"Wow, gak nyangka pagi gini udah ada cowok ganteng yang lagi masak."
Nasha yang baru bangun tidur mendengar bunyi bising dari dapurnya. Saat dihampiri ternyata Satria berada disana. Memanfaaatkan peralatan masak untuk menyiapkan sarapan mereka.
"Nasinya udah matang. Ini telurnya dikit lagi matang. Kamu mandi dulu, Nas," ujar Satria masih memainkan spatula. Membalikkan telur ceplok buatannya agar matang dengan merata.
Bukannya menuruti apa kata Satria Nasha malah berjalan mendekat. Melihat menu apa yang Satria siapkan.
"Gak masalah sih tiap hari makan telur ceplok sama nasi hangat," gumamnya.
Nasha acuh pada Satria yang sedikit terganggu dengan kehadirannya. Bukan terganggu sebenarnya, hanya kurang nyaman saja dengan penampilan Nasha yang masih berantakan.
Pasti gadis itu belum mencuci muka. Bahkan selimut yang dipakainya meninggalkan jejak di pipi dan dahi. Berantakan.
"Masuk, Nas. Siapa tahu Jihan mau datang pagi. Mandi."
Dahi Nasha berkerut memandang Satria. Tak lama dia mendengus.
"Gak bau, Satria. Santai aja sih," balas Nasha masih keukeh tak mau masuk ke kamarnya dan mandi.
Tak mau memperpanjang urusan Satria mengambil kaos oblong yang diletakkannya tak jauh dari Nasha lalu melemparnya tepat ke wajah Nasha.
"Pakai," titahnya tegas, tak terbantahkan.
Penampilan Nasha benar-benar mengganggu. Hanya dengan celana kain setengah paha dan tank top putih yang jelas kontras dengan bra merah menyala yang dipakainya.
"Bilang aja tergoda, Sat," cibir Nasha sambil memakai kaos Satria.
Cukup besar untuk tubuhnya yang kurus. Nasha berdecak begitu menyadari dia lebih terlihat seperti orang gila alih-alih terlihat seksi dengan kaos yang kebesaran.
"Aku rasa, aku lebih mirip sama orang gila. Apalagi rambutku kusut. Ewh."
Dia benar-benar salah kostum. Tanpa berpamitan Nasha langsung masuk ke kamarnya untuk mandi. Lebih baik seperti itu daripada terus menerus terlihat seperti orang gila.
Kaos besar berwarna putih polos dengan kerah lebar. Tidak lebar jika yang memakai adalah Satria, tapi bagi Nasha kaos itu bisa dijadikan model one shoulder.
Tak perlu banyak waktu yang dipakai Nasha di dalam kamarnya karena memang dia hanya perlu mandi. Yang penting sudah wangi meskipun wajahnya masih polos.
"Nas, nanti ada teman kerja saya yang datang. Nanti tunjukin ke lantai atas ya."
Suapan pertama Nasha gagal mendarat. Dia kembali meletakkan sendoknya. "Emangnya kamu gak ke kantor? Emang boleh?"
"Hari ini hari Minggu. Kantor tutup," balas Satria.
Jawaban Satria malah membuat Nasha heran. Sudah tahu ini hari Minggu lalu kenapa membuat agenda meeting?
"Dia ada urusan kemarinnya. Jadi, baru bisa hari ini," jawab Satria tanpa ditanya. Raut wajah Nasha sudah memberitahunya kalau gadis itu ingin tahu alasannya.
"Jangan macam-macam. Dia cuma teman kerja," tambah Satria sambil menatap serius pada Nasha yang melengos.
Takut nanti Nasha melakukan hal diluar dugaan saat ada rekan kerjanya datang. Apalagi perempuan. Nasha seringkali bertindak absurd hanya agar Satria dijauhi perempuan.
Alasannya sederhana. Kalau Satria berjodoh dengan perempuan lain, maksudnya kalau Satria memiliki kekasih tentu Satria tidak bisa totalitas seperti sekarang untuk membantunya.
Ada hati yang harus dia jaga. Alasan yang klise.
