Share

PERTEMUAN YANG TIDAK DIDUGA

PERTEMUAN YANG TIDAK DIDUGA

Ava sudah sibuk di ruang meeting sejak dua jam sebelum waktu meeting dengan perwakilan dari Bio Group. Dia harus memastikan banyak hal. Ruang meeting dingin, meja kursi bersih, makanan dan minuman tersaji, hingga proposal presentasinya dapat digunakan dan bekerja dengan baik.

Aldo Aksara datang sepuluh menit sebelum pukul 10 pagi. Gayanya seperti biasa. Mengantongi sebelah tangan, berjalan santai, menatap sekeliling ruangan seolah sedang memastikan jika Ava tidak membuat cela.

“Udah beres semua kan untuk meeting hari ini?” tanya Aldo pada Ava yang sedang berdiri di depan layar projector.

“Sudah, Pak,” jawab Ava, berusaha untuk tetap sopan di depan atasannya.

Mata Aldo menatap tubuh Ava dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Kamu keliatan cantik banget hari ini,” goda Aldo. “Kamu keliatan sexy pakai baju warna merah.”

Ava berusaha tersenyum manis untuk menanggapi godaan Aldo.

“Tapi sayang, yang datang bukan Dirut Bio Group.”

“Oh ya?” Ava terlihat kecewa. Padahal sesuai rencana, Dirut Bio Group yang akan datang hari ini.

“Katanya sih Wakil Direktur yang menggantikan.”

“Ah, begitu. Saya baru dengar.”

Aldo berjalan mendekati Ava. “Tapi gak masalah…” lanjut Aldo sambil mengedipkan sebelah matanya. “Kamu tetap bisa menggoda dia dengan penampilan sexy kamu ini. Dirut dan Wakilnya itu adik-kakak. Mereka sama-sama masih single.”

Ava menarik napasnya. Dia mulai muak dengan ucapan dan sikap Aldo yang seolah menghinanya.

“Maaf, Pak Aldo!” Suara Ava meninggi. “Saya sama sekali gak berniat untuk menggoda siapapun dari Bio Group.”

“Tapi kamu keliatan kecewa waktu saya bilang Dirutnya gak jadi dateng,” sindir Aldo.

“Saya memang kecewa. Karena saya pikir, harusnya meeting hari ini bisa ditutup dengan keputusan pasti dari Dirut Bio Group. Tapi kalau perwakilannya yang datang, kemungkinan project kita akan tertunda lagi.”

Aldo tersenyum nyinyir. “Sabar lah. Alon alon asal kelakon. Yang penting, Bio Group sudah pasti pakai kantor kita untuk membuat iklan produk mereka. Urusan proposal iklan kita langsung diterima atau tidak, masih bisa menunggu. Yang penting, kamu deketin dulu bos-bosnya. Semua pasti beres kalau pakai jalur ordal.”

“Cih!” Ava mengeluh. Dia pikir Ava sama dengan dirinya. Semua orang di perusahaan ini tahu jika Aldo adalah saudara sepupu dari pemilik perusahaan ini. Makanya, pria tidak berkualitas seperti Aldo masih bisa menduduki jabatan manajer hingga saat ini.

“Ayo senyum,” pinta Aldo. Sengaja diucapkan dengan gaya manja. “Senyum kamu manis banget loh. Saya mau senyum itu bisa menaklukkan Bio Group.”

“Dasar brengsek!” Ava mengomel setelah Aldo pergi meninggalkan ruang meeting.

Mobil BMW hitam yang membawa Nico sudah tiba di depan gedung kantor Amazed Company. Fathan turun terlebih dahulu untuk membukakan pintu mobil bagi Nico.

“Oh, disini kantornya,” gumam Nico sembari melirik pada halte bus yang tidak jauh dari pintu gerbang gedung.

Nico jadi ingat lagi pada gadis yang pernah mengajaknya tidur bersama. Gadis itu juga yang Nico lihat tadi malam di halte. Dan di halte yang sedang Nico lihat, berada tidak jauh dari gedung yang akan Nico datangi.

“Not bad.” Nico berkomentar ketika memasuki gedung perkantoran yang tidak terlalu besar, namun tidak juga bisa dibilang kecil.

“Amazed company bukan cuma handle masalah periklanan. Mereka juga bikin beberapa drama pendek yang di tayangin di situs online,” Fathan menerangkan sembari menyontek pada tab yang dibawanya.

Lift yang Nico dan Fathan naikin berhenti tepat di lantai lima. Aldo Aksara langsung terlihat dengan senyum lebarnya ketika pintu lift terbuka.

