"Tapi Uta, mereka sudah jahat banget sama aku!" terisak-isak aku menyanggah pendapatnya yang hampir mirip dengan kebijakan Mama. Uta memintaku memberikan kesempatan pada mereka untuk memperbaiki diri. Bedanya, Mama setengah menekan karena merasa sudah terlalu banyak berhutang budi. Maksudnya, Mama menjual aku, begitu? Ya ampun! "Kamu nggak tahu kan Uta, gimana aku berusaha untuk mengerti, mengalah … Ngemong lah, karena kupikir Aldert benar-benar sakit. Skizofrenia atau ODGJ alias Oranh Dengan Gangguan Jiwa tapi nyatanya apa? Semua itu hanya prank, Uta!"
Sepi. Tak ada sahutan apa pun dari bagian kecil Benua Asia sana. Mungkin Uta berpikir super keras untuk memberikan tanggapan terbaiknya? Apa pun itu semoga Uta bisa mengerti posisi dan semua yang kualami selama di sini. Kalau tidak, artinya kami akan terlempar ke dalam sebuah konflik dan terus terang aku tak mau
Trik, trik!Kami baru mau mulai makan pagi, ketika ada pesan masuk di chat room. Sialnya, aku lupa meninggalkan ponsel di kamar dan malah terbawa ke ruang makan. Bisa membayangkan kan Guys, betapa hebohnya Tante Ariane akan hal itu?"Siapa itu yang chat, Hill?" tanya Tante Ariane dengan tingkat penasaran tinggi terpancar dari sorot matanya. "Oh, pesan pendek ya? Dibuka dulu lah Hill, mana tahu penting?" sarannya yang menurutku sangat berlebihan. Aku sudah dua puluh tahun, sudah bisa memutuskan apa yang harus kulakukan terhadap perkara kecil sekelas pesan masuk. Oh ya, aku bukan Aldert si Anak mama itu, tentu saja."Nanti saja, Tante." kataku menegaskan sambil memasukkan dua kotak gula ke dalam banana tea. "Hill mau makan dulu, lapar …," imbuhku dengan n
Mungkin aku sudah gila, ya?Mungkin. Tidak tahu. Tapi yang jelas sebenarnya, sejujur-jujurnya sedari dulu itu aku sudah mencintai Batik. Berharap suatu hari dia menyadari itu, memiliki perasaan yang sama denganku dan pada akhirnya bisa hidup bersama dalam sesuatu yang bernama Bahtera Rumah Tangga. Semakin Batik menekan, menyakiti justru semakin membesarlah rasa cinta ini.Aneh kan, gila? Tapi sumpah, rasanya tak bisa sedikit pun terlepas darinya. Termasuk setelah dengan emosional menolak lamarannya dulu, di malam keberangkatanku ke sini. Rasanya seperti anak burung yang nekat terbang meninggalkan sarang lalu terjatuh, tersesat di tempat asing. Perasaan bersalah plus penyesalan yang begitu besar selalu menghantui full time, hingga akhirn
Sorry. Sorry. Sorry.Mungkin aku akan mengecewakan kalian pada part ini, Guys. Karena Mungkin terkesan murahan atau minimal playgirl. Tapi sebenarnya tidak seperti itu kok, percayalah!Jadi, kami baru saja selesai berjalan mengelilingi danau dan duduk di bangku kayu, menghadap ke arah terbenamnya matahari. Perlahan-lahan ia merendah dan turun, menyaputkan warna jingga keunguan yang begitu indah di langit sebelah sana. Ufuk Barat? Ah, jujur ya jujur, di sini aku sampai tidak mengenal arah. Kanan, kiri, depan, belakang … Hanya itu yang kukenal sebagai bekal perjalanan. Ke mana pun bepergian, selalu mengandalkan denah atau peta.OK, fine. Back to my story in the lake!(Baiklah. Kembali k
