Share

3. Penenang

Penulis: Yellowflies
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-31 09:41:30

Pukul tiga dini hari Grazian baru kembali dari kediaman Rachel. Memasuki apartemennya yang sepi, Grazian melirik pintu kamar Merona yang sedikit terbuka dengan cahaya lampu menyorot keluar lewat celah pintu. Grazian tahu kalau Merona sedang mengerjakan tugas-tugas kampusnya. Antara belum tidur atau baru saja bangun tidur.

Merona akan tidur lebih awal lalu bangun sekitar pukul dua dini hari atau pukul tiga dan takan tidur lagi sampai pagi menjelang, atau merona tidak tidur semalam lalu akan tidur pukul lima dan bangun pukul enam pagi. Waktu tidur Merona sangat sedikit, Grazian sering kali melihat Merona terlelap di antara tumpukan buku-buku tebalnya.

“Roo?” panggil Grazian dan melangkah masuk ke kamar gadis itu. Diletakkannya paper bag berisi kopi dan roti dari kedai kopi kenamaan itu di atas meja belajar Merona. “Buat kamu, pasti lapar kan?”

Merona menatap Grazian dari ujung kepala sampai kaki. Jejak merah di leher lelaki itu terlihat jelas. “Kalau mau tidur di sini mandi dulu yang bersih.”

“Kamu selalu jijik ya Roo kalau lihat aku habis bercinta dengan perempuan lain? pasti aku di suruh bersih-bersih. Kotor banget kayaknya badan aku.”

Merona menarik nafasnya pelan. “Bukan itu maksud aku, tapi itu badan kamu pasti lengket. Gak nyaman kalau langsung tidur.”

“Bercanda sayang, enggak usah cemberut gitu,” kata Grazian diiringi kekehan kecil. Tangannya lalu mengusak kepala Merona. “Besok ada kuis ya?”

“Hmmm, pak Budi.”

“Bagus deh, belajar yang rajin ya calon dokter.”

Setelah mengucapkan itu Grazian keluar dari kamar Merona. Dia memasuki kamarnya sendiri tepat di sebelah kamar Merona. Lelaki itu ingat benar saat pertamakali bertemu dengan Merona. Hujan hari itu, Merona kuyup dengan seragam sekolahnya membawa koper dan tas di punggungnya. Grazian tahu hari itu Merona tengah kesusahan, tapi Merona tetap menolongnya. Menyelamatkan Grazian dengan membawanya ke rumah sakit padahal gadis itu tak punya cukup uang.

Dari kejadian hari itu Grazian diam-diam memperhatikan Merona di sekolah. Pernah sekali memergoki gadis itu bermalam di gudang sekolah. Lambat laun Grazian tahu bahwa Merona ditendang oleh keluarganya sendiri dari rumah. Sejak saat itu Grazian memilih untuk menjaga dan memberikan Merona tempat paling nyaman.

Meski pada akhirnya dirinya pun nyaman dengan Merona. Gadis itu selalu jadi tempatnya pulang. “Roo!” teriaknya kembali menghampiri Merona seusai membersihkan diri. “Kamu mau mie instan enggak? Aku mau masak nih.”

“Enggak ah, gak sehat.”

“Mentang-mentang anak kedokteran, tapi ya udah deh enggak apa-apa. Besok jangan bangunin aku ya, libur soalnya.”

“Iya tahu,” balas Merona, lalu terdiam mengingat sesuatu. “Tadi ada orangnya kakek ke sini.”

Grazian pura-pura tak mendengar. Dia tetap melangkah sampai ke dapur. Hal itu membuat Merona kesal sendiri lantas mengikuti lelaki itu. “Pak Arman bilang kalau bisa besok kamu datang ke acara ulang tahun perusahaan.”

“Buat apa? Jadi pajangan lagi kayak yang udah-udah?” tanya Grazian sini. Ingat benar bahwa dirinya hanya dicap anak haram di keluarga besarnya. Satu-satunya yang sayang pada Grazian adalah kakeknya sendiri.

“Ini kakek yang minta, Zian.”

“Tapi enggak dengan orang tua aku!” bentak Grazian karena paling sebal jika harus membahas keluarganya. “Mereka sampai kapapun enggak akan pernah anggap aku, Roo dan kamu tahu itu. Tolong jangan bicara apapun ke aku soal mereka.”

Grazian menjadi sensitif dan pemarah jika sudah membahas tentang keluarganya. Merona tahu bahwa dirinya sudah menyinggung bagian terdalam dari hati lelaki itu maka, satu pelukkan dia berikan untuk meluruhkan segela emosi Grazian. “Maaf Zian. Aku hanya menyampaikan, kalau kamu enggak mau datang ya enggak apa-apa.”

