Senin pagi.
Tapi hari ini berbeda.
Di ruang sidang utama, suara ramai seperti pasar. Mikrofon berdengung. Kilatan kamera membutakan. Jaksa-jaksa duduk tenang, seakan sidang ini hanya formalitas sebelum vonis dijatuhkan.
Hakim ketua, Ratna Karuniasari, mengetuk palu tiga kali.
“Sidang perkara pidana nomor 1124/Pid.B/2025/PN.JKT.PST, atas nama terdakwa Ari Pratomo, SH., dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.”
Dara, mantan rekan kerja Ari sekaligus orang terakhir yang masih percaya padanya, duduk di bangku belakang, menggenggam map pembelaan dengan tangan gemetar.
Jaksa Penuntut Umum berdiri. Pria bertubuh besar dengan senyum sinis yang tidak pernah menyiratkan rasa bersalah.
“Yang Mulia, kami menuntut terdakwa atas dugaan perekayasaan bukti elektronik, pelanggaran kerahasiaan negara, dan penyalahgunaan profesi hukum untuk keuntungan politik pribadi.”
Seisi ruangan mendadak hening.
Ari Pratomo berdiri pelan. Wajahnya tenang, namun sorot matanya mengandung amarah yang ditahan dengan disiplin bertahun-tahun sebagai pengacara.
“Yang Mulia, jika mencari kebenaran dianggap kejahatan, maka persidangan ini bukan mencari keadilan, melainkan pembungkaman.”
Tiga Hari Sebelumnya
Seseorang meninggalkan sebuah paket tanpa nama di depan kantor hukum tempat Ari dulu bekerja. Di dalamnya ada satu flashdisk merah bertuliskan tangan: “Proyek Bimasena – Versi Final.”
Ketika dibuka, Ari terdiam.
Rekaman video rapat tertutup antara pejabat tinggi dan pengusaha besar memperlihatkan kesepakatan pengalihan dana proyek rumah rakyat ke pertambangan lithium di Kalimantan.
“Biar publik pikir ini soal rumah subsidi. Padahal lahan itu untuk tambang. Kalau bocor, semua runtuh.”
Ari tahu: video ini adalah bom waktu. Tapi ia juga tahu—membukanya berarti mengorbankan dirinya sendiri.
Kembali ke Ruang Sidang
Jaksa memutar audio berisi percakapan yang disebut-sebut sebagai suara Ari:
“Sebarkan saja. Kalau perlu, biar mereka tahu siapa dalangnya.”
Ari menatap layar, lalu berbalik ke hakim.
“Itu bukan suara saya. Rekaman itu hasil manipulasi digital.”
Ahli forensik digital dipanggil. Seorang pria muda gugup berdiri.
“Rekaman tersebut… mengandung anomali. Ada jeda gelombang suara yang tidak sinkron. Saya… saya diminta untuk tetap menyatakan rekaman itu valid.”
“Diminta oleh siapa?” tanya Ari tajam.
Pria itu terdiam sesaat, lalu berbisik, “Kejaksaan Tinggi.”
Seisi ruangan berguncang.
“Keberatan, Yang Mulia!” bentak jaksa.
“Justru ini relevan,” tegas Ari. “Ini bukan sekadar sidang pidana. Ini pembunuhan karakter yang dilembagakan.”
Di Luar Sidang
Arfan Prakoso, sosok di balik skandal Bimasena, menatap layar monitor di kantor kementerian. Di sampingnya berdiri perempuan muda berambut pendek.
“Apa kita lanjut ke Rencana B?” tanya wanita itu.
“Lanjut. Pastikan Dara tidak bisa hadir di sidang pembelaan berikutnya.”
Ia mengangkat ponsel.
“Aktifkan saksi palsu. Dan beri dia pilihan yang tak bisa ditolak.”
Sementara itu, di rumahnya, Dara menerima email.
“Jika kamu hadir dan bersaksi, rekaman lama keluargamu akan tersebar ke publik. Pilih: keadilan… atau kehormatan keluargamu.”
