Kacau. Kacau. Kacau.
Bagaimana bisa Aldert mencampuri urusan pribadiku sampai sejauh ini? Di belakangku, dia menemui Arnold dan mengatakan kalau aku tidak jadi bekerja di Leker Fillet alias membatalkan kesepakatan secara sepihak. Alasannya sangat sederhana, karena aku di sini berada di bawah tanggungjawab orangtuanya. Dia mewakili mereka, tentu saja.
"Oh Arnold, I am very sorry?" hampir saja aku menangis saat mengatakan itu di sambungan telepon yang tak terlalu jernih. "I didn't know that it will be a problem here, for Aldert's family. His father permitted me to work well in Leker Fillet, really. He supported me, Arnold." (Oh Arnold, aku benar-benar minta maaf?) (Aku nggak tahu kalau
"Halo, B?" aku mengulangi menyapa sambil terus membayangkan wajah lengkap sepaket dengan senyum miringnya yang khas. Mata elang, alis ulat bulu, bibir tipis, dagu berbelah tengah, hidung mancung, buku mata tebal dan lentik dan rambut ikal sebahu. Dia sering menguncirnya dengan karet gelang. Kalau tidak kuncir ekor kuda ya digerai begitu saja, kadang-kadang sampai menutupi wajah. "B, apa ini kamu?"Khawatir. Takut. Bingung.Semua perasaan itu bercampur aduk menjadi satu, menciptakan gemuruh badai di rongga dada. Batik kritis setelah terjatuh di kamar mandi dan belum siuman. Maksudku, Mbak Nilam belum mengirimkan kabar apa pun sampai sekarang.Bagaimana mungkin aku bisa tenang?Oke, Batik brengsek. J
"Hill, kamu tahu nggak?" tanya Mbak Nilam setelah aku mengatakan dengan terus terang soal Batik belum bisa lama-lama bicara tadi. Aku merasa ada penekanan khusus di setiap kata yang diucapkannya. Seakan-akan sedang berusaha untuk menggiringku pada sesuatu yang spesial. "Sebenar---""Oh ya Mbak," tak sengaja aku menyela perkataan Mbak Nilam karena teringat pada janjinya kemarin. Dia kan mau memberi tahu soal curahan hati Batik? Tapi belum jadi karena dipanggil dokter. "Katanya mau cerita soal curhatan Batik? Please Mbak Nilam, jangan buat Hill mati penasaran? Ya, Mbak?""Tapi apa kamu bisa terima, Hill? Maksud Mbak, apa kamu nggak apa-apa kalau Mbak cerita?""Iya, Mbak. Nggak … Hill senang kalau Mbak cerita dengan jujur apa adanya."
"Aldert!" sungguh, karakter antagonis yang entah dari mana datangnya itu menguasai diriku dengan sempurna. Mengalir di seluruh darah yang memanas, memaksaku melakukan sesuatu yang selama ini belum pernah kulakukan. Apakah itu? Dengan segenap kekuatan yang ada aku mengayunkan tangan kanan ke depan, mendaratkan di wajah Aldert.Plaaakkk …!Seketika suasana di kamar ini memanas, menegang. Menyerupai arena tinju kelas berat, kurasa. Napasku sampai naik turun tak beraturan demikian juga dengan jantung, berdegup super kencang. Nyaris saja melompat ke luar dari rongga dada."Kamu jahat Aldert, jahat sekali!" aku mendakwa tanpa ampun. Menuding-nuding wajahnya dengan kemarahan yang semakin merambat cepat mencapai ubun-ubun. Mendesis-desis selayaknya
Sejak saat itu, tragedi ciuman Aldert yang ke dua kemarin lusa, aku mewajibkan diri untuk lebih berhati-hati dan waspada. Jangan lengah sedikit pun apalagi sampai kecolongan. Misalnya di rumah sepi, Tante Ariane berbelanja dan Om Frank sibuk bekerja di lantai tiga, aku menyibukkan diri di kebun bunga belakang rumah. Ya, walaupun hanya melihat-lihat saja, sih. Well, itu jauh lebih baik dari pada harus berdekatan dengan Aldert.Kalau tidak di kebun bunga---waktu mereka menghadiri undangan makan malam teman sekantor Om Frank---aku menyibukkan diri dengan laundry. Meskipun selama ini sangat jarang terhubung dengan mesin cuci, jemuran atau setrikaan tapi aku merasa jauh lebih aman. Wah, tak terasa aku menyelesaikan semuanya hanya dalam waktu satu setengah jam. Mulai dari memasukkan semua pakaian koto
