Hunted By My Rejected Mate

Hunted By My Rejected Mate

last updateLast Updated : 2025-05-07
By:  ANAUpdated just now
Language: English
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
92Chapters
698views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Leading a peaceful life with her loving parents, Elinda never thought that her passionate lover, Alexis Kozlov would be the reason for all her pain. She thought that getting rejected by her mate was the only worst thing that could happen in her life until her secret identity came out as the Royal lost princess of Vasiliev Dynasty, the ancient root of the Lycan clan. Years after she met her rejected mate again, he wasn't only close but her brother's best friend. But Alexis Kozlov wasn't the sweet boy that she met once. Behind his sweet smile, even the devil feared to meet him.Between hatred & social boundaries, could Elinda forget her rejected mate or Moon Goddess will play the role of a game changer in her fate.

View More

Chapter 1

Chapter 1 ___ Prologue

Biru bening langit di luar, titik yang sama yang ia harap seseorang itu juga memperhatikannya. Hingga sejauh apa pun tempatnya sekarang, Ana berharap seseorang itu tetap sadar mereka pernah dinaungi langit yang sama.

"Kau yakin tidak punya keluarga," laki-laki berjas putih membuat Ana berpaling.

Warna jas yang serupa memenuhi hampir seluruh ruangan tempat Ana dan Dokter Ruin sekarang. Tirai tipis bergoyang entah mendapat sapuan angin dari mana. Ana tetap tak bersuara. Bukan sekali dua kali Dokter Ruin menanyai tentang itu dan jawaban Ana tetap sama. "Tidak." Tentu saja yang dicari Dokter Ruin bukan sebentuk Vanessa, makhluk kecil yang masih belum mengerti apa-apa soal CT-Scan dan Rontgen perut yang rumit. Pada akhirnya Ana yang harus mendengar penjelasan itu sendiri, mencernanya dan kemudian mengambil keputusan.

"Kami tidak bisa mengoperasimu," itulah inti dari segala penjelasan Dokter Ruin tentang betapa mengakar tumor di perutnya. Yang belakangan sering merenggut kenyamanannya.

"Kau harus dikemoterapi," lanjut Dokter Ruin.

"Aku tidak mau," tegas Ana. Soal ini juga sebenarnya sudah cukup jelas. Ana tak ingin rambutnya rontok dan perasaan mual semakin menggerogotinya. Dikemoterapi ataupun tidak, Dokter Ruin juga tak menjamin umurnya akan lebih panjang. "Aku ingin meninggal dalam keadaan cantik," cita-cita yang agak gila yang membuat Dokter Ruin tersenyum dalam kegetiran.

"Kau juga harus tinggal di rumah sakit dan menjalani perawatan di sini," Dokter itu terlihat mengiba. Dia kehabisan cara untuk membuat Ana menuruti kata-katanya.

"Aku masih sehat," jawab Ana sambil meraih tasnya, dia berdiri.

"Apa kau khawatir soal pembiayaan? Aku akan mengusahakan kau mendapat jaminan kesehatan, jika perlu aku sendiri yang akan membiayai perawatanmu."

Ana sudah sempat berbalik ketika ia harus memandangi wajah Dokter itu lagi, "Apa aku terlihat sedang memikirkan uang?" ucap Ana.

Ana sadar jawabannya akan membuat perasaan Dokter yang dua tahun lebih tua darinya tidak nyaman. Tapi, dia sendiri tak mengerti apa yang diucapkannya. Tidak ada bedanya ketika kemudian harus mati, tidak akan ada yang menangisinya, Vanessa juga tidak, setidaknya gadis mungil itu belum mengerti apa-apa. Hanya saja, tidak bisa bohong kalau ketakutan menyusup diam-diam di setiap malam. Ana takut tidur di malam hari, takut jika kemudian tak terbangun lagi. Rasa sakit yang luar biasa juga harus ditanggungnya sendiri. Tidak ada seorang pun yang menegakkan tubuhnya saat dia terjatuh dan tidak ada yang bisa diajak bicara saat ketakutan itu menghampirinya.

Hampir pukul sebelas saat Ana keluar dari rumah sakit. Ana berniat ke taman depan SMA Bunda Pertiwi, taman yang juga dekat dengan taman kanak-kanak tempat Vanessa belajar. Setengah jam pertemuan mereka, dirasa Ana sangat berarti sebelum ayah Vanessa, mantan suaminya, menjemput anak itu. Tapi, hari ini agaknya tidak bisa. Sakit di perutnya menghantam lagi. Rasa sakit yang membuat lututnya tertekuk, dia kesulitan hanya untuk menegakkan bandannya. Perempuan itu meringis. Jalan di depannya mulai buram dan ia merasa mual.

"Kakak!" lirihnya. Ana pingsan. Dan dalam keadaan setengah sadar, ia merasa kereta tempat tubuhnya terbaring bergerak cepat. Dokter Ruin seperti meneriakkan sesuatu, orang itu panik, tapi Ana tak bisa berbuat apa-apa.

[...

Aku menganggapnya anjing peliharaan ayahku saja, yang mengangguk pasrah saat ayah memerintahnya. Aku ingat pertama kali melihatnya, di suatu siang di ruang tengah rumah kami, aku melompat ke pangkuan ayah dan kuminta ayah mengomentari lukisan yang kubuat di sekolah. Orang itu berdiri sambil menunduk, dia sudah seperti berandalan sejak pertama datang ke rumah kami. Entahlah, waktu itu aku belum mengerti apa-apa. Yang kutahu dia tinggal di rumah kami untuk waktu yang sangat lama. Hanya saja kami tak pernah bicara. Hingga suatu hari, ketika ayah meninggalkanku, dalam batas bumi aku tak bisa memintanya kembali, pertama kalinya aku merasa ayah begitu kejam. Hujan di bulan April yang mestinya tidak ada. Ketika mereka yang berpakaian hitam berlalu begitu saja, aku merasa sendiri di tengah kabut abu-abu pekuburan dan dalam hidupku. Aku tak punya siapa pun selain ayah dan ayah tak punya siapa pun selain aku.

Tapi, orang ini menggenggam bahuku dan berkata, "Sudah! ayo, kita pulang!", itu pertama kalinya kudengar dia bicara padaku. Belakangan aku tahu ada nama Segovia di belakang namanya. Nama yang sama yang juga ada di belakang namaku. Orang-orang memanggilnya Julian, Julian Andreas Segovia.

"Kau harus berhati-hati padanya," ungkapan itu yang kuingat saat Julian memecat semua pembantu di rumah kami. Kupikir ayah orang yang sangat kaya, dan orang yang diangkat ayah entah dari sudut gelap mana, yang telah berada di kartu keluarga Segovia sebagai anak pertama, akan memanfaatkanku sekarang. Dia berpura-pura menjadi kakakku, sebelum menjerumuskanku pada siksaan dunia dan mengambil semua harta ayah. Ya, itu asumsi semua orang dan aku tidak peduli. Aku justru bersyukur jika saja Julian mau membunuhku saat itu. Tapi, dia justru berkata, "Jika kau perlu sesuatu, katakan padaku!" itu menjadikan dirinya sendiri sebenar-benarnya pembantu, pesuruhku dan kubilang anjing peliharaanku yang tetap kuwaspadai kalau-kalau suatu hari ia akan menggigitku. Dia memasakkan makanan layaknya seorang ibu, memberiku uang saku layaknya seorang ayah, mengantarku ke sekolah layaknya seorang kakak dan mencuci pakaianku layaknya seorang pembantu.

Aku selalu terkejut ketika melihatnya di depan gerbang sekolah. Menungguku hampir empat jam saat gagak mulai melantunkan suaranya di antara garis jingga dan malam sebentar lagi datang. Sudah kubilang agar dia tak usah lagi menungguku, tapi dia tetap melakukannya. Itu membuatku jengkel dan enggan bicara padanya. Kulewatkan dia tanpa mengatakan apa-apa dan dia berjalan di belakangku hingga kami sampai di rumah. Itu terus ia lakukan sampai seseorang datang dan bilang akan menyita seluruh harta ayah. Julian sepertinya tak terlalu terkejut, sebuah alasan kenapa ia memecat semua pembantu adalah karena keuangan kami dan kebangkrutan usaha ayah. Kemerosotan yang dimulai jauh sebelum ayah meninggal.

"Mulai sekarang aku akan bekerja paruh waktu, dan kamu belajarlah dengan baik!" katanya.

Tidakkah yang keluar dari mulut Julian hanya yang penting-penting saja. Dia tak pernah menatapku saat bicara dan selalu dengan tiba-tiba hingga kadang membuatku terkejut. Aku diam. Tak mengerti bagaimana harus menanggapinya. Rasanya cukup canggung menghadapi Julian. Bagiku dia tetap orang lain, laki-laki dari gen yang berbeda. Saat ayah tidak ada, sudut mana yang bisa meyakinkan bahwa kami saudara.

