Netra Nasha tak lepas mengawasi pintu masuk bakery. Bukan, dia bukannya mengawasi orang yang mencurigakan. Dia menunggu Satria.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore yang artinya Satria seharusnya sudah datang ke bakery.
Biasanya Nasha tidak mempermasalahkan sekalipun Satria datang tengah malam. Masalahnya sekarang adalah hari dimana Satria harus bertemu kembali dengan Ajeng dengan alasan pekerjaan.
Nasha mendengus mengingat bagaimana Ajeng dengan terang-terangan mengutarakan ketertarikannya pada Satria.
"Mbak, aku kebelet. Tungguin bentar ya," pamit Jihan lalu melenggang pergi.
"Donat sekotak, Mbak. Mix aja." Kepala Nasha mengangguk singkat dan langsung membungkus pesanan pelanggannya usai mencatatnya di tablet.
" Yang biasanya jaga kemana, Mbak?" Setelah mendapat pesanannya laki-laki tersebut tidak langsung beranjak. Malah menanyakan Jihan.
"Masih di kamar mandi sebentar. Kamu ada perlu sama dia?" tanya Nasha berusaha seramah mungkin.
Namun, laki-laki tersebut menggeleng lalu pergi. Kalau dilihat-lihat laki-laki itu terlihat dewasa. Pasti penggemar Jihan.
"Mbak, HP-nya bunyi terus," ujar Jihan begitu kembali.
Tanpa menjawab Nasha langsung ke dapur. Ponselnya tadi memang sengaja ditinggal di meja dapur. Saat dilihat ternyata ada pesan dari Satria.
Decakan kesal lolos dari bibir berisi milik Nasha. Satria mengatakan kalau dia mendapat undangan makan malam dengan Ajeng dan akan datang terlambat ke kafe.
"Si Anjeng emang bener-bener," umpatnya lalu melenggang masuk ke kamar.
Urusan bakery bisa dihandle Jihan. Sekarang Nasha punya misi penting. Menyelamatkan teman multifungsinya dari jeratan Ajeng.
Jangan sampai Nasha kehilangan satu-satunya teman multifungsi yang dimilikinya seperti Satria. Satria itu sama seperti ayah dan Nasha tidak akan rela kalau harus kehilangan untuk yang kedua kalinya.
"Sister, jagain bakery. Aku ada urusan bentar," pamit Nasha seenak hati yang mengundang cibiran Jihan.
Rumah makan lesehan yang letaknya tak jauh dari taman kota adalah tujuan Nasha. Untuk apalagi kalau bukan untuk mengacaukan kencan abal-abal yang sudah dirancang Ajeng.
Helmnya bahkan sempat terjatuh karena Nasha terburu-buru. Dia tidak ingin ambil resiko jika terlambat.
Nafasnya memburu dan begitu melihat sosok Satria di salah satu meja dahi Nasha berkerut. Bukan hanya ada Satria, tapi ada 3 orang lainnya dan salah satunya memang Ajeng.
Rahang Nasha terjatuh. Dia sudah memikirkan kencan romantis Satria-Ajeng yang harus segera dikacaukan, tapi justru hal lain yang dilihatnya.
Mereka rombongan. Jadi, apa khawatir Nasha menjadi sia-sia?
"Satria," panggil Nasha dengan senyum manisnya begitu berdiri tak jauh dari meja yang digunakan Satria.
Berlagak tidak tahu kalau ada Satria disana dan berakhir terkejut karena bertemu di tempat yang sama.
"Nas, kamu ngapain disini?" tanya Satria keheranan. Apalagi saat melihat wajah sok polos dan sok terkejut milik Nasha.
Padahal yang sebenarnya Satria sudah memberitahukan dia ada dimana.
"Tadi gak sengaja mampir. Ini lagi meeting, ya?" Pandangan Nasha menyebar dan meneliti satu persatu wajah yang duduk satu meja dengan Satria.
Aman. Pria bertubuh gempal dengan perut buncit dan beruban satunya lagi perempuan sosialita. Juga tak ketinggalan Ajeng yang memandangnya aneh.
