Home / Romansa / Hukum yang Tak Tertulis / Bayangan di Balik Sidang

Share

Bayangan di Balik Sidang

last update Last Updated: 2025-05-30 22:43:33

Pagi itu, ruang sidang tampak seperti biasanya: formal, kaku, dan dipenuhi aura keadilan semu. Namun bagi Ari, suasana hari ini berbeda. Napasnya lebih berat. Keringat dingin menetes di balik kerah jas hitamnya. Bukan karena gugup — tapi karena tahu: ada lebih banyak mata yang mengawasinya dari balik tirai hukum.

Dara duduk di sebelahnya. Wajahnya pucat, namun matanya tajam. Sejak percakapan malam itu, Dara tak lagi sekadar klien — ia telah menjadi sekutu dalam perang tanpa peta.

Hakim utama, Ibu Susiarti, memasuki ruang sidang. Palu diketuk.

“Sidang lanjutan perkara Nomor 27/Pid.B/2025/PN.JKT.UT dengan terdakwa Dara Ardelia Putri dibuka kembali. Silakan dilanjutkan pemeriksaan saksi.”

Jaksa berdiri. Seorang pria paruh baya bersetelan dinas masuk dan bersumpah. Polisi forensik.

“Kami menemukan darah korban di kuku terdakwa. Itu indikasi bahwa korban sempat melawan.”

Jaksa tersenyum penuh kemenangan. Beberapa wartawan langsung mencatat pernyataan itu. Di belakang, beberapa influencer hukum mulai live streaming dengan tajuk “Fakta Mengejutkan Kasus Dara Ardelia”.

Ari berdiri tenang. “Izin pertanyaan, Yang Mulia.”

“Silakan, kuasa hukum terdakwa.”

“Saksi, bisakah Anda menjelaskan apakah darah tersebut ditemukan dalam jumlah yang cukup untuk disebut bukti serangan?”

“Sedikit. Tapi cukup untuk pengujian DNA.”

“Berapa jam darah tersebut bisa bertahan tanpa teroksidasi di kuku seseorang, jika—katakanlah—terjadi kontak saat memisahkan perkelahian?”

Polisi itu terdiam sesaat. “Sekitar... dua sampai tiga jam.”

“Berarti, jika waktu kematian korban pukul 01.00, dan klien saya ditangkap pukul 08.00 pagi…?”

“Darah itu seharusnya sudah mengering dan mulai terkelupas.”

“Tepat sekali. Tapi menurut laporan Bapak, darah masih bisa diuji secara aktif. Itu berarti darahnya tidak ada selama itu. Atau, seseorang sengaja mengoleskannya belakangan.”

Keriuhan kecil terdengar. Hakim mengetuk palu tiga kali.

Ari tak berhenti.

“Kami punya bukti tambahan, Yang Mulia. CCTV luar apartemen, yang tidak dilaporkan penyidik. Di sana, ada seseorang masuk ke area korban pukul 00.37 dan keluar pukul 01.12. Bukan klien saya. Kami akan panggil saksi ahli digital untuk mengonfirmasi rekaman.”

Seketika, wajah Jaksa berubah.

“Keberatan, Yang Mulia. Bukti ini tidak melalui penyitaan resmi!”

“Kami memiliki legal standing melalui permintaan pihak pengelola apartemen, atas dasar permohonan pribadi korban sebelum kejadian. Ia takut dibuntuti. Itu tercatat dalam e-mail.”

Jaksa terduduk. Ari tahu — mereka mulai goyah.

Di Balik Ruang Sidang

Sementara sidang berlangsung, seorang pria berkacamata gelap duduk di mobil hitam di luar pengadilan. Ia memegang ponsel dan berbicara dengan suara tertahan:

“Dia menemukan file CCTV. Kita punya kebocoran.”

Suara di seberang dingin.

“Aktifkan langkah dua. Pastikan dia tak masuk ke sidang berikutnya.”

“Dengan cara apa?”

“Aku tak peduli. Kecelakaan. Overdosis. Apapun. Tapi dia tidak boleh buka mulut di sidang selanjutnya.”

Klik.

Telepon terputus.

Sore Harinya…

Ari berjalan keluar pengadilan diapit dua asistennya. Wartawan mengejar, bertanya soal bukti CCTV.

“Apakah benar ada nama politisi dalam rekaman itu, Pak Ari?”

“Kami hanya ingin membuktikan klien kami tidak bersalah,” jawab Ari diplomatis.

Tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju kencang dari arah kanan. Asistennya berteriak.

“ARI, AWAS!”

Seketika Ari terdorong ke belakang. Motornya menghantam trotoar, pengendaranya kabur.

Darah menetes dari pelipisnya.

“Pak, kita ke rumah sakit!”

“Tidak. Bawa aku ke kantor. Kita harus backup semua file malam ini juga.”

Asistennya menatap tak percaya. Tapi mereka tahu — Ari bukan tipe orang yang menyerah karena luka. Justru luka itulah yang menguatkannya.

Malam itu, di Kantor Ari…

Ari duduk di depan tiga layar komputer. Di tangannya, kopi hitam pekat, tak berampas. Di belakangnya, Dara menatap diam-diam. Wajahnya lelah, tapi ada api dalam matanya.

“Kau tak harus melakukan ini sendirian,” ucap Dara pelan.

Ari menoleh.

“Aku tahu. Tapi aku yang memilih masuk ke dunia ini. Dunia tanpa aturan, tanpa perlindungan. Dunia yang hanya bisa dikalahkan oleh sesuatu yang bahkan lebih berani — kebenaran yang tak mau diam.”

Dara mengangguk. Lalu ia mendekat.

“Besok, kita buktikan... bahwa hukum bukan hanya untuk mereka yang punya kuasa. Tapi juga untuk kita yang berani melawan.”

Ari menatapnya. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa tidak sendiri.

Dan malam itu, meski Jakarta diliputi hujan dan bayang-bayang ancaman, kantor hukum kecil di sudut selatan kota itu menyala terang. Sebab di sana, seorang pengacara dan kliennya sedang menulis ulang sejarah hukum.

Dengan satu prinsip:

“Keadilan yang tidak tertulis… harus diperjuangkan dengan darah dan nyali.”

Hujan deras turun malam itu. Jakarta seperti menangis dalam diam. Tapi bagi Ari, malam ini bukan soal hujan. Ini tentang batas antara hidup dan mati yang semakin kabur.

Pukul 02.13.

Ari baru saja selesai memindahkan semua file ke tiga server backup berbeda. Ia tahu, jika sistemnya disusupi, masih ada dua salinan lagi — satu di Singapura, satu lagi di komputer offline yang terkubur di balik rak buku tua.

Saat ia hendak menutup laptop, listrik padam.

Gelap total.

Hanya layar laptop yang menyala redup, menciptakan siluet wajahnya.

Ia berdiri perlahan. Tangannya meraba meja, mencari senter. Langkah pelan terdengar dari lantai atas.

Padahal... semua staf sudah pulang.

"Siapa di atas?" serunya.

Tidak ada jawaban.

Ia meraih batang besi dari bawah meja. Matanya tajam. Kakinya melangkah pelan menaiki tangga, satu demi satu. Setiap langkah disambut detak jantung yang semakin cepat.

Saat sampai di lantai dua, lampu darurat menyala sebentar — cukup untuk menampakkan bayangan seseorang berdiri di ujung lorong.

Ari refleks mengangkat besi itu.

Bayangan itu hanya berdiri. Diam. Tanpa suara.

Lalu — tiba-tiba lari ke arah jendela dan meloncat keluar.

Ari berlari mengejar, tapi yang ia temukan hanya jendela terbuka... dan bau parfum maskulin yang samar tertinggal di udara. Di ambang jendela, ada sesuatu yang tertinggal:

Sebuah peluru. Masih dingin. Masih belum digunakan.

Ari mengerti maksudnya. Pesan yang sangat jelas.

“Peluru ini milikmu, jika kau melangkah lebih jauh.”

Keesokan Harinya…

Dara membuka pintu kantor lebih awal dari biasanya. Ia melihat ruangan terbuka, beberapa dokumen berserakan di meja, dan Ari sedang duduk sendirian menatap peluru itu di dalam plastik kecil.

“Mereka masuk ke sini?” bisik Dara.

Ari mengangguk pelan.

“Dan mereka belum membunuhku. Itu berarti… aku masih berguna buat mereka. Atau mereka sedang menunggu aku membuat kesalahan.”

Dara menggigit bibirnya.

“Kau bisa berhenti, Ari. Kita bisa… lari. Kita bawa semua bukti ini ke luar negeri. Ada media internasional yang pasti mau dengar.”

Ari tersenyum miring.

“Aku tidak dibentuk untuk melarikan diri. Aku dibentuk untuk bertahan, meski sendirian.”

