LOGINPiero melemparkan tas sekolah ke atas tempat tidur, ia sudah menyuruh seseorang menyiapkan tempat nyaman untuknya. Tempat itu tidak jauh dari markas para kriminal rendahan yang ia sewa, namun tidak banyak yang tau lokasi tempat tinggal barunya karena berada di ruang bawah tanah.
Meskipun di bawah tanah, tapi orang suruhan Piero telah merenovasi tempat tersebut menjadi nyaman dan juga punya sistem keamanan yang hanya Piero bisa kendalikan. Baru saja ia selesai mengenakan kaus hitamnya kembali, ponselnya berdering. “Bagaimana? Sudah dapat mereka?” tanyanya dingin, masih merapikan bagian kerahnya. “Sebaiknya kau datang dan lihat sendiri,” suara Carlo terdengar dari seberang. Tak banyak bicara, tapi cukup untuk membuat Piero segera bergerak. Langkah kakinya mantap menuruni lorong gelap menuju tempat yang biasa digunakan para kriminal rendahan itu untuk menyembunyikan “barang tangkapan”. Ia tahu ruangan itu, cat temboknya mengelupas, lantainya seperti belum tersentuh sapu selama bertahun-tahun, dan bau lembab menusuk hidung. Tapi kali ini ruangan itu menyimpan sesuatu yang penting. Atau lebih tepatnya, seseorang. Di tengah ruangan, seorang pria berlutut. Sosok itu langsung menarik perhatian Piero karena ia mengenali wajahnya. Pria dalam foto yang selama ini menjadi bahan buruannya. “Namanya Jaden,” kata Carlo, menyerahkan foto yang sama seperti sebelumnya. “Kami yakin dia orangnya.” Memang benar, Jaden adalah salah satu orang yang Piero incar. Dengan langkah mantap, Piero berjongkok di depan tubuh Jaden yang berlutut dengan kedua tangan terikat ke belakang. "Apa kau bisa mengingat siapa aku?" tanya Piero. "Bagaimana aku bisa mengenalmu, ini adalah pertemuan pertamaku denganmu." ucap Jaden. Piero menyeringai, dan tanpa pikir panjang ia meninju wajah Jaden hingga tubuhnya jatuh ke lantai. “Kalau begitu, izinkan aku memperkenalkan diriku,” ucapnya pelan. “Aku adalah adik dari anak remaja yang kalian bunuh... tujuh tahun lalu.” Jaden tampak kaget, tapi terlambat, waktu untuk meminta maaf sudah tidak ada. Piero mencengkram baju Jaden, menariknya untuk kembali duduk. "Aku tidak membunuhnya!" ujar Jaden. “Jangan kau mulai dengan kebohongan,” desisnya. “Aku melihatnya. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Kalian berlima... mengeroyok kakakku hingga tewas." Piero memajukan sedikit kepalanya. "Maka sekarang, kaulah yang harus mati." Jaden menggeleng dengan cepat. "Bukan aku yang membunuhnya, Garrett yang menyuruh kami untuk melakukan itu." Piero mendorong tubuh Jaden, membuatnya kembali berlutut. “Dan itu alasanmu untuk membunuh seseorang? Harusnya kau bertanggung jawab tujuh tahun lalu, saat dimana aku masih bisa memaafkan, tapi sekarang tidak akan ada kata maaf, satu persatu orang yang membunuh saudaraku... juga harus mati." Bugh! Tubuh Jaden kembali ambruk ke lantai. Piero menarik pisau kecil dari balik pinggang, tapi tak digunakan untuk melukai. Ia justru membuka ikatan di pergelangan tangan Jaden. “Berdiri,” perintahnya. "Aku beri kau kesempatan untuk melawan. Jika kau menang, kau selamat, tapi jika kau kalah maka ucapkan selamat tinggal pada dunia." Jaden berdiri, ia melihat sekeliling dan tidak mungkin ia bisa kabur begitu saja. “Siapa takut,” katanya mencoba tegar. Dan pertempuran pun dimulai. Tinju dan tendangan bersahutan. Tapi Jaden bukan tandingan Piero. Setiap gerakan Piero penuh amarah, presisi, dan kebencian yang membara. Jaden dihajar tanpa ampun. Pukulan demi pukulan menghantam wajah, tubuh, bahkan tulang rusuknya. Sementara itu, para kriminal lain hanya berdiri diam menyaksikan. Tak seorang pun berani menghentikan Piero. Hingga akhirnya, tubuh Jaden tumbang. Tapi Piero tak berhenti. Ia berlutut, menggenggam kerah Jaden lagi, dan memukulinya sampai wajahnya remuk. Carlo yang berdiri tak jauh, akhirnya bersuara. “Apa itu tidak terlalu keterlaluan, Piero?” Piero berhenti sejenak. Tangan kanan berlumur darah, nafasnya berat. “Keterlaluan?” ulangnya lirih. Ia menatap Jaden yang