Ketika perceraian terjadi sang anak yang menjadi korban pun hanya mengalah dan memilih untuk berada di pihak siapa. Di paksa untuk terlihat kuat dan ber wajah polos tak tahu apa-apa.
"Dengan ini saudara William Ooh dan Helena resmi berpisah."
Suara hakim dan tiga ketukan palu pun terdengar pertanda semuanya berakhir, rumah tangga yang di bangun susah payah telah hancur karena kesalahan dan ego masing-masing. Menjadikan Jovian sebagai korban, tidak mendapatkan pesangon apapun dari suaminya. Helena masih bersyukur memiliki tabungan walaupun isinya hanya sanggup untuk menyekolahkan Jovian hingga satu tahun saja. Tapi tak apa, Helena masih bisa bekerja dan itu demi anaknya, Jovian-nya.
"Mama, kita akan tinggal dimana?" Suara kecil itu menyadarkan Helena dari lamunannya.
"Kita akan tinggal di rumah teman Mama sementara, nanti kita beli rumah ya." Ucap Helena dengan senyuman miris. Putranya tersiksa.
Jovian yang mendengar itupun tersenyum, "Oke! Tapi Mama harus bersama Jovian selamanya, jangan tinggalkan jovian."
"Mama akan bersama Jovian selamanya!" Ujar Helena dengan pelukan erat.
Jovian mengerti jika Mama dan papanya tak akan lagi bersama, dan Jovian mengerti jika perceraian itu akan berdampak pada ekonomi Mama nya, saat malam hari Jovian memergoki sang ibu yang sedang menghitung tabungannya sambil menangis, hal itu membuat Jovian sadar jika keadaan ini dia tidak boleh meminta barang mahal ataupun mainan yang sering dia beli dengan uang orang tuanya.
Netranya melihat sang ayah yang sedang memeluk wanita asing, entahlah Jovian tidak pernah melihat wanita itu. Melihat itu hanya membuat Jovian sesak, tapi tidak tahu mengapa. Intinya Jovian tidak suka tapi tak bisa melakukan apa-apa, dia sudah tidak berhak lagi.
Hingga suara sang nenek memanggilnya dengan lembut."Jovian-nie, ini nenek."
Melihat sang nenek yang merentangkan kedua tangannya untuk memeluk tubuhnya membuat Jovian tidak bisa menahan air matanya yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Menubruk tubuh neneknya dan menumpahkan semua emosinya hingga tersenggal-senggal.
Tepukan di punggungnya membuat Jovian semakin histeris, Jovian tidak ingin apa-apa sekarang, yang Jovian inginkan hanya membuang segala perasaan sesak dan sakit saat melihat sang ayah memeluk wanita lain dan bukan ibunya, sakit saat mendengar jika ayahnya lah yang membuangnya demi keluarga barunya.
"Maafkan nenek." Rahe pun terisak saat melihat sang cucu menangis histeris, anaknya memang benar-benar bajingan, meninggalkan keluarga kecilnya demi jalang yang dia hamili saat masa mudanya, mengapa wanita itu baru mengabarinya saat anak yang dikandungnya sudah berusia 13 tahun? Mengapa tidak di berikan saja padanya dan dirawat oleh Helena, menantunya tidak keberatan dengan itu hanya saja William itu bodoh.
"Helena maafkan ibu, ibu tidak bisa melakukan apa-apa. Ibu janji akan memberikan semua harta ku!" Isak Rahe
"Tidak Bu, aku mengerti aku tidak bisa menerima semua harta mu, aku sudah memiliki tempat tinggal Bu."
"Dimana tempat tinggal mu? Aku akan mengunjungi mu setiap minggunya."
"Aku tidak tahu, tapi teman ku sudah memberi tempat tinggalnya padaku."
Rahe semakin terisak saat melihat keadaan menantu dan cucunya, mereka akan tinggal dimana?, Apa tempatnya bersih?, Apa tempatnya aman?, Apa mereka tidak akan kelaparan? Semua pertanyaan itu berkumpul di kepalanya membuat khawatir tak menentu.
"Berjanjilah untuk baik-baik saja!"
"Aku berjanji!"
Setelah menangis Jovian selalu lelah, jngin segera tidur. Namun perasaannya semakin tidak menentu saat sang ayah berjalan menuju arahnya, dan sang ibu sedang berada di toilet.