Ia berdiri. Tatapannya tegas. Jauh lebih tajam dari sebelumnya.

“Dan sekarang aku tahu satu hal: Ini bukan hanya soal Dara. Ini soal seluruh sistem yang berusaha membuat keadilan sebagai barang mewah. Kalau aku harus mati demi membongkar ini — maka biarlah begitu. Tapi aku tak akan mati diam.”

Di tempat lain, Arfan Prakoso menatap layar yang menampilkan rekaman CCTV kantor Ari dari kamera tersembunyi.

Di belakangnya, seseorang bertanya:

“Dia tahu tentang proyek Bimasena?”

Arfan mengangguk.

“Dan dia punya file aslinya. Tapi dia terlalu idealis.”

“Apa kita aktifkan opsi C?”

“Belum. Biarkan dia bicara di sidang hari Senin. Saat itulah kita ubah semua skenario. Kita buat Ari... menjadi terdakwa.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hukum yang Tak Tertulis   Hukum yang Tak Pernah Tulis

    Di balik gemerlap kota yang tak pernah tidur, Ari berdiri di jendela ruang kerjanya. Matanya menatap jauh ke cakrawala, tempat di mana langit malam bertemu dengan gedung-gedung tinggi yang memantulkan cahaya lampu. Suara gemuruh kota menjadi musik latar perjuangannya selama ini.Perjalanan panjang telah membawa Ari pada sebuah pemahaman yang dalam. Bahwa hukum bukan hanya tentang aturan yang tercatat di buku, atau pasal-pasal yang dikaji di ruang sidang. Hukum yang sesungguhnya adalah suara hati nurani, keadilan yang hidup dalam setiap langkah manusia.Ia teringat percakapan dengan Bima, anaknya yang polos tapi penuh tanya, yang mengajarkannya kembali tentang arti “hukum yang tak tertulis” — nilai, moral, dan rasa keadilan yang melekat dalam hidup sehari-hari. Hukum itu mengikat bukan karena ancaman, tapi karena kesadaran akan kebaikan dan tanggung jawab.Ari menutup matanya sejenak, membiarkan damai merayap masuk ke dalam jiwanya. Ia tahu, perjuangan masih akan berlanjut, tapi kini d

  • Hukum yang Tak Tertulis   Melangkah Bersama Menuju Keadilan Sejati

    Di ruang keluarga yang hangat itu, Ari, Dara, dan Bima duduk bersama menikmati sore yang tenang setelah hari yang panjang penuh perjuangan. Perjalanan panjang menghadapi tekanan media, politik, hingga intrik di balik layar hukum telah menguji keteguhan mereka. Namun, di tengah segala badai, mereka tetap bersatu, saling menguatkan.Ari memandang kedua orang yang paling berharga dalam hidupnya dan berkata, “Perjalanan ini bukan hanya soal menang atau kalah dalam sebuah kasus, tapi tentang bagaimana kita bisa memperjuangkan keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang tidak hanya tertulis di kertas, tapi juga hidup di hati setiap orang.”Dara menggenggam tangan Ari erat, “Kita telah melalui banyak hal bersama. Dan aku yakin, selama kita tetap berpegang pada nilai-nilai itu, tidak ada yang bisa menghancurkan kita.”Bima yang kini semakin mengerti arti keadilan dan tanggung jawab, menatap ayah dan ibunya dengan penuh semangat, “Aku ingin menjadi seperti Ayah, seseorang yang tidak hanya tahu h

  • Hukum yang Tak Tertulis   Makna di Balik Kata Hukum yang Tak Tertulis

    Di tengah heningnya sore, Ari mengajak Bima duduk bersama di teras rumah. Angin sepoi-sepoi mengiringi percakapan mereka yang mulai mengalir mendalam.“Ayah, tadi aku tanya soal hukum tak tertulis. Apa sebenarnya maksudnya?” tanya Bima dengan rasa ingin tahu yang tulus.Ari tersenyum, lalu mulai menjelaskan dengan bahasa sederhana namun penuh makna. “Nak, hukum yang tak tertulis itu sebenarnya adalah aturan-aturan yang tidak tertulis di buku hukum, tapi tetap mengatur bagaimana kita hidup bersama sebagai manusia. Bisa berupa nilai, norma, adat istiadat, dan prinsip moral.”“Ada banyak hal dalam hidup yang tidak bisa diatur oleh hukum resmi, tapi tetap penting untuk diikuti supaya kita bisa hidup rukun dan damai. Misalnya, kejujuran, saling menghormati, tolong-menolong, dan menjaga kepercayaan.”Bima mengangguk pelan, mencoba menyerap arti kata-kata ayahnya.“Hukum tak tertulis itu adalah fondasi dari kehidupan bermasyarakat yang baik. Jika orang-orang melanggarnya, meski tidak ada yan

