Piero masih sembilan belas tahun, harusnya ia lulus sekolah tahun kemarin jika dirinya tidak di penjara karena kasus pembunuhan. Mau tidak mau, ia harus melanjutkan pendidikan selama satu tahun.
Setelah setahun tidak sekolah, ini adalah hari pertamanya masuk kembali. Banyak orang memandang ke arahnya, sementara Piero seolah menjadi orang yang berbeda ketika dia di markas para kriminal rendahan itu dan juga di sekolah. Seakan punya kepribadian ganda, ia bisa menjadi pria berdarah dingin dan juga pria yang disukai oleh orang lain. Bagi Piero, sekolah bukan untuk tempat perkelahian. Ia duduk di kursi belakang, tempat yang biasanya dihindari siswa teladan. Tak lama, seorang remaja ceria dengan rambut acak-acakan dan gaya bicara cepat duduk di sebelahnya. "Hei, kau anak pindahan ya?" sapanya santai. Piero menoleh perlahan. "Bukan. Aku cuma melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda." "Oh...," pria itu mengangguk paham. "Tertunda karena ikut olimpiade internasional? Atau ikut pertukaran pelajar?" Piero menatapnya sambil tersenyum kecil. “Aku di penjara.” Seketika, senyum pemuda itu membeku. “Apa?” “Penjara. Jadi, aku harus berhenti sekolah selama setahun,” ulang Piero dengan nada ringan, seolah membahas liburan musim panas. Reaksi yang muncul bisa ditebak. Wajah pemuda itu mengkerut, lalu tertawa canggung, seolah mengira Piero sedang bercanda. “Haha... gila juga bercandamu.” "Namaku David." Ia memperkenalkan diri, menahan rasa penasaran sekaligus kegelisahan. "Jujur saja, kau pasti sedang bercanda kan? Kau tidak terlihat seperti anak nakal sama sekali." kekehnya, tapi begitu guru masuk dan memulai pelajaran, David buru-buru memindahkan duduknya ke kursi yang lain. Piero hanya menghela nafas sambil melihat ke arah pintu masuk. Guru yang masuk ternyata bukan orang asing. Sosok setengah baya dengan kacamata tebal itu pernah mengajar Piero sebelum kejadian kelam itu terjadi. Dan dari tatapan matanya, jelas, guru itu belum bisa melupakan masa lalu Piero. "Selamat pagi," suara guru itu berat dan dingin. "Saya harap tahun ini berjalan tanpa masalah besar. Belajar yang tenang, anak-anak. Jangan sampai... ada yang harus menghilangkan nyawa orang lain." Piero tau, sindiran itu untuknya, tapi ia sama sekali tidak peduli. "Aku datang ke sini bukan untuk berkelahi," batinnya. "Aku hanya ingin menyelesaikan yang belum selesai." __ Jam istirahat biasanya menjadi waktu untuk bersantai, tapi bagi Piero, itu justru menjadi panggung diam-diam penuh bisikan dan pandangan tajam. Rumor tentang dirinya menyebar lebih cepat dari jadwal pelajaran. Mantan narapidana. Pembunuh. Bahaya. Kalimat-kalimat itu melayang di udara, tak pernah diucapkan langsung ke wajahnya, tapi cukup keras untuk membuat orang-orang menjauh setiap kali ia melangkah. Tapi Piero sudah terbiasa. Dunia memang gemar menghakimi dari kejauhan. Ia berjalan menuju taman belakang sekolah, tempat yang jarang didatangi murid karena sepi dan ditumbuhi semak. Namun kali ini, suara keras menghentikan langkahnya. Bunyi benda terjatuh, lalu umpatan dan tawa merendahkan. Matanya menoleh. Di antara bayang dinding sekolah, tiga gadis berdiri melingkari satu murid perempuan yang terjatuh. Bajunya kusut, tasnya terbuka dan isinya berserakan di tanah. Salah satu gadis menarik rambut korban sambil tertawa menghina. Piero hendak berbalik. Tapi langkahnya berhenti. Tadinya ia tak mau peduli akan gadis itu, tapi ia teringat bahwa kakaknya meninggal juga karena di buli. Ia tidak bisa membiarkan sejarah berulang. Pelan tapi tegas, ia berjalan ke arah mereka. Suaranya dingin, datar, tapi cukup untuk memotong udara. "Kalau kalian sudah selesai, silahkan pergi." Tangan gadis bernama Quinn terhenti. Ia