Nasha tidak peduli. Mau Ajeng memandangnya aneh, benci atau apapun itu Nasha tidak peduli.
"Enggak. Cuma ditraktir makan sama klien."
Satria menarik salah satu kursi di meja sebelah agar Nasha bisa duduk disampingnya.
Sepasang paruh baya tersebut tersenyum ke arahnya yang tentu dibalas tak kalah manis oleh Nasha. Lain halnya dengan Ajeng yang terus saja memandangnya aneh sejak awal bertemu.
Mungkin Ajeng merasa aneh karena Nasha terus menempel pada Satria meskipun mereka tidak ada hubungan apa-apa.
"Nas, jangan bilang kamu nyusulin saya karena ngira saya cuma berdua sama Ajeng?" tebak Satria saat mereka dalam perjalanan kembali ke kafe.
Nasib motor Nasha akan dipikirkan nanti. Bisa minta tolong pada Jihan untuk mengambilnya.
"Iya. Gak rela banget kamu sama Ajeng," balas Nasha menggebu-gebu.
Satria tersenyum tipis mendengarnya. Kentara sekali ada kekesalan dalam kalimat Nasha.
"Jangan begitu, Nas. Saya belum pernah gangguin kamu kencan sama gebetanmu."
Lalu perasaan bersalah menyapa hati Nasha. Apa dia terlalu egois?
"Kamu sering kan nonton sama mantan gebetanmu yang banyaknya segudang itu? Tapi saya gak pernah tuh gangguin," sambung Satria.
Rasa bersalah semakin menjadi di hati Nasha. Satria benar. Dia memang egois.
Dirinya sering gonta-ganti gebetan dan sering jalan-jalan bersama mereka. Seperti katanya tadi Satria tak pernah mengganggu.
Nasha bisa bebas dekat dengan siapapun, tapi saat Satria didekati perempuan lain Nasha malah bertingkah seperti cacing kepanasan.
Selalu saja Nasha melarang Satria dekat dengan wanita ini atau wanita itu. Seolah mengatakan kalau wanita yang boleh dekat dengan Satria hanya dirinya sendiri.
Baru Nasha sadari kalau dirinya egois.
"Mereka kan cuma teman jalan. Gak pernah lebih," cicit Nasha.
Satria menghela nafas panjang. Maklum. Mungkin bisa muda Nasha masih ingin diajak jalan-jalan dan bermain.
Namun, Satria memiliki usia di atas Nasha dan sudah seharusnya mereka mencari pasangan hidup. Nasha tidak mungkin terus bergantung padanya tanpa ada kejelasan status.
Hal yang sulit untuk Satria. Nasha selalu menganggapnya teman dan penolong. Sedangkan Satria melihat Nasha lebih dari itu.
Nasha adalah perempuan yang harus dijaganya dengan sepenuh hati.
"Kamu bilang saya teman multifungsi, Nas. Saya bisa jadi apapun yang kamu mau."
Mobil Satria berhenti di sebuah jalan yang tidak terlalu ramai. Mereka perlu berbicara serius. Satria memilih untuk melepas seat belt dan sedikit memutar badannya menghadap Nasha.
"Kamu selalu bergantung ke saya dan saya gak keberatan. Saya bisa memperlakukan kamu seperti ayah kamu memperlakukan kamu. Saya juga bisa berperan sebagai teman."
Mendengar kalimat panjang itu membuat Nasha yang mulanya menunduk kini mengangkat pandangannya. Menatap tepat di bola mata Satria.
Rasanya Nasha terbius menyaksikan bola mata Satria yang berkedip pelan juga bibirnya yang bergerak-gerak setiap kali berbicara. Wajah didepannya begitu rupawan.
"Nas, saya bisa jadi teman kondangan kamu. Saya bisa jadi teman serumah kamu bahkan gak jarang kita sekamar meskipun gak ada yang kita lakuin kecuali beneran tidur."
"Sama bonus senggol dikit plus cuddling tanpa kissing," ujar Nasha pelan membuat Satria mendengus karena Nasha merusak suasana.
