Leading a peaceful life with her loving parents, Elinda never thought that her passionate lover, Alexis Kozlov would be the reason for all her pain. She thought that getting rejected by her mate was the only worst thing that could happen in her life until her secret identity came out as the Royal lost princess of Vasiliev Dynasty, the ancient root of the Lycan clan. Years after she met her rejected mate again, he wasn't only close but her brother's best friend. But Alexis Kozlov wasn't the sweet boy that she met once. Behind his sweet smile, even the devil feared to meet him.Between hatred & social boundaries, could Elinda forget her rejected mate or Moon Goddess will play the role of a game changer in her fate.
View MoreBiru bening langit di luar, titik yang sama yang ia harap seseorang itu juga memperhatikannya. Hingga sejauh apa pun tempatnya sekarang, Ana berharap seseorang itu tetap sadar mereka pernah dinaungi langit yang sama.
"Kau yakin tidak punya keluarga," laki-laki berjas putih membuat Ana berpaling.
Warna jas yang serupa memenuhi hampir seluruh ruangan tempat Ana dan Dokter Ruin sekarang. Tirai tipis bergoyang entah mendapat sapuan angin dari mana. Ana tetap tak bersuara. Bukan sekali dua kali Dokter Ruin menanyai tentang itu dan jawaban Ana tetap sama. "Tidak." Tentu saja yang dicari Dokter Ruin bukan sebentuk Vanessa, makhluk kecil yang masih belum mengerti apa-apa soal CT-Scan dan Rontgen perut yang rumit. Pada akhirnya Ana yang harus mendengar penjelasan itu sendiri, mencernanya dan kemudian mengambil keputusan.
"Kami tidak bisa mengoperasimu," itulah inti dari segala penjelasan Dokter Ruin tentang betapa mengakar tumor di perutnya. Yang belakangan sering merenggut kenyamanannya.
"Kau harus dikemoterapi," lanjut Dokter Ruin.
"Aku tidak mau," tegas Ana. Soal ini juga sebenarnya sudah cukup jelas. Ana tak ingin rambutnya rontok dan perasaan mual semakin menggerogotinya. Dikemoterapi ataupun tidak, Dokter Ruin juga tak menjamin umurnya akan lebih panjang. "Aku ingin meninggal dalam keadaan cantik," cita-cita yang agak gila yang membuat Dokter Ruin tersenyum dalam kegetiran.
"Kau juga harus tinggal di rumah sakit dan menjalani perawatan di sini," Dokter itu terlihat mengiba. Dia kehabisan cara untuk membuat Ana menuruti kata-katanya.
"Aku masih sehat," jawab Ana sambil meraih tasnya, dia berdiri.
"Apa kau khawatir soal pembiayaan? Aku akan mengusahakan kau mendapat jaminan kesehatan, jika perlu aku sendiri yang akan membiayai perawatanmu."
Ana sudah sempat berbalik ketika ia harus memandangi wajah Dokter itu lagi, "Apa aku terlihat sedang memikirkan uang?" ucap Ana.
Ana sadar jawabannya akan membuat perasaan Dokter yang dua tahun lebih tua darinya tidak nyaman. Tapi, dia sendiri tak mengerti apa yang diucapkannya. Tidak ada bedanya ketika kemudian harus mati, tidak akan ada yang menangisinya, Vanessa juga tidak, setidaknya gadis mungil itu belum mengerti apa-apa. Hanya saja, tidak bisa bohong kalau ketakutan menyusup diam-diam di setiap malam. Ana takut tidur di malam hari, takut jika kemudian tak terbangun lagi. Rasa sakit yang luar biasa juga harus ditanggungnya sendiri. Tidak ada seorang pun yang menegakkan tubuhnya saat dia terjatuh dan tidak ada yang bisa diajak bicara saat ketakutan itu menghampirinya.
Hampir pukul sebelas saat Ana keluar dari rumah sakit. Ana berniat ke taman depan SMA Bunda Pertiwi, taman yang juga dekat dengan taman kanak-kanak tempat Vanessa belajar. Setengah jam pertemuan mereka, dirasa Ana sangat berarti sebelum ayah Vanessa, mantan suaminya, menjemput anak itu. Tapi, hari ini agaknya tidak bisa. Sakit di perutnya menghantam lagi. Rasa sakit yang membuat lututnya tertekuk, dia kesulitan hanya untuk menegakkan bandannya. Perempuan itu meringis. Jalan di depannya mulai buram dan ia merasa mual.
"Kakak!" lirihnya. Ana pingsan. Dan dalam keadaan setengah sadar, ia merasa kereta tempat tubuhnya terbaring bergerak cepat. Dokter Ruin seperti meneriakkan sesuatu, orang itu panik, tapi Ana tak bisa berbuat apa-apa.