"Apa yang harus kulakukan?" Aku, gadis enam belas tahun tinggal di rumah yang kini kosong dari perabotan, di depan rumah peninggalan ayahku tertempel segel dari pengadilan. Sebentar lagi rumah itu pasti akan dilelang. Julian, aku tak tahu kapan mulai berpikir dia yang dari jalanan. Jika sekali lagi harus hidup di jalanan, pastinya tidak akan terlalu berat. Apa perlu kukatakan padanya, "Kau pergi saja! Jangan pedulikan aku!" Karena aku juga tak boleh egois terhadap hidupnya untuk mengurusiku.

Tapi, aku diam saja. Membiarkan Julian melakukan apa pun yang ia mau. Toh dia mencari uang juga untukku sekolah, untuk kami makan, dan membayar sewa kamarku yang hanya 4x4 meter, sementara dia tidur di teras.

"Aku akan terus bekerja sampai kudapatkan kembali rumah ayah!" katanya suatu waktu yang justru membuatku tak tenang. Aku tak ingin dia berusaha terlalu keras untuk itu. Julian selalu saja membuatku khawatir jika ia harus kerja lembur. Kukira aku hanya bisa tenang dan merasa aman saat dia ada di dekatku, walau tak bicara, dan itu yang kuinginkan. Aku, yang merasa mati saat ayah tak ada. Perlahan merasa seperti puteri yang berarti keberadaannya, walau setiap hari harus melewati gang sempit becek dan dengan pakaian lusuhku. Ada yang berusaha menghidupiku dengan kerja kerasnya di luar sana. Aku, yang pernah menyesali kehidupan yang berubah drastis, merasa ingin kehidupanku sekarang tetap seperti sekarang, bersama Julian dan hidup seadanya. Aku, ada yang membutakan mataku tentang orang yang harusnya kusebut dia 'Kakak', dialah cinta. Julian, cinta pertamaku.

...]

Plafon keabu-abuan, membuat Ana kecewa ketika sekali lagi terbangun. Sementara di luar, garis jingga membentang indah di langit. Ana cukup akrab dengan semua itu. Tempat yang pagi tadi coba ditinggalkannya, namun tak lama menariknya kembali dalam ketidaksadaran.

"Sudah bangun?"

Ana enggan berpaling. Matahari bulat besar di balik jendela kaca bening rumah sakit menjadi perhatiannya.

"Ya," jawab Ana seadanya.

Dokter Ruin merangkul bahu Ana. "Cobalah sekali-kali menurut. Tidak ada salahnya," katanya.

Ana diam sambil memperhatikan Dokter Ruin. Dokter yang khusus menangani dirinya, sudah hampir setahun. Yang dikatakan Dokter Ruin tentang dirinya yang tak penurut, Ana juga tak bisa mengerti kenapa ia bersikap seperti itu. Hanya tinggal di ruangan seluas 4x6 meter dan membiarkan orang mengobatinya, bukankah itu lebih mudah. Dibanding harus merepotkan orang lain setiap kali ia pingsan di tengah jalan. Untungnya tidak pernah pingsan dihadapan...

"Vanessa," sebut Ana. "Apa ayahnya menjemputnya tepat waktu?"

Doter Ruin tersenyum, "Ya, tadi aku menelpon Nara."

"Dokter bilang padanya aku pingsan lagi?"

"Aku hanya bilang kalau kau tidak bisa menjemput Vanessa."

Ana mengecek ponselnya, lima panggilan tak terjawab dari Nara, mantan suaminya. "Karena Dokter yang bilang, dia pasti berpikir aku pingsan lagi," keluhnya. "Apa dia akan kemari?"

"Tadinya iya. Tapi, kubilang kau sudah tidak apa-apa."

"Baguslah."

"Kenapa?"

"Aku tidak ingin dia membawa Vanessa menemuiku di rumah sakit."

"Aku heran kenapa kalian bercerai. Padahal, sepertinya Nara masih perhatian banget sama kamu."

Ana menyorotkan pandangan curiga pada Dokter Ruin, ia pikir laki-laki itu terlalu suka mengulang pertanyaan yang sama.

Dan seperti biasa, Ana enggan menjawabnya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.