"Oh, Hill … Sekarang Tante Arianenya ada?" terdengar panik, Mama langsung merespons luapan isi hatiku yang mengandung badai Tornado. "Biar Mama atasi masalah ini, segera. Tolong kasih ponsel kamu ke Tante Ariane, ya?"Aku melongok ke luar kamar, memastikan kalau Tante Ariane masih menyusun belanjaan di lemari persediaan, samping ruang laundry. Oh, aku memang selalu beruntung. Pucuk dicinta ulam pun tiba. "Sebentar ya, Mama?"Suara Mama terdengar sedih tapi aku tak memperdulikan itu lagi. Terpenting Mama sudah tahu tentang semuanya dan sekarang lah saatnya mendapatkan pembelaan sekaligus perlindungan darinya. Malaikat tanpa sayapku yang baik budi, indah lisan, bening hati, jernih akal. Cantik lahir batin dunia akhirat. Yippie, kupastikan besok pagi waktu Den Haag, Frank family akan mengirimkan aku pulang ke Yogyakar
Tak terpancing sedikit pun untuk terlibat pembicaraan dengan Aldert---jangan sampai lengah dan tersihir lagi---aku meninggalkan dia di ruang keluarga. Kembali ke tujuan awal, membuat sup sayuran plus makaroni. Sebentar lagi masuk waktu makan siang. Kalau melihat dari daftar menu sih, Frank family mau makan roti, salad dan jagung manis rebus.Apa lebih baik mengikuti menu mereka saja, ya? Lagi pula aku masih dag dig dug menunggu hasil pembicaraan darurat antara Mama, Tante Ariane dan Om Frank. Takut kurang konsentrasi. Berbahaya sekali kan, karena harus melibatkan benda-benda tajam dan api? Ya, memang aku bukan Aldert si Crazy Brengsek Predator ganas yang bisa membakar bajunya sendiri, sih. Tapi, kan …? Ah, sepertinya selera makanku juga belum switched on, kan?
"Hi, Hill?" sapa Arnold dengan nada gembira meskipun sempat terdengar tersentak. Hihihihi, dia pasti tidak menyangka kalau aku akan menelepon kan, Guys? Apa dia tidak tahu kalau aku masih merasa bersalah setengah mati? Oh, jangan-jangan benar kata Uta, laki-laki terlahir tanpa perasaan dan kepekaan? Wah, kalau benar, berarti … Eh tapi bagaimana ceritanya laki-laki bisa jatuh cinta dan menikahi pilihan hatinya? Dia juga bisa patah hati, kan? Nah, dari manakah datangnya perasaan itu? Hemmm, sepertinya Uta harus belajar lebih banyak laki tentang laki-laki, deh! "Is it you?"Aku tertawa lirih. "Yes Arnold, its me."Arnold lalu menanyakan apakah aku baik-baik saja? Tentu saja aku mengatakan yang sesungguhnya. Selain sudah terlanjur
Kalau tidak ingat ini Netherlands yang jauhnya berpuluh-puluh ribu kilometer dari rumah, aku pasti sudah kabur. Lebih baik hilang ditelan bumi dari pada harus mengikuti permintaan Mama. Gila! Mama pasti tidak tahu kalau Aldert itu lebih ganas dari pada Tirex, kan?"Hill, sebenarnya ada sesuatu yang harus Mama sampaikan sama kamu, Hill." kata Mama kemudian setelah sekian detik lamanya terdiam. Aku jujur saja sudah lebih dari meradang, nyaris sekarat tapi tak mungkin menghindar. Mau menghindar ke mana? Ya, kalau ini Yogyakarta sih, aku pasti sudah kabur ke rumah Eyang Putri di Bantul. Tidak pernah pulang ke rumah lagi setelah itu, selama-lamanya. "Hill, pokoknya Mama minta kamu harus tetap di Netherlands Hill, sampai 3 Months Holiday berakhir. Berangkat bersama-sama pulang juga harus bersama-sama. Mama mohon kamu bisa mengerti, Hill. Lagian tinggal dua bulan lagi, kan?"&nbs