Membalas pelukkan Merona, tangan Grazian mendekap erat tubuh ringkih gadis itu. Mengusap surai panjangnya dengan lembut lalu menghujani Merona dengan ciuman di puncak kepalanya. “Maaf juga karena udah bentak kamu.”

Dekapan itu selalu berhasil membuat keduanya merasa tenang dari segala kacaunya perasaan mereka. Grazian bergerak untuk melepas pelukkan tapi, tetap menahan Merona dalam dekapannya. Lelaki itu menunduk untuk mendapatkan bibir Merona. Bibir yang menurutnya jauh lebih manis dari banyaknya bibir wanita yang pernah dia rasakan.

“Zian, aku masih ada tugas,” kata Merona begitu ciuman Grazian turun ke leher.

Lelaki itu tersenyum kecil, menjawil hidung Merona dengan gemas. “Aku udah bilang berapa kali kalau aku enggak akan sentuh kamu lebih jauh. Aku akan menjaga kamu sampai kamu bertemu dengan orang yang tepat.”

Merona mematung di tempatnya. Sadar bahwa selama ini ada sesuatu yang menjadi penghalang antara dirinya dan Grazian namun, sesuatu tersebut tak mampu dijabarkan lewat kata-kata. Hal yang kemudian membuatnya meneteskan air mata di depan Grazian. Sakit yang tak teraba itu selalu datang tiba-tiba dan Grazian tahu arti tetesan air mata milik Merona.

“Selamat malam, Zian.”

“Selamat malam Roo.”

****

Pagi-pagi sekali Merona sudah bangun dari tidurnya. Setelah belajar untuk kuisnya hari ini, Merona hanya tidur selama lima belas menit. Bangun saat jam setengah enam, mandi membuat sarapan dan meninggalkan Grazian yang masih terlelap. Menuruti perintah lelaki itu yang melarangnya untuk membangunkan saat kuliahnya libur.

Jika Grazian pulang pergi ke kampus dengan kendaraan pribadi lain halnya dengan Merona yang memilih naik angkutan umum. Merona tidak merengek manja pada Grazian untuk sebuah kendaraan. Sudah bersyukur karena lelaki itu mau membiayai hidupnya. Di dalam bus Merona bertemu dengan teman sekelasnya. Namanya Antaresh, lebih akrab dipanggil Aresh.

“Gimana buat kuis hari ini?” tanya Aresh.

“Siap enggak siap, pak Budi mana peduli.”

Aresh tertawa mendengar penuturan Merona. “Endokrinologi kayaknya bakal masuk kuis hari ini. Apalagi beliau lusa kemarin menyinggung lagi soal penyakit dalam.”

“Bukan cuma Endokrinologi. Kisi-kisi yang bocor dari kelas sebelah Imunologi, Nefrologi, Gastroenterologi dan Pulmonilogi juga masuk ke daftar kuis penyakit dalam, tapi pak Budi enggak akan kasih soal yang sama disetiap kelasnya. Walau pokok meterinya sama.”

“Gue malah baca bagian Hipertensi. Males banget hari ini masuk kelas.”

Kuis memang jadi momok tersendiri bagi para mahasiswa di fakultas manapun. Masih baik pak Budi yang tidak pernah mengadakan kuis dadakan. “Tapi, seenggaknya beliau enggak pernah mendadak kayak bu Siska.”

“Masa kemarin gue salah isi. Harusnya Perikarditis buat infeksi selaput jantung, gue malah isi Miokarditis.”

“Itukan infeski otot jantung.”

“Makanya, gue hopeless sama hasil kuis pak Budi.”

Merona tersenyum mendengarnya. Memasuki semester enam Merona dan teman-temannya harus menghadapi banyak sekali ujian kompetensi klinik. Dari semester tiga lebih tepatnya mereka harus menyelesaikan empat belas blok sampai di semester tujuh nanti. Harus ikut ujian sesuai jumlah blok agar bisa lulus pendidikan dasar kedokteran. Meski begitu Merona tetap yakin bahwa apa yang mereka lewati hari ini adalah jalan menuju sukses di masa depan.

Lima belas menit di perjalanan akhirnya mereka sampai di kampus. Gerbang megah yang menjulang tinggi itu bukti bahwa betapa terpandangnya mahasiswa yang berhasil menduduki salah satu kursi di antara fakultas-fakultas yang ada. Merona merasa beruntung menjadi satu dari sekian banyaknya mahasiswa yang bisa masuk di universitas terbaik di negeri ini.

