Share

Kembali ke Pelukan Satria

  Jantung Nasha berdesir halus. Sebelah tangannya diletakkan di atas dada sebelah kiri seolah sedang menenangkan debaran jantungnya yang menggila.

  Sudah hampir 10 menit motor maticnya berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar. Rumah keluarga bundanya, rumah papa sambungnya.

  Sudah hampir  sebulan ini Nasha tak pernah datang dan tadi siang dengan rendah hati papa sambungnya datang ke bakery. Memintanya berkunjung ke kediaman Tanubrata.

  "Nas, sudah lama disini? Kok gak langsung masuk aja?"

  Suara itu membuat Nasha terkejut. Matanya mengerjap pelan melihat kakak tirinya yang lain, Januar melangkah menghampirinya dengan penuh wibawa.

  "Eh, baru sampai, Bang," balas Nasha.

  Senyum manisnya membuat Nasha terpaku. Senyum yang selalu dia dapat dari Januar, tapi tidak dari Agarish.

  "Ayo masuk, Nas!" ajak Januar.

  Dengan langkah ragu Nasha mengikuti Januar. Perasaannya campur aduk, tidak menentu. Kemarin dia merasa jiwanya tenang karena tak harus datang ke rumah tersebut. Namun, hari ini berkat kerendahan hati pak Tanubrata Nasha kembali menginjakkan kakinya disana.

  Membawa kembali sejuta tanda tanya yang selalu menyelimutinya. Apa yang membuat Bunda seakan menyisihkannya dari keluarga barunya?

  Kendati papa sambung dan kakak tirinya, Januar terlihat begitu menyayanginya. Tak pernah absen memberi senyum dan sesekali bertanya kabar.

  "Akhirnya Nasha datang juga. Ayo, nak! Bunda masak kesukaan kamu. Kare ayam."

  Sambutan hangat langsung Nasha dapatkan dari pak Tanubrata begitu menginjakkan kaki di ruang tamu. Kehadirannya seperti sudah dinantikan. Bunda dan pak Tanubrata sudah duduk bersanding dengan senyum lebarnya.

  "Kita langsung makan ya. Nasha kan udah lama gak pulang. Mungkin kangen masakan bunda."

  Rindu masakan Bunda? Nasha sudah tak pernah lagi merindukan masakan Bunda. Semenjak kuliah dia terbiasa berkawan dengan warung makan.

  Hidangan di meja makan benar-benar beraneka ragam. Seperti kata pak Tanubrata ada kare ayam. Makanan kesukaan Nasha dan mendiang ayahnya.

  Ah, Nasha jadi merindukan ayahnya. Andai ayah masih ada.

  "Nasha usahanya gimana? Lancar?" tanya pak Tanubrata.

  Sekilas mata meja makan itu nampak hangat. Diselingi obrolan oleh anggota keluarga, tapi hati manusia siapa yang tahu. Nasha merasa sepi, hatinya terasa hampa.

  "Lancar, Pa." Lidah Nasha bahkan masih kaku memanggil papa pada pak Tanubrata.

  Selebar itu jarak diantara mereka. Pak Tanubrata tak pernah memandang sebelah mata pada Nasha. Beliau jelas menghargai kehadiran Nasha.

  Menyertakan Nasha dalam setiap obrolan di meja makan tanpa terkecuali. Seolah sedang menarik Nasha agar mendekat pada keluarga barunya.

  Apakah setelah 4 tahun pernikahan bunda dan pak Tanubrata masih bisa Nasha menyebutnya sebagai keluarga baru?

  Nyatanya itulah yang selalu Nasha rasakan saat berada di tengah-tengah kehangatan keluarga Tanubrata. Asing. Dia hanya orang asing yang hadir diantara mereka.

  Keluarga itu bagaikan potret keluarga bahagia. Ayah, ibu dan 2 orang anak. Tanpa Nasha keluarga itu sudah terlihat sempurna.

  "Aku udah selesai. Permisi." Lamunan Nasha terhenti kala terdengar dentingan sendok yang cukup nyaring di telinganya.

  Wajahnya diangkat guna melihat dengan jelas raut wajah Agarish. Seperti biasa, datar.

  Nasi di piring Nasha bahkan belum berkurang banyak. Makanan yang masuk ke mulutnya terasa hambar. Dia jelas melihat ada limpahan kasih sayang dari pak Tanubrata, tapi hatinya justru berkata lain.

  Hatinya terus meneriakkan kalau dirinya itu hanya orang asing. Kedua netra Nasha merebak. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Tangannya bergerak menjauhkan piring di hadapannya.

