Share

3. Kecemasan

24 Februari 2019

Pertemuan minggu lalu yang berlangsung satu jam, kembali dilanjutkan minggu ini. Ersa masih belum mengupas tuntas permasalahan dalam diri Biru. Belum juga mengetahui akar permasalahan, karena minggu lalu Biru begitu meledak-ledak ketika membicarakan pernikahannya mendatang.

"Pak, boleh ceritakan masa kecilnya?" tanyanya kala mereka kembali duduk berhadapan.

"Masa kecil saya nggak terlalu menyenangkan.."

Biru melipat kedua tangan di depan dada. Kepalanya mendongak ke atas. Dia memandang langit-langit dengan pandangan kosong—berusaha menerima semua rasa sakit dari masa lalu ketika mengingatnya.

Menggali kembali luka lama adalah sesuatu yang tidak mudah. Ersa tahu itu. Itu adalah suatu hal yang patut diapresiasi sebab berani mengutarakan cerita yang menyakitkan.

"Baik Ayah maupun Bunda adalah orang yang strict, nggak segan memberi hukuman begitu saya atau Kakak berbuat salah. Saya masih ingat, saya nggak dibolehin masuk ke rumah karena saya nangis," Biru mengambil napas sedalam mungkin ketika netranya berkaca-kaca. Kepalanya berpendar. Menampung rasa sakit itu tidak mudah. "Saat itu saya masih umur delapan. Saya nangis karena saya jatuh, didorong teman sampai gigi susu saya copot satu. Berdarah. Pipi saya juga,"

Biru tertawa di tengah-tengah ceritanya. Tak lupa, dia menunjuk salah satu bekas luka yang ada di pipi.

"Tolong jangan ketawain saya." pinta Biru sembari memandang Ersa sebentar. Ersa membalas, "Saya nggak akan ketawain."

Biru menganggukkan kepala pelan. Mencoba mengumpulkan kembali keberanian untuk bercerita.

"Umm ... saya lanjutin. Terus saya minta tolong Kakak untuk bukakan pintu. Tapi Ayah marah dan malah ngancam bakal mukulin kaki Kakak pakai rotan. Akhirnya, seharian saya di depan rumah. Saya nggak bisa berhenti nangis pas itu karena rasanya beneran sakit,"

"Dari kecil, Ayah dan Bunda selalu bilang ke saya kalau laki-laki nggak boleh nangis apapun yang terjadi. Saat saya nangis, Bunda selalu teriak ke saya. Teriak 'kalau Bunda tahu kamu cengeng, mending Bunda gugurin kandungan pas kamu belum lahir'. Berulang kali. Berulang kali Bunda teriak seperti itu.."

"Saya nggak ngerti sampai sekarang. Apa segitu dosanya bagi lelaki untuk menangis?"

Ersa mendapati sorot serta ekspresi yang dipenuhi rasa sakit itu. Luka dari keluarga sudah didapatkan sejak lama, menumpuk, tertimbun sampai membuat emosi Biru kacau. Ersa menatap Biru kemudian mengatakan, "Normal, sangat normal bagi lelaki untuk menangis. Memang dari dulu, budaya mengajarkan lelaki itu harus maskulin. Lelaki menunjukkan perasaan melewati tindakan, beda dengan perempuan yang menunjukkan melalui emosinya,"

"Saya bisa membayangkan bagaimana rasa sakit yang Pak Biru tumpuk di dalam. Meskipun saya nggak mengalami, tapi dari cerita yang hanya dipermukaan ini ... saya ikut merasakan. Berarti orang tua adalah sosok yang sangat dominan? Nggak ada kehangatan sama sekali?"

"Iya, orang tua yang mengatur hidup saya dari kecil sampai sekarang. Saya sama sekali nggak dekat sama Ayah ataupun Bunda. Saya bekerja sebagai Dosen juga karena keinginan Bunda. Bukan keinginan saya. Saya dipaksa ini-itu sampai ... sampai saya merasa kehilangan arah..?" Biru kesulitan mengungkapkan perasaan yang selama ini dia pendam seorang diri. "Saya nggak punya sahabat untuk berbagi keluh-kesah. Cuma teman untuk ngobrol tentang pekerjaan. Saya sering iri pas ngelihat teman saya punya keluarga yang harmonis. Saya sering kali mikir, 'gimana ya rasanya punya orang tua yang baik? Yang bisa mendengarkan pendapat saya sekali aja?'"

"Saya kesepian, merasa seperti nggak memiliki siapa pun disaat orang tua, saudara, dan teman itu ada. Saya takut. Insecure, nggak percaya diri ketika ketemu sama calon istri saya. Dia terlihat begitu percaya diri sampai saya juga hampir kabur pas ngobrol sama dia. Saya takut membuat dia kesepian. Kesepian itu nggak enak sampai saya sering mikir untuk mati aja."

