Ari—pengacara muda, tampan, idealis. Dara—anak gubernur, dicap pembunuh, menyimpan luka yang tak pernah ditulis hukum. Ari Pratama, seorang pengacara muda yang baru saja membuka firma hukumnya sendiri, dikenal sebagai “pengacara rakyat” yang menolak tunduk pada uang dan kekuasaan. Namun ketika ia diminta membela Dara Cahyadi, putri gubernur yang dituduh membunuh mantan kekasihnya, dunia Ari berubah selamanya. Semua bukti mengarah pada Dara. Media, publik, bahkan hukum seolah telah menjatuhkan vonis sebelum sidang dimulai. Tapi semakin dalam Ari menyelidiki, semakin ia yakin ada sesuatu yang tak tertulis—sebuah kebenaran yang tersembunyi oleh kekuasaan, trauma, dan skandal keluarga. Dilema muncul saat Ari mulai jatuh hati pada Dara. Di antara tekanan politik, ancaman profesi, dan sumpah advokat, Ari dihadapkan pada satu pertanyaan yang tak diajarkan di bangku kuliah hukum: Apakah cinta bisa dibela... tanpa melanggar sumpah dan nurani? Dalam dunia hukum yang tak sepenuhnya adil, kadang yang benar bukan yang menang—dan yang tertulis, belum tentu kebenaran.
もっと見るAri Pratama duduk di balik meja kerjanya yang penuh dengan tumpukan berkas dan dokumen hukum. Sinar lampu meja yang redup menciptakan bayangan panjang di ruangan kecil kantornya, menambah suasana serius di tengah malam yang hening. Ia mengusap wajahnya yang mulai lelah, menatap layar laptop dengan tatapan yang campur aduk antara lelah dan tekad.
Telepon pagi tadi masih terngiang di telinganya. Suara dari seorang staf gubernur yang memohon bantuan pengacara muda ini untuk mengambil kasus yang sudah menjadi buah bibir seluruh negeri: Dara Cahyadi, putri gubernur yang sedang tersandung kasus pembunuhan mantan kekasihnya.
Ari tahu, ini bukan kasus sembarangan. Semua orang sudah menjatuhkan vonisnya. Media massa tak henti-hentinya menayangkan berita-berita negatif tentang Dara. Publik seolah sudah tahu bahwa Dara bersalah, sementara aparat hukum sibuk mempersiapkan berkas dakwaan yang hampir sempurna.
Namun, sebagai pengacara yang baru membuka firma hukumnya sendiri, Ari merasa ada sesuatu yang tidak benar. Hukum, dalam realitanya, seringkali tak berjalan adil. Tidak semua kebenaran bisa tertulis dalam pasal-pasal yang kaku.
Ketukan di pintu kecil itu mengalihkan perhatian Ari. Rizal, rekannya yang sudah lama bekerja bersamanya, masuk dengan secangkir kopi panas di tangan. “Masih begadang, Ari? Kasus ini memang berat, ya?”
Ari tersenyum lemah, menerima kopi itu. “Ini lebih dari berat, Rizal. Ini tentang nyawa dan masa depan seseorang. Dan aku tahu, hukum tidak akan selalu membela yang benar.”
Rizal mengangguk, “Kalau begitu, kita harus siapkan strategi terbaik. Aku yakin ada celah yang bisa kita manfaatkan.”
Ari meneguk kopinya pelan, mencoba menenangkan pikirannya. Di luar jendela, gedung-gedung tinggi Jakarta berdiri megah, namun di balik gemerlap itu tersembunyi berbagai intrik dan rahasia kelam.
Tak lama kemudian, Ari bergegas menuju ruang sidang. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena tekanan kasus, tapi juga karena pertemuan dengan Dara, klien yang harus ia bela. Ia harus membuktikan bahwa cinta dan keadilan bisa berjalan beriringan, walau dunia berusaha memisahkan keduanya.
Di ruang tunggu pengadilan, Dara duduk dengan tenang, wajahnya dingin namun matanya menampakkan ketakutan yang tersembunyi. Ketika Ari menghampirinya, mereka bertatapan dalam keheningan penuh makna.
“Pak Ari,” suara Dara bergetar pelan, “Saya percaya pada Anda.”
Kata-kata itu membuat Ari sadar bahwa ini bukan sekadar perkara hukum, melainkan pertarungan batin yang akan menguji segala prinsipnya.
