“Lepas, The! Saya harus pergi!”
Sayangnya, Theo tak menggubris. Ia memejamkan mata dan memeluk Felicia sambil mencari posisi yang nyaman. Sedangkan Felicia kesulitan ketika mencoba melepaskan tangan Theo yang membelit tubuhnya.
Felicia menghela napas pada akhirnya, berniat membiarkan Theo seperti ini hanya sekitar sepuluh menit.
Namun, ia yang lelah malah berakhir terpejam.
Mereka sama-sama ketiduran.
Itu adalah malam yang melelahkan, tapi anehnya Felicia bisa tidur dengan nyenyak. Kasur yang ia tempati terasa sangat hangat dan nyaman. Bahkan selimutnya bisa membelai pipinya dengan lembut.
Tunggu!
M-membelainya?
Felicia membuka matanya lebar-lebar. Wajah Theo yang sedang mengerjapkan mata, lalu tersenyum hangat menjadi pemandangan pertama.
Namun, bukan itu masalahnya. ‘Sejak kapan aku berada di pelukan pria ini?!’
“AAAA!” Felicia refleks mendorong tubuh Theo. “Apa yang kamu—”
Seketika, ia teringat dengan kejadian tadi malam. Astaga, bisa-bisanya ia berakhir ketiduran di kasur Theo!
Felicia berdeham, hendak segera pergi untuk menutupi rasa malunya, tetapi Theo lebih dulu menahannya.
“Mau ke mana?” tanya Theo.
“Pulang.”
Bukannya langsung melepaskan tangan Felicia, Theo malah bergerak cepat memposisikan diri di atas tubuh Felicia, menindihnya. Wajahnya yang berubah serius itu mengingatkan Felicia akan malam itu.
Ah… tubuh bagian bawah Felicia terasa panas sekarang.
“T-Theo! Jangan main-main! Mi-minggir kamu!” teriak Felicia.
Theo malah terkekeh, lalu mulai meletakkan kepalanya ke ceruk leher Felicia. Ia mengendus feromon wanita itu dalam-dalam, seolah ingin menelannya saat itu juga.
“Jangan langsung pergi, Feli…” suaranya yang rendah menggelitik telinga Felicia, hingga tubuhnya menegang. “Saya lapar….”
Felicia kehilangan kata-katanya. Setiap mau menjawab, hanya suara desahan yang keluar, dan itu membuat Theo semakin gencar menggodanya. Tangan pria itu mulai bergerak, membelai lembut pinggangnya dengan gerakan naik-turun. Lalu, beralih ke paha…
Grrrr~
Keduanya terdiam. Theo pun mengangkat kepalanya dari leher Felicia.
“Suara apa itu?”
Felicia memalingkan wajah. Ia tahu persis suara itu, tapi tidak mau menjawabnya. Lalu, seperti takdir sedang mempermainkannya, suara itu kembali terdengar.
Dan pada saat itulah, terdengar kekehan Theo. “Sudah kuduga, kamu lapar juga ‘kan?”
Suara perut Felicia ternyata lebih ampuh daripada teriakannya. Helaan napas lega keluar dari mulut Felicia ketika Theo sudah beranjak dari atas tubuhnya.
Astaga, tadi itu mendebarkan sekali. Parahnya, ia malah sempat teringat dengan kejadian panas saat di hotel. Boleh saja pria itu terlihat polos, tapi sebenarnya adalah pemangsa yang lapar.
Theo menyuruh Felicia memakai kamar mandi lebih dulu, Felicia pun menurut karena khawatirnya jika ia menolak maka Theo akan berbuat yang aneh-aneh.
Selesai mandi, Felicia mencium bau harum masakan. Tunggu, siapa yang sedang memasak?
Langkah Felicia membawanya ke dapur dan menemukan sosok Theo sedang berkutat dengan peralatan memasak.
“Kamu bisa masak?” tanya Felicia.
Theo tersenyum, menoleh sekilas. “Bisa. Bu Feli tunggu aja di situ, nggak lama lagi matang.”
Felicia mengangguk-angguk, menarik kursi, lalu duduk di sana. Ia diam sambil mengamati punggung Theo.
Kagum, itulah yang Felicia rasakan. Theo ternyata bisa memasak. Seandainya Theo seumuran dengannya atau lebih tua, maka Theo bisa menjadi calon suami yang sempurna. Wajah, fisik, dan uang. Semuanya oke.
‘Sayang sekali, Theo… tipeku itu pria matang yang lebih tua dariku,’ Felicia berdecak pelan.
Lagipula, apa yang akan dikatakan keluarganya kalau membawa Theo sebagai calon suami. Masih mahasiswa, belum bekerja, dan bahkan lebih muda dari adiknya. Bisa-bisa ibunya langsung menjodohkannya dengan duda beranak dua.
“Silakan.” Theo menghidangkan hasil masakannya ke atas meja lalu. “Saya udah lama tinggal sendiri, jadi biasa masak sendiri. Semoga rasanya cocok sama lidah Bu Feli.”