[...
Aku menganggapnya anjing peliharaan ayahku saja, yang mengangguk pasrah saat ayah memerintahnya. Aku ingat pertama kali melihatnya, di suatu siang di ruang tengah rumah kami, aku melompat ke pangkuan ayah dan kuminta ayah mengomentari lukisan yang kubuat di sekolah. Orang itu berdiri sambil menunduk, dia sudah seperti berandalan sejak pertama datang ke rumah kami. Entahlah, waktu itu aku belum mengerti apa-apa. Yang kutahu dia tinggal di rumah kami untuk waktu yang sangat lama. Hanya saja kami tak pernah bicara. Hingga suatu hari, ketika ayah meninggalkanku, dalam batas bumi aku tak bisa memintanya kembali, pertama kalinya aku merasa ayah begitu kejam. Hujan di bulan April yang mestinya tidak ada. Ketika mereka yang berpakaian hitam berlalu begitu saja, aku merasa sendiri di tengah kabut abu-abu pekuburan dan dalam hidupku. Aku tak punya siapa pun selain ayah dan ayah tak punya siapa pun selain aku.
Tapi, orang ini menggenggam bahuku dan berkata, "Sudah! ayo, kita pulang!", itu pertama kalinya kudengar dia bicara padaku. Belakangan aku tahu ada nama Segovia di belakang namanya. Nama yang sama yang juga ada di belakang namaku. Orang-orang memanggilnya Julian, Julian Andreas Segovia.
"Kau harus berhati-hati padanya," ungkapan itu yang kuingat saat Julian memecat semua pembantu di rumah kami. Kupikir ayah orang yang sangat kaya, dan orang yang diangkat ayah entah dari sudut gelap mana, yang telah berada di kartu keluarga Segovia sebagai anak pertama, akan memanfaatkanku sekarang. Dia berpura-pura menjadi kakakku, sebelum menjerumuskanku pada siksaan dunia dan mengambil semua harta ayah. Ya, itu asumsi semua orang dan aku tidak peduli. Aku justru bersyukur jika saja Julian mau membunuhku saat itu. Tapi, dia justru berkata, "Jika kau perlu sesuatu, katakan padaku!" itu menjadikan dirinya sendiri sebenar-benarnya pembantu, pesuruhku dan kubilang anjing peliharaanku yang tetap kuwaspadai kalau-kalau suatu hari ia akan menggigitku. Dia memasakkan makanan layaknya seorang ibu, memberiku uang saku layaknya seorang ayah, mengantarku ke sekolah layaknya seorang kakak dan mencuci pakaianku layaknya seorang pembantu.
Aku selalu terkejut ketika melihatnya di depan gerbang sekolah. Menungguku hampir empat jam saat gagak mulai melantunkan suaranya di antara garis jingga dan malam sebentar lagi datang. Sudah kubilang agar dia tak usah lagi menungguku, tapi dia tetap melakukannya. Itu membuatku jengkel dan enggan bicara padanya. Kulewatkan dia tanpa mengatakan apa-apa dan dia berjalan di belakangku hingga kami sampai di rumah. Itu terus ia lakukan sampai seseorang datang dan bilang akan menyita seluruh harta ayah. Julian sepertinya tak terlalu terkejut, sebuah alasan kenapa ia memecat semua pembantu adalah karena keuangan kami dan kebangkrutan usaha ayah. Kemerosotan yang dimulai jauh sebelum ayah meninggal.
"Mulai sekarang aku akan bekerja paruh waktu, dan kamu belajarlah dengan baik!" katanya.
Tidakkah yang keluar dari mulut Julian hanya yang penting-penting saja. Dia tak pernah menatapku saat bicara dan selalu dengan tiba-tiba hingga kadang membuatku terkejut. Aku diam. Tak mengerti bagaimana harus menanggapinya. Rasanya cukup canggung menghadapi Julian. Bagiku dia tetap orang lain, laki-laki dari gen yang berbeda. Saat ayah tidak ada, sudut mana yang bisa meyakinkan bahwa kami saudara.
"Apa yang harus kulakukan?" Aku, gadis enam belas tahun tinggal di rumah yang kini kosong dari perabotan, di depan rumah peninggalan ayahku tertempel segel dari pengadilan. Sebentar lagi rumah itu pasti akan dilelang. Julian, aku tak tahu kapan mulai berpikir dia yang dari jalanan. Jika sekali lagi harus hidup di jalanan, pastinya tidak akan terlalu berat. Apa perlu kukatakan padanya, "Kau pergi saja! Jangan pedulikan aku!" Karena aku juga tak boleh egois terhadap hidupnya untuk mengurