Share

Bab 4

Author: SILAN
last update Last Updated: 2025-08-12 11:01:46

Piero masih sembilan belas tahun, harusnya ia lulus sekolah tahun kemarin jika dirinya tidak di penjara karena kasus pembunuhan. Mau tidak mau, ia harus melanjutkan pendidikan selama satu tahun.

Setelah setahun tidak sekolah, ini adalah hari pertamanya masuk kembali. Banyak orang memandang ke arahnya, sementara Piero seolah menjadi orang yang berbeda ketika dia di markas para kriminal rendahan itu dan juga di sekolah.

Seakan punya kepribadian ganda, ia bisa menjadi pria berdarah dingin dan juga pria yang disukai oleh orang lain. Bagi Piero, sekolah bukan untuk tempat perkelahian.

Ia duduk di kursi belakang, tempat yang biasanya dihindari siswa teladan. Tak lama, seorang remaja ceria dengan rambut acak-acakan dan gaya bicara cepat duduk di sebelahnya.

"Hei, kau anak pindahan ya?" sapanya santai.

Piero menoleh perlahan. "Bukan. Aku cuma melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda."

"Oh...," pria itu mengangguk paham. "Tertunda karena ikut olimpiade internasional? Atau ikut pertukaran pelajar?"

Piero menatapnya sambil tersenyum kecil. “Aku di penjara.”

Seketika, senyum pemuda itu membeku. “Apa?”

“Penjara. Jadi, aku harus berhenti sekolah selama setahun,” ulang Piero dengan nada ringan, seolah membahas liburan musim panas.

Reaksi yang muncul bisa ditebak. Wajah pemuda itu mengkerut, lalu tertawa canggung, seolah mengira Piero sedang bercanda. “Haha... gila juga bercandamu.”

"Namaku David." Ia memperkenalkan diri, menahan rasa penasaran sekaligus kegelisahan. "Jujur saja, kau pasti sedang bercanda kan? Kau tidak terlihat seperti anak nakal sama sekali." kekehnya, tapi begitu guru masuk dan memulai pelajaran, David buru-buru memindahkan duduknya ke kursi yang lain.

Piero hanya menghela nafas sambil melihat ke arah pintu masuk.

Guru yang masuk ternyata bukan orang asing. Sosok setengah baya dengan kacamata tebal itu pernah mengajar Piero sebelum kejadian kelam itu terjadi. Dan dari tatapan matanya, jelas, guru itu belum bisa melupakan masa lalu Piero.

"Selamat pagi," suara guru itu berat dan dingin. "Saya harap tahun ini berjalan tanpa masalah besar. Belajar yang tenang, anak-anak. Jangan sampai... ada yang harus menghilangkan nyawa orang lain."

Piero tau, sindiran itu untuknya, tapi ia sama sekali tidak peduli.

"Aku datang ke sini bukan untuk berkelahi," batinnya. "Aku hanya ingin menyelesaikan yang belum selesai."

__

Jam istirahat biasanya menjadi waktu untuk bersantai, tapi bagi Piero, itu justru menjadi panggung diam-diam penuh bisikan dan pandangan tajam.

Rumor tentang dirinya menyebar lebih cepat dari jadwal pelajaran. Mantan narapidana. Pembunuh. Bahaya. Kalimat-kalimat itu melayang di udara, tak pernah diucapkan langsung ke wajahnya, tapi cukup keras untuk membuat orang-orang menjauh setiap kali ia melangkah.

Tapi Piero sudah terbiasa. Dunia memang gemar menghakimi dari kejauhan.

Ia berjalan menuju taman belakang sekolah, tempat yang jarang didatangi murid karena sepi dan ditumbuhi semak. Namun kali ini, suara keras menghentikan langkahnya. Bunyi benda terjatuh, lalu umpatan dan tawa merendahkan.

Matanya menoleh. Di antara bayang dinding sekolah, tiga gadis berdiri melingkari satu murid perempuan yang terjatuh. Bajunya kusut, tasnya terbuka dan isinya berserakan di tanah. Salah satu gadis menarik rambut korban sambil tertawa menghina.

Piero hendak berbalik. Tapi langkahnya berhenti. Tadinya ia tak mau peduli akan gadis itu, tapi ia teringat bahwa kakaknya meninggal juga karena di buli. Ia tidak bisa membiarkan sejarah berulang.

Pelan tapi tegas, ia berjalan ke arah mereka. Suaranya dingin, datar, tapi cukup untuk memotong udara.

"Kalau kalian sudah selesai, silahkan pergi."

