Gedung tua yang menjulang di antara reruntuhan kota itu seolah tak layak ditinggali siapapun, berlapis cat yang mengelupas, jendela-jendela pecah, dan aroma lembab yang meresap sampai ke tulang. Tapi di dalamnya, kehidupan lain berlangsung. Kehidupan liar, kelam, dan kacau.
Ruang-ruang gelap itu dihuni oleh para bajingan jalanan yang tak lagi mengenal moral. Asap rokok menggulung di udara, tawa pecandu bersahut-sahutan, dan di balik sekat-sekat kain murahan, tubuh-tubuh bertaut tanpa ikatan. Obat-obatan berpindah tangan seperti permen, dan wanita-wanita yang tak lagi punya pilihan menjadi hiburan kolektif. Dunia kecil yang sudah kehilangan arah. Piero berdiri di tengah itu semua, seperti sosok asing dari dunia berbeda. Tatapan tajamnya menyapu seluruh ruangan, ekspresinya datar, namun penuh penilaian. Jijik? Tentu. Tapi ia tidak datang untuk menjadi hakim. Ia datang untuk memanfaatkan. "Carlo, anak mana yang kau bawa itu?" suara serak berat memanggil, datang dari pria bertato dengan badan kekar yang bernama Alex. Carlo bergerak cepat, berdiri di antara Alex dan Piero. “Tahan dirimu, Alex. Untuk sementara, anak ini yang akan ambil alih tempat ini.” Alex tertawa mengejek. “Apa?! Anak ingusan ini?” langkahnya mendekat, kasar dan penuh amarah. Ia mencengkram kerah Piero. “Kalau dia memang pantas, suruh dia tunjukkan. Dari mukanya saja, aku bisa tahu dia bukan siapa-siapa.” Namun yang terjadi kemudian justru membuat nafas banyak orang tercekat. Tanpa aba-aba, Piero meliukkan tubuhnya dan menjatuhkan Alex dengan satu gerakan presisi. Tubuh besar itu menghantam meja judi hingga pecah berantakan. Para penjudi lari tunggang-langgang, sementara Alex mengerang kesakitan di lantai, belum bisa percaya dirinya dipermalukan begitu cepat. Carlo menarik lengan Piero. “Ikut aku. Sebelum Alex bangkit dan berniat balas dendam, kau perlu tempat berlindung.” Piero mengikuti Carlo menaiki tangga berderit menuju sebuah ruangan kecil. Bau asap rokok dan kelembaban menusuk hidungnya. "Namamu siapa?" tanya Carlo sambil menunjuk ke ranjang lapuk yang bisa digunakan. “Piero,” jawabnya pendek, memandangi lemari kayu tua yang berdebu dan dinding yang penuh coretan. "Bagaimana bisa kalian tinggal di tempat sekotor ini?" "Tempat ini memang kotor," ujar Carlo santai. "Tidak ada pilihan, semua yang tinggal disini adalah orang-orang buangan yang tidak dianggap." katanya. "Kau bisa gunakan tempat ini jika mau, kalau tidak juga terserah." lalu, Carlo pun meninggalkan ruangan. Setelah Carlo pergi, sosok wanita muncul di ambang pintu. Berpakaian ketat serba hitam, tatapannya tajam, seperti seseorang yang terbiasa bertahan hidup dengan insting. "Member baru dan sudah mengambil alih kepemimpinan dengan mudahnya?" ucapnya sinis. Piero hanya mengangkat alis, tidak tertarik dengan provokasi murahan. “Aku tidak berurusan dengan wanita,” ucapnya datar, melewati perempuan itu tanpa menoleh sedikit pun. Saat ia kembali ke area utama gedung, tatapan mata mengikutinya penuh rasa ingin tahu, iri, benci, dan takut. Tapi Piero tetap tenang, seperti serigala yang baru saja masuk ke kandang anjing liar. Tiba-tiba, pria yang sebelumnya ia kalahkan menghampiri dan menariknya ke lorong sempit. “Hei, ikut aku sebentar,” bisiknya. Setelah memastikan tak ada yang mendengar, pria itu mengeluarkan salah satu foto yang tadi diberikan Piero. “Pria ini… kau yakin ingin kami membawa dia?” tanyanya serius. Piero menyipitkan mata. “Ada masalah?” “Banyak,” pria itu menelan ludah. “Dia bukan orang sembarangan. Namanya Garrett. Dia pemasok utama