Share

ANAK KEDUA

ANAK KEDUA

Nico menatap langit Jakarta cukup lama dari jendela besar yang berada di samping meja kerjanya. Entah kenapa dia diberi ruangan dengan jendela sebesar ini. Terkadang panasnya matahari terasa hingga ke pori-pori saat Nico duduk di tempat kerjanya tersebut. Terkadang bahkan suara hujan terdengar cukup riuh ketika deburannya membentur kaca jendela di lantai lima belas, tempatnya bekerja.

“Nic!”

Suara yang tidak asing itu terdengar lagi di ruang kerja Nico.

“Sibuk?” tanya pria yang sudah membuka lebar pintu ruang kerja Nico. “Gue mau minta tolong nih.” Pria berambut ikal itu sudah berbicara lagi sebelum Nico sempat menjawab pertanyaannya.

“Apa?” jawab Nico, acuh tak acuh.

“Meeting ke Amazed Company besok.”

“Amazed?” kening sedikit berkerut. Dia baru mendengar nama perusahaan yang Alex sebutkan barusan.

“Perusahaan baru yang gantiin Jolly entertainment.”

“Oh.” Nico mulai sedikit paham. Dia tahu jika Jolly entertainment yang selama ini bekerja sama dengan perusahaannya untuk mengiklankan produk-produk dari perusahaan keluarga Alexander dan Nicholas.

“Jam 10 ya,” sambung Alex lalu melangkah pergi.

“Lex!” kejar Nico. “Lu pribadi kan yang pilih company itu. Jadi sebaiknya lu lah yang meeting sama mereka. Gue kan gak tau apa yang mau lu kerjain sama mereka.”

Alex berjalan kembali mendekati Nico yang sedang berdiri di depan pintu ruang kerjanya. “Gak ada yang pribadi kalau urusan kantor, bro!” Alex menepuk pundak Nico. “Lagian, mereka cuma company kecil,” Alex mendekatkan bibirnya ke telinga Nico. “Lu cukup kasih produk-produk kita yang gak laku ke mereka. Setelah itu, salahin mereka karena gak bisa pasarin produk kita sampai laku. Kalau perlu, kasih penalty dan suruh mereka bayar…” Alex memberikan senyumnya pada Nico. “Come on! Lu pasti bisa ngurus masalah receh kayak gini. Biar gue yang urus masalah-masalah besar.”

Nico mengatupkan bibirnya. Bukannya dia tidak bisa membantah ucapan Alex, tetapi Nico merasa tidak pantas untuk membantahnya.

Alexander Biolanda adalah putra pertama dari William Biolanda. Keluarga Biolanda pertama kali datang ke Indonesia sekitar lima puluh tahun yang lalu. Konon, keluarga Biolanda adalah cikal bakal dari perusahaan minyak di negara ini.

Nenek moyang Biolanda membeli ratusan hektar pekerbunan kelapa sawit di beberapa daerah di Indonesia. Mereka pernah menjadi raja minyak yang cukup terkenal. Ekspansi perusahaan keluarga Biolanda tidak lantas hanya di bidang minyak saja. Lambat laun, mereka juga menghasilkan banyak kebutuhan rumah tangga. Mulai dari produk makanan, minuman, bahkan detergen, kini sudah bisa mereka ciptakan. Biolanda company pun berganti nama menjadi Bio Group setelah perusahaan mereka menguasi hampir seluruh pasar di negeri ini.

“Maaf, Pak…” Fathan, asisten Nico bergegas mengekori bosnya setelah melihat Alex pergi. “Padahal saya udah bilang kalau Pak Nico lagi ada meeting. Tapi Pak Alex main nerobos aja.”

Nico kembali duduk ke meja kerjanya. “No choice,” ucap Nico sebelum mendesah. “Jadwalin saya Amazed besok.”

“Baik, Pak.” Fathan tidak banyak bicara lagi.

Fathan sudah hampir sepuluh tahun bekerja dengan Nico. Sebelumnya mereka teman satu kampus dan satu jurusan. Ketika William Biolanda memberikan Nico jabatan sebagai Wakil Direktur, Nico meminta Fathan untuk bekerja dengannya.

Bukan hal yang baru bagi Fathan melihat tingkah semena-mena Alex pada Nico. Pria itu memang sengaja memberikan Nico banyak pekerjaan ‘receh’. Begitulah yang biasa Alex katakan.

Fathan tahu jika Alex tidak akan membiarkan Nico ikut campur dalam urusan penting di Bio Group. Alex tidak akan membiarkan Nico atau siapapun mengusik jabatan Direktur Utama yang kini Alex miliki.