Benar saja saat rekan kerja Satria datang Nasha tak henti-hentinya melempar tatapan menyelidik pada perempuan tersebut.
Perempuan bertubuh semampai bak model dengan kulit yang putih bersih. Mungkin sedikit lebih putih dari Nasha yang sedikit gelap karena sering berpanas-panasan dengan motornya.
"Sat, makan siang mau apa? Jangan bilang mau nasi sama telor kayak sarapan tadi."
Tanpa izin Nasha duduk di kursi samping Satria. Mengabaikan rekan kerja Satria yang memandangnya heran sejak awal menginjakkan kaki ke bakerynya.
"Apa aja yang penting ada nasinya."
Sudah mendapat jawaban yang diinginkan tidak juga membuat Nasha beranjak. Dia masih saja memperhatikan bagaimana Satria mengobrol dengan perempuan tersebut.
Baru Nasha ketahui kalau perempuan tersebut bernama Ajeng. Bekerja di sebuah perumahan dan sedang mengurus akta penjualan salah satu unit rumah yang akan diadakan akad lusa hari.
"Saya kira Nasha ini adeknya pak Satria, tapi kok gak pakai embel-embel kakak. Ternyata bukan, ya."
Ajeng sok akrab sekali pikir Nasha. Memangnya kenapa kalau Nasha yang meskipun lebih muda dari Satria tidak memanggil kakak pada Satria. Toh, Satria tak pernah protes.
"Pak Satria sudah punya pacar?" Terlihat sekali kalau Ajeng ini ada maksud lain pada Satria.
Nasha jelas mengenal orang yang biasa datang ke kantor notaris Satria, tapi tidak tahu kalau si Ajeng ini pernah datang. Apa Ajeng adalah orang baru?
"Belum. Ini sudah deal ya. Saya tinggal menunggu pembayaran dan akan langsung saya buatkan nota tertulis."
Diam-diam Nasha memperhatikan raut wajah Satria yang nampak serius. Bagus. Setidaknya dia tidak terpengaruh dengan segala ocehan tidak penting Ajeng. Apalagi yang menyangkut urusan pribadi.
"Saya sudah konfirmasi ke Pak Braja. Katanya sudah ditransfer." Ajeng menunjukkan layar ponselnya. Menunjukkan beberapa baris pesan dari orang yang katanya bernama oak Braja itu.
Meskipun tidak tahu dan tidak mengerti Nasha ikut melihat ke layar ponsel tersebut dan berakhir melengos. Jelas sekali Ajeng memamerkan fotonya yang sedang berada di pantai yang menjadi gambar latar.
"Saya senang bisa bekerja sama dengan Pak Satria. Awalnya kurang suka juga ikut ngurus perumahan om saya, tapi kalau ada Pak Satria ya jadi suka aja," jujur Ajeng.
Mata Nasha membola. Maksudnya Satria semangatnya begitu? Enak saja.
Nasha siaga. Ini bisa berbahaya. Bagaimana kalau Ajeng terus mengungkapkan rasa sukanya dan ditanggapi Satria? Bisa gawat. Nasha bisa kehilangan teman multifungsinya.
"Saya juga senang bekerja sama dengan Alamanda Regency." Hembusan nafas lega keluar saat mendengar balasan Satria.
See, Satria senang bekerja sama dengan perumahan tersebut. Bukannya dengan Ajeng.
"Oh, ya Pak Satria tinggalnya dimana? Yang kantor itu dipakai kantor saja kan?" tanya Ajeng lengkap dengan senyum manisnya.
"Saya tinggal sama orangtua." Sebagai bentuk kesopanan Satria tetap membalas pertanyaan tidak penting Ajeng. Meskipun tidak sepenuhnya benar.
Nasha sendiri sudah gondok setengah mati. Kenapa Satria tidak bilang saja kalau tinggal di 'Aqila's Bakery' dan satu kamar dengan Nasha.
Bahkan saling senggol saat tertidur bukan hal besar bagi Nasha. Dia santai saja. Tidak tahu kalau Satria.