Dari penampilannya memang menggugah selera. Nasi goreng itu tampak berkilauan dengan telur mata sapi yang sempurna. Felicia mencoba sesuap. Ia terbelalak saat mulai mengunyahnya, ternyata rasanya enak.
Felicia berangsur makan dengan lahap, bahkan sampai tersedak sendiri. Ia baru ingat, semalam tidak makan dengan benar dan hanya minum alkohol dan makan camilan. Pantas saja perutnya sangat lapar.
“Pelan-pelan” Theo terkekeh, sambil mengusap bibir Felicia dengan ibu jarinya. Ada sisa kuning telur di sana, dan tanpa jijik Theo menjilat ibu jarinya sendiri.
Felicia terbelalak untuk kesekian kalinya. Ia jadi malu lagi, dan buru-buru membuang muka dengan pipi yang memanas.
*
Setelah drama pagi tadi, Felicia tidak juga bisa terlepas dari Theo. Pria itu ngotot untuk berangkat kerja bersama menggunakan mobilnya. Alasannya adalah untuk balas budi karena sebelumnya Felicia sudah mengantar Theo yang mabuk sampai ke apartemen.
Felicia berusaha menolak dan memberi alasan akan pulang ke rumah lebih dulu untuk berganti pakaian. Rupanya alasan itu tidak berguna karena Theo sangat keras kepala. Malah pria itu sudah menyita tas dan ponselnya, lalu pergi mengambil mobil.
Akhirnya, Felicia menurut. Theo juga mengantarnya pulang, tetapi Theo menunggu agak jauh dari rumahnya agar tidak ketahuan tetangganya.
Dan di sinilah mereka sekarang. Di parkir basement kantornya.
“Kita berpisah di sini. Jangan masuk bersama, nanti ada yang lihat,” ucap Felicia saat keluar dari mobil Theo.
Untungnya saat ini di basement tampak sepi. Felicia menghela napas lega sebelum berjalan.
Baru berjalan sebentar, tiba-tiba langkah Felicia terhenti saat merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Melalui wangi parfum, Felicia tahu kalau pelakunya Theo.
“Sebentar aja, please,” mohon Theo.
Felicia terdiam kaku bak patung. Ada apa dengan Theo? Kenapa tiba-tiba memeluknya seperti ini?
Tanpa mereka sadari, ada sosok wanita yang berdiam di mobil hitam itu menatap mereka dengan mata melotot. Urat-urat lehernya menegang. Mata itu hanya tertuju tajam ke arah Felicia.
Tahun pertama memimpin perusahaan tidaklah mudah. Tapi, Theo merasa beruntung karena didampingi oleh orang-orang yang baik yang mau membantunya. Untungnya, tak ada yang seperti Martin dalam memperlakukannya.Saat laporan keuangan kuartalan dirilis, laba bersih perusahaan yang mulai dipimpin oleh Theo turun sampai lebih dari sembilan persen, dan itu sempat membuat Theo tertekan. Meskipun bawahannya banyak yang menenangkannya, tapi Theo tetap kepikiran.“Nggak masalah, Pak Theo. Turun sembilan persen juga nggak terlalu besar untuk Pak Theo yang baru pertama kali menjabat,” ucap Brandon—sekretaris Theo.Theo menatap sekretarisnya yang sekarang itu, si Brandon. Dia direkomendasikan oleh sekretaris Martin, masih muda, dan merupakan adik dari sekretaris Martin. Sedangkan sekretaris Martin sudah ditempatkan di posisi lain yang tak kalah penting.“Tapi ini berdampak ke harga saham yang langsung anjlok,” sahut Theo. Saat ini dia sedang menatap grafik saham perusahaannya yang berada di fase down
Setelah mendengar cerita sekretaris Martin, Theo langsung mengusir pria itu. Theo takut lepas kendali dan emosi lalu menghajar sekretaris Martin, jadi lebih baik dia suruh pria itu pergi secepatnya.Selepas kepergian sekretaris Martin, Theo melemas, dia jatuh terduduk di sofa. Menunduk, dia mengusap wajahnya sambil menahan tangis.Felicia turut duduk di sebelah Theo, dia meraih tubuh Theo ke dalam pelukan, diusapnya lembut punggung Theo.“A-aku nggak nyangka, Mama …” Theo mulai terisak. Dia sedih membayangkan Mama kandungnya mengalami banyak penderitaan, bahkan meninggal karena diracun oleh Regina.Felicia tak sanggup berkata-kata, dia pun turut merasakan sedihnya. Sebagai istri Theo, dia hanya bisa terus mendekap Theo dan membiarkan Theo menumpahkan tangisnya.Namun, di saat kebenaran terungkap seperti ini, sayang sekali sang pelaku telah tiada. Regina bisa saja dipenjara atas perbuatannya kepada Mama kandung Theo, tetapi Regina telah meninggal.“Mama pasti menderita selama ini,” cic