William segera memeluk tubuh mungil itu dengan erat, mengecup seluruh wajah putranya sambil menahan tangis. Dia tidak berniat untuk membuang Jovian, dia sangat menyayangi putranya yang menggemaskan ini, saat itu emosi menguasai dirinya hingga tanpa sadar mengucapkan hal yang menyakitkan. William ingin Jovian bersamanya namun dia sadar bagaimana dengan istrinya? Helena bagaimana? Jika dia mengambil Jovian maka Helena akan sendirian, tetapi William juga tidak ingin putranya terlunta-lunta.
"Maafkan papa sayang, maaf." Bisik William.
Jovian ingin menangis dan memeluk ayahnya sambil mengucapkan jangan meninggalkannya, tapi jovian merasa jika dirinya sudah tak berhak untuk meminta apapun pada pria yang sedang memeluk tubuhnya, ayahnya sudah memiliki keluarga lagi dan Jovian jangan egois.
Mama pernah mengatakan jika Jovian memiliki kakak laki-laki dan kakaknya tidak pernah mendapatkan kasih sayang ayah, jadi Jovian akan mengalah demi kakaknya yang Jovian tidak ketahui.
Sedangkan dilain tempat seorang anak laki-laki berusia 13 tahun memandang pria yang sedang memeluk tubuh mungil menggemaskan yang menahan tangisnya. Sean tidak tahu jika dia memiliki adik manis, tetapi Sean mengerti semua masalah ini berasal dari dirinya jika saja dirinya tidak lahir ke dunia maka adiknya itu tidak akan menangis hingga matanya sembap, adiknya tidak akan berpisah dari ayahnya dan sebuah keluarga tidak akan pecah.
Sean berharap dia akan segera bertemu dengan adiknya dan membawa tubuh menggemaskan itu ke pelukannya, pelukan seorang kakak yang merindukan adiknya.
--------
William mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, menatap putra hasil perbuatan bejat dirinya saat muda, sangat mirip dengannya bagai pinang dibelah dua tidak ada bedanya, bahkan William sudah menduga jika Sean akan sangat mirip dengannya saat sudah besar. Dia akan membuat Sean bahagia itu janjinya.
William masih mencintai Helena, tapi egonya benar-benar tinggi hingga membuat dirinya menyakiti banyak orang yang dia cintai."Aku mencintaimu Helena."
Lorong itu sangat gelap, pengap dan tidak ada cahaya matahari yang masuk selain ventilasi udara di atas sana. Jovian menghela nafasnya berat, dalam hatinya terus bergumam jika keputusannya ini tidak salah. Jovian rela menukar apapun asalkan ibunya sembuh, seperti saat ini. Jovian akan meminjam uang kepada Mafioso dari China untuk pengobatan sang ibu, tak peduli keselamatan nyawanya terancam sekalipun."Kau sudah menungguku anak muda?" Suara berat itu terdengar dari belakan tubuh Jovian.Ketukan sepatu pantofel terdengar menggema membuat bulu kuduk Jovian meremang, dengan gugup Jovian meremas tangannya yang berkeringat itu dengan kuat. Matanya terpejam agar tidak takut, dan perlahan bola mata coklat itu terbuka, melihat pria berbadan besar yang menatapnya dengan seringai bengis."Saya Jovian." Ucap Jovian, dia berusaha menutupi ketakutannya."Ya aku tahu, apa yang kau butuhkan? Aku salut dengan keberanian mu mendatan
"Surat lagi? Wanita itu benar-benar tidak tahu malu!" Sepucuk surat yang sedikit lecek itu terlempar le pojok ruang kerja milik William, pria itu mendesis marah saat melihat nama yang membuatnya sesak itu tertulis di surat itu. Jangankan untuk membacanya membuka surat itu saja saranya William tidak sudi! Helena, wanita yang meninggalkan luka dihatinya itu sudah dua kali mengirimkan surat ke alamat rumahnya. William menyeringai sinis, ternyata mantan istrinya itu memang mempunyai nyali yang besar untuk membuang harga dirinya seperti ini. "Kau pikir aku bodoh? Semua wanita sama saja! Uang dan uang bahkan istriku juga." ucap William sambil memukul meja kerjanya. Mendengus saat memikirkan mengapa mantan istrinya mengirimkan surat setelah bertahun-tahun berpisah, apa laki-laki barunya jatuh miskin? Atau Helena dicampakkan sampai jatuh miskin? Memikirkan itu membuat William khawatir dengan putranya Jovian pasti dia sangat menderita.