"Wah, kebetulan sekali. Pak Satria gak mau coba beli rumah sendiri? Kebetulan Alamanda Regency ada gebyar kemerdekaan. Uang mukanya ringan loh, Pak." Lidah sales memang tidak bisa diragukan. Licin.
"Iya, nanti saya pikirkan."
Ajeng sebenarnya menyadari tatapan membunuh dari Nasha, tapi tidak ambil pusing. Kata Satria mereka hanya berteman. Jadi, tidak ada salahnya kalau Ajeng maju.
"Ya sudah, Pak saya pamit dulu, ya. Habis ini ada acara lain," pamit Ajeng merapikan berkas-berkas yang tadi dibawanya.
Satria berdiri menjabat tangan Ajeng yang juga diikuti Nasha yang sedari tadi hanya jadi penyimak.
"Senang bisa bekerja sama dengan Pak Satria. Semoga kita bisa dipertemukan kembali dan berjodoh ya, Pak."
Sontak Nasha terbelalak mendengar kalimat Ajeng.
Menginjakkan kaki di kediaman Tanubrata Nasha dibuat terheran-heran. Bunda dan pak Tanubrata terlihat bahagia sekali duduk menunggu di ruang tamu. Apa ada berita bagus?Bisa jadi eforia pertunangan Januar yang masih terasa. Mungkin mereka berdua merasa senang karena Januar akan segera menikah. Bisa jadi sih."Nah, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga," sambut Januar dengan gembira. Bunda dan pak Tanubrata yang sedang duduk di ruang tamu juga ikut tersenyum.Nasha berpikir apa dia ini habis pulang dari membela negara? Kenapa mereka terlihat riang sekali menyambutnya?"Bunda sama Papa apa kabar?" Nasha mencium pipi Bundanya dan mengangguk singkat pada pak Tanubrata."Baik, Nas. Makin baik begitu dapat kabar gembira nih."Kabar baik? Nasha melirik Januar yang juga tampak tersenyum cerah. Pernikahan Januar memang sudah direncanakan sejak pertunangannya digelar. Kenapa senangnya baru sekarang?"Bang Janu udah nemu tanggal nikahnya ya?
Berpikir keras adalah hal yang dilakukan Satria sejak Nasha memberitahunya kalau dia diundang ke kediaman Tanubrata. Bingung dan gugup. Dia sedang memikirkan apa yang harus dia katakan nanti.Tak jauh dari Satria ada Nasha yang sibuk bermain dengan adonan sambil sesekali menatap aneh pada Satria. Satria jarang terlihat seperti itu.Terakhir dia melihat ekspresi itu saat Satria hendak wawancara kerja di salah satu kantor notaris. Lalu sekarang ekspresi itu muncul lagi. Membuat otak Nasha berpikir yang tidak-tidak.Tidak mau terus berpikir ngawur Nasha langsung menghampiri Satria begitu adonannya masuk oven."Ekhem, Satria," panggil Nasha. "Kamu ada masalah ya di kantor?" lanjut Nasha begitu berhasil mendapat atensi Satria."Kenapa mikir gitu?" Satria sudah biasa dihadapkan pada masalah bukan? Dia malah tinggal satu atap dengan masalah."Mukamu kelihatan bingung gitu. Jasa notaris kamu sepi job ya? Apa mau gulung tikar?"Satria cuma bis
"Bang," sapa Nasha sambil sedikit menunduk. Kesopanan."Kamu belum jawab pertanyaan saya," balas Agarish dingin."Tadi itu nggak sengaja kok. Bang Janu bantuin aku." Hawa panas di sekeliling Nasha sekarang bertambah panas."Kalau nggak bisa bawa sendiri ajak karyawan. Jangan sok-sokan bawa sendiri."Apakah itu tadi? Perhatian atau ejekan? Nasha sampai tidak bisa berword-word lagi. Agarish langsung pergi setelahnya. Sumpah. Nasha tidak mengerti dengan semua yang berhubungan dengan Agarish."Mbak, ojek, Mbak?" tawar seorang tukang ojek.Karena sedang melamun dan salah tangkap ucapan tukang ojek tadi Nasha malah balas marah-marah, "Enak aja. Saya ini bukan tukang ojek."Bapak ojek yang tak tahu apapun jadi bingung. Dia ini sedang menawarkan jasa ojeknya. Bukan sedang bertanya apakah Nasha ini tukang ojek apa bukan."Dasar anak jaman sekarang," gumam Bapak Ojek.Meskipun hanya bergumam, tapi Nasha bisa mendengarnya dengan je