barang ke tempat ini. Ganja, sabu, apapun. Tapi yang paling gila… dia memberikan semuanya secara gratis.” “Gratis?” alis Piero terangkat. “Ya. Itu alasan kenapa dia disukai, bahkan dipuja. Kalau kau macam-macam dengannya, bahkan aku pun takkan bisa membelamu. Siapapun yang melawan Garrett… tidak pernah keluar hidup-hidup.” Piero menatap foto itu lagi. Wajah pria muda dengan senyum tenang namun licik. “Dia yang pemasok ganja ke tempat ini…” gumamnya. “Dan dia punya nama bersih di komunitas bahkan media. Dia seolah pahlawan. Kau tak bisa menyentuhnya sembarangan.” Piero tersenyum tipis. Tapi senyum itu bukan senyum orang yang akan mundur. “Menarik,” katanya lirih. “Mari kita lihat… seberapa lama dia bisa mempertahankan nama baik itu di depan publik setelah tau hal ini.” Tatapan Piero mengeras. Karena di balik gambar wajah Garret itu, tersimpan dendam yang belum usai, dendam yang sudah membakar dada Piero sejak hari saudaranya mati karena bullying dari pria yang kini sedang dipuja sebagai dewa oleh para kriminal rendahan ini. "Kalau begitu, untuk yang satu ini adalah bagianku."Berita tentang rencana pernikahan Garrett dan Laura merajalela di media. Dari televisi, portal online, hingga forum-forum bisnis, semuanya membicarakan sosok Garrett Carpenter. Bukan hanya karena statusnya sebagai CEO muda perusahaan Carpenter, tapi juga karena ia selalu tampil misterius. Tak seorang pun pernah melihat siapa wanita yang akan mendampinginya, dan justru hal itu membuat rasa penasaran publik semakin membuncah.Nama Garrett kini seperti bintang di langit Boston. Dari kalangan bisnis, politik, hingga masyarakat biasa, semua hampir memujinya tanpa henti. Popularitasnya melambung, reputasinya seakan tak tergoyahkan.Namun di sudut ruang gelap apartemennya, Piero menatap layar laptop yang menampilkan berita itu. Tangannya meraih segelas kopi dingin, lalu ia menyandarkan bahu ke kursi. Sekilas, wajahnya tampak tenang. Tetapi begitu matanya menajam, sudut bibirnya terangkat membentuk seringai yang menusuk.“Permainan… dimulai.” gumamnya dingin.__Malam itu, suasana di markas b
Seperti yang sudah Piero janjikan pada Laura, diam-diam ia membawa Laura pergi menuju ke makam tempat peristirahatan terakhir Henry berada. Meskipun sebenarnya Piero tau, setiap langkah yang ia ambil ini mengandung resiko, anak buah Garrett bisa saja mengikutinya, dan karena itu Piero harus lebih cerdas untuk mengelabui mereka.“Apa hubunganmu dengan Henry sebenarnya, mengapa kau bisa tahu dimana dia dimakamkan?” tanya Laura tiba-tiba, suaranya datar tapi penuh penasaran.Piero melempar senyum tipis, setengah menutupi rasa tegang. “Aku mengenalnya, cukup itu saja yang kau tahu.”Perjalanan panjang berujung pada kecurigaan yang terkonfirmasi, bayangan di belakang mereka bukan kebetulan. Ada orang yang membuntuti. Piero menelan nafas, menahan cemas. Dia menengahi rute, mengarahkan langkah ke makam lain yang jauh dari tujuan sebenarnya, sebuah gerakan kecil untuk menyingkirkan pengikut.“Di mana makam kedua orang tuamu?” Piero balik bertanya, nada suaranya dibuat ringan agar tidak menimb