“A-apa? Jangan bercanda!” seru Theo.Suara keras Theo mengejutkan semua orang, termasuk para tamu. Felicia juga merasa kaget, dia pun mengajak Theo untuk pergi dari keramaian bersama dengan sekretaris Martin yang mengikuti.“A-apa maksud ucapan anda tadi?” tanya Theo masih dengan raut kagetnya.Di sebelahnya, Felicia menggenggam tangan Theo, menguatkan Theo.“Saya nggak bercanda, Papa anda dan Mama tiri anda telah meninggal dunia,” jawab sekretaris Martin dengan raut sedih dan lelah yang tercetak jelas di wajahnya.Theo memang membenci Papanya, sangat. Tapi, kabar mendadak seperti ini tentu saja mengejutkannya.Sekretaris Martin lantas menjelaskan bahwa Martin telah mengetahui kabar pernikahan Felicia dan Theo. Martin berniat mencegatnya. Dan Regina pun mengikuti, berada dalam satu mobil yang sama dengan Martin.Namun, nahas, karena terlalu mengebut dan terburu-buru kemari, Martin dan Regina pun mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat.“Saat ini jenazah Pak Martin dan Bu Regina m
Sulit bagi orang tua Felicia untuk menerima kenyataan yang baru saja terjadi. Karena itulah mereka butuh waktu untuk mencerna dan menenangkan diri, begitu juga dengan William yang sejak tadi lebih banyak marah.Sekarang tinggallah Theo dan Felicia berdua di ruang tamu. Semua orang meninggalkan mereka usai terkejut.“The, apa ini akan baik-baik aja?” tanya Felicia dengan gurat kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya.Theo mengangguk dengan senyum menenangkannya, ia meraih tangan Felicia, menggenggamnya, kemudian mengecup punggung tangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir,” jawab Theo.Felicia membalas genggaman tangan Theo.“Soal Papamu … gimana?”Senyum Theo luntur seketika. “Papa pasti sedang sibuk mencariku di luar negeri. Nggak lama lagi pasti ketahuan kalau aku ada di sini. Karena itulah aku ingin menikahimu secepatnya, sebelum Papa muncul.”Felicia mengangguk.Tak lama, Marcell kembali ke dalam. Felicia langsung tersenyum kepada Marcell.“Marcell, makasih udah turut bicara d
"Aku …”Felicia masih tampak ragu.“Please,” mohon Theo.Felicia mendongak, menatap wajah Theo yang terlihat semakin dewasa. Namun, sorot mata Theo tak berubah, sorot mata itu yang selalu meluluhkannya setiap kali Theo membujuknya.“Tapi, kamu tahu kan? Aku udah tunangan sama Marcell, udah mau nikah,” ucap Felicia.“Kalau kamu setuju, ayo kita bicara bareng ke Pak Marcell dan keluargamu. Ganti pengantin prianya jadi aku, aku siap menikahi kamu,” tegas Theo.Felicia nyaris melongo. Apa Theo serius? Sekarang ini Theo seperti sedang melamarnya saja.Felicia hendak bicara, tapi teringat kalau ia harus berangkat kerja, dan tak lama lagi adiknya serta orang tuanya akan keluar rumah.“Kita bicarakan lagi nanti malam,” kata Felicia.Theo mengangguk, terpaksa ia melepaskan tangan Felicia.*Malam harinya, Theo kembali mendatangi rumah Felicia, berdiri di depan gerbang. Ketika Felicia muncul, tiba-tiba Felicia menarik Theo berjalan pergi agak jauh dari rumahnya.Saat berhenti melangkah, tiba-ti
Felicia meremas nampan di tangannya. Ia menahan diri untuk tidak menangis melihat sosok Theo yang sudah lama tidak ditemuinya, dan menahan diri sekuat tenaga untuk tidak berlari menghambur ke dalam pelukan Theo.Pikir Felicia, Theo sudah melupakannya. Tak pernah sekalipun Theo memberi kabar, dan ia dibuat khawatir selama bertahun-tahun. Tapi, ternyata Theo masih baik-baik saja.“Kenapa kamu diam aja di situ? Kamu nggak lihat kalau di rumah saya sedang ada acara? Kamu bisa pergi sekarang,” usir Felicia sambil menatap tajam Theo.Theo membuka mulut, tapi menutupnya kembali. Ia amat terkejut sampai lututnya terasa lemas. Susah payah ia berjuang untuk kabur, mengumpulkan uang, untuk menemui Felicia, tapi respon Felicia malah begini.Marcell yang tak menyangka respon Felicia akan begitu pun merasa kasihan kepada Theo.“Feli, jangan begitu, Theo juga tamu,” kata Marcell sambil tersenyum untuk mencairkan suasana. “Biarkan Theo masuk dan duduk di dalam.”Felicia tak merespon, ia memalingkan p