All Chapters of Hukum yang Tak Tertulis: Chapter 1 - Chapter 10

Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pagi itu dipenuhi awak media. Kamera-kamera diarahkan ke gerbang utama, menunggu sosok yang akan menjadi tajuk utama semua berita: Dara Cahyadi — putri gubernur, terdakwa pembunuhan, dan simbol terbaru skandal kelas atas.Ari turun dari mobil dengan napas panjang. Jas hitamnya sudah rapi, berkas-berkas di tangan siap, tapi pikirannya dipenuhi pertanyaan: Apakah hakim benar-benar netral? Apakah bukti akan bicara jujur di ruangan yang sudah dirancang untuk membungkam?Tak jauh di belakangnya, mobil tahanan datang. Dara turun dengan borgol di tangan, dikawal dua polisi wanita. Wajahnya tenang, tapi Ari tahu, itu hanya topeng. Ketika mata mereka bertemu, seberkas harapan melintas sejenak — tipis, tapi cukup untuk menyulut tekad.Di ruang sidang, suasana tegang. Jaksa Penuntut Umum, Guntur Wirawan, adalah sosok ambisius yang dikenal haus kemenangan. Ia membuka sidang dengan penuh percaya diri, seolah kasus ini sudah dimenangkannya bahkan sebelum pem

Senin pagi.Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah dijejali wartawan sejak pukul 06.00. Semua kamera mengarah ke satu tokoh: Ari Pratomo, pengacara yang mendadak menjadi selebritas hukum setelah membela kasus “Skandal Dana Rumah Rakyat”.Tapi hari ini berbeda.Hari ini, Ari bukan lagi pembela. Ia jadi terdakwa.Di ruang sidang utama, suara ramai seperti pasar. Mikrofon berdengung. Kilatan kamera membutakan. Jaksa-jaksa duduk tenang, seakan sidang ini hanya formalitas sebelum vonis dijatuhkan.Hakim ketua, Ratna Karuniasari, mengetuk palu tiga kali.“Sidang perkara pidana nomor 1124/Pid.B/2025/PN.JKT.PST, atas nama terdakwa Ari Pratomo, SH., dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.”Dara, mantan rekan kerja Ari sekaligus orang terakhir yang masih percaya padanya, duduk di bangku belakang, menggenggam map pembelaan dengan tangan gemetar.Jaksa Penuntut Umum berdiri. Pria bertubuh besar dengan senyum sinis yang tidak pernah menyiratkan rasa bersalah.“Yang Mulia, kami menuntut ter

Sidang berlangsung lebih panas dari biasanya. Ruang pengadilan dipenuhi oleh wartawan dan simpatisan, tapi juga bayang-bayang ancaman yang terasa semakin nyata.Ari Pratomo berdiri tegap di depan hakim, membawa bukti baru yang telah disahkan oleh ahli forensik independen. Ia tahu, ini adalah saatnya untuk menyerang balik.“Yang Mulia, saya mengajukan bukti forensik digital yang membuktikan rekayasa data oleh terdakwa dan beberapa pejabat negara,” Ari menjelaskan dengan suara tegas.Hakim menatap serius, suasana sunyi sejenak.Di luar ruang sidang, Dara dan Ujang menunggu dengan cemas. Dara masih teringat bagaimana dirinya hampir menjadi korban kekerasan, tapi tekadnya tak pernah surut.Sementara itu, di balik layar, Arfan Prakoso, sosok yang selama ini menjadi dalang, mulai menunjukkan sisi gelapnya. Ia mengirimkan pesan rahasia kepada anak buahnya:“Percepat tekanan kepada saksi dan lawan-lawan kita. Hentikan mereka sebelum mereka hancurkan semuanya.”Pesan itu menyiratkan rencana li

Tiga hari setelah sidang terakhir, Dara menerima sebuah paket misterius. Tidak ada pengirim. Hanya sebuah amplop cokelat tua dengan tulisan tangan samar: “Buka ini jika kamu ingin tahu siapa sebenarnya musuh Ari.”Tangan Dara gemetar saat membukanya.Isinya bukan banyak — hanya satu salinan fotokopi surat dakwaan lama… dan satu lembar memo kecil dengan inisial: DRS.Dara mengernyit. Nama itu… seperti tak asing. Ia segera menyambar ponsel, menelepon pengacara senior yang dulu sempat membantu Ari.“Pak, apakah Anda tahu siapa yang pernah terlibat dalam kasus Ari sebelumnya? Ada inisial DRS…”Suara di ujung telepon terdengar pelan, tapi tegas, “Kalau itu benar, kamu sedang menggali sarang lebah. DRS adalah singkatan nama seseorang dari lingkaran tinggi. Mantan pejabat hukum yang punya hubungan kuat ke kejaksaan dan lembaga intelijen. Dulu kasusnya pernah akan dibuka, tapi menghilang. Dan sekarang… kamu menemukannya lagi?”Dara membeku.Sementara itu, Ari menerima kunjungan dari seseorang

Langkah Ari memasuki ruang sidang seperti mengoyak waktu. Ruang yang dulu menjadi medan perjuangannya kini menjadi tempat dia diadili. Tapi Ari tetap berjalan tegap. Wajahnya tenang, bahkan senyumnya tipis seperti biasa. Tidak ada amarah. Tidak ada ketakutan. Yang ada hanya keberanian.Di kursi hakim, duduk Hakim Raditya, sosok senior yang sudah lama mengenal kiprah Ari. Meskipun tugasnya adalah menilai secara objektif, tampak jelas keraguan di matanya. Ia tahu reputasi Ari. Tapi prosedur hukum harus tetap berjalan.Jaksa Penuntut Umum, Dimas Mahesa, terlihat percaya diri. Terlalu percaya diri, bahkan. Ia menyusun tumpukan dokumen dan berkata lantang, “Hari ini kita akan buktikan bahwa hukum berlaku untuk siapa pun. Termasuk pengacara yang mengira dirinya kebal dari aturan.”Dara, yang duduk di samping Ari sebagai penasihat hukumnya, mengepal tangannya di bawah meja. Tapi Ari tetap tenang. Ia menyentuh tangan Dara sejenak—bukan untuk meminta kekuatan, tetapi untuk memberikannya.“Saya