Ari mulai menyelidiki lebih dalam. Ia mengunjungi TKP, berbicara dengan saksi-saksi, dan mencoba membuka lapisan demi lapisan kebohongan yang ditutup oleh kekuasaan dan politik. Ia sadar bahwa di balik kasus ini terdapat rahasia keluarga Cahyadi yang bisa mengguncang tatanan politik provinsi.
Sementara itu, hubungan Ari dan Dara mulai berkembang. Tidak hanya sebagai pengacara dan klien, tapi juga sebagai dua insan yang terjebak dalam pusaran situasi yang tak mereka inginkan. Cinta mulai tumbuh di tengah badai, memperkeruh dilema moral Ari.
Dalam setiap persidangan, Ari berhadapan dengan jaksa yang licik dan tekanan dari media yang ingin menjatuhkan Dara sebelum kebenaran terungkap. Namun, ia tetap berdiri tegak, berpegang pada sumpahnya sebagai advokat.
Hari sudah beranjak malam ketika Ari menyusuri jalanan Jakarta Selatan menuju rumah sakit tempat korban terakhir sempat dirawat. Di sana, ia menemui seorang perawat bernama Leni yang secara diam-diam bersedia berbicara. Perempuan itu tampak gugup, melihat kanan-kiri sebelum akhirnya membisikkan sesuatu yang membuat Ari menahan napas.
“Saya tahu ini berbahaya, Pak Ari, tapi malam itu… ada seseorang yang memaksa masuk ke ruang pasien sebelum korban koma. Bukan Dara. Saya ingat wajahnya. Tapi polisi tidak pernah memeriksa rekaman CCTV di lorong itu. Mereka hanya fokus ke kamar pasien.”
“Siapa orang itu?”
Leni menggigit bibirnya. “Saya tak bisa bilang… tapi dia memakai pin lambang partai di jasnya.”
Kepala Ari langsung memutar cepat. Kasus ini ternyata bukan sekadar pembunuhan cemburu. Ada kepentingan politik yang bermain, dan Dara mungkin hanyalah pion dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Keesokan harinya, Ari mengunjungi kediaman keluarga Cahyadi. Rumah itu lebih menyerupai istana daripada hunian biasa. Pilar-pilar tinggi menjulang, gerbang besi otomatis, dan penjagaan ketat di setiap sudut. Namun di balik kemewahan itu, ia bisa merasakan ketegangan.
Ia disambut oleh Nyonya Ratna, ibu Dara, yang tampak lebih dingin daripada berita koran mana pun. “Terima kasih sudah datang, Pak Ari. Tapi saya berharap Anda bisa menyelesaikan ini… cepat dan bersih. Suami saya tak bisa terlibat lebih jauh. Tahun ini musim pemilu.”
“Saya akan lakukan yang terbaik, Bu,” jawab Ari, datar.
“Bukan hanya yang terbaik. Anda harus membuat masyarakat lupa kasus ini pernah ada.”
Kata-kata itu menampar nurani Ari. Ia tak menjawab, hanya mengangguk. Di dalam hatinya, tekad mulai tumbuh: ia tidak akan menyembunyikan kebenaran demi kenyamanan siapa pun — bahkan seorang gubernur sekalipun.
Sore harinya, Ari kembali menemui Dara di tahanan. Kali ini lebih personal. Ia duduk berseberangan di ruang kunjungan yang dingin, tangan Dara terborgol, tapi matanya menatap Ari dengan kekuatan yang sulit dijelaskan.
“Aku tidak membunuh dia, Mas Ari. Aku memang bodoh, tapi aku bukan pembunuh.”
“Kenapa kamu tidak bilang dari awal bahwa kamu sedang di tempat lain saat kejadian?”
“Aku takut. Karena orang yang bersamaku malam itu... bukan siapa-siapa yang pantas aku sebutkan. Bahkan kalau dia bisa menyelamatkanku.”
Ari mendesah pelan. “Kita harus temukan cara, Dara. Kalau kamu benar-benar tidak bersalah, maka yang membunuh itu masih bebas di luar sana.”
Dara diam. Matanya berkaca-kaca. “Kamu percaya padaku?”
Ari menatap dalam-dalam. Ada sesuatu yang membuatnya sulit berkata tidak. “Aku percaya. Dan aku akan buktikan.”
Dalam beberapa hari berikutnya, Ari mulai menyusun ulang kronologi kejadian. Ia mengunjungi rumah korban, mencari celah dari bukti-bukti forensik yang selama ini diabaikan. Ia menemukan bahwa pisau yang digunakan ternyata tidak memiliki sidik jari Dara — tetapi laporan itu dikaburkan dalam dokumen resmi.
