi Grazian. “Maaf Zian. Aku hanya menyampaikan, kalau kamu enggak mau datang ya enggak apa-apa.”Membalas pelukkan Merona, tangan Grazian mendekap erat tubuh ringkih gadis itu. Mengusap surai panjangnya dengan lembut lalu menghujani Merona dengan ciuman di puncak kepalanya. “Maaf juga karena udah bentak kamu.”Dekapan itu selalu berhasil membuat keduanya merasa tenang dari segala kacaunya perasaan mereka. Grazian bergerak untuk melepas pelukkan tapi, tetap menahan Merona dalam dekapannya. Lelaki itu menunduk untuk mendapatkan bibir Merona. Bibir yang menurutnya jauh lebih manis dari banyaknya bibir wanita yang pernah dia rasakan.“Zian, aku masih ada tugas,” kata Merona begitu ciuman Grazian turun ke leher.Lelaki itu tersenyum kecil, menjawil hidung Merona dengan gemas. “Aku udah bilang berapa kali kalau aku enggak akan sentuh kamu lebih jauh. Aku akan menjaga kamu sampai kamu bertemu dengan orang yang tepat.”Merona mematung di tempatnya. Sadar bahwa selama ini ada sesuatu yang menjadi penghalang antara dirinya dan Grazian namun, sesuatu tersebut tak mampu dijabarkan lewat kata-kata. Hal yang kemudian membuatnya meneteskan air mata di depan Grazian. Sakit yang tak teraba itu selalu datang tiba-tiba dan Grazian tahu arti tetesan air mata milik Merona.“Selamat malam, Zian.”“Selamat malam Roo.”**** Pagi-pagi sekali Merona sudah bangun dari tidurnya. Setelah belajar untuk kuisnya hari ini, Merona hanya tidur selama lima belas menit. Bangun saat jam setengah enam, mandi membuat sarapan dan meninggalkan Grazian yang masih terlelap. Menuruti perintah lelaki itu yang melarangnya untuk membangunkan saat kuliahnya libur.Jika Grazian pulang pergi ke kampus dengan kendaraan pribadi lain halnya dengan Merona yang memilih naik angkutan umum. Merona tidak merengek manja pada Grazian untuk sebuah kendaraan. Sudah bersyukur karena lelaki itu mau membiayai hidupnya. Di dalam bus Merona bertemu dengan teman sekelasnya. Namanya Antaresh, lebih akrab dipanggil Aresh.“Gimana buat kuis hari ini?” tanya Aresh.“Siap enggak siap, pak Budi mana peduli.”Aresh tertawa mendengar penuturan Merona. “Endokrinologi kayaknya bakal masuk kuis hari ini. Apalagi beliau lusa kemarin menyinggung lagi soal penyakit dalam.”“Bukan cuma Endokrinologi. Kisi-kisi yang bocor dari kelas sebelah Imunologi, Nefrologi, Gastroenterologi dan Pulmonilogi juga masuk ke daftar kuis penyakit dalam, tapi pak Budi enggak akan kasih soal yang sama disetiap kelasnya. Walau pokok meterinya sama.”“Gue malah baca bagian Hipertensi. Males banget hari ini masuk kelas.”Kuis memang jadi momok tersendiri bagi para mahasiswa di fakultas manapun. Masih baik pak Budi yang tidak pernah mengadakan kuis dadakan. “Tapi, seenggaknya beliau enggak pernah mendadak kayak bu Siska.”“Masa kemarin gue salah isi. Harusnya Perikarditis buat infeksi selaput jantung, gue malah isi Miokarditis.”“Itukan infeski otot jantung.”“Makanya, gue hopeless sama hasil kuis pak Budi.”Merona tersenyum mendengarnya. Memasuki semester enam Merona dan teman-temannya harus menghadapi banyak sekali ujian kompetensi klinik. Dari semester tiga lebih tepatnya mereka harus menyelesaikan empat belas blok sampai di semester tujuh nanti. Harus ikut ujian sesuai jumlah blok agar bisa lulus pendidikan dasar kedokteran. Meski begitu Merona tetap yakin bahwa apa yang mereka lewati hari ini adalah jalan menuju sukses di masa depan.Lima belas menit di perjalanan akhirnya mereka sampai di kampus. Gerbang megah yang menjulang tinggi itu bukti bahwa betapa terpandangnya mahasiswa yang berhasil menduduki salah satu kursi di antara fakultas-fakultas yang ada. Merona merasa beruntung menjadi satu dari sekian banyaknya mahasiswa yang bisa masuk di universitas terbaik di negeri ini.