Dara tertegun. Napasnya tercekat.
Di ruang sidang, Ari duduk sendiri. Ia masih tak tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya kini sedang diserang dari segala arah—dengan cara paling licik dan pribadi.
Dan di lorong sunyi pengadilan, seseorang membisikkan pada penjaga:
“Pastikan Ari Pratomo tak keluar hidup-hidup dari sidang terakhir.”
Satu jam setelah istirahat sidang.
Ia tahu. Sidang hari ini bukan hanya mempertaruhkan reputasinya. Tapi nyawanya.
Dua orang petugas keamanan masuk, membawa kotak makanan.
“Makan, Ari. Besok belum tentu bisa,” ucap salah satunya sambil tertawa pelan.
Ari menatapnya lekat. Ada sesuatu yang aneh. Petugas ini bukan wajah yang biasa ia lihat. Tangannya tremor, seperti menyembunyikan sesuatu.
Ari bangkit. Pelan. Tak berkata. Lalu mencium aroma makanan di depannya.
Racun.
“Sampaikan ke atasan kalian. Kalau aku mati di sini, video Bimasena akan menyebar otomatis ke tujuh jurnalis internasional. Jamnya sudah ditentukan.”
Kedua petugas menegang. Yang satu segera keluar, seakan panik. Yang satu lagi menatap Ari dengan ngeri.
“Kau pikir kami tak tahu backup planmu?”
“Aku bukan pengacara biasa. Aku menulis kontrak hidupku sendiri,” bisik Ari, dingin.
Di sisi lain, Dara sedang dikejar.
Ia mengemudi sendirian ke kantor Komnas HAM. Setiap lampu merah terasa terlalu lama. Ia baru saja memutuskan akan tetap hadir di sidang—ancaman keluarga tak akan menghentikannya. Tapi sebuah mobil hitam tanpa plat mengikuti dari belakang sejak flyover Cempaka Putih.
Dara mempercepat mobilnya. Mobil di belakang ikut. Ia berbelok tajam ke arah jalan kecil. Lalu mobil hitam itu menutup jalannya, mendadak. Dua pria bertopeng turun.
Dara menjerit, memutar balik arah.
Telepon masuk: Ari.
“Ari, mereka kejar aku… mereka mau—”
“Dara! Dengar aku. Jangan arahkan ke Komnas. Mereka sudah tahu. Belok ke Jalan Rajawali, masuk ke rumah tua nomor 17. Di sana ada orangku. Namanya Ujang.”
“Tapi kalau aku—”
“DARA! Kalau kamu mati, mereka menang. Masuk ke rumah itu sekarang!”
Kembali ke ruang tahanan.
Salah satu penjaga tiba-tiba mendapat panggilan di radio.
“Target tidak berhasil dieliminasi. Perempuan berhasil kabur.”
Penjaga itu menatap Ari dengan penuh rasa tidak percaya.
“Kamu sudah siapkan semua ini?”
Ari tersenyum tipis.
“Aku belajar dari mereka. Hukum tak tertulis nomor satu: jangan pernah bertempur tanpa senjata tersembunyi.”
Sementara itu, di ruang sidang...
Hakim Ratna kembali duduk di kursinya. Suara gaduh mulai mereda. Jaksa tampak gelisah.
“Majelis Hakim, kami mengusulkan sidang ditunda tiga hari karena saksi kami, Saudara Fajar, mendadak tidak bisa hadir.”
Tapi dari pintu belakang, seorang pria berjalan masuk—saksi Fajar.
“Maaf, Yang Mulia. Saya hadir. Dan saya ingin menyampaikan kebenaran.”
Jaksa mendadak pucat.
“Apa maksud Saudara?” tanya Hakim.
“Saya saksi yang disiapkan oleh pihak kejaksaan. Tapi saya tak sanggup berbohong. Saya dipaksa menandatangani surat kesaksian palsu tentang Ari Pratomo.”