Tangan gadis bernama Quinn terhenti. Ia melepaskan rambut korban dengan kasar dan melirik Piero seolah ia makhluk menjijikkan.

"Siapa kau, hah?! Sok pahlawan? Jangan ikut campur!" bentaknya.

Piero menatapnya lurus. Tak ada emosi, hanya sorot tajam yang membuat nyali lawan menyusut.

"Mau pergi atau tidak?" suaranya tidak meninggi, tapi membawa beban yang membuat udara mendadak berat.

Salah satu dari dua teman Quinn berbisik panik.

"Quinn, dia siswa mantan narapidana pembunuhan tahun lalu, sebaiknya kita jangan cari masalah dengannya."

Quinn menegang. Tatapannya bergeser, dari percaya diri menjadi ragu. Tapi untuk menjaga harga dirinya, ia mendesis sebelum berbalik pergi.

"Jangan pikir urusan ini selesai!"

Piero tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam sampai ketiga gadis itu benar-benar menjauh. Setelah itu, ia menunduk melihat gadis korban di hadapannya.

Rambutnya kusut, sudut bibirnya berdarah, tapi matanya menatap Piero dengan sorot penuh kejutan dan... rasa malu.

Sebelum ia bisa bicara, Piero sudah berbalik hendak pergi. Tapi langkahnya terhenti saat suara lirih terdengar di belakangnya.

"Terima kasih..." ucap si gadis, nyaris tak terdengar.

Piero tidak menoleh.

"Kalau kau hanya pasrah di buli oleh mereka, kau akan mati dalam waktu dekat."

Lalu ia melanjutkan langkahnya, membiarkan kata-katanya menggantung di udara, meninggalkan si gadis dalam diam, namun dengan mata yang mulai menatap dirinya sendiri secara berbeda.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Humming of Death   Bab 8

    Pertemuan di aula usai. Satu per satu siswa keluar dengan wajah penuh semangat, membicarakan peluang untuk mendapatkan tiket masuk ke daftar sepuluh orang yang dicari keluarga Carpenter. Sorak-sorai dan langkah tergesa memenuhi lorong, tapi Piero tidak ikut terburu-buru. Ia tetap berdiri di dalam, menjadi satu-satunya siswa yang keluar paling akhir.Di ujung ruangan, Garrett masih berdiri berbincang dengan kepala sekolah. Sorot mata Piero mengunci pada sosok itu, diam, tajam, penuh muatan yang tak seorang pun di ruangan itu mengerti.Ketika kepala sekolah akhirnya pergi, Garrett menoleh, matanya menangkap tatapan Piero yang menusuk."Siapa anak itu? Dia terlihat memperhatikanku dengan sorot mata yang begitu kuat," tanyanya pada asistennya."Tampaknya anak ini salah satu fans terbesarmu di sekolah ini, Tuan," jawab sang asisten.Garrett menyunggingkan senyum tipis. "Bawa dia kemari."Asistennya mengangguk dan memberi isyarat. Piero melangkah mendekat tanpa sedikitpun keraguan. Kini, ja

  • Humming of Death   Bab 7

    Air shower mengucur deras, menghantam lantai kamar mandi dengan suara berulang, namun warnanya tak lagi jernih, melainkan merah pekat. Darah bercampur air mengalir di kaki Piero, hilang di lubang pembuangan. Ia berdiri mematung, mata terpejam di bawah guyuran air panas, membiarkan sisa pembantaian itu luruh dari kulitnya. Tidak ada rasa bersalah. Tiga nyawa sudah ia ambil, dua di antaranya dalam waktu kurang dari seminggu.Masih ada dua orang yang masih berkeliaran, Piero yakin, satu persatu pasti akan ia dapatkan dimanapun persembunyian mereka. Selesai membersihkan diri, Piero segera mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaian sebelum melihat informasi terbaru dimana posisi dua orang lainnya. Satu diantaranya bernama Garrett, dan ini adalah orang yang ia rasa lebih kuat dari yang lainnya."Aku tidak akan pernah berhenti, sampai api dendam dalam dadaku padam." batin Piero saat ia melihat foto Garrett di dalam ponselnya, tangannya tanpa sadar mengepal dan rahangnya mengeras.Keesokan