Ersa mengangguk-anggukkan kepalanya penuh pengertian tanpa melepas pandang dari Biru. "Lalu apa yang sudah Bapak lakukan untuk mengatasi perasaan itu?"

"Saya cutting, di bagian dada."

"Sudah berlangsung sejak lama?"

"Iya, dari saya masih SMA. Berlangsung sampai sekarang kalau saya kesulitan menghadapi diri sendiri. Nggak ada satu pun orang yang tahu."

--

"Unexpressed emotion will never die.

They are burried alive and will come forth

in uglier ways."

-Sigmund Freud-

--

15 September 2019

Runalla cemberut setelah Biru memutus sambungan telepon secara sepihak. Perempuan itu memasukkan ponsel ke dalam tas kecil miliknya sebelum menggandeng tangan Issy. Keponakannya sudah tampak cantik, harum, dan menggemaskan.

"Sudah? Ada yang mau dibawa lagi?" Runalla mengusap puncak kepala Issy. Issy mendongak, mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Runalla. "Ng-ng-nggak."

"Yaudah, ayo berangkat. Nanti di sana ketemu sama Mama Mutia."

Memakan waktu. Issy diam, tak bergerak sampai benar-benar bisa mencerna ucapan Runalla. Mata Issy mulai berkaca-kaca. Bocah mungil itu menggelengkan kepala lemah disertai bibir yang mengerucut samar. Memperlihatkan betapa ketakutannya ia.

"N-n-n-nanti ketemu p-p-pa-papa," gagapnya bertambah parah apabila mengingat sosok Rey. Banyak ingatan buruk yang langsung menyerbu sampai tangis Issy pecah. "N-n-nanti di-dipukul. M-m-mama juga."

Anak sekecil ini habis diapain aja sampai kayak gini? Runalla buru-buru berjongkok di hadapan Issy. Mengusap lelehan air mata yang tak kunjung berhenti. Bahkan, Vivi yang awalnya tidur pun terbangun dan menghampiri mereka.

"Issy, ada Tante.." Runalla berbicara lambat. Mencoba meyakinkan Issy yang semakin pecah tangisnya. "J-jangan." Issy menyahut. Ingin memberitahukan pada Runalla kalau Rey juga akan memukulnya.

Runalla jelas tidak memahami arti 'jangan'. Runalla sama sekali tidak dekat dengan Rey, karena Rey sendiri dingin dan kurang bersahabat. Runalla menarik Issy masuk ke dalam dekapannya. Dia menepuk-nepuk, mengusap, dan kemudian meminta Issy untuk menunggu sebentar.

Runalla jelas langsung menghubungi Biru.

Runalla memang memiliki nomor Mutia tapi ia sungkan apabila harus menghubungi sekarang.

["Halo? Kenapa?"]

Runalla melirik ke arah Issy yang sekarang duduk di sofa—masih menangis, di temani oleh Vivi yang duduk di atas pahanya—mencoba menghibur Issy. Runalla mengusap tengkuknya cemas, kebingungan, tidak tahu harus bagaimana.

"Mas, ini Issy nggak mau pergi pas aku bilang bakal ketemu sama Mbak Mutia.." Runalla bicara dengan suara kecil meski sudah melangkah menjauh dari tempat Issy. "Mau aku bohongin tapi itu nggak baik buat anak kecil. Nanti dia juga nggak percaya lagi sama aku. Ini gimana?"

Keheningan menyelimuti selama beberapa menit.

"Apa harus aku paksa aja? Tapi nanti Issy marah ke aku.."

["Nggak, jangan,"] Biru menyahut setelahnya. ["Bilang aja ke Issy, aku bakal di sanaJanjiin ke dia kalau dia nggak akan ketemu Rey."]

Setelah sambungan telepon berakhir, Runalla langsung menyampaikan pada Issy sesuai dengan perintah Biru. Meski tangisnya tak berhenti, tapi Issy mau menurut setelah tahu Biru akan ada di sana. Sebuah keajaiban.

Mereka sedekat apa, sih? Runalla bertanya-tanya dalam hati ketika mengendarai mobilnya menuju ke rumah sakit.

Sesampainya di sana, Runalla sungguh mendapati Biru. Biru berjalan mendekati mereka, menyapa Issy dengan seulas senyum simpul di bibir.

"Issy, ayo masuk. Mama Mutia sudah di dalam."

Runalla duduk di lobby yang siang itu tak terlalu dipenuhi orang. Ada beberapa perawat yang berlalu-lalang di lobby, terlihat sibuk. Runalla menunduk, mengambil ponsel dari tas, ingin bermain gim sebentar sembari menunggu Biru.

"Runa."

'Padahal baru aja mau main gim,' Runalla mendongak dan menemukan Biru berjalan menghampiri. Runalla menggigit bibir ketika melihat Biru yang tampak menggoda.