melepaskan rambut korban dengan kasar dan melirik Piero seolah ia makhluk menjijikkan. "Siapa kau, hah?! Sok pahlawan? Jangan ikut campur!" bentaknya. Piero menatapnya lurus. Tak ada emosi, hanya sorot tajam yang membuat nyali lawan menyusut. "Mau pergi atau tidak?" suaranya tidak meninggi, tapi membawa beban yang membuat udara mendadak berat. Salah satu dari dua teman Quinn berbisik panik. "Quinn, dia siswa mantan narapidana pembunuhan tahun lalu, sebaiknya kita jangan cari masalah dengannya." Quinn menegang. Tatapannya bergeser, dari percaya diri menjadi ragu. Tapi untuk menjaga harga dirinya, ia mendesis sebelum berbalik pergi. "Jangan pikir urusan ini selesai!" Piero tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam sampai ketiga gadis itu benar-benar menjauh. Setelah itu, ia menunduk melihat gadis korban di hadapannya. Rambutnya kusut, sudut bibirnya berdarah, tapi matanya menatap Piero dengan sorot penuh kejutan dan... rasa malu. Sebelum ia bisa bicara, Piero sudah berbalik hendak pergi. Tapi langkahnya terhenti saat suara lirih terdengar di belakangnya. "Terima kasih..." ucap si gadis, nyaris tak terdengar. Piero tidak menoleh. "Kalau kau hanya pasrah di buli oleh mereka, kau akan mati dalam waktu dekat." Lalu ia melanjutkan langkahnya, membiarkan kata-katanya menggantung di udara, meninggalkan si gadis dalam diam, namun dengan mata yang mulai menatap dirinya sendiri secara berbeda.Berita tentang rencana pernikahan Garrett dan Laura merajalela di media. Dari televisi, portal online, hingga forum-forum bisnis, semuanya membicarakan sosok Garrett Carpenter. Bukan hanya karena statusnya sebagai CEO muda perusahaan Carpenter, tapi juga karena ia selalu tampil misterius. Tak seorang pun pernah melihat siapa wanita yang akan mendampinginya, dan justru hal itu membuat rasa penasaran publik semakin membuncah.Nama Garrett kini seperti bintang di langit Boston. Dari kalangan bisnis, politik, hingga masyarakat biasa, semua hampir memujinya tanpa henti. Popularitasnya melambung, reputasinya seakan tak tergoyahkan.Namun di sudut ruang gelap apartemennya, Piero menatap layar laptop yang menampilkan berita itu. Tangannya meraih segelas kopi dingin, lalu ia menyandarkan bahu ke kursi. Sekilas, wajahnya tampak tenang. Tetapi begitu matanya menajam, sudut bibirnya terangkat membentuk seringai yang menusuk.“Permainan… dimulai.” gumamnya dingin.__Malam itu, suasana di markas b
Seperti yang sudah Piero janjikan pada Laura, diam-diam ia membawa Laura pergi menuju ke makam tempat peristirahatan terakhir Henry berada. Meskipun sebenarnya Piero tau, setiap langkah yang ia ambil ini mengandung resiko, anak buah Garrett bisa saja mengikutinya, dan karena itu Piero harus lebih cerdas untuk mengelabui mereka.“Apa hubunganmu dengan Henry sebenarnya, mengapa kau bisa tahu dimana dia dimakamkan?” tanya Laura tiba-tiba, suaranya datar tapi penuh penasaran.Piero melempar senyum tipis, setengah menutupi rasa tegang. “Aku mengenalnya, cukup itu saja yang kau tahu.”Perjalanan panjang berujung pada kecurigaan yang terkonfirmasi, bayangan di belakang mereka bukan kebetulan. Ada orang yang membuntuti. Piero menelan nafas, menahan cemas. Dia menengahi rute, mengarahkan langkah ke makam lain yang jauh dari tujuan sebenarnya, sebuah gerakan kecil untuk menyingkirkan pengikut.“Di mana makam kedua orang tuamu?” Piero balik bertanya, nada suaranya dibuat ringan agar tidak menimb