Comments

No Comments
92 Chapters
Chapter 1 ___ Prologue
|| ELINDA'S POV || " You look stunning, Elinda. I envy you! You got everything that you wanted. A good grade..A FUCKING hot boyfriend..hmm.."My best friend, Kiana threw her arms at me. She was most likely half-drunk. I smiled back at her before grabbing onto her. She was stumbling but the words that came out of her mouth were sincere. Kiana and I had been best friends since our childhood. The other people in my small party were most likely closest to Leonid.Yes...my perfect boyfriend.The thought of him annoyed me and pleased me at the same time. The positive fact was that he was the perfect boyfriend that one could ever ask for. Rather than that, it came as the best gift from the moon goddess to me that he had turned out to be my mate, my one true fated mate. What could I ask as a present more than this on my 18th birthday?The annoying part was that Alexis was taking too much time to arrive at my party. It surprised me since he was never late anywhere. Even on our dates or hangou
last updateLast Updated : 2024-07-25
Read more
Chapter 2
|| ELINDA's POV || His rejection tore my heart into pieces. Another howl built from the pit of my stomach. My eighteen-year-old heart couldn't take the pain of rejection.Alexis paused in his tracks, his face staying indifferent. He didn't show any remorse or pity on me. I asked again in a whisper, the voices on my back seeming non-existent," Why...??"We were an example of a perfect couple. I had never disrespected him or disobeyed him in any way. Even I didn't do anything that could upset him. We barely had any quarrel and I naively believed that it was love which reconciled us.Alexis breathed his words out slowly," You don't deserve me."That statement went deep into my heart. He believed that I wasn't worthy of him? Then what about the times when he saved me from the school bullies?Memories of the past began to play in my mind. When I was just a newbie in school, I encountered many bullies. No one had ever protected me except him. It was he who stepped in and pulled me out.H
last updateLast Updated : 2024-07-25
Read more
Chapter 3
6 YEARS LATER.... || ELINDA Vasiliev's POV ||" Is my brother coming tonight?"I asked in a polite voice, using the fork to cut the steak that had been served hot to me. My mother, Ginny shot me a cold glare as if I had asked for a bomb to blast in this house.Being part of the Royal family was exhausting. They had a thousand rules including the one that civilized people didn't talk to at their dinner table. Sometimes I wished that I didn't know my biological family ever. At least, I was a carefree soul with my foster parents.Papa, Alberto Vasiliev, the king of the Royal Lycans gave me a cold glance. He took the initiative to reply since my mother was too afraid to break the dinner table rules," We have notified him. It's up to him now."A little sigh escaped my lips. After coming to this family, I was close to one person only, Alberto Vasiliev,my twin brother. My life history was way more dramatic than any drama. Papa told me that I was born with Alberto and was stolen from the ho
last updateLast Updated : 2024-07-25
Read more
Chapter 4
|| ELINDA'S POV || The whiskey felt bitter in my throat. Nausea threatened to come out of my mouth. The party became non-existent to me. All I could see was the pair of blue eyes that haunted me in my dreams.Was I dreaming?Alberto's voice cleared the least amount of uncertainty that I was holding on to," Aah! Alexis. Sorry, you know that I forget everyone when I am with my sister."Alexis's eyes weren't leaving mine. He stood there numbly, his eyes darkening as if I was the worst thing that could happen in his life. My heart was pounding hard against my chest. Alberto pulled him up to me, his hand hanging around Alexis's neck," Elinda! Meet my favorite buddy, Alexis Kozlov, the Do...Aah...He is my best friend and the head of Dark Crescent Mauranders. We went to the same university."Fuckfuckfuck!Why did I have the worst luck?Alexis Kozlov? Why did I feel like I had never heard this surname of him before?I bit my lips together, unable to keep the rage and pain within me. Albert
last updateLast Updated : 2024-07-25
Read more
Chapter 5
|| ELINDA's POV || " Don't worry the paparazzi is here. This place is secured."I cracked a weak smile on my blind date, Edward Jones. He was next in the line to become the Alpha of the second-largest pack in this town. My birthday party was a disaster for me. All the while I had to tolerate the heated eyes of my ex-mate. Coming to this blind date would hopefully help me out.Edward looked nervous as he replied, grabbing the wine awkwardly," No. I am just nervous..in front of the Royal Princess."Fuck! Can someone please stop me from reminding me of that?Nobody dared to approach me before because of my Royal status. Even my blind dates were terrified whenever they found my identity. I didn't want to date someone introduced by my family. They always preferred social status over everything. After breaking my heart, I had only one wish in my life. To find someone who truly loved me!I avoided Leonid throughout the party. He seemed okay with my behavior. My brother was the only best th
last updateLast Updated : 2024-08-05
Read more