Kemeja biru dongker yang tampak sedikit kusut, lengannya yang digulung ke atas, serta celana kain berwarna abu yang memperlihatkan betapa ramping pinggulnya. Jangan lupakan rambut yang sedikit berantakan serta peluh yang membasahi pelipis.

'Nggak boleh, nggak boleh! Ini rumah sakit. Nggak boleh mikir aneh-aneh!'

Biru duduk di sampingnya—tidak, lebih tepatnya memberi jarak dengan membiarkan satu kursi di antara mereka kosong. Runalla yang awalnya berpikiran mesum, langsung sebal dalam sekejap ketika melihat bagaimana suaminya itu menjaga jarak.

"Mas.."

"Makasih, ya, sudah mau anterin Issy,"

Runalla awalnya memang ingin protes dan meminta Biru untuk mendekat, tapi tidak ia lakukan, setelah mendengar lembutnya suara serta tatapan Biru padanya. Runalla memalingkan wajah sembari mengulum senyum salah tingkah. Runalla itu memang suka lelaki tampan, terlebih lagi, kalau lelaki itu sendiri adalah suaminya.

"Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kamu."

"Ih, Mas, jangan gombal gitu ah."

Runalla terkikik salah tingkah disaat Biru melemparkan sorot kebingungan sekaligus kesal. "Nggak ada yang gombal. Kamunya aja yang anggap itu gombal."

"Hehe."

Runalla menusuk-nusuk lengan berotot Biru menggunakan jari telunjuknya. Biru memutar kedua bola matanya sembari menghela napas panjang. Biru pada dasarnya tidak percaya diri berada di samping perempuan secantik Runalla apalagi kalau di tempat umum seperti ini.

Maka dari itu, Biru membuat jarak sekaligus menghela napas—menunjukkan respon yang menyakitkan agar Runalla berhenti. Namun, sepertinya sang istri sudah sangat terbiasa sehingga sekarang juga bodo amat.

Jujur saja, Biru juga sebenarnya merasa bersalah karena setiap saat bersikap seperti ini. Biru hanya berusaha melindungi dirinya dan Runalla dari rasa sakit.

Itu saja.

"Mas, berarti habis gini langsung pulang ke rumah?"

"Enggak," Biru menggeleng. "Masih ada satu kelas yang harus aku hadiri. Jamnya mundur."

"Terus pulang jam berapa?"

"Jam setengah tujuh."

"Kok malam banget, Mas? Nanti ... ah."

Runalla tak menyelesaikan kalimatnya ketika perutnya berbunyi nyaring. Dia jelas lapar. Runalla mengulas senyum salah tingkah sembari memegang perutnya. Biru mengernyit. Menatap Runalla yang mencoba memberi penjelasan.

"Kamu belum makan?"

"Lagi diet.."

"Ngapain diet sampai kelaparan gitu?" Biru berdiri dari tempat duduknya. Lelaki itu menghela napas lagi sebelum menunjuk ke arah kantin rumah sakit yang ada di lantai paling bawah menggunakan dagunya. "Ayo, aku temenin makan. Ini Issy sama Kak Mutia harusnya masih lama."

"Mas.."

'Aku terharu', Biru bisa melihat pancaran cahaya penuh rasa syukur dari mata Runalla. Biru mendengus pelan. "Ayo." ajaknya sembari melangkah duluan tanpa menunggu Runalla.

Runalla buru-buru berjalan menyusul sang suami lalu memeluk erat tangannya dari samping. Runalla terkekeh saat melihat datarnya wajah Biru. Iseng, dia bertanya, "Mas, sayang aku, nggak?"

"B aja." jawab Biru pelan tanpa menatap Runalla. Matanya fokus ke depan.

"Berarti nanti pas pulang mau sayang-sayangan sama aku?"

"Enggak."

"Jahat."

Singkat cerita, setelah menemani Runalla makan di kantin rumah sakit dan sesi terapi Issy telah selesai, Runalla bertemu sebentar dengan Mutia. Mutia mengucapkan banyak terima kasih padanya dan Biru. Perempuan itu terlihat kelelahan, mungkin karena terlalu banyak memikirkan sidang perceraian yang akan dilaksanakan dua bulan lagi.

"Kak, jangan lupa makan sama minum vitamin. Itu lihat mukanya tambah gersang."

Untuk pertama kalinya Runalla melihat Biru bercanda bersama Kakaknya. Dari gerak-gerik tubuh sampai cara bicara, Runalla tahu, bahwa Biru memang sesayang itu pada Mutia.

'Kapan ya gue disayang kayak gitu..?'

***

20.59

“Issy sudah tidur?”

“Udah.”

Biru mengusap rambut basahnya menggunakan handuk. Lelaki itu baru selesai mandi setelah asik tidur-tiduran di sofa dan menonton televisi. Kemudian, Runalla menghadang langkahnya.