terengah, nyaris tak sadarkan diri. "Tentu saja tidak, merekalah yang menciptakan monster sepertiku, dan inilah belasanku untuk mereka." Ia kembali mengayunkan tinjunya. Dendam... kini telah menuntut korban kedua. * Keesokan harinya, kabar menggemparkan menyebar secepat kilat ke seluruh penjuru kota. Seorang pria ditemukan tergantung di pohon tua, di pinggiran kota yang sepi, sebuah tempat yang biasanya hanya dilewati oleh pelancong nyasar atau pecandu yang kehabisan arah. Tubuh itu mengenaskan, wajahnya bengkak dan hampir tak bisa dikenali, tapi identitasnya sudah di temukan oleh pihak kepolisian. Satu persatu media lokal mulai memberitakan kejadian itu. “Mayat seorang pria ditemukan tergantung, dugaan kuat pembunuhan.” Spekulasi pun beredar. Apakah ini peringatan dari geng lokal? Balas dendam? Atau sekadar pertikaian antar kriminal? Di sekolah, anak-anak membicarakannya tanpa henti dengan rasa ingin tahu. Tapi semua bisik-bisik itu mengarah ke satu hal, siapa yang cukup nekat melakukan pembunuhan seterang ini? Sementara mereka bergosip, Piero hanya duduk diam di bangkunya. Jari-jarinya mengetuk meja dengan irama pelan namun konsisten. Matanya kosong menatap ke depan, seolah tak peduli dengan kekacauan yang ia ciptakan semalam. Namun dalam kepalanya, badai sedang mengamuk. “Sudah dua... Dua orang yang aku kirim ke neraka. Masih ada tiga lagi. Garrett... lalu dua pengecut lainnya.” Ia meremas tangannya perlahan, menyadari bahwa tangan itulah yang membuat wajah Jaden remuk dan lehernya tak bisa lagi menahan hidup. “Tak peduli aku akan dipenjara, disiksa, atau bahkan dihukum mati. Dendam ini tidak akan berhenti... sampai mereka semua merasakan kematian.” batinnya. Tak jauh dari tempatnya duduk, beberapa siswa mencuri pandang ke arahnya. Ada yang terlihat cemas, ada pula yang bisik-bisik dengan mata penuh curiga. Tapi tak ada satupun yang berani mendekat. Karena mereka tahu... ada sesuatu yang berbeda dari Piero.Sebisa mungkin, Garrett berusaha menahan agar kasus itu tidak merembet keluar kendalinya, terutama sebelum pihak FBI mencium bau busuk di balik nama besarnya. Selama ini, ia sudah terlalu hati-hati menjaga kedoknya, seorang CEO muda dan terhormat di depan publik, namun penguasa jalur distribusi gelap di balik layar. Ia adalah pemasok utama narkoba dan ganja lintas negara, sosok yang mengatur aliran uang haram yang bahkan polisi setempat pun tak berani sentuh.Namun kali ini, situasinya berbeda. Kasus itu tumbuh liar hanya karena sebuah video pembunuhan, berita itu seperti api kecil yang disiram bensin. Jika pihak pusat benar-benar turun tangan, nama “Garrett Carpenter” bukan hanya akan tercemar. Ia akan hancur.Beberapa hari terakhir, suasana di markasnya seperti neraka. Siang terasa seperti malam, semua orang bekerja di bawah tekanan, nyaris tanpa tidur. Setiap berkas diperiksa, setiap kamera dipantau ulang, setiap data disisir demi menemukan siapa yang berani membocorkan rahasia. Ta
Dalam hitungan jam, video itu meledak menjadi topik yang tak bisa dibendung. Dari forum-forum gelap sampai linimasa utama, potongan gambar dan tangkapan layar beredar liar. Mereka yang sempat menyimpan klip itu mengunggah ulang dari server ke server, upaya anak buah Garrett menghapus sumber utama hanya seperti menambal keran bocor. Sekali bocor, semua tak bisa lagi ditahan. Komentar-komentar memenuhi kolom, tebak-menebak, tuduh-menuduh, teori konspirasi menggeliat di setiap unggahan. Wajah pelaku sengaja di blur, namun ada yang mulai mengumpulkan sosok tubuh, postur, tato samar di lengan, detil kecil yang coba dicocokkan dengan wajah-wajah publik Boston. Nama Garrett, seperti bisik yang disulut angin, berulang-ulang disebut. Tapi bukti nyata belum ada, hanya potongan-potongan yang bisa dipoles menjadi kebenaran oleh siapa pun yang mau percaya. Di dalam ruang kerjanya yang dipenuhi cermin dan panel gelap, Garrett berdiri kaku. Layar-layar di hadapannya memuntahkan bukti-bukti kecil,