“Rona! Lo masih simpen pedoman umum keterampilan pemerikasaan THT yang dibuat dokter Hamzah sama dokter Tiwi?” tanya salah satu teman sekelas Merona.

“Masih, emang punya kamu kemana?”

“Dibakar sama nyokap gue. dikira sampah.”

Aresh dan Merona tertawa mendengarnya. Menimpali ucapan Hanna teman sekelasnya, Aresh berkata. “Muka lo emang gak ada kelihatan anak yang rajin belajar, Na. Nyokap lo ragu tuh buku pedoman dipake sama lo.”

“Mana sabtu depan ada keterampilan klinik, pasti deh gue kena damprat.”

“Sabar-sabar. Nanti aku kasih pinjam, tapi habis keterampilan klinik langsung balikin,” Merona mengusap punggung Hanna. “Ayo masuk deh, bentar lagi kelasnya pak Budi.”

Sambil menuju kelas, Hanna mengajak Merona bergosip. “Lo tahu enggak kalau Erika semalem dapet DM dari Grazian. Diajak kencan.”

“Enggak.”

“Gila sih tuh anak terkenal sampai seluruh kampus. Gue juga pengen jadi pacarnya Grazian,” Hanna mengakui benar bahwa pesona Grazian tidak bisa ditolak.

Dari belakang Aresh menimpali. “Cewek ya gitu, dikasih good boy malah pilih bad boy. Nanti giliran disakiti bilangnya semua cowok sama aja, padahal gak sadar kalau dirinya bego karena mau-mau aja dikibulin bad boy.”

Plak!

“Lo bukan cewek sih jadi mana ngerti kalau bad boy itu selalu berkarisma. Bikin penasaran,” balas Hanna tak mau kalah.

Pertengakaran kecil dua teman terdekat Merona itu hanya satu dari sekian banyaknya pertengkaran yang terjadi, tapi ngomong-ngomong perihal kabar Grazian yang akan mendekati Erika menjadikan Merona sedikit gusar. Rasanya baru kemarin Grazian bilang akan mendekati Erika, tapi hari ini dirinya sudah mendapat kabar bahwa lelaki itu sudah mengajak Erika kencan.

***

Terimakasih salam dari si amatiran :)

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Holding On To You   36. Mencari Cara

    Sagara sudah pusing melihat ibunya yang sejak tadi mondar-mandir tak karuan. Bocah lelaki itu tak mengerti karena ucapan Merona tak sesuai seperti siang hari. Sagara dilarang datang ke ulang tahun adiknya Sulki. Alhasil Sagara melewatkan ajakan beberapa teman sepermainnya.“Siang tadi Mami bilang boleh, Mami juga yang akan antar. Kenapa sekarang enggak boleh?” tanya Sagara lesu.Merona berhenti mondar-mandir, dia menatap putra tunggalnya. “Maafin Mami ya.”“Mami harus kasih alasan yang jelas dong.”Tentu saja Merona tidak tahu harus memberi alasan jelas seperti apa. Langit tidak hujan, tidak pula ada badai. Sekuat apapun Merona mencari alasan, hasilnya tetap saja buntu. Sampai kemudian pintu rumahnya diketuk dari luar, Merona terlonjak kaget. Lalu terdengar suara beberapa anak memanggil anaknya.“Sagaaa!”Sagara melompat dari kursinya. Buru-buru dia keluar menghampiri kawan-kawannya. Merona tak sempat mencegah ketika anaknya itu membuka pintu depan rumah. Sagara tersenyum melihat tema

  • Holding On To You   35. Rumah Angker

    Kabar rumah angker yang sudah dibeli dan sedang dibongkar untuk renovasi itu langsung menyebar ke seluruh lingkungan. Termasuk Sagara, bocah itu bercerita pada Merona bahwa Om tampan yang dijumpainya tempo harilah yang membeli rumah tersebuh.Merona masih tak tahu siapa om tampan yang dimaksud anaknya. Lantai dia bertanya pada Chika. “Kamu tahu siapa om tampan yang dibicarakan Sagara?”“Oh itu, waktu di taman beberapa hari yang lalu ada om-om duduk di samping Sagara terus ngajak ngobrol. Kalau enggak salah namanya Zyan Malik.”Sesaat Merona terdiam. “Saya kan sudah bilang jangan dekat-dekat orang asing.”“Bukan orang asing, Mami. Nanti om tampan itu kan jadi tetangga kita juga.” Timpal Sagara sambil duduk di meja makan dan menarik piring berisi omlete dan roti panggang untuk cemilan sorenya.“Kok kamu tahu kalau om-om itu akan jadi tetangga kita?”“Tahulah,” jawab Sagara bangga. “Pulang sekolah tadi kan aku main di rumah Sulki yang rumahnya di depan rumah angker itu, Mi.”Merona waspa

