Share

MASA GEMILANG

MASA GEMILANG

Konon katanya, umur dua lima adalah masa gemilang seorang wanita. Mungkin karena itu, banyak wanita yang akhirnya memutuskan untuk tetap melajang di usia dua lima agar masa gemilangnya tidak terganggu dengan urusan rumah tangga.

Namun, apa benar seperti itu? Apakah itu bukan sekedar alasan bagi wanita-wanita penggila kerja. Bagi wanita-wanita yang jauh di lubuk hatinya ingin menyandarkan peluhnya pada lelaki yang sayangnya tidak ada untuknya.

Persetan dengan semua alasan itu. Entah dua lima adalah masa gemilang atau justru masa kepunahan, yang pasti Ava akan tetap melangkah maju. Dia tidak ingin hal negative apapun menjadi penghalang untuknya.

“Selamat ya, Ava!” teriak hampir semua karyawan di dalam ruang kerja Ava.

“Terima kasih.” Ava tersenyum malu-malu.

Akhirnya hari ini tiba juga. Ava resmi diangkat sebagai asisten marketing manager di perusahaan tempatnya bekerja.

“Saya tau kalau kamu pasti bisa,” puji Aldo sembari mengusap punggung Ava.

Ava memberikan senyum manis atas pujian Aldo.

Sial! Ava jadi mengumpat dalam hati. Satu-satunya hal buruk di hari baik ini adalah Aldo. Aldo Aksara adalah marketing manager di perusahaan yang sudah Ava geluti selama empat tahun ini. Sebelumnya, Ava adalah marketing staff terbaik yang berada di bawah tim Aldo.

Hampir semua orang di ruangan ini tahu mengenai tindak tanduk Aldo. Pria setengah baya itu terkenal suka melecehkan karyawan wanitanya. Tak ayal, Ava pun sering terkena dampaknya. Ava sadar, usapan Aldo di punggungnya barusan bukan semata-mata karena Aldo bahagia atas pengangkatannya. Tetapi karena bujang lapuk itu memang ingin menyentuh tubuh Ava.

“Jangan sia-siakan kerja keras saya yang sudah membuat kami diangkat menjadi asisten saya,” sambung Aldo. Kali ini sembari meraih tangan Ava dan menepuk punggung tangan Ava.

“Ava kan diangkat karena berhasil mendapatkan tender Bio Group,” celetuk Agnes dengan sengaja.

Ava berusaha menahan tawa ketika mendengar celetukan Agnes. Dia juga berusaha menarik tangannya dari genggaman Aldo.

Aldo yang merasa tersindir, langsung mengulum senyum. “Iya, memang. Tapi kalau bukan karena support saya sebagai manager Ava, dia gak mungkin bisa jadi asisten manager,” puji Aldo pada dirinya sendiri.

“Giling ya tu orang! Bisa-bisanya mengatasnamakan keberhasilan lu sebagai kerja keras dia,” omel Agnes sambil membakar ujung rokoknya.

“Dia memang selalu begitu kan.” Ava menarik napasnya sembari menatap langit biru yang cerah.

Kedua gadis cantik itu duduk di atap gedung kantor mereka setelah menyelesaikan makan siang di kantin kantor.

“By the way, selamat ya.” Agnes tersenyum pada Ava sembari menghisap rokok mild nya.

“Thank you.”

“Walaupun setelah ini kerjaan lu akan makin bertambah…” Agnes tertawa. “Tapi gaji lu juga akan bertambah.”

“Tapi lu bakalan tetap traktir kita-kita kan walaupun jabatan kita sama sekarang.”

“Sue!” Agnes tertawa geli.

Agnesia sudah lebih dulu diangkat sebagai asisten marketing manager, jauh sebelum Ava bekerja di Amazed Company. Gadis yang tahun ini berumur tiga puluh lima tahun tersebut terkenal sebagai gadis yang sudah ceplas ceplos dan juga royal kepada teman-temannya.

Bersama Ava, Agnes jadi merasa muda kembali. Gadis itu juga yang selalu membuat Agnes sadar jika hidup perlu dibatasi. Agnes memilih hidup sendiri. Pernikahan adalah omong kosong tiada arti untuknya. Mungkin karena Agnes dibesarkan tanpa kedua orang tua, jadi rumah tangga hanyalah sekedar formalitas untuk memuaskan ego keluarga.

“Ngomong-ngomong, minggu lalu lu pergi sama siapa?” mata Agnes menyipit.

“Siapa?” Ava pura-pura tidak paham. Sebenarnya dia sudah bisa menduga kemana arah pembicaraan ini akan bermuara.