Ia juga bertemu dengan seorang wartawan independen, Gita, yang sudah lama mencurigai ada permainan kekuasaan di balik kasus ini.
“Kalau kamu mau main bersih, kamu akan kalah, Ari,” kata Gita dengan nada tajam. “Media sudah dibeli. Publik sudah digiring. Kamu hanya punya satu peluru: fakta. Tapi itu tidak cukup tanpa keberanian.”
Ari mengangguk. “Aku tidak butuh menang di mata publik. Aku butuh satu hal — kebenaran untuk menang di pengadilan.”
Namun malam itu, sebuah ancaman muncul. Ari menemukan surat tanpa nama di bawah pintu kantornya. Isinya hanya satu kalimat:
“Berhenti atau kamu akan menjadi target berikutnya.”
Rizal panik. “Kita harus lapor polisi, Ari.”
“Dan bagaimana kalau polisi sudah dikuasai pihak mereka?” jawab Ari. “Tidak. Kita jalan terus. Kita lawan ini dari dalam. Hukum boleh tertulis, tapi kebenaran hidup di hati orang-orang yang berani.”
Malam sebelum sidang pertama, Ari berdiri di depan cermin, merapikan jas hitamnya. Wajahnya lelah, tapi matanya menyala. Ia tahu ini bukan sekadar perkara hukum. Ini adalah pertarungan hidup-mati. Bagi Dara. Bagi dirinya. Dan bagi keadilan yang selama ini dikorbankan demi kekuasaan.
Ia menatap refleksinya dengan tegas. “Hukum yang tak tertulis harus dihidupkan hari ini.”
Di ruang sidang besok, Ari bukan hanya akan berhadapan dengan jaksa dan bukti-bukti palsu — tapi juga dengan seluruh sistem yang ingin melihat Dara hancur. Dan ia tahu, satu langkah salah bisa membuat mereka berdua tersingkir... selamanya.
Di balik gemerlap kota yang tak pernah tidur, Ari berdiri di jendela ruang kerjanya. Matanya menatap jauh ke cakrawala, tempat di mana langit malam bertemu dengan gedung-gedung tinggi yang memantulkan cahaya lampu. Suara gemuruh kota menjadi musik latar perjuangannya selama ini.Perjalanan panjang telah membawa Ari pada sebuah pemahaman yang dalam. Bahwa hukum bukan hanya tentang aturan yang tercatat di buku, atau pasal-pasal yang dikaji di ruang sidang. Hukum yang sesungguhnya adalah suara hati nurani, keadilan yang hidup dalam setiap langkah manusia.Ia teringat percakapan dengan Bima, anaknya yang polos tapi penuh tanya, yang mengajarkannya kembali tentang arti “hukum yang tak tertulis” — nilai, moral, dan rasa keadilan yang melekat dalam hidup sehari-hari. Hukum itu mengikat bukan karena ancaman, tapi karena kesadaran akan kebaikan dan tanggung jawab.Ari menutup matanya sejenak, membiarkan damai merayap masuk ke dalam jiwanya. Ia tahu, perjuangan masih akan berlanjut, tapi kini d
Di ruang keluarga yang hangat itu, Ari, Dara, dan Bima duduk bersama menikmati sore yang tenang setelah hari yang panjang penuh perjuangan. Perjalanan panjang menghadapi tekanan media, politik, hingga intrik di balik layar hukum telah menguji keteguhan mereka. Namun, di tengah segala badai, mereka tetap bersatu, saling menguatkan.Ari memandang kedua orang yang paling berharga dalam hidupnya dan berkata, “Perjalanan ini bukan hanya soal menang atau kalah dalam sebuah kasus, tapi tentang bagaimana kita bisa memperjuangkan keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang tidak hanya tertulis di kertas, tapi juga hidup di hati setiap orang.”Dara menggenggam tangan Ari erat, “Kita telah melalui banyak hal bersama. Dan aku yakin, selama kita tetap berpegang pada nilai-nilai itu, tidak ada yang bisa menghancurkan kita.”Bima yang kini semakin mengerti arti keadilan dan tanggung jawab, menatap ayah dan ibunya dengan penuh semangat, “Aku ingin menjadi seperti Ayah, seseorang yang tidak hanya tahu h