Jovian menguap dan meregangkan persendiannya, menatap jam dinding yang menunjukan pukul 12 malam.Menatap sepucuk surat yang sudah ditulis oleh ibunya yang sudah rapi dan tinggal dikirim ke kantor pos nanti, sejujurnya Jovian sangat ingin membaca surat itu namun melihat gelagat Helena seperti merahasiakan sesuatu darinya membuat Jovian urung. Jovian hanya berfikir positif jika apa yang ibunya tulis bukanlah sesuatu yang akan membuatnya sedih.Apa papa akan membalas nya? gumam Jovian meremat kertas itu.Jovian sudah sering memberikan harapan palsu pada ibunya dan Jovian tak suka itu, membuat Helena kecewa itu sangat buruk bagi Jovian. Mengapa Mama ingin bertemu Papa? Dan mengapa suratnya tak dibalas oleh William saat itu? Banyak pertanyaan yang berkumpul di otaknya namun tak sanggup menanyakan hal itu pada ibunya, Jovian tak ingin membuat Helena merasa tak nyaman.Aku harap Papa membalasnya. ucap Jovian dan memasukan surat itu pada ransel yang selalu ia bawa.
Jovian berlari sekuat mungkin untuk segera sampai di rumah sakit, kata bibi Marry pemilik tempat Jovian bekerja ibunya sedang kritis. Jovian tidak memiliki ponsel bahkan sekalipun yang murah karena Jovian tidak punya uang lebih, jadi bibi Marry berbaik hati untuk menjadi perantara antara Jovian dan Dokter yang mengurus Helena."Mama..." Jovian melirih, air matanya sudah menggenang di pelupuk hingga membuat pandangan Jovian memburam."Aku mohon jangan...""Jangan ambil Mama."Meracau tak jelas dengan air mata mengalir membuat Jovian menjadi tontonan orang yang sedang berlalu lalang namun Jovian tidak peduli, apapun itu asalkan dia tepat waktu untuk menemui ibunya.Nafasnya tersengal dan dadanya bergemuruh saat netranya melihat gedung rumah sakit tempat Helena dirawat, Jovian segera berlari menuju ruangan ibunya dan bertemu dengan salah satu dokter yang baru saja keluar dari kamar rawat Helena."Dokter!""Bagaimana dengan Mama?" Ta
"Terimakasih." Jovian melambaikan tangannya pada pembeli susu, hembusan nafasnya tersengal namun tak melunturkan senyuman manis nya, Jovian bersyukur karena pembeli susu bertambah.Jovian mendongakkan wajahnya ke langit, hari yang cerah. Jovian menyukai birunya langit cerah namun tidak dengan panasnya. Sudah satu bulan semenjak Jovian mengirim surat pada ayahnya namun tak kunjung dibalas, Jovian tersenyum miris memikirkan itu, entah karena ayahnya tidak mau membantunya atau tidak membaca surat darinya dan berakhir Jovian yang meminjam uang pada seseorang dan Jovian bersyukur karena masih ada yang mau membantunya."Papa pasti sedang repot." Gumam Jovian mencoba berfikir positif dan melanjutkan langkahnya untuk menjual susu yang masih tersisa.Jovian mengamati sekitarnya berharap ada seseorang yang membuang baju atau pakaian yang masih layak, Jovian bahkan tidak sempat memperhatikan penampilannya karena terdesak oleh ekonomi dan pengobatan ibunya yang tak sedik
Hari demi hari berlalu dan Helena semakin memburuk, masalah ekonomi yang melanda mereka membuat Jovian berhenti sekolah dan mau tidak mau harus bekerja sebagai pengantar roti dan susu hingga menjadi office boy di sebuah toko. Jovian tidak mengeluh sedikitpun, dia rela asalkan Helena sembuh seperti semula walaupun hanya ada setitik cahaya harapan tapi Jovian tidak ingin memadamkan nya.Jovian tidak lagi bekerja di ladang milik Kris karena pasar dan kebun mereka pindah ke Shanghai hingga Jovian terpaksa harus mencari pekerjaan lain. Tidak ada paman Sam, Lily dan yang lain."Mama cepat sembuh."Jovian mengecup kening ibunya dan meletakkan sebuket bunga yang dia beli di pasar, Jovian ingin sekali membelikan bunga bagus namun tabungannya menipis sedangkan untuk biaya perawatan ibunya itu tidaklah kecil."Jovian?" Suara lirih itu membuat Jovian tersadar dari lamunannya, menoleh dan menemukan sang ibu tersenyum lemah di brankar rumah sakit membuat hati Jovian