  • Holding On To You   34. Begini Saja Dulu

    Salah besar jika Grazian selama ini diam dan tidak tahu menahu keberadaan Merona. Pria itu tetap tahu kabar pujaan hatinya, meski hidup di bawah tekanan sang kakek tetap saja Grazian mengawasi Merona. Pria itu bahkan tahu soal Sagara—anaknya bersama Merona. Semua kemudahan yang Merona dapatkan pun tak lepas dari campur tangan Grazian. Hanya saja pria itu menahan diri untuk kontak langsung dengan Merona demi keselamatan mereka.Namun hari ini rupanya Grazian sudah tak sabar menahan diri lagi. Terlebih dia mempunyai kesempatan sejak kondisi kakeknya memburuk. Sepenuhnya kekuasaan sekarang ada di tangan Grazian, namun dia khawatir jika Merona enggan menemuinya. Jauh dari Merona membuat kehidupan Grazian berubah, terasa semakin kelam dan kotor dunianya. Grazian terkadang bertanya-tanya tentang apakah memang pantas dirinya untuk Merona?Grazian menatap Sagara lewat jendela mobilnya. Bocah lelaki itu tengah duduk di bangku taman bersama pengasuhnya. Ada anak-anak kecil lainnya yang bermain

  • Holding On To You   33. Sampai

    - 6 Tahun Kemudian - "Selamat pagi!" Merona hangat menyapa pada pasien pertamanya hari ini. Seorang wanita muda yang tengah berbadan dua. Datang bersama suaminya. Merona tersenyum tatkala dengan sigap sang suami menarik kursi untuk istrinya duduk. "Jadi apa yang ibu rasakan?" tanya Merona ramah. "Saya enggak merasakan apa-apa, tapi suami saya, Dok. Kan saya yang hamil, terus kenapa dia yang mual-mual dan ngidam?" Merona tersenyum mendengar penuturan si ibu muda tersebut, lanjut kembali dia menjelaskan. "Itu namanya kehamilan simpatik, atau disebut juga dengan sindrom Couvade. Walaupun bapaknya mual-mual dan ngidam itu enggak berbahaya." Sang suami menjawab. "Sebenarnya saya enggak masalah untuk hal tersebut, Dok. Saya dan istri datang ingin melihat buah hati pertama kami." "Baik," balas Merona. Lalu bertanya. "Apa sebelumnya sudah pernah melakukan pemeriksaan?" Mereka menggeleng. Kening Merona berkerut, melihat kondisi perut yang sudah besar tersebut. "USG belum pern

  • Holding On To You   32. Tanpa Tatap

    Masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatannya. Grazian yang berada di kantor kakeknya untuk sebuah urusan itu, diam-diam menyusup pergi ke kediaman lama Merona. Pria itu yakin gadisnya ada di sana. Lolos dari beberapa pengawal yang menjaganya bukanlah hal yang mudah. Grazian bahkan harus menukar pakaiannya dengan office boy, lalu menutupi wajahnya dengan topi. Keluar dari pintu belakang, Grazian menyetop taksi di depan kantor kemudian.Jika sekarang Grazian tidak memaksakan dirinya bertemu Merona, maka Grazian khawatir tidak akan pernah ada lagi kesempatan bertemu Merona. Tahu benar bahwa kakeknya itu tidak main-main dengan segala rencananya. Pikiran Grazian tidak tenang selama dalam perjalanan, bagaimana dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Merona ketika mereka telah membagi segala rasa. Kenyataan bahwa Grazian terlampau mencintai Merona tak terelakan begitu saja.Maka saat taxi berhenti di depan rumah Merona, pemuda itu langsung turun membuka gerbang rumah yang rupanya tidak diku