“Gita liat lu keluar club sama cowok. Tinggi, ganteng, dan keliatan mapan,” ucap dengan tatapan curiga.

Sial! Ava tidak bisa mengelak. Baik Ava ataupun Agnes sudah tahu jika informasi yang keluar dari mulut Gita, pastilah tepat.

“Gak tau juga sih.”

“Maksudnya? Gak tau gimana?” Agnes memutar posisi duduknya menjadi menghadap Ava.

“Ya … gue gak tau siapa tu cowok. Kita cuma pergi bareng aja.” Ava sengaja memberi jawaban menggantung. Sejujurnya, dia tidak ingin menceritakan malam itu kepada orang lain.

Agnes menghembuskan asap rokok dari bibir tebalnya. “Terus lu pergi kemana ama tu cowok yang gak dikenal?”

“Gue…” Ava ragu untuk menjawab. Dia tidak yakin harus menceritakan kebenaran atau lebih baik kebohongan. “Ke hotel.”

“Anjrittt!” Agnes tertawa terbahak. “Akhirnya lu ngew* juga!”

“Shuttt!” Ava bergegas menutup mulut Agnes. “Gila, bacot lu!”

“Santai-santai, gak ada selain kita disini.” Agnes melirik kanan kiri.

Ava jadi ikutan menengok ke kanan kiri untuk memastikan jika memang tidak ada orang lain di tempat itu selain mereka berdua.

“Sebenarnya sih, gue gak berharap lu begitu sama cowok asing. Apalagi first time kan,” Agnes tersenyum genit. “Tapi, berhubung udah terjadi, ya udalah.” Agnes tertawa lagi. “Jadi gimana? Mantap dong.”

“Apaan sih lu.” Ava mencoba lari dari tatapan genit Agnes.

“Ayolah. Cerita dong.” Agnes menarik-narik lengan Ava.

“Gak ada yang perlu di certain,” Ava mencoba menghindar. Dia bahkan bangun dari duduknya dan menjauhi Agnes.

“Ganteng?” Agnes mengejar Ava. “Gede?”

“Apaan sih?!” Ava mempercepat langkahnya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan Agnes.

“Gimana goyangannya? Pro atau amateur?”

“Gila lu ya!” Ava mencoba membuat Agnes menghentikan pertanyaannya.

“Ava, please. Gue jadi penasaran banget nih. Cerita dong,” rengek Agnes.

“Berisik!” keluh Ava.

Keduanya lantas sama-sama menutup mulut ketika pintu lift terbuka dan melihat dua orang pria yang baru saja keluar dari lift untuk menikmati langit cerah di atap gedung.

Walaupun Agnes suka ceplas ceplos, tetapi dia selalu tahu kapan harus berkata dan bersikap elegan. Karenanya sikap Agnes langsung berubah 180 derajat saat melihat orang lain.

“Terus lu udah tau nomornya?” tanya Agnes kembali ketika keduanya sudah berada di dalam lift yang akan membawa mereka ke lantai lima.

Ava menggelengkan kepala. “Gue cuma tau kalau namanya Nico.”

“Lu gak tanya nomor atau at least minta name card dia.”

“Buat apa?” Ava mengangkat kedua bahunya.

“Lu gak mau tau siapa cowok yang mendapatkan keperawanan yang dua puluh lima tahun lu jaga ini.”

Bola mata Ava melirik ke atap lift. Ada sedikit penyesalan saat mendengar ucapan Agnes. Tetapi Ava bergegas kembali pada niatnya. “Gue cuma mau ngerasain One Night Stand, bukan mau pacaran sama tu orang. Jadi gak penting dia siapa.”

“Hmm, ok.” Agnes kehabisan kata. “Make sure aja lu main aman.” Agnes kembali mengeluarkan kata-katanya. “Jangan sampai one night stand ini jadi boomerang buat hidup lu.”

Ava mengangguk. Dia paham dengan baik maksud dari ucapan Agnes.

“Berarti, malam ini kita party!” Agnes langsung mengeluarkan ponselnya dari kantong bajunya.

“Again?” Ava berniat menolak. “Jadwal kita kan dua minggu sekali.”

“Malam ini exeption. Kita harus ngerayain kenaikan jabatan lu, dan …. ‘kedewasaan lu’.”

Ava menggelengkan kepalanya.

“Ava-ku sudah jadi wanita sesungguhnya.” Agnes menepuk-nepuk punggung Ava. “Jadi mana mungkin kakakmu ini gak merayakannya.” Agnes tersenyum lebar. “Gue akan traktir lu, Gita dan Tiwi malam ini. Kita party!” jerit Agnes.

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status