Hari-hari berlalu, dan Piero terus berusaha menjaga langkahnya. Ia tak boleh membuat kesalahan sekecil apa pun. Setiap tugas dari Garrett ia selesaikan dengan mulus, tanpa cela, seolah benar-benar anak buah yang setia. Dan hasilnya, Garrett mulai mempercayainya. Ia sering mengajak Piero ikut serta dalam aksi kotor, membawanya ke tempat-tempat di mana rahasia kelamnya tersimpan. Namun, semakin dalam Piero menyelami dunianya, semakin ia sadar, Garrett tidak memiliki hati nurani. Pria itu memperlakukan nyawa orang lain seperti debu, bisa dibuang kapan saja. Dan itu membuat dendam dalam hati Piero tumbuh semakin besar. Tapi menghadapi Garrett tak bisa sembrono, salah langkah, nyawanya akan berakhir seketika. Hari itu, mereka berada di sebuah gudang senjata. Situasi kacau. Tembakan bersahutan, ledakan kecil terdengar dari sudut-sudut ruangan. Asap mesiu memenuhi udara. “Pier, kiri!” teriak salah satu rekan Garrett. Refleks, Piero menunduk, berguling ke tanah, tangannya meraih pistol yan
Hari demi hari bergulir. Sejak bergabung, Piero mulai mendapat tugas dari Garrett lebih sering dari biasanya. Tugas-tugas yang membuat tangannya kotor, yang memperlihatkan langsung sisi kelam Garrett, kejahatan yang tidak pernah masuk berita, kejahatan yang dunia tidak pernah tahu.Sebulan penuh ia menyelami lingkaran pria itu, dan barulah Piero menemukan alasan mengapa sang kepala sekolah mau menjadi boneka Garrett. Ancaman. Jika ia tak patuh, sekolah akan diledakkan saat ribuan siswa masih berada di dalam kelas. Pilihan itu tak manusiawi, dan sang kepala sekolah memilih tunduk agar anak-anak itu tetap bernafas.Hari ini, Piero berdiri di belakang panggung, menyaksikan Garrett diwawancarai media. Senyumnya penuh karisma, setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah mampu menghipnotis semua orang. Para jurnalis terpukau, publik akan semakin mengaguminya. Dan itu membuat perut Piero mual.Ketika wawancara usai, Piero mengikuti Garrett menuju mobil. Di perjalanan, Garrett bersandar sant
Satu minggu telah berlalu tanpa ada tugas atau panggilan dari Garrett. Namun Piero tidak pernah berhenti mengawasi, ia tahu pria itu tidak pernah diam. Sore itu, langkah kakinya membawanya ke sebuah gedung tua, tempat berkumpulnya orang-orang yang seakan sudah tidak dianggap sebagai manusia lagi.Begitu pintu berderit terbuka, aroma busuk menusuk hidungnya. Campuran alkohol basi, keringat, dan sesuatu yang lebih gelap. Di dalam, tubuh-tubuh kurus dengan mata sayu berkeliaran bagai mayat hidup. Bahu mereka membungkuk, tangan terkulai, seakan siap jatuh kapan saja.Lantai dipenuhi botol kaca kosong, sebagian masih berisi cairan berbahaya yang membuat mereka menjadi zombie yang merangkak dalam dunia halusinasi. Jumlahnya menggunung, menandakan betapa banyaknya orang yang sudah terseret dalam cengkraman Garrett.“Carlo, ada pemasukan dari Garrett beberapa hari terakhir?” suara Piero terdengar tenang, tapi matanya awas, mengamati setiap gerak di ruangan itu.Carlo yang tengah duduk santai
Keesokan harinya, Piero dipanggil kembali ke kediaman wanita yang semalam ia temui. Ia tidak tahu apa alasan panggilan itu, namun pria berambut cepak yang kemarin menyambutnya langsung mengarahkan langkah ke halaman belakang. “Nona ingin bicara denganmu,” ucap pria itu dingin. Piero melangkah perlahan, dan dari kejauhan, ia melihat sosok Laura duduk di bawah pohon flamboyan tua. Angin sore menggerakkan helaian rambut hitamnya yang terurai, membuatnya tampak seperti sosok rapuh yang terkunci dalam dunia asing. Piero berhenti tiga meter di belakangnya. “Duduklah,” ucap Laura tanpa menoleh. Piero berdehem singkat lalu mendekat, duduk di kursi besi berkarat yang berhadapan dengannya. Meja bulat kecil di antara mereka menjadi batas tipis, seakan garis pemisah antara dua rahasia besar. “Apa yang membuatmu memanggilku kemari?” tanya Piero, suaranya sengaja datar. Laura menatapnya lekat, matanya seperti berusaha menembus wajah Piero. Namun di balik tatapan itu, tersimpan kesedihan yang