Hari-hari berlalu, dan Piero terus berusaha menjaga langkahnya. Ia tak boleh membuat kesalahan sekecil apa pun. Setiap tugas dari Garrett ia selesaikan dengan mulus, tanpa cela, seolah benar-benar anak buah yang setia. Dan hasilnya, Garrett mulai mempercayainya. Ia sering mengajak Piero ikut serta dalam aksi kotor, membawanya ke tempat-tempat di mana rahasia kelamnya tersimpan. Namun, semakin dalam Piero menyelami dunianya, semakin ia sadar, Garrett tidak memiliki hati nurani. Pria itu memperlakukan nyawa orang lain seperti debu, bisa dibuang kapan saja. Dan itu membuat dendam dalam hati Piero tumbuh semakin besar. Tapi menghadapi Garrett tak bisa sembrono, salah langkah, nyawanya akan berakhir seketika. Hari itu, mereka berada di sebuah gudang senjata. Situasi kacau. Tembakan bersahutan, ledakan kecil terdengar dari sudut-sudut ruangan. Asap mesiu memenuhi udara. “Pier, kiri!” teriak salah satu rekan Garrett. Refleks, Piero menunduk, berguling ke tanah, tangannya meraih pistol yan
Hari demi hari bergulir. Sejak bergabung, Piero mulai mendapat tugas dari Garrett lebih sering dari biasanya. Tugas-tugas yang membuat tangannya kotor, yang memperlihatkan langsung sisi kelam Garrett, kejahatan yang tidak pernah masuk berita, kejahatan yang dunia tidak pernah tahu.Sebulan penuh ia menyelami lingkaran pria itu, dan barulah Piero menemukan alasan mengapa sang kepala sekolah mau menjadi boneka Garrett. Ancaman. Jika ia tak patuh, sekolah akan diledakkan saat ribuan siswa masih berada di dalam kelas. Pilihan itu tak manusiawi, dan sang kepala sekolah memilih tunduk agar anak-anak itu tetap bernafas.Hari ini, Piero berdiri di belakang panggung, menyaksikan Garrett diwawancarai media. Senyumnya penuh karisma, setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah mampu menghipnotis semua orang. Para jurnalis terpukau, publik akan semakin mengaguminya. Dan itu membuat perut Piero mual.Ketika wawancara usai, Piero mengikuti Garrett menuju mobil. Di perjalanan, Garrett bersandar sant
Satu minggu telah berlalu tanpa ada tugas atau panggilan dari Garrett. Namun Piero tidak pernah berhenti mengawasi, ia tahu pria itu tidak pernah diam. Sore itu, langkah kakinya membawanya ke sebuah gedung tua, tempat berkumpulnya orang-orang yang seakan sudah tidak dianggap sebagai manusia lagi.Begitu pintu berderit terbuka, aroma busuk menusuk hidungnya. Campuran alkohol basi, keringat, dan sesuatu yang lebih gelap. Di dalam, tubuh-tubuh kurus dengan mata sayu berkeliaran bagai mayat hidup. Bahu mereka membungkuk, tangan terkulai, seakan siap jatuh kapan saja.Lantai dipenuhi botol kaca kosong, sebagian masih berisi cairan berbahaya yang membuat mereka menjadi zombie yang merangkak dalam dunia halusinasi. Jumlahnya menggunung, menandakan betapa banyaknya orang yang sudah terseret dalam cengkraman Garrett.“Carlo, ada pemasukan dari Garrett beberapa hari terakhir?” suara Piero terdengar tenang, tapi matanya awas, mengamati setiap gerak di ruangan itu.Carlo yang tengah duduk santai
Keesokan harinya, Piero dipanggil kembali ke kediaman wanita yang semalam ia temui. Ia tidak tahu apa alasan panggilan itu, namun pria berambut cepak yang kemarin menyambutnya langsung mengarahkan langkah ke halaman belakang. “Nona ingin bicara denganmu,” ucap pria itu dingin. Piero melangkah perlahan, dan dari kejauhan, ia melihat sosok Laura duduk di bawah pohon flamboyan tua. Angin sore menggerakkan helaian rambut hitamnya yang terurai, membuatnya tampak seperti sosok rapuh yang terkunci dalam dunia asing. Piero berhenti tiga meter di belakangnya. “Duduklah,” ucap Laura tanpa menoleh. Piero berdehem singkat lalu mendekat, duduk di kursi besi berkarat yang berhadapan dengannya. Meja bulat kecil di antara mereka menjadi batas tipis, seakan garis pemisah antara dua rahasia besar. “Apa yang membuatmu memanggilku kemari?” tanya Piero, suaranya sengaja datar. Laura menatapnya lekat, matanya seperti berusaha menembus wajah Piero. Namun di balik tatapan itu, tersimpan kesedihan yang