“Selamat datang di Amazed,” sapa Aldo dengan riang. “Ini pasti Pak Nicholas Biolanda.” Aldo mengulurkan tangannya pada Nico.

“Nico. Panggil aja Nico.”

“Benar-benar. Biar dekat, sebaiknya memang kita panggil nama pendek aja ya.” Aldo tertawa lebar, seolah dia sudah merasa sangat akrab dengan Nico. “Saya Aldo Aksara. Tapi Pak Nico boleh panggil saya, Aldo, aja. Supaya kita makin akrab.”

“Ok.” Nico menanggapi singkat. Dia tidak terlalu suka dengan orang yang bersikap sok kenal – sok dekat dengan dirinya.

“Kalau gitu, mari! Silahkan masuk.” Aldo berjalan cepat agar bisa membukakan pintu di ruang kerja lantai lima.

Ava buru-buru keluar dari ruang meeting setelah melihat Aldo berjalan ke ruang kerjanya bersama dua orang tamu pria.

“Shitt!” Ava langsung tertunduk tanpa diminta.

Jantung Ava rasanya ingin melompat dari tubuhnya ketika melihat pria dengan setelan jas biru dongker yang tengah berjalan mendekatinya.

“Ava!” teriak Aldo saat melihat Ava berdiri di depan ruang meeting.

“Ah, iya, Pak.” Ava berjalan sambil sesekali menunduk.

“Pak Nico, Pak Fathan, ini asisten manajer saya yang baru. Namanya Avalia Kirana. Tapi kami biasa panggil dia, Ava,” ucap Aldo mengenalkan Ava pada Nico dan Fathan. “Iya, kan Ava!” sambung Aldo sambil menyentuh lengan Ava.

“Iya, Pak. Saya Ava.” Ava mengenalkan diri. Kepalanya masih menunduk sesekali. Dia khawatir Nico akan mengenali dirinya.

“Ava?!” Mata Nico memicing ketika melihat wajah Ava yang sempat bertatapan dengannya tadi.

Meskipun hanya sebentar, tapi rupanya Nico masih tetap bisa mengenali Ava dengan mudah.

“Kamu, Nia kan?” tanya Nico, to the point.

Sial! Ava mengumpat dalam hati. Ternyata Nico masih mengingat wajah dan nama yang Ava gunakan malam itu.

“Bukan, Pak. Saya Ava,” jawab Ava.

“Are you sure?” Nico berjalan mendekati Ava. Dia bahkan sengaja menundukkan kepalanya agar bisa melihat wajah Ava yang tertunduk.

Fathan dan Aldo yang kebingungan dengan sikap Nico, jadi saling bertatapan.

“Aku yakin kamu Nia. Kita kan pernah…”

“Saya yakin Bapak salah orang!” dengan cepat Ava memotong ucapan Nico. Dia takut jika Nico akan mengatakan kalau mereka pernah tidur bersama.

Ava berusaha menguatkan mentalnya. Dengan berani Ava mengangkat wajahnya dihadapan Nico. Percuma saja Ava menunduk, toh Nico tetap berusaha untuk menatapnya.

“Gak mungkin. Kamu yang malam itu kan…” Nico masih penasaran.

“Malam apa ya?” celetuk Aldo, jadi ikutan penasaran.

“Iya, Pak. Malam apa ya?” Ava ikutan bertanya, seolah-olah tidak paham dengan maksud ucapan Nico. “Sepertinya kita baru pertama kali ketemu.”

Nico tersenyum tipis. Dia yakin serratus persen dengan ingatannya. Tapi, jika gadis dihadapannya ini bersikeras untuk tidak mengenalnya, maka Nico juga yakin jika gadis ini sedang ingin menyembunyikan sesuatu.

“Bagaimana kalau kita mulai aja meeting nya.” Ava mencoba mengalihkan pembicaraan. “Ruang meeting nya sudah siap.” Ava lantas membukakan ruang meeting untuk para tamunya.

Mata Nico masih tidak lepas memandangi wajah Ava. Sekarang Nico bukan lagi ingin menebak-nebak jika Nia adalah Ava, atau Ava bisa saja Nia. Saat ini, Nico justru ingin tahu, kenapa gadis cantik yang pernah dengan sangat berani memintanya untuk tidur bersama, justru berpura-pura tidak mengenalnya seperti seorang pengecut.

“Terima kasih sudah mau berkunjung ke kantor kami.” Ava membuka meeting di pagi itu.

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status