"Iya, terserah kamu. Satu, Nas. Saya bisa jadi apa aja yang kamu mau. Apa gak cukup kamu sama saya aja?"
Dahi Nasha berkerut. Kurang paham dengan apa yang dikatakan Satria.
"Sama saya aja, Nas. Gak perlu cari gebetan buat teman jalan. Gak perlu cari gebetan buat pamer pasangan," jelas Satria.
Oke, apa sekarang Satria terlihat seperti mempromosikan diri? Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya sekarang Nasha malah fokus ke hal lain dari diri Satria.
"Gak perlu cari gebetan, Nas. Sama saya aja," ucap Satria tegas tanpa keraguan.
"Satria, may i kiss you?" Satria mengerjap kaget mendengar balasan Nasha yang mengejutkan.
Menginjakkan kaki di kediaman Tanubrata Nasha dibuat terheran-heran. Bunda dan pak Tanubrata terlihat bahagia sekali duduk menunggu di ruang tamu. Apa ada berita bagus?Bisa jadi eforia pertunangan Januar yang masih terasa. Mungkin mereka berdua merasa senang karena Januar akan segera menikah. Bisa jadi sih."Nah, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga," sambut Januar dengan gembira. Bunda dan pak Tanubrata yang sedang duduk di ruang tamu juga ikut tersenyum.Nasha berpikir apa dia ini habis pulang dari membela negara? Kenapa mereka terlihat riang sekali menyambutnya?"Bunda sama Papa apa kabar?" Nasha mencium pipi Bundanya dan mengangguk singkat pada pak Tanubrata."Baik, Nas. Makin baik begitu dapat kabar gembira nih."Kabar baik? Nasha melirik Januar yang juga tampak tersenyum cerah. Pernikahan Januar memang sudah direncanakan sejak pertunangannya digelar. Kenapa senangnya baru sekarang?"Bang Janu udah nemu tanggal nikahnya ya?
Berpikir keras adalah hal yang dilakukan Satria sejak Nasha memberitahunya kalau dia diundang ke kediaman Tanubrata. Bingung dan gugup. Dia sedang memikirkan apa yang harus dia katakan nanti.Tak jauh dari Satria ada Nasha yang sibuk bermain dengan adonan sambil sesekali menatap aneh pada Satria. Satria jarang terlihat seperti itu.Terakhir dia melihat ekspresi itu saat Satria hendak wawancara kerja di salah satu kantor notaris. Lalu sekarang ekspresi itu muncul lagi. Membuat otak Nasha berpikir yang tidak-tidak.Tidak mau terus berpikir ngawur Nasha langsung menghampiri Satria begitu adonannya masuk oven."Ekhem, Satria," panggil Nasha. "Kamu ada masalah ya di kantor?" lanjut Nasha begitu berhasil mendapat atensi Satria."Kenapa mikir gitu?" Satria sudah biasa dihadapkan pada masalah bukan? Dia malah tinggal satu atap dengan masalah."Mukamu kelihatan bingung gitu. Jasa notaris kamu sepi job ya? Apa mau gulung tikar?"Satria cuma bis
"Bang," sapa Nasha sambil sedikit menunduk. Kesopanan."Kamu belum jawab pertanyaan saya," balas Agarish dingin."Tadi itu nggak sengaja kok. Bang Janu bantuin aku." Hawa panas di sekeliling Nasha sekarang bertambah panas."Kalau nggak bisa bawa sendiri ajak karyawan. Jangan sok-sokan bawa sendiri."Apakah itu tadi? Perhatian atau ejekan? Nasha sampai tidak bisa berword-word lagi. Agarish langsung pergi setelahnya. Sumpah. Nasha tidak mengerti dengan semua yang berhubungan dengan Agarish."Mbak, ojek, Mbak?" tawar seorang tukang ojek.Karena sedang melamun dan salah tangkap ucapan tukang ojek tadi Nasha malah balas marah-marah, "Enak aja. Saya ini bukan tukang ojek."Bapak ojek yang tak tahu apapun jadi bingung. Dia ini sedang menawarkan jasa ojeknya. Bukan sedang bertanya apakah Nasha ini tukang ojek apa bukan."Dasar anak jaman sekarang," gumam Bapak Ojek.Meskipun hanya bergumam, tapi Nasha bisa mendengarnya dengan je