Berita tentang rencana pernikahan Garrett dan Laura merajalela di media. Dari televisi, portal online, hingga forum-forum bisnis, semuanya membicarakan sosok Garrett Carpenter. Bukan hanya karena statusnya sebagai CEO muda perusahaan Carpenter, tapi juga karena ia selalu tampil misterius. Tak seorang pun pernah melihat siapa wanita yang akan mendampinginya, dan justru hal itu membuat rasa penasaran publik semakin membuncah.Nama Garrett kini seperti bintang di langit Boston. Dari kalangan bisnis, politik, hingga masyarakat biasa, semua hampir memujinya tanpa henti. Popularitasnya melambung, reputasinya seakan tak tergoyahkan.Namun di sudut ruang gelap apartemennya, Piero menatap layar laptop yang menampilkan berita itu. Tangannya meraih segelas kopi dingin, lalu ia menyandarkan bahu ke kursi. Sekilas, wajahnya tampak tenang. Tetapi begitu matanya menajam, sudut bibirnya terangkat membentuk seringai yang menusuk.“Permainan… dimulai.” gumamnya dingin.__Malam itu, suasana di markas b
Seperti yang sudah Piero janjikan pada Laura, diam-diam ia membawa Laura pergi menuju ke makam tempat peristirahatan terakhir Henry berada. Meskipun sebenarnya Piero tau, setiap langkah yang ia ambil ini mengandung resiko, anak buah Garrett bisa saja mengikutinya, dan karena itu Piero harus lebih cerdas untuk mengelabui mereka.“Apa hubunganmu dengan Henry sebenarnya, mengapa kau bisa tahu dimana dia dimakamkan?” tanya Laura tiba-tiba, suaranya datar tapi penuh penasaran.Piero melempar senyum tipis, setengah menutupi rasa tegang. “Aku mengenalnya, cukup itu saja yang kau tahu.”Perjalanan panjang berujung pada kecurigaan yang terkonfirmasi, bayangan di belakang mereka bukan kebetulan. Ada orang yang membuntuti. Piero menelan nafas, menahan cemas. Dia menengahi rute, mengarahkan langkah ke makam lain yang jauh dari tujuan sebenarnya, sebuah gerakan kecil untuk menyingkirkan pengikut.“Di mana makam kedua orang tuamu?” Piero balik bertanya, nada suaranya dibuat ringan agar tidak menimb
Hari-hari berlalu, dan Piero terus berusaha menjaga langkahnya. Ia tak boleh membuat kesalahan sekecil apa pun. Setiap tugas dari Garrett ia selesaikan dengan mulus, tanpa cela, seolah benar-benar anak buah yang setia. Dan hasilnya, Garrett mulai mempercayainya. Ia sering mengajak Piero ikut serta dalam aksi kotor, membawanya ke tempat-tempat di mana rahasia kelamnya tersimpan. Namun, semakin dalam Piero menyelami dunianya, semakin ia sadar, Garrett tidak memiliki hati nurani. Pria itu memperlakukan nyawa orang lain seperti debu, bisa dibuang kapan saja. Dan itu membuat dendam dalam hati Piero tumbuh semakin besar. Tapi menghadapi Garrett tak bisa sembrono, salah langkah, nyawanya akan berakhir seketika. Hari itu, mereka berada di sebuah gudang senjata. Situasi kacau. Tembakan bersahutan, ledakan kecil terdengar dari sudut-sudut ruangan. Asap mesiu memenuhi udara. “Pier, kiri!” teriak salah satu rekan Garrett. Refleks, Piero menunduk, berguling ke tanah, tangannya meraih pistol yan
Hari demi hari bergulir. Sejak bergabung, Piero mulai mendapat tugas dari Garrett lebih sering dari biasanya. Tugas-tugas yang membuat tangannya kotor, yang memperlihatkan langsung sisi kelam Garrett, kejahatan yang tidak pernah masuk berita, kejahatan yang dunia tidak pernah tahu.Sebulan penuh ia menyelami lingkaran pria itu, dan barulah Piero menemukan alasan mengapa sang kepala sekolah mau menjadi boneka Garrett. Ancaman. Jika ia tak patuh, sekolah akan diledakkan saat ribuan siswa masih berada di dalam kelas. Pilihan itu tak manusiawi, dan sang kepala sekolah memilih tunduk agar anak-anak itu tetap bernafas.Hari ini, Piero berdiri di belakang panggung, menyaksikan Garrett diwawancarai media. Senyumnya penuh karisma, setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah mampu menghipnotis semua orang. Para jurnalis terpukau, publik akan semakin mengaguminya. Dan itu membuat perut Piero mual.Ketika wawancara usai, Piero mengikuti Garrett menuju mobil. Di perjalanan, Garrett bersandar sant