  • Hukum yang Tak Tertulis   Ketika Hati Perempuan Menjadi Kompas Keadilan

    Dara duduk di ruang tamu sambil memandangi foto keluarganya di dinding. Senyum kecil terukir di wajahnya, tapi pikirannya melayang jauh, merenungi banyak hal yang baru saja dia pelajari dari Ari. Baginya, hukum bukan sekadar kumpulan aturan kaku yang harus dipatuhi, tapi juga soal kepekaan hati, intuisi, dan keberanian untuk memilih yang benar dalam situasi yang kompleks.Sejak kecil Dara dibesarkan dalam keluarga elit yang sering kali menekankan pada kekuasaan dan status. Namun, menikah dengan Ari membuka matanya pada dimensi lain dari keadilan—yang berasal dari empati dan integritas moral. Ia mulai memahami bahwa sebagai anak seorang gubernur dan seorang istri pengacara, dia memiliki tanggung jawab moral yang besar, bukan hanya untuk melindungi keluarga, tapi juga untuk menjadi suara kebenaran dalam lingkaran sosial dan politiknya.Suatu sore, ketika Bima bermain di halaman, Dara mengajak Ari berbicara tentang bagaimana seorang perempuan bisa menjadi pemimpin moral dalam masyarakat.

  • Hukum yang Tak Tertulis   Pelajaran dari Seorang Ayah

    Sore itu, hujan turun rintik-rintik. Aroma tanah basah menyatu dengan aroma teh melati yang diseduh Dara di meja ruang keluarga. Bima, yang baru pulang dari sekolah, membuka sepatunya dengan rapi lalu duduk di samping Ari yang sedang membaca dokumen perkara.“Yah,” suara Bima pelan, tapi jelas. “Di sekolah tadi ada pelajaran soal hukum. Guru bilang ada yang namanya ‘hukum tertulis’ dan ‘hukum tak tertulis’. Tapi aku bingung, apa maksudnya hukum yang tak tertulis? Bukannya semua hukum harus jelas?”Ari meletakkan berkasnya, menatap mata anaknya. Ia menyukai saat-saat seperti ini—ketika anaknya bertanya bukan karena disuruh, tapi karena rasa ingin tahu yang tumbuh dari dalam.“Hukum tertulis itu seperti undang-undang, pasal-pasal yang kamu bisa baca di buku. Tapi hukum tak tertulis, Bim… itu hidupnya di hati manusia,” jawab Ari dengan tenang.Bima mengernyit. “Maksudnya gimana?”Ari tersenyum, lalu mengambil cangkir teh dan menyeruputnya sebentar sebelum melanjutkan. “Contohnya begini.

  • Hukum yang Tak Tertulis   Rumah yang Menjadi Sekolah Hati

    Mentari pagi menyelinap lembut di sela tirai jendela. Rumah sederhana namun hangat di bilangan selatan Jakarta itu tampak sunyi dari hiruk-pikuk media dan urusan politik. Di balik semua ketegangan dunia luar, Ari Pratomo, seorang pengacara yang kini namanya menjadi simbol perlawanan rakyat, menjalani kehidupan yang paling ia jaga dan cintai: sebagai suami bagi Dara, dan ayah bagi Bima.“Bima, sini dulu ke Ayah,” panggil Ari sambil menutup laptopnya. Di layar tadi, berbagai dokumen hukum dan skema perlawanan sedang dikaji—tapi pagi ini, ia memilih jeda.Anak laki-lakinya yang baru berusia delapan tahun itu menghampiri sambil membawa mainan robot dan komik kesukaannya.“Ayah, kenapa orang jahat selalu menang duluan?” tanya Bima polos, sambil duduk di pangkuannya.Ari tersenyum, menatap mata anak itu sejenak sebelum menjawab. “Karena kebenaran, Nak, itu seperti pohon. Ia butuh waktu untuk tumbuh tinggi. Tapi begitu akarnya kuat, tak ada badai yang bisa merobohkannya.”Dara datang dengan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status