  "Nasha mau istirahat sebentar ya," pamit Nasha mengundang tanya anggota keluarga Tanubrata.

  "Makanannya habiskan dulu, Nas." Suara Bunda mengalun lembut. Namun, tak berhasil membuat Nasha menurut. Justru gelengan tegas yang Nasha berikan.

  "Nasha tadi udah makan sama Satria sebelum kesini. Nanti kalau lapar Nasha makan lagi, ya."

  Entah disadari atau tidak suara Nasha terdengar serak. Begitu melihat anggukan dari semua yang ada di meja makan Nasha langsung melenggang menuju kamar tamu.

  Memangnya apa yang Nasha harapkan? Kamar sendiri? Mereka memang menyebutnya kamar Nasha, tapi Nasha menyebutnya kamar tamu sebab ia memang tamu.

  Pintu kamar itu belum sempat tertutup dengan sempurna saat isakan Nasha lolos begitu saja. Tubuhnya meluruh di depan lemari dengan memeluk lutut.

  "Satria," lirihnya. Satu-satunya hal yang dia ingat adalah Ayah, tapi entah kenapa bibirnya malah menyebut nama Satria.

  Mungkin karena dari semua hal yang pernah Nasha alami ada Satria yang menemaninya. Memberi sokongan agar Nasha mampu berdiri dengan tegak. Bahkan di pemakaman ayahnya sekalipun.

  Lalu dengan segera Nasha merapikan diri. Penampilannya harus tetap rapi saat meninggalkan kediaman Tanubrata. Dia tak boleh terlihat menyedihkan.

  "Bun, Nasha harus balik ke bakery. Katanya rame dan ada beberapa stok yang habis," ujar Nasha.

  Ada raut terkejut dan kecewa yang Nasha lihat dari Bunda, tapi Bunda tak menolak saat Nasha pamit pergi.

  "Hati-hati ya, Nas." Hanya anggukan singkat yang Nasha berikan. Bahkan dia menolak pinjaman mobil pak Tanubrata. Motor peninggalan ayah sudah cukup baginya.

  Dengan bercucuran air mata Nasha menarik pedal gas motornya meninggalkan kediaman Tanubrata. Sejak awal tempatnya memang bukan disana.

  Bising suara knalpot dan klakson membuat Nasha bebas terisak di tengah jalan raya. Saat ini yang ingin ia temui adalah Satria. Tempatnya mengadu.

  "Satria," panggil Nasha. Satria sudah ada di salah ruangan bakery yang dijadikan Nasha tempat tinggal. Berkutat dengan pensil dan beberapa alat tulis lainnya.

  Beruntung dapur sedang kosong hingga Nasha bisa melenggang dengan bebas tanpa perlu menutupi air matanya.

  Satria dengan tanpa kata merentangkan tangannya yang langsung disambut Nasha dengan pelukan erat. Sudah Satria duga hal ini akan terjadi.

  "Ayah," ujar Nasha sambil menangis tersedu-sedu. Dengan sabar Satria menuntun agar Nasha mau duduk di ranjang.

  "Jangan nangis. Ada saya," hiburnya. Tangis Nasha malah semakin menjadi-jadi.

  Hari ini ada Satria. Lalu apakah besok atau lusa juga masih ada Satria?

  "Sat, kalau kamu nikah aku nanti sama siapa?"

  Akhirnya, pertanyaan yang sudah lama terpendam itu berhasil dikeluarkan dengan lancar. Nasha hanya takut kalau ternyata dia memang ditakdirkan untuk sendirian. Tanpa teman atau keluarga. Bahkan pasangan.

  "Emang kenapa nanya gitu?" Suara Satria terdengar lembut. Pun demikian gerakan tangannya yang menghapus sisa air mata di pipi Nasha.

  Sayang, Nasha tak menjawab pertanyaannya. Satria menghela nafas. "Ingat pesan ayah kamu kan, Nas?"

  Pelukan mereka yang sempat terurai kini kembali mengerat. Nasha memeluk Satria dengan erat seolah tidak ada hari esok. Bisa jadi esok hari Satria sudah bukan miliknya lagi.

  "Aku akan menikah dengan laki-laki yang sama seperti ayah." Tentu Nasha mengingatnya.

  "Apa saya belum menyerupai ayah kamu, Nas?" Lemparan pertanyaan itu membuat Nasha terpaku. Satria memang memiliki sifat yang sama dengan Ayah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status