Pulang dengan dicarikan kendaraan oleh 'mas future' membuat Nasha sudah senang sekali. Apalagi kalau Dewangga sendiri yang mengantar. Pasti hati Nasha sudah 'berflower-flower'."Mbak, aduh, mikirin apa sih," tegur Jihan setengah kesal."Iya-iya maaf. Kenapa?""Ini pesanannya gimana? Jadi siapa yang ngantar?""Gue aja, Han. Gue mau sekalian cuci mata. Lo bagian jaga warung. Oke?" Tanpa menunggu persetujuan Jihan Nasha langsung ngibrit mencari tasnya.Dia dapat pesanan beberapa kotak kue dari sebuah perusahaan. Katanya sih untuk rapat. Di perusahaan itu pasti banyak cowok-cowok cakep kan?"Nanti kalau yang nyariin bilang aja kalo gue baliknya agak maleman ya," pesan Nasha."Itu mau nganter pesanan apa mau mangkal, Mbak? Lama amat. Perasaan sejam udah balik kesini lagi deh," protes Jihan.Sayangnya Nasha bodo amat. Memang tujuan utamanya bukan hanya sekedar mengantar pesanan."Permisi, saya dadi Aqila bakery. Ini pesanannya
"Mau bimbingan skripsi?"Nasha terkejut. Ternyata bukan Dewangga. Ya Tuhan! Jadi dia dikibulin sama mahasiswa tadi? Astaga."Eh, bu-bukan, Pak. Ekhem, saya, saya cari Mas Dewangga." Nasha sampai tergagap saat menjelaskannya. Pria itu kelihatan dingin sekali. Tatapannya juga sangat tidak bersahabat."Oh, cari Dewangga. Kamu bukan anak sini?" Otomatis Nasha menggeleng kuat-kuat. "Masuk saja dulu. Dewangga masih ada kelas."Ternyata itu betulan ruangan Dewangga. Baru saja Nasha ingin bersumpah ingin mencari mahasiswi yang tadi karena membohonginya. Tapi tidak jadi. Itu memang ruangan Dewangga. Hanya saja Dewangga masih ada kelas."Masih berapa lama lagi ya, Pak?" tanya Nasha. Merasa awkward. Begitu dia masuk dan duduk di salah satu kursi belum ada lagi percakapan."Sebentar lagi. Mungkin 10 menit lagi. Kamu tunggu saja ya," jawabnya ramah. Ini membagongkan. Maksudnya membingungkan. Tadi pria itu bersikap kaku, tapi sekarang tersenyum manis seka
"Kamu? Kamu ngapain disini?" tanya Nasha dengan sinis pada salah seorang pelanggan. "Mau beli kue, Mbak. Disini jualan kue 'kan?" balas pelanggan tersebut. "Enggak. Saya jualan minyak goreng." Nada ketus Nasha membuat pelanggan tadi menggaruk tengkuknya. Bingung. Dia ini datang membawa rejeki, loh! Kenapa diketusin? "Mbak, jangan ngadi-ngadi ya. Entar rating bakery kita turun," peringat Jihan sambil berbisik. Merasa sungkan pada pelanggan tersebut. "Cari kue apa, Mbak? Biar saya siapin." Jihan beralih pada wanita berpakaian modis dihadapannya. Pelanggan adalah raja."Ekhem, emm, saya agak bingung sih kue apa. Boleh minta saran?" Nasha masih memasang muka judes. Bersedekap dada mengawasi gerak-gerik Jihan dan pelanggan tersebut. Sedangkan Jihan agak bingung. Kue macam apa yang diinginkan pelanggannya itu. "Kue buat acara apa ya, Mbak? Buat ngemil santai, hantaran, acara besar atau apa?"