Pulang dengan dicarikan kendaraan oleh 'mas future' membuat Nasha sudah senang sekali. Apalagi kalau Dewangga sendiri yang mengantar. Pasti hati Nasha sudah 'berflower-flower'."Mbak, aduh, mikirin apa sih," tegur Jihan setengah kesal."Iya-iya maaf. Kenapa?""Ini pesanannya gimana? Jadi siapa yang ngantar?""Gue aja, Han. Gue mau sekalian cuci mata. Lo bagian jaga warung. Oke?" Tanpa menunggu persetujuan Jihan Nasha langsung ngibrit mencari tasnya.Dia dapat pesanan beberapa kotak kue dari sebuah perusahaan. Katanya sih untuk rapat. Di perusahaan itu pasti banyak cowok-cowok cakep kan?"Nanti kalau yang nyariin bilang aja kalo gue baliknya agak maleman ya," pesan Nasha."Itu mau nganter pesanan apa mau mangkal, Mbak? Lama amat. Perasaan sejam udah balik kesini lagi deh," protes Jihan.Sayangnya Nasha bodo amat. Memang tujuan utamanya bukan hanya sekedar mengantar pesanan."Permisi, saya dadi Aqila bakery. Ini pesanannya
"Mau bimbingan skripsi?"Nasha terkejut. Ternyata bukan Dewangga. Ya Tuhan! Jadi dia dikibulin sama mahasiswa tadi? Astaga."Eh, bu-bukan, Pak. Ekhem, saya, saya cari Mas Dewangga." Nasha sampai tergagap saat menjelaskannya. Pria itu kelihatan dingin sekali. Tatapannya juga sangat tidak bersahabat."Oh, cari Dewangga. Kamu bukan anak sini?" Otomatis Nasha menggeleng kuat-kuat. "Masuk saja dulu. Dewangga masih ada kelas."Ternyata itu betulan ruangan Dewangga. Baru saja Nasha ingin bersumpah ingin mencari mahasiswi yang tadi karena membohonginya. Tapi tidak jadi. Itu memang ruangan Dewangga. Hanya saja Dewangga masih ada kelas."Masih berapa lama lagi ya, Pak?" tanya Nasha. Merasa awkward. Begitu dia masuk dan duduk di salah satu kursi belum ada lagi percakapan."Sebentar lagi. Mungkin 10 menit lagi. Kamu tunggu saja ya," jawabnya ramah. Ini membagongkan. Maksudnya membingungkan. Tadi pria itu bersikap kaku, tapi sekarang tersenyum manis seka
"Kamu? Kamu ngapain disini?" tanya Nasha dengan sinis pada salah seorang pelanggan. "Mau beli kue, Mbak. Disini jualan kue 'kan?" balas pelanggan tersebut. "Enggak. Saya jualan minyak goreng." Nada ketus Nasha membuat pelanggan tadi menggaruk tengkuknya. Bingung. Dia ini datang membawa rejeki, loh! Kenapa diketusin? "Mbak, jangan ngadi-ngadi ya. Entar rating bakery kita turun," peringat Jihan sambil berbisik. Merasa sungkan pada pelanggan tersebut. "Cari kue apa, Mbak? Biar saya siapin." Jihan beralih pada wanita berpakaian modis dihadapannya. Pelanggan adalah raja."Ekhem, emm, saya agak bingung sih kue apa. Boleh minta saran?" Nasha masih memasang muka judes. Bersedekap dada mengawasi gerak-gerik Jihan dan pelanggan tersebut. Sedangkan Jihan agak bingung. Kue macam apa yang diinginkan pelanggannya itu. "Kue buat acara apa ya, Mbak? Buat ngemil santai, hantaran, acara besar atau apa?"