Terlebih lagi, Nico hanyalah anak dari selingkuhan William. Selingkuhan! Ya, kata itu yang biasa Alex gunakan untuk menghina Nico dan latar belakangnya. William, ayah Alex dan Nico itu memang tidak pernah menikahi Ibu Nico secara resmi.

Setelah Ibu Alex meninggal, William memilih untuk berganti-ganti pasangan secara tidak resmi. Dan Ibu Nico adalah salah satu gadis yang mampu memberikan William keturunan tanpa pernah menuntut untuk diresmikan.

Ava memijat keningnya sendiri. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat Ava akhirnya tersadar jika dia hanya tinggal sendiri di ruang kerjanya. Ava menarik kedua tangannya ke atas sebagai peregangan. Dia juga memijit leher dan pundaknya yang terasa tegang.

Sudah seminggu lebih Ava lembur. Dia sedang sibuk mempersiapkan beberapa proposal iklan yang akan dia presentasikan di depan perwakilan dari Bio Group besok.

“Brengsek!” Ava melirik pada ruang kerja manajernya yang sudah gelap.

Kadang Ava ingin bersumpah serapah. Dia yang selalu mengerjakan semua pekerjaan sendiri. Tetapi saat presentasi, si bos akan berlaga sebagai orang yang berbuat banyak di dalam proposal yang Ava buat.

“It’s okay.” Ava berusaha tersenyum lebar. “Aku pasti bisa!” Ava berusaha menguatkan dirinya.

Dia sudah bersusah payah untuk mendapatkan tender kerjasama dengan Bio Group. Ava tidak akan membiarkan kemarahan menghancurkan kerja kerasnya.

“Aku harus datang pagi besok!” Ava memasang alarm pengingat di ponselnya sembari berjalan meninggalkan gedung kantornya yang sudah sepi.

Isi kepalanya tidak bisa berhenti berpikir meskipun pekerjaannya sudah selesai dia kerjakan.

Pakai baju apa besok? Warna merah? Hitam? Sepatu high heels atau hak rendah? Rambut di gerai atau di kuncir? Lipstik warna merah, maroon, atau pink? Wah! Banyak sekali yang harus Ava pikirkan.

“Dia…” bisik Nico sambil menurunkan jendela kaca mobilnya.

“Ya, Pak?” tanya Fathan, menyadari jika bosnya mengatakan sesuatu. “Bapak kenal sama cewek itu?” tanya Fathan, melihat Nico sedang menatap seorang wanita yang tengah duduk di halte bus sembari memakai headphone di telinganya.

“Sepertinya,” jawab Nico tidak yakin.

“Saya gak ingat kalau Bapak pernah ketemu sama cewek itu.”

Nico mengangguk-angguk. Fathan memang tidak ada di malam itu. Nico datang ke club karena diminta oleh Alex. Namun Nico bergegas pergi ketika dia tahu jika Alex hanya berusaha membuat Nico mengkonsumsi narkoba bersama di malam itu.

Dan beruntungnya, Ava mengajak Nico bermalam bersama saat itu. Nico jadi punya alasan tepat untuk menolak ajakan Alex.

“Nia.” Nico mengingat nama wanita yang sedang ditatapnya.

“Nia?” Fathan tersenyum kecil. “Kayaknya spesial banget,” ledek Fathan. “Lu bukan tipe orang yang ingat nama cewek yang pernah lu tidurin.”

Nico mengangguk. Setuju dengan ucapan Fathan. Dia memang tidak pernah ingat nama wanita yang pernah kencan dengannya.

“Mau diajak bareng?” tanya Fathan.

Nico tidak langsung menjawab. Kenangan manis bersama Ava yang Nico kenal dengan nama Nia, tiba-tiba terbesit kembali di memori Nico. Lekukan tubuh Ava, aroma tubuh, hingga suara desahan Ava masih bisa Nico ingat dengan jelas di benaknya.

Mungkin hal itu yang membuat Nico mengingat nama Ava dengan cukup baik. Gadis cantik itu bukan sekedar teman tidur satu malam. Tetapi juga berhasil meninggalkan kesan di pikiran Nico.

“Udah mau jalan nih!” Fathan menegaskan kembali. Lampu lalu lintas akan segera berubah dan Fathan harus memutuskan apakah dia mesti memakirkan mobilnya atau terus berjalan ke tujuan.

“No!” Nico menolak. “Next time. Kalau gue bisa ketemu lagi sama tu cewek, pasti akan gue ajak bareng,” jawab Nico yang langsung merubah gaya bicaranya menjadi santai saat sedang berdua saja dengan sahabatnya.

Bersambung…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status