Chapter 6
|| ALEXIS's POV ||" You shouldn't be out there with some guy, Princess!"I grumbled, closing the door with a bang. She was startled by the sound but remained seated. Her expression said though it was better to be killed than riding with me in the same car. Elinda replied with a scoff, staring at the street ahead," You aren't my guardian. Stop acting like one."My jaw clenched tight in anger. I would have never come if her brother didn't request me. I owed Albert too much. If I knew about her real identity, I wouldn't have screwed her anyways. I replied patiently, gripping the steering wheel," I am saying for your own good. You could have been photographed by the papparazi."The words didn't settle right into her ears. She turned black before spurting with mockery," At least it's better to be photographed with a Commoner than a monster in disguise?"It took all the strength away from me. My veins turned white in anger. Before I could know, I had grasped her by her head, pulling her
last updateLast Updated : 2024-08-16
Read more
Chapter 7
|| ELINDA'S POV ||" I AM NOT LEAVING YOU, ALBERT! NO FUCKING WAY!"I couldn't believe my own ears. Albert had decided to send me away for a few months. He refused to explain why it was necessary for me to hide.Alexis and Albert had been talking secretly ever since Alexis brought me here. He had managed to escape the group that was aiming bullets at us. I was pretty sure that it was all because of Alexis. Albert was never a man who attracted troubles or had any dark business like Alexis. I just couldn't understand how they became friends.Albert spoke in a firm voice, looking at me stressfully," You..Listen to me, Elinda. Whatever I am doing, it's for your own good. Trust me, no one in the family cares for you more than me. Be a good girl and join me in the family dinner tomorrow."I opened my mouth to say something but Alexis cut off between, shooting me a longing look," I hope, you remember the gunshots, Princess."A chill went down to my spine at the mention of gunshots. I decid
last updateLast Updated : 2024-08-17
Read more
Chapter 8
|| ALEXIS's POV ||" Give me the name, Hector!"I spilled it out threateningly, holding the shovel close to me. Hector refused to answer, his eyes sliding between me and the shovel. He understood that I wasn't kidding with him anymore. Hector muttered, his eyes darkening with fear slowly," It's.. just me..no one else..I wanted to kidnap the princess.. that's it..."He was lying again. The mastermind might have held something against him. But I had no mercy over the man who tried to hurt Elinda. Rejected mate or not, I was fucking possessive over that girl. I replied with a smirk, pulling out the gun from my waist," It looks like I am wasting my time."Hector finally looked terrified. He kept shaking his head nervously, trying to stop me," No..no.. listen to me, Don. You can't do this. No!!!"I ignored his pleading, commanding with a low growl," SHIFT!! I SAID SHIFT, HECTOR!"At first, he wasn't complying. When I placed my finger on the trigger, he began to shift into his ash-furre
last updateLast Updated : 2024-08-19
Read more
Chapter 9
|| ELINDA'S POV || " That's better..."" After changing ten times?"Alexis sneered at me hatefully. He knew that it was my other way to show my distress and hatred for him. I accepted the decision made by my brother. He arranged to live with Alexis except for the fact that Alexis's betrayal crossed my mind again and again whenever I saw his face.I scoffed back, leaning against the door frame," You said that I can get whatever I want."Alexis's eyes hardened on me but his men changed my curtains for the last time. A victorious smirk played on my lips to notice how annoyed he was. I wanted to bore no good wishes for him. A man like him deserved more than my hatred.Alexis dismissed the crowd before I could finish my words, his glare setting on me this time," Wait...I still need one more pair...."My words were stuck as soon as he crossed the room and gripped my jaw. Pain shot through my bones as he emphasized each one of his words," Listen to me, Princess. We have left our fucking
last updateLast Updated : 2024-08-20
Read more
Chapter 10
|| ELINDA's POV ||It was insane how easily people could judge you. Matteo's indirect insult at me only made me angrier. Fiona stretched her hands out to drag me outside. One sharp glare from my eyes, her wolf shuddered, taking a step back to show submission.Matteo shot me another glare but he couldn't meet my eyes anymore. When a Royal took charge, average wolves couldn't stand the dominant power in front of her. I spat firmly, taking a step forward to the boy," Stay back. I can fix him. If I fail, you are allowed to insult me."Matteo retorted weakly, staying a few steps away since he couldn't enter inside my dominance wave," You... don't.. you will kill him."I ignored his words and opened up my mouth to bite on my wrist. Blood leaked out of it, sliding it down to my skin. I held it down on the lips of the dying boy. Fiona grumbled impatiently," What are you doing, witch? You will kill him."I ignored her unnecessary banter. Moments afterward, the boy started coughing violently
last updateLast Updated : 2024-08-21
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status