  • Holding On To You   31. Tak Pernah Cukup

    Melihat bagaimana bahagianya Merona membuat Grazian tidak mempermasalahkan dirinya yang sudah mual menaiki macam-macam wahana. Malam yang semakin larut membuat keduanya semakin dekat merapat. Kembang api diluncurkan ke langit. Letupan-letupan indah itu menjadi penutup malah hangat mereka. Kini keduanya sudah kembali ke apartemen membawa serta sisa-sisa tawa.“Aku enggak nyangka kalau kamu ketakutan naik wahan ekstrim,” ucap Merona mengingat beberapa kejadian yang membuat Grazian nyaris muntah.“Bukan takut Sayang, tapi pusing.”“Udah tua ya?”“Bisa aja kamu,” lalu Grazian membawa Merona duduk di atas pangkuannya. Merapatkan tubuh ideal itu padanya. “Besok aku pergi, Roo.”Mata Merona mengerjap, kaget mendengar pengakuan Grazian. Memang sebelum Merona tahu bahwa Grazian akan pergi selama liburan, tapi dia hanya tidak menyangkan akan secepat itu. “Aku kira lusa atau beberapa hari lagi.”“Aku pikir begitu, tapi tadi sore kakek minta aku pergi besok.”Merona tidak tahu harus menjawab apa.

  • Holding On To You   30. Senja dan Kamu

    Keseharian hidup Grazian dan Merona sangatlah jauh berbeda. Jika Grazian lebih suka keluyuran mencari tempat-tempat baru yang seru untuk nongkrong, Merona justru lebih senang menghabiskan waktunya belajar di kamar. Saat teman-temannya sibuk mengunggah segala kemewahan tempat dan makanan yang mereka nikmati ke sosial media, maka Merona hanya cukup dengan melihatnya. Bukan lantaran tidak ingin atau tidak tertarik, tapi ada hal yang lebih Merona prioritaskan yaitu belajar dengan baik lalu lulus kuliah segera.Merona ingin membuat Grazian bangga padanya sekaligus membuktikan pada kakek dan orang tuanya bahwa dia layak untuk Grazian. Kehidupan muda Merona hampir tidak seseru kawan-kawannya. Tidak banyak warna dalam dunianya, tapi kehadiran sosok Grazian sudah cukup memberinya pelangi. Perjuangan yang dilakukan Merona adalah semata-mata untuk bisa bertahan dengan Grazian, dan juga untuk hatinya sendiri.Maka saat duduk berdua seperti sekarang bersama Grazian adalah hal yang tak akan Merona

  • Holding On To You   29. Jalan

    Merona takjub dengan perubahan yang terjadi pada Grazian. Hari ke hari cowok yang terkenal brengsek itu semakin menunjukkan kebaikannya. Tidak lagi bergelut panas dari ranjang ke ranjang lainnya. Tidak juga mengadu motor di jalanan. Grazian fokus dengan kuliahnya. Belajar, lalu mengurus kedai kopi miliknya dan sesekali datang menemui kakeknya untuk mengurus bisnis yang akan wariskan padanya. Jelas saja apa yang dilakukan Grazian membuat Merona senang tanpa ragu mengembangkan senyum bangganya. Hari-harinya saat menjalani ujian Grazian lebih rajin datang ke perpustakaan untuk belajar dan meminjam beberapa buku. Tak jarang Grazian juga ikut belajar kelompok bersama teman-temannya. Hal yang hampir tidak pernah dilakukan sebelumnya. Saat selesai ujian cowok itu akan bercerita pada Merona bahwa dia bisa mengerjakan soalnya dengan lancar bahkan mempunyai keyakinan kalau nilainya akann sangat bagus. Merona percaya itu karena sejatinya Grazian sangat cerdas, hanya saja tertutup oleh malasnya

  • Holding On To You   28. Mengutarakan

    Sepulang kuliah Merona dikagetkan dengan kedatangan ayahnya yang menunggu di lobi apartemen. Entah itu bagian dari rencana kakek atau tidak, yang jelas Merona selalu was-was bertemu ayahnya. Perasaannya berkecamuk antara benci dan juga sayang sebagai anak. Sisa-sisa rasa sakit hati itu masih subur tumbuh di hatinya. Sekuat apapun Merona membuangnya namun saat berhadapan langsung seperti sekarang hatinya kembali perih.Meski perih Merona tetap mendekat. “A-ayah ada apa kemari?” “Apa tidak boleh seorang Ayah datang untuk melihat kondisi putrinya?”Boleh-boleh saja. Tak ada yang salah dengan kunjungan Haris hari ini, tapi seandainya hal itu dilukakan lebih cepat mungkin Merona akan senang hati menerima kehadiran pria itu. Hanya saja yang tersisa sekarang adalah luka. “Kalau saja Ayah datang lebih cepat, mungkin aku akan senang.”“Roo, apa sesulit itu memaafkan orang tuamu sendiri?”Genangan air mata sudah siap tumpah dari pelupuk. Merona menatap ayahnya dengan pandangan kabur. “Apa ses

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status