“Theo! Lepas! Nanti dilihat orang lain!”
Felicia berseru sambil berusaha melepaskan tangan Theo yang membelit pinggangnya. Namun, sialnya, pelukan Theo amat kuat. Astaga!
“Felicia… temani aku. Jangan pergi, please…” mohon Theo, bahkan pria itu mulai menggesekkan kepalanya di perut Felicia, persis seperti anak kucing.
Felicia menganga saat melihat Theo mengerjapkan mata dengan tampang sok imut, setelahnya pria itu mengerucutkan bibirnya. Pria ini sedang apa sih? Ia akui Theo memang menggemaskan, tetapi hanya sesaat!
“Saya nggak bisa melupakan kejadian waktu di hotel, nggak bisa!”
Wajah Felicia rasanya baru dilempar bara api, panas sekali. Mendadak tubuhnya kaku, bahkan untuk mendorong Theo kembali saja tidak mampu.
“Saya ingat terus ‘rasa’ Felicia gimana—hmp!”
Khawatir ada orang lain yang mendengar racauan gila Theo, Felicia bergegas membungkam mulut Theo dengan tangannya. Jangan sampai Theo mengoceh sesuatu yang berbahaya!
“Ssttt! Diam, Theo!” desis Felicia tajam.
Theo mengangguk patuh. Ia tampak tersenyum senang di balik tangan Felicia, seolah baru saja mendapatkan hadiah besar dari majikannya.
Felicia memutar bola mata. ‘Harus aku apakan anak ini?’ batinnya.
Sekitar sepuluh menit Felicia membiarkan Theo memeluknya, dan akhirnya ia mulai merasa capek berdiri. Dirinya sendiri juga agak mabuk karena minum beberapa gelas alkohol.
Masalahnya, Theo malah terlihat sangat nyaman sekarang. Tidak ada tanda-tanda pria ini mau melepaskannya.
“The, ayo pulang. Aku antar kamu sampai ke rumah,” ucap Felicia sambil menggoyang-goyangkan tubuh pria itu..
Theo yang nyaris ketiduran langsung membuka matanya, tetapi ia masih terlihat mabuk.
Untungnya Theo menurut saat Felicia menyuruh Theo berdiri. Felicia membawa barangnya dan barang milik Theo, kemudian mulai memapah Theo keluar.
Dalam setiap langkahnya, Felicia tidak berhenti menggerutu. Theo yang mabuk cukup parah itu beberapa kali kehilangan keseimbangan dan membuat Felicia harus menahan berat tubuh Theo.
“Berat banget kamu, The!” omel Felicia.
Tubuh Theo yang lebih besar dari Felicia membuat Felicia kesusahan memapah Theo. Ia sangat bersyukur tubuh mungilnya itu berhasil membawa Theo sampai lobi.
Felicia memesan taksi online sambil bertanya kepada Theo alamat tempat tinggal pria itu. Dan saat Theo menyebutkan alamat sebuah apartemen mewah di tengah kota, Felicia langsung melotot.
“Serius kamu tinggal di sana?” tanya Felicia.
“Hm…” angguk Theo, lalu mendekap Felicia dan menumpukan dagunya ke puncak kepalanya.
Felicia merasa tidak nyaman. Beruntungnya, taksi online yang ia pesan datang tak lama kemudian. Ia pun membawa Theo masuk ke dalam mobil, disusul olehnya.
Ulah Theo tidak berhenti hanya sampai situ. Felicia pikir, ia bisa sedikit beristirahat ketika sudah di dalam mobil. Namun, Theo malah terus merapatkan tubuhnya ke Felicia.
Wanita itu jengah. Ia berusaha menyingkirkan Theo, tetapi tenaganya tidak sanggup untuk mendorong Theo menjauh.
“Ini badan apa batu?!” gumam Felicia ketika mendorong tubuh Theo, tapi kemudian sebuah rasa penasaran muncul.
Tangan Felicia yang tadi hanya menyentuh lengan atas Theo mulai bergerak. Wanita itu sampai menelan ludahnya ketika jari lentiknya menekan dada Theo. Ia bahkan tidak ingat tubuh itu pernah berada di atas dirinya malam itu.
“Feli …” panggil Theo lirih dengan mata setengah terpejam.
Felicia gugup mendadak, apalagi dari jarak sedekat ini ia bisa mencium dengan jelas wangi tubuh Theo yang bercampur parfum. Wangi yang memabukkan, membuatnya ingin mencium Theo lagi seperti malam itu saat di hotel.
Felicia menggelengkan kepala, mengusir pemikiran barusan dari kepalanya. Untuk menjernihkan pikiran, ia menatap ke depan, membiarkan Theo tetap bersandar padanya. Anggap saja ia sedang membantu ke sesama manusia.
Selama sisa perjalanan yang terasa panjang itu, Felicia berusaha untuk tenang. Ia tidak lagi melirik Theo, apalagi sampai menyentuhnya. Biarkan jantungnya tenang dalam posisi dipeluk seperti itu.