'Sudah biasa~'

“Mas, aku mau peluk kayak kemarin.” pinta Runalla dengan nada sok malu-malu. Biru menggeleng. Tidak menyanggupi keinginan Runalla. “Nggak, aku mau istirahat. Capek.”

“Cuddle di ranjang kalau gitu?”

“Enggak.”

Tapi ujungnya, Runalla yang memaksakan kehendak itu berhasil mendapatkan apa yang ia mau. Runalla memeluk erat tubuh Biru di atas ranjang, menyandarkan kepala pada dada bidang suaminya, dan tersenyum lebar seolah baru saja mendapat hadiah besar.

Sedangkan, Biru sendiri hanya bisa menghela napas panjang sembari menatap langit-langit kamar.

“Mas, enak.” ujar Runalla tiba-tiba seraya menepuk-nepuk lembut perut Biru. Biru menghela napas. “Udah, sana, aku mau tidur.”

“Ya tidur gini aja sama aku,” Runalla bersuara lagi, karena tidak rela kalau sesi cuddle ini berakhir begitu saja. “Aku iri ke mereka yang dekat sama kamu. Tadi pas Issy nggak mau berangkat, kamu langsung belain ke rumah sakit dan bahkan sampai ngundur kelas. Kalau posisiku kaya Issy, kamu bakal belain datang juga, nggak?”

“Mungkin.”

Runalla cemberut. 'Dijawab singkat banget', perempuan itu kian ndusel guna mendapatkan sebanyak mungkin kehangatan dari Biru.

“Mas, kenapa Mas bisa sayang sama orang lain tapi nggak bisa sayang ke aku?”

Biru diam, memilih tak menjawab karena takut menyakiti perasaan Runalla. Maka dari itu, Biru menarik selimut dan mengubah posisi tidurnya menghadap ke arah sang istri.

'Bukannya aku nggak bisa sayang, tapi ... sulit.'

“Tidur.”

Ini adalah kali pertama Runalla bisa melihat wajah Biru dari jarak sedekat ini. Di atas ranjang pula. Hidung mereka nyaris menyapa, napas mereka bersahutan, dan ada rasa takut sekaligus debaran jantung yang mendominasi.

“Mas, kalau sedekat ini, aku jadi pengen ngisepin bibirnya Mas sampai bengkak.”

Biru tersedak oleh air ludahnya sendiri setelah mendengar celetukan tanpa saringan dari Runalla. Biru memalingkan wajah, terbatuk-batuk sembari menutupi bibirnya menggunakan tangannya.

Runalla terkekeh. “Mas nggak mau coba ciuman sama aku?” tanyanya. Kali ini, nadanya sungguh dipenuhi gengsi. Tidak dibuat-buat seperti tadi.

Tanpa Runalla sadari, telinga Biru sudah memerah layaknya tomat. Biru mendengus, mencoba menjaga kestabilan nadanya ketika menyahut.

“Enggak.”

“Mas,” Runalla merajuk. “Sekali aja, ya?”

Biru menggeleng sebelum akhirnya menarik diri. Malah jadinya kembali memunggungi Runalla lagi. Gue terlalu agresif, ya? Runalla mendekap Biru dari belakang dan menempelkan pipinya pada punggung sang suami.

“Mas, jangan marah.”

“Nggak, aku nggak marah. Tidur sana.”

Itu jelas merupakan sebuah pertanda buruk. Karena minggu depan, akan ada acara keluarga yang harus mereka hadiri.

--

*Notes singkat:

Defense mechanism = represi

*Represi adalah salah satu bentuk pertahanan diri di mana berbagai memori atau kejadian buruk yang sudah dilalui, terpendam begitu dalam di alam bawah sadar dan dilakukan secara tidak sadar. Hal ini dilakukan agar jiwa kita tidak terganggu. Nantinya, kalau sudah menumpuk sekali, akan muncul dalam perilaku yang tampak maupun enggak, seperti kecemasan, dsb. Jadi seperti bom waktu aja—nunggu kapan yang terburuk akan meledak.

Contoh:

1. Anak kecil mengalami abuse dari orang tua dan itu direpres ke alam bawah sadar. Nanti saat dewasa, dia benar-benar nggak aware dengan hal terebut. Yang dia tahu hanyalah dia merasa sangat kesulitan untuk membangun kehangatan dan keintiman dengan orang lain

2. Anak kecil pernah digigit laba-laba sehingga dia infeksi selama berhari-hari, ini mengembangkan phobianya terhadap serangga (terutama laba-laba). Tapi, karena memori tersebut direpres, dia jadi nggak tahu kenapa dia bisa phobia

Kenapa defense mechanism represi bekerja? Supaya pengalaman-pengalaman buruk itu tidak mengguncang jiwa kita. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status