Oh, marah sekali rasanya mendapatkan cemoohan yang seperti itu, sakit sekali. Bisa-bisanya … Atas dasar apa? Karena aku menciumi wajah Arnold tadi? Sungguh, tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau ternyata selain tak punya otak, Aldert juga tak punya hati. Kalau misalnya aku diam saja, apa dia lantas berhenti memukuli Arnold? Tidak kan, dia pasti semakin menjadi-jadi dan entah bagaimana akhirnya. Ya ampun, dia tak ingin menghilangkan nyawa Arnold, kan?Ponsel Arnold sudah ditangan tapi aku tidak langsung menghubungi Julia. Sambil menepuk-nepuk lembut dada kiri Arnold, sebisa mungkin menjawab cemoohan Aldert. "OK, thanks. Aku catat, aku pegang kata-kata kamu ya Aldert. Aku cewek murahan. Jadi, mulai sekarang jangan lagi dekat aku dalam bentuk apa pun, oke? Oh ya, satu yang kamu perlu tahu, Aldert. Walaupun seluruh orang di dunia ini memintaku untuk menikah denganmu, aku t
"Aku harus gimana, B?" pertanyaan itu muncul begitu saja setelah saluran telepon terbuka dengan sukses selebar-lebarnya. Malam ini aku terpaksa meneleponnya, walaupun tahu kalau di sana pagi masih buta. Mungkin juga berkabut tebal dan super dingin tapi tak punya pilihan lain. Tidak mungkin menelepon Mama, sejak beberapa hari yang lalu itu aku sudah menetapkan Mama sebagai musuh. Dalam kaitannya dengan Aldert dan orangtuanya, maksudku. "Aku benar-benar buntu, B. Bingung. Nggak tahu harus gimana."Batik tertawa kecil. "Lho, kok gitu? Memangnya kamu kenapa Hill, ada apa?"Ada perasaan tidak enak juga untuk membeberkan semuanya pasa Baik. Nanti kalau dia tersinggung atau malah marah, salah sangka bagaimana?"Sebenarnya aku nggak betah di sini, B. Pingin cepat pulang
Tak ada balasan apa pun lagi dari Batik, membuatku tergempur gelisah. Di satu sisi, ingin menelepon untuk memastikan tapi di sisi yang lain, Tante Ariane sudah memanggil untuk segera turun. Jadi, tanpa berpanjang kata aku mengirimkan pesan terakhir untuk Batik.[Ya sudah, aku berangkat ya B?][Jaga diri kamu baik-baik di sana, ya?][Tetap semangat dan pantang menyerah!][Life must go on kan, B?][Kirimi foto kamu yang sekarang ya, nanti aku juga kirimi foto terbaru aku][Soal cincin, konfirmasi ya?]"Oh Hill, apa kamu sudah siap?" Om Frank menyembulkan kepala dari balik pintu. "Ada yang perlu Om bantu, Hill?
Siapa yang ingin jatuh sakit, Guys?Pasti tidak ada, termasuk aku tapi inilah yang terjadi bahkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di Brussel. Diare itu mulai menyerang setelah makan siang yang cukup sadis di hotel. Maksudku, restoran yang ada di hotel. Bagaimana bisa aku menyebutnya dengan makan siang yang cukup sadis?Karena selera makan masih switched off, aku tidak terlalu memperhatikan menu apa yang kupilih. Semacam spaghetti chilli sauce, udang krispi dan kerupuk super pedas. Minumnya orange juice dingin. Selama proses makan semua masih baik-baik saja tapi begitu kembali ke kamar, perut mulai sakit. Mulas, panas dan melilit-lilit.Tante Ariane dan Om Frank langsung be
Siapa sangka, liburan yang awalnya terasa begitu menyenangkan tiba-tiba berubah menjadi sebuah bencana? Tiba-tiba Tante Ariane dan Om Frank melamarku untuk dinikahkan dengan Aldert, anak angkat mereka. Kami sedang berlibur di Brussel waktu itu terjadi, mengacaukan daya kerja otak, jantung dan pernapasanku secara total. Menjajah kebahagiaan yang selama hampir satu bulan kudapatkan di Netherlands, tentu saja. Merubah istilah holiday menjadi broken day.Apakah aku tidak berusaha untuk menolak? Sudah. Mati-matian bahkan, dengan mengerahkan seluruh kekuatan jiwa dan raga. Tapi mereka ditambah dengan Mama justru semakin gigih untuk mengalahkan pendirianku. Oh, sebenarnya aku mengalah---pada akhirnya---karena Batik tak merespon sama sekali ketika aku berterus terang dan meminta pendapatnya."Jadi, gimana ini, B?" tanyaku setenga