“Saudara sadar konsekuensinya?”
“Sadar. Tapi saya lebih takut pada suara hati saya sendiri.”
Ari menatap pria itu. Untuk pertama kalinya hari itu, ia mengangguk pelan.
“Terima kasih…,” bisiknya.
Di ruang kendali sebuah gedung pemerintah, Arfan Prakoso membanting gelas kopi.
“Kirim kode hitam. Kita hentikan dia malam ini juga. Hukum tak lagi cukup. Sekarang waktunya operasi gelap.”
Dan malam pun menjelang. Dengan misi yang tak tercatat dalam sidang manapun.
Di balik gemerlap kota yang tak pernah tidur, Ari berdiri di jendela ruang kerjanya. Matanya menatap jauh ke cakrawala, tempat di mana langit malam bertemu dengan gedung-gedung tinggi yang memantulkan cahaya lampu. Suara gemuruh kota menjadi musik latar perjuangannya selama ini.Perjalanan panjang telah membawa Ari pada sebuah pemahaman yang dalam. Bahwa hukum bukan hanya tentang aturan yang tercatat di buku, atau pasal-pasal yang dikaji di ruang sidang. Hukum yang sesungguhnya adalah suara hati nurani, keadilan yang hidup dalam setiap langkah manusia.Ia teringat percakapan dengan Bima, anaknya yang polos tapi penuh tanya, yang mengajarkannya kembali tentang arti “hukum yang tak tertulis” — nilai, moral, dan rasa keadilan yang melekat dalam hidup sehari-hari. Hukum itu mengikat bukan karena ancaman, tapi karena kesadaran akan kebaikan dan tanggung jawab.Ari menutup matanya sejenak, membiarkan damai merayap masuk ke dalam jiwanya. Ia tahu, perjuangan masih akan berlanjut, tapi kini d
Di ruang keluarga yang hangat itu, Ari, Dara, dan Bima duduk bersama menikmati sore yang tenang setelah hari yang panjang penuh perjuangan. Perjalanan panjang menghadapi tekanan media, politik, hingga intrik di balik layar hukum telah menguji keteguhan mereka. Namun, di tengah segala badai, mereka tetap bersatu, saling menguatkan.Ari memandang kedua orang yang paling berharga dalam hidupnya dan berkata, “Perjalanan ini bukan hanya soal menang atau kalah dalam sebuah kasus, tapi tentang bagaimana kita bisa memperjuangkan keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang tidak hanya tertulis di kertas, tapi juga hidup di hati setiap orang.”Dara menggenggam tangan Ari erat, “Kita telah melalui banyak hal bersama. Dan aku yakin, selama kita tetap berpegang pada nilai-nilai itu, tidak ada yang bisa menghancurkan kita.”Bima yang kini semakin mengerti arti keadilan dan tanggung jawab, menatap ayah dan ibunya dengan penuh semangat, “Aku ingin menjadi seperti Ayah, seseorang yang tidak hanya tahu h
Di tengah heningnya sore, Ari mengajak Bima duduk bersama di teras rumah. Angin sepoi-sepoi mengiringi percakapan mereka yang mulai mengalir mendalam.“Ayah, tadi aku tanya soal hukum tak tertulis. Apa sebenarnya maksudnya?” tanya Bima dengan rasa ingin tahu yang tulus.Ari tersenyum, lalu mulai menjelaskan dengan bahasa sederhana namun penuh makna. “Nak, hukum yang tak tertulis itu sebenarnya adalah aturan-aturan yang tidak tertulis di buku hukum, tapi tetap mengatur bagaimana kita hidup bersama sebagai manusia. Bisa berupa nilai, norma, adat istiadat, dan prinsip moral.”“Ada banyak hal dalam hidup yang tidak bisa diatur oleh hukum resmi, tapi tetap penting untuk diikuti supaya kita bisa hidup rukun dan damai. Misalnya, kejujuran, saling menghormati, tolong-menolong, dan menjaga kepercayaan.”Bima mengangguk pelan, mencoba menyerap arti kata-kata ayahnya.“Hukum tak tertulis itu adalah fondasi dari kehidupan bermasyarakat yang baik. Jika orang-orang melanggarnya, meski tidak ada yan