“Rona! Lo masih simpen pedoman umum keterampilan pemerikasaan THT yang dibuat dokter Hamzah sama dokter Tiwi?” tanya salah satu teman sekelas Merona.“Masih, emang punya kamu kemana?”“Dibakar sama nyokap gue. dikira sampah.”Aresh dan Merona tertawa mendengarnya. Menimpali ucapan Hanna teman sekelasnya, Aresh berkata. “Muka lo emang gak ada kelihatan anak yang rajin belajar, Na. Nyokap lo ragu tuh buku pedoman dipake sama lo.”“Mana sabtu depan ada keterampilan klinik, pasti deh gue kena damprat.”“Sabar-sabar. Nanti aku kasih pinjam, tapi habis keterampilan klinik langsung balikin,” Merona mengusap punggung Hanna. “Ayo masuk deh, bentar lagi kelasnya pak Budi.”Sambil menuju kelas, Hanna mengajak Merona bergosip. “Lo tahu enggak kalau Erika semalem dapet DM dari Grazian. Diajak kencan.”“Enggak.”“Gila sih tuh anak terkenal sampai seluruh kampus. Gue juga pengen jadi pacarnya Grazian,” Hanna mengakui benar bahwa pesona Grazian tidak bisa ditolak.Dari belakang Aresh menimpali. “Cewek ya gitu, dikasih good boy malah pilih bad boy. Nanti giliran disakiti bilangnya semua cowok sama aja, padahal gak sadar kalau dirinya bego karena mau-mau aja dikibulin bad boy.”Plak!“Lo bukan cewek sih jadi mana ngerti kalau bad boy itu selalu berkarisma. Bikin penasaran,” balas Hanna tak mau kalah.Pertengakaran kecil dua teman terdekat Merona itu hanya satu dari sekian banyaknya pertengkaran yang terjadi, tapi ngomong-ngomong perihal kabar Grazian yang akan mendekati Erika menjadikan Merona sedikit gusar. Rasanya baru kemarin Grazian bilang akan mendekati Erika, tapi hari ini dirinya sudah mendapat kabar bahwa lelaki itu sudah mengajak Erika kencan.***Terimakasih salam dari si amatiran :)Malam menjelang subuh ketika Grazian tiba di ruang kerja pribadinya. Arbitrase saham The King berkedip di layar—jutaan dolar berpindah dalam detik—tapi pikirannya bukan pada uang, bukan pada kekuasaan.Merona dan Sagara.Nama yang seharusnya ia jauhkan dari hidupnya. Nama yang justru paling ingin ia lindungi.Jhon, tangan kanan yang paling dipercayainya, berdiri di sisi ruangan. Ia melihat ekspresi bosnya dan tahu — badai yang lebih besar akan datang.“Semua sudah diatur seperti perintahmu,” ujar Jhon pelan. “Keputusanmu sudah final?”Grazian menyandarkan tubuh di kursi, menarik napas panjang, lalu mengambil ponselnya.“Tidak,” gumamnya lirih. “Tapi aku tidak punya pilihan.”Ia mengetik pesan dengan gerakan jari yang pelan—terlalu pelan untuk ukuran pria yang biasa memerintah dunia kelam:> “Aku tidak bisa menemui kalian beberapa hari ke depan.Tunggu aku. Jangan datang ke kota. Jangan biarkan Sagara keluar setelah sekolah.Ini penting.”Ia menatap teks itu lama, seolah tiap huruf men
Hujan turun tajam malam itu, seolah berniat membelah atap gedung kaca The King. Kilat sesekali menyambar, memantul pada wajah Grazian yang berdiri di balkon, memandang Jakarta dari ketinggian seakan sedang mengukur seluruh hidupnya.Ia berpikir tentang kebebasan—dan betapa mustahilnya kata itu selama ia masih bernapas dalam lingkaran keluarga Danuwiratmadja.Suara pintu otomatis terbuka. “Dia sudah datang,” lapor Jhon, tangan kanan Grazian.Grazian tidak bergerak. Hanya asap rokok yang mengepul dari bibirnya. “Sendirian?”“Tidak. Dia datang dengan—”“—tiga orang bodyguard, semuanya bersenjata?” Grazian memotong datar.Jhon mengangguk. “Seolah dia lupa siapa bos sesungguhnya di gedung ini.”Grazian membuang rokok dalam hujan. “Tidak. Dia hanya ingin menunjukkan bahwa ia masih merasa berhak atas hidupku.”Ia melangkah masuk. Setiap langkah berat, bukan karena takut… tapi karena rasa muak yang selama ini ia tahan.---Ruang rapat The King terasa seperti arena pembantaian yang sunyi. Lamp