Di tengah heningnya sore, Ari mengajak Bima duduk bersama di teras rumah. Angin sepoi-sepoi mengiringi percakapan mereka yang mulai mengalir mendalam.“Ayah, tadi aku tanya soal hukum tak tertulis. Apa sebenarnya maksudnya?” tanya Bima dengan rasa ingin tahu yang tulus.Ari tersenyum, lalu mulai menjelaskan dengan bahasa sederhana namun penuh makna. “Nak, hukum yang tak tertulis itu sebenarnya adalah aturan-aturan yang tidak tertulis di buku hukum, tapi tetap mengatur bagaimana kita hidup bersama sebagai manusia. Bisa berupa nilai, norma, adat istiadat, dan prinsip moral.”“Ada banyak hal dalam hidup yang tidak bisa diatur oleh hukum resmi, tapi tetap penting untuk diikuti supaya kita bisa hidup rukun dan damai. Misalnya, kejujuran, saling menghormati, tolong-menolong, dan menjaga kepercayaan.”Bima mengangguk pelan, mencoba menyerap arti kata-kata ayahnya.“Hukum tak tertulis itu adalah fondasi dari kehidupan bermasyarakat yang baik. Jika orang-orang melanggarnya, meski tidak ada yan
Dara duduk di ruang tamu sambil memandangi foto keluarganya di dinding. Senyum kecil terukir di wajahnya, tapi pikirannya melayang jauh, merenungi banyak hal yang baru saja dia pelajari dari Ari. Baginya, hukum bukan sekadar kumpulan aturan kaku yang harus dipatuhi, tapi juga soal kepekaan hati, intuisi, dan keberanian untuk memilih yang benar dalam situasi yang kompleks.Sejak kecil Dara dibesarkan dalam keluarga elit yang sering kali menekankan pada kekuasaan dan status. Namun, menikah dengan Ari membuka matanya pada dimensi lain dari keadilan—yang berasal dari empati dan integritas moral. Ia mulai memahami bahwa sebagai anak seorang gubernur dan seorang istri pengacara, dia memiliki tanggung jawab moral yang besar, bukan hanya untuk melindungi keluarga, tapi juga untuk menjadi suara kebenaran dalam lingkaran sosial dan politiknya.Suatu sore, ketika Bima bermain di halaman, Dara mengajak Ari berbicara tentang bagaimana seorang perempuan bisa menjadi pemimpin moral dalam masyarakat.
Sore itu, hujan turun rintik-rintik. Aroma tanah basah menyatu dengan aroma teh melati yang diseduh Dara di meja ruang keluarga. Bima, yang baru pulang dari sekolah, membuka sepatunya dengan rapi lalu duduk di samping Ari yang sedang membaca dokumen perkara.“Yah,” suara Bima pelan, tapi jelas. “Di sekolah tadi ada pelajaran soal hukum. Guru bilang ada yang namanya ‘hukum tertulis’ dan ‘hukum tak tertulis’. Tapi aku bingung, apa maksudnya hukum yang tak tertulis? Bukannya semua hukum harus jelas?”Ari meletakkan berkasnya, menatap mata anaknya. Ia menyukai saat-saat seperti ini—ketika anaknya bertanya bukan karena disuruh, tapi karena rasa ingin tahu yang tumbuh dari dalam.“Hukum tertulis itu seperti undang-undang, pasal-pasal yang kamu bisa baca di buku. Tapi hukum tak tertulis, Bim… itu hidupnya di hati manusia,” jawab Ari dengan tenang.Bima mengernyit. “Maksudnya gimana?”Ari tersenyum, lalu mengambil cangkir teh dan menyeruputnya sebentar sebelum melanjutkan. “Contohnya begini.
Mentari pagi menyelinap lembut di sela tirai jendela. Rumah sederhana namun hangat di bilangan selatan Jakarta itu tampak sunyi dari hiruk-pikuk media dan urusan politik. Di balik semua ketegangan dunia luar, Ari Pratomo, seorang pengacara yang kini namanya menjadi simbol perlawanan rakyat, menjalani kehidupan yang paling ia jaga dan cintai: sebagai suami bagi Dara, dan ayah bagi Bima.“Bima, sini dulu ke Ayah,” panggil Ari sambil menutup laptopnya. Di layar tadi, berbagai dokumen hukum dan skema perlawanan sedang dikaji—tapi pagi ini, ia memilih jeda.Anak laki-lakinya yang baru berusia delapan tahun itu menghampiri sambil membawa mainan robot dan komik kesukaannya.“Ayah, kenapa orang jahat selalu menang duluan?” tanya Bima polos, sambil duduk di pangkuannya.Ari tersenyum, menatap mata anak itu sejenak sebelum menjawab. “Karena kebenaran, Nak, itu seperti pohon. Ia butuh waktu untuk tumbuh tinggi. Tapi begitu akarnya kuat, tak ada badai yang bisa merobohkannya.”Dara datang dengan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
コメント