Dara duduk di ruang tamu sambil memandangi foto keluarganya di dinding. Senyum kecil terukir di wajahnya, tapi pikirannya melayang jauh, merenungi banyak hal yang baru saja dia pelajari dari Ari. Baginya, hukum bukan sekadar kumpulan aturan kaku yang harus dipatuhi, tapi juga soal kepekaan hati, intuisi, dan keberanian untuk memilih yang benar dalam situasi yang kompleks.Sejak kecil Dara dibesarkan dalam keluarga elit yang sering kali menekankan pada kekuasaan dan status. Namun, menikah dengan Ari membuka matanya pada dimensi lain dari keadilan—yang berasal dari empati dan integritas moral. Ia mulai memahami bahwa sebagai anak seorang gubernur dan seorang istri pengacara, dia memiliki tanggung jawab moral yang besar, bukan hanya untuk melindungi keluarga, tapi juga untuk menjadi suara kebenaran dalam lingkaran sosial dan politiknya.Suatu sore, ketika Bima bermain di halaman, Dara mengajak Ari berbicara tentang bagaimana seorang perempuan bisa menjadi pemimpin moral dalam masyarakat.
Sore itu, hujan turun rintik-rintik. Aroma tanah basah menyatu dengan aroma teh melati yang diseduh Dara di meja ruang keluarga. Bima, yang baru pulang dari sekolah, membuka sepatunya dengan rapi lalu duduk di samping Ari yang sedang membaca dokumen perkara.“Yah,” suara Bima pelan, tapi jelas. “Di sekolah tadi ada pelajaran soal hukum. Guru bilang ada yang namanya ‘hukum tertulis’ dan ‘hukum tak tertulis’. Tapi aku bingung, apa maksudnya hukum yang tak tertulis? Bukannya semua hukum harus jelas?”Ari meletakkan berkasnya, menatap mata anaknya. Ia menyukai saat-saat seperti ini—ketika anaknya bertanya bukan karena disuruh, tapi karena rasa ingin tahu yang tumbuh dari dalam.“Hukum tertulis itu seperti undang-undang, pasal-pasal yang kamu bisa baca di buku. Tapi hukum tak tertulis, Bim… itu hidupnya di hati manusia,” jawab Ari dengan tenang.Bima mengernyit. “Maksudnya gimana?”Ari tersenyum, lalu mengambil cangkir teh dan menyeruputnya sebentar sebelum melanjutkan. “Contohnya begini.
Mentari pagi menyelinap lembut di sela tirai jendela. Rumah sederhana namun hangat di bilangan selatan Jakarta itu tampak sunyi dari hiruk-pikuk media dan urusan politik. Di balik semua ketegangan dunia luar, Ari Pratomo, seorang pengacara yang kini namanya menjadi simbol perlawanan rakyat, menjalani kehidupan yang paling ia jaga dan cintai: sebagai suami bagi Dara, dan ayah bagi Bima.“Bima, sini dulu ke Ayah,” panggil Ari sambil menutup laptopnya. Di layar tadi, berbagai dokumen hukum dan skema perlawanan sedang dikaji—tapi pagi ini, ia memilih jeda.Anak laki-lakinya yang baru berusia delapan tahun itu menghampiri sambil membawa mainan robot dan komik kesukaannya.“Ayah, kenapa orang jahat selalu menang duluan?” tanya Bima polos, sambil duduk di pangkuannya.Ari tersenyum, menatap mata anak itu sejenak sebelum menjawab. “Karena kebenaran, Nak, itu seperti pohon. Ia butuh waktu untuk tumbuh tinggi. Tapi begitu akarnya kuat, tak ada badai yang bisa merobohkannya.”Dara datang dengan