Danuwiratmadja Rudolph terbaring di ranjang hitam berlapis satin.Di balik tubuh renta dan kulit keriput, masih tampak bayangan pria yang dulu menaklukkan benua dengan tangan besi.Aroma obat-obatan bercampur dengan parfum mahal menandai kenyataan pahit: sang raja sedang sekarat.Meski begitu, matanya tidak kehilangan cahaya kekuasaan. Ia tidak mau mati… sebelum memastikan perang terakhirnya selesai.Arman berdiri di sisi tempat tidur. “Dokter bilang kondisinya stabil malam ini, Tuan Muda.”Grazian tidak menjawab. Ia hanya memandang kakeknya, tidak dengan iba — tetapi dengan luka yang tidak pernah sembuh.“Akhirnya kau datang,” suara Rudolph serak, namun tetap mengandung perintah, bukan permohonan.“Aku datang karena ingin selesai,” jawab Grazian datar.“Bagus.” Rudolph tersenyum tipis. “Karena aku juga ingin selesai.”Ia menepuk ranjang, memberi isyarat agar cucunya duduk. Grazian tidak bergerak.“Baik,” Rudolph menghela napas ringan. “Kalau kau mau berdiri, berdirilah. Tapi dengarka
Pagi berikutnya, Grazian tetap datang ke rumah kecil itu.Bukan karena berani.Bukan karena mengabaikan ancaman kakeknya.Tapi karena ia tahu — jika ia mundur, maka semua ketakutan dan ancaman itu menang.Dan ia sudah terlalu lama hidup kalah.---Saat ia mengetuk pintu, Sagara langsung berlari menyambutnya — tanpa ragu, tanpa curiga, tanpa tahu dunia gelap apa yang sedang bergerak di belakang punggung mereka.“Om Zian! Aku bikin gambar! Iniiii!”Gambar dinosaurus berwarna biru yang mirip dengan gambar yang mereka buat bersama kemarin.Grazian merasakan hatinya meremas… dan sembuh… dalam waktu yang sama.Merona muncul dari dapur dengan wajah canggung — berusaha menyembunyikan betapa ia rindu pria itu datang.“Kamu beneran datang,” katanya pelan.“Aku janji,” jawab Grazian. “Aku nggak mau bikin Saga nunggu.”Tapi ketika ia bicara, tatapannya tidak pernah lepas dari Merona.Dan Merona tahu — itu janji yang ditujukan juga untuknya.Tak ada pelukan.Tak ada sentuhan.Tapi dekat sekali… sa
Satu minggu sejak kedekatannya dengan Sagara dan Merona semakin tak terhindarkan, hidup Grazian berjalan seolah dua dunia sedang tarik menarik dirinya.beberapa hari yang lalu saat pagi hari ia ada di gedung kaca megah—rapat, laporan profit, transaksi gelap yang dibungkus rapi dalam istilah “investasi offshore” sekarang Grazian sudah sangat dekat dengan mimpi yaitu Merona dan Sagara, tapi untuk malam ini Grazian dipanggil pulang ke kediaman keluarga Danuwiratmadja. Rumah yang terasa seperti museum: megah, penuh simbol kekuasaan, dan dingin.Ia sudah terlatih untuk membekukan hati setiap kali memasuki tempat itu. Namun malam ini, ada firasat buruk yang sulit diabaikan.Saat memasuki ruang utama, kakeknya sudah duduk menunggunya.Danuwiratmadja Rudolph — pria tua dengan kekuasaan seperti bayangan yang tidak pernah pudar. Tatapannya tajam, bukan karena usia melemahkan… tapi karena kekuasaan menguatkan.“Duduk.”Grazian duduk tanpa kata. Tak ada sapaan keluarga — hanya perintah dan ketaat
Sejak percakapan malam itu, tidak ada kata cinta, tidak ada pengakuan eksplisit, tidak ada keputusan apa pun.Tapi sesuatu berubah.Tanpa disadari — tanpa disepakati — mereka mulai hidup dengan kesadaran satu sama lain.Merona tahu Grazian akan datang.Grazian tahu Merona tidak benar-benar ingin dia menjauh.Dan Sagara… seolah menjadi poros yang menyatukan tanpa ia mengerti apa pun.---Satu malam setelah Merona selesai shift sore di rumah sakit, Sagara demam ringan. Tidak parah, hanya tubuh lelah karena kelelahan bermain di sekolah.Namun yang membuat Merona panik bukan demam itu — melainkan satu kalimat:“Om Zyan bilang kalau aku sakit, Om bakal datang.”Merona menghela napas panjang. “Saga, Om Zyan tidak harus datang setiap kamu sakit.”“Tapi aku ingin dia datang.” Mata Sagara memerah, suara seraknya mengandung kekhawatiran yang hanya dimiliki anak kecil. “Kalau dia datang, aku cepat sembuh.”Dan kalimat itu — sederhana namun tajam — menggoyahkan Merona.Bagaimana mungkin ia memisa