  • Humming of Death   Bab 6

    Hari demi hari, Piero terus memburu jejak tiga orang yang telah merenggut nyawa saudaranya. Dua diantaranya sudah ia kirim ke liang kubur. Kini, target ketiga yang ia incar. Malam itu, kabar datang dari Carlo, orang itu berada di Washington. Tanpa pikir panjang, Piero meluncur kesana, melawan dingin malam yang menusuk.Ia berdiri di trotoar seberang sebuah klub malam yang gemerlap, lampu neon berwarna merah muda dan biru memantul di aspal basah sisa hujan. Hoodie hitamnya menutupi sebagian wajah, membuatnya menyatu dengan bayang-bayang. Satu tangan menggenggam ponsel di telinga, satu lagi di dalam saku, meraba gagang pisau lipat yang sudah ia siapkan."Kau yakin dia ada di sini?" suaranya pelan namun tegas, nyaris tak terdengar tertelan musik bising dari dalam klub."Yakin," jawab Carlo di seberang. "Dia di dalam. Tunggu saja. Dia akan keluar sebentar lagi."Klik. Sambungan diputus. Piero mencondongkan tubuh, duduk di pinggiran pagar pembatas. Matanya mengamati setiap wajah yang kelua

  • Humming of Death   Bab 5

    Piero melemparkan tas sekolah ke atas tempat tidur, ia sudah menyuruh seseorang menyiapkan tempat nyaman untuknya. Tempat itu tidak jauh dari markas para kriminal rendahan yang ia sewa, namun tidak banyak yang tau lokasi tempat tinggal barunya karena berada di ruang bawah tanah.Meskipun di bawah tanah, tapi orang suruhan Piero telah merenovasi tempat tersebut menjadi nyaman dan juga punya sistem keamanan yang hanya Piero bisa kendalikan.Baru saja ia selesai mengenakan kaus hitamnya kembali, ponselnya berdering.“Bagaimana? Sudah dapat mereka?” tanyanya dingin, masih merapikan bagian kerahnya.“Sebaiknya kau datang dan lihat sendiri,” suara Carlo terdengar dari seberang. Tak banyak bicara, tapi cukup untuk membuat Piero segera bergerak.Langkah kakinya mantap menuruni lorong gelap menuju tempat yang biasa digunakan para kriminal rendahan itu untuk menyembunyikan “barang tangkapan”. Ia tahu ruangan itu, cat temboknya mengelupas, lantainya seperti belum tersentuh sapu selama bertahun-t

  • Humming of Death   Bab 4

    Piero masih sembilan belas tahun, harusnya ia lulus sekolah tahun kemarin jika dirinya tidak di penjara karena kasus pembunuhan. Mau tidak mau, ia harus melanjutkan pendidikan selama satu tahun.Setelah setahun tidak sekolah, ini adalah hari pertamanya masuk kembali. Banyak orang memandang ke arahnya, sementara Piero seolah menjadi orang yang berbeda ketika dia di markas para kriminal rendahan itu dan juga di sekolah.Seakan punya kepribadian ganda, ia bisa menjadi pria berdarah dingin dan juga pria yang disukai oleh orang lain. Bagi Piero, sekolah bukan untuk tempat perkelahian.Ia duduk di kursi belakang, tempat yang biasanya dihindari siswa teladan. Tak lama, seorang remaja ceria dengan rambut acak-acakan dan gaya bicara cepat duduk di sebelahnya."Hei, kau anak pindahan ya?" sapanya santai.Piero menoleh perlahan. "Bukan. Aku cuma melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda.""Oh...," pria itu mengangguk paham. "Tertunda karena ikut olimpiade internasional? Atau ikut pertukaran pe

  • Humming of Death   Bab 3

    Gedung tua yang menjulang di antara reruntuhan kota itu seolah tak layak ditinggali siapapun, berlapis cat yang mengelupas, jendela-jendela pecah, dan aroma lembab yang meresap sampai ke tulang. Tapi di dalamnya, kehidupan lain berlangsung. Kehidupan liar, kelam, dan kacau.Ruang-ruang gelap itu dihuni oleh para bajingan jalanan yang tak lagi mengenal moral. Asap rokok menggulung di udara, tawa pecandu bersahut-sahutan, dan di balik sekat-sekat kain murahan, tubuh-tubuh bertaut tanpa ikatan. Obat-obatan berpindah tangan seperti permen, dan wanita-wanita yang tak lagi punya pilihan menjadi hiburan kolektif. Dunia kecil yang sudah kehilangan arah.Piero berdiri di tengah itu semua, seperti sosok asing dari dunia berbeda. Tatapan tajamnya menyapu seluruh ruangan, ekspresinya datar, namun penuh penilaian. Jijik? Tentu. Tapi ia tidak datang untuk menjadi hakim. Ia datang untuk memanfaatkan."Carlo, anak mana yang kau bawa itu?" suara serak berat memanggil, datang dari pria bertato dengan b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status