Hingga akhirnya taksi online itu tiba di depan apartemen mewah.
Niat awalnya, Felicia hanya ingin mengantar Theo sampai lobi dan meminta security mengantar pria itu sampai unitnya. Namun, Theo sama sekali tidak melepaskan Felicia.
Dengan kekuatan yang entah datang dari mana, pria itu berhasil menarik Felicia sampai lift, lalu menekan angka 38 di sana. Di dalam lift pun Theo masih tidak mau melepaskan Felicia.
‘Oke, sampai di depan pintu kamarnya aja. Setelah itu, aku harus kabur,’ tekad Felicia dalam hati, yang ternyata hanya menjadi angan-angan saja.
Di sinilah Felicia sekarang, berada di dalam apartemen yang membuatnya menganga. Ini pertama kalinya Felicia memasuki unit apartemen semewah ini. Begitu luas dan rapi, dengan jendela besar di satu sisi yang menampilkan pemandangan malam di luar.
“Feli…,” panggilan lirih Theo yang masih dalam rangkulannya, membuat Felicia tersaadar.
Wanita itu berdeham. “Ini udah sampai. Saya bantu kamu ke kasur.” Felicia masih memapah Theo, membawa pria itu ke kasur, lalu merebahkannya di sana.
Rasanya seluruh tubuh Felicia remuk gara-gara memapah tubuh besar Theo sampai sini. Kelihatannya saja kurus karena Theo sangat tinggi, tapi sebenarnya otot pria itu sangat padat dan berisi.
“Hah… harusnya ini dihitung lembur!” gerutu Felicia sambil menatap sosok Theo yang sudah terlentang di atas kasur.
Sudah cukup untuk meladeni berondong ini hari ini. Felicia masih sayang pada jantungnya sendiri. Bisa-bisa dia mati muda kalau terus memandangi Theo.
“Saya pamit pergi,” ucap Felicia, tidak peduli apakah Theo mendengarnya atau tidak.
Saat Felicia baru berbalik dan ingin melangkah, sebuah tangan besar menarik tangannya sampai terhuyung. Tidak siap dengan gerakan itu, Felicia berakhir terjatuh di atas tubuh Theo.
“Aduh!”
“Di sini aja….” Dengan suara yang serak, Theo berucap tepat di telinga Felicia. Tangan kekar pria itu pun melingkar erat di pinggang Felicia, seolah tidak membiarkan wanita itu pergi malam ini.
***
Tahun pertama memimpin perusahaan tidaklah mudah. Tapi, Theo merasa beruntung karena didampingi oleh orang-orang yang baik yang mau membantunya. Untungnya, tak ada yang seperti Martin dalam memperlakukannya.Saat laporan keuangan kuartalan dirilis, laba bersih perusahaan yang mulai dipimpin oleh Theo turun sampai lebih dari sembilan persen, dan itu sempat membuat Theo tertekan. Meskipun bawahannya banyak yang menenangkannya, tapi Theo tetap kepikiran.“Nggak masalah, Pak Theo. Turun sembilan persen juga nggak terlalu besar untuk Pak Theo yang baru pertama kali menjabat,” ucap Brandon—sekretaris Theo.Theo menatap sekretarisnya yang sekarang itu, si Brandon. Dia direkomendasikan oleh sekretaris Martin, masih muda, dan merupakan adik dari sekretaris Martin. Sedangkan sekretaris Martin sudah ditempatkan di posisi lain yang tak kalah penting.“Tapi ini berdampak ke harga saham yang langsung anjlok,” sahut Theo. Saat ini dia sedang menatap grafik saham perusahaannya yang berada di fase down
Setelah mendengar cerita sekretaris Martin, Theo langsung mengusir pria itu. Theo takut lepas kendali dan emosi lalu menghajar sekretaris Martin, jadi lebih baik dia suruh pria itu pergi secepatnya.Selepas kepergian sekretaris Martin, Theo melemas, dia jatuh terduduk di sofa. Menunduk, dia mengusap wajahnya sambil menahan tangis.Felicia turut duduk di sebelah Theo, dia meraih tubuh Theo ke dalam pelukan, diusapnya lembut punggung Theo.“A-aku nggak nyangka, Mama …” Theo mulai terisak. Dia sedih membayangkan Mama kandungnya mengalami banyak penderitaan, bahkan meninggal karena diracun oleh Regina.Felicia tak sanggup berkata-kata, dia pun turut merasakan sedihnya. Sebagai istri Theo, dia hanya bisa terus mendekap Theo dan membiarkan Theo menumpahkan tangisnya.Namun, di saat kebenaran terungkap seperti ini, sayang sekali sang pelaku telah tiada. Regina bisa saja dipenjara atas perbuatannya kepada Mama kandung Theo, tetapi Regina telah meninggal.“Mama pasti menderita selama ini,” cic
“A-apa? Jangan bercanda!” seru Theo.Suara keras Theo mengejutkan semua orang, termasuk para tamu. Felicia juga merasa kaget, dia pun mengajak Theo untuk pergi dari keramaian bersama dengan sekretaris Martin yang mengikuti.“A-apa maksud ucapan anda tadi?” tanya Theo masih dengan raut kagetnya.Di sebelahnya, Felicia menggenggam tangan Theo, menguatkan Theo.“Saya nggak bercanda, Papa anda dan Mama tiri anda telah meninggal dunia,” jawab sekretaris Martin dengan raut sedih dan lelah yang tercetak jelas di wajahnya.Theo memang membenci Papanya, sangat. Tapi, kabar mendadak seperti ini tentu saja mengejutkannya.Sekretaris Martin lantas menjelaskan bahwa Martin telah mengetahui kabar pernikahan Felicia dan Theo. Martin berniat mencegatnya. Dan Regina pun mengikuti, berada dalam satu mobil yang sama dengan Martin.Namun, nahas, karena terlalu mengebut dan terburu-buru kemari, Martin dan Regina pun mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat.“Saat ini jenazah Pak Martin dan Bu Regina m
Sulit bagi orang tua Felicia untuk menerima kenyataan yang baru saja terjadi. Karena itulah mereka butuh waktu untuk mencerna dan menenangkan diri, begitu juga dengan William yang sejak tadi lebih banyak marah.Sekarang tinggallah Theo dan Felicia berdua di ruang tamu. Semua orang meninggalkan mereka usai terkejut.“The, apa ini akan baik-baik aja?” tanya Felicia dengan gurat kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya.Theo mengangguk dengan senyum menenangkannya, ia meraih tangan Felicia, menggenggamnya, kemudian mengecup punggung tangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir,” jawab Theo.Felicia membalas genggaman tangan Theo.“Soal Papamu … gimana?”Senyum Theo luntur seketika. “Papa pasti sedang sibuk mencariku di luar negeri. Nggak lama lagi pasti ketahuan kalau aku ada di sini. Karena itulah aku ingin menikahimu secepatnya, sebelum Papa muncul.”Felicia mengangguk.Tak lama, Marcell kembali ke dalam. Felicia langsung tersenyum kepada Marcell.“Marcell, makasih udah turut bicara d
"Aku …”Felicia masih tampak ragu.“Please,” mohon Theo.Felicia mendongak, menatap wajah Theo yang terlihat semakin dewasa. Namun, sorot mata Theo tak berubah, sorot mata itu yang selalu meluluhkannya setiap kali Theo membujuknya.“Tapi, kamu tahu kan? Aku udah tunangan sama Marcell, udah mau nikah,” ucap Felicia.“Kalau kamu setuju, ayo kita bicara bareng ke Pak Marcell dan keluargamu. Ganti pengantin prianya jadi aku, aku siap menikahi kamu,” tegas Theo.Felicia nyaris melongo. Apa Theo serius? Sekarang ini Theo seperti sedang melamarnya saja.Felicia hendak bicara, tapi teringat kalau ia harus berangkat kerja, dan tak lama lagi adiknya serta orang tuanya akan keluar rumah.“Kita bicarakan lagi nanti malam,” kata Felicia.Theo mengangguk, terpaksa ia melepaskan tangan Felicia.*Malam harinya, Theo kembali mendatangi rumah Felicia, berdiri di depan gerbang. Ketika Felicia muncul, tiba-tiba Felicia menarik Theo berjalan pergi agak jauh dari rumahnya.Saat berhenti melangkah, tiba-ti
Felicia meremas nampan di tangannya. Ia menahan diri untuk tidak menangis melihat sosok Theo yang sudah lama tidak ditemuinya, dan menahan diri sekuat tenaga untuk tidak berlari menghambur ke dalam pelukan Theo.Pikir Felicia, Theo sudah melupakannya. Tak pernah sekalipun Theo memberi kabar, dan ia dibuat khawatir selama bertahun-tahun. Tapi, ternyata Theo masih baik-baik saja.“Kenapa kamu diam aja di situ? Kamu nggak lihat kalau di rumah saya sedang ada acara? Kamu bisa pergi sekarang,” usir Felicia sambil menatap tajam Theo.Theo membuka mulut, tapi menutupnya kembali. Ia amat terkejut sampai lututnya terasa lemas. Susah payah ia berjuang untuk kabur, mengumpulkan uang, untuk menemui Felicia, tapi respon Felicia malah begini.Marcell yang tak menyangka respon Felicia akan begitu pun merasa kasihan kepada Theo.“Feli, jangan begitu, Theo juga tamu,” kata Marcell sambil tersenyum untuk mencairkan suasana. “Biarkan Theo masuk dan duduk di dalam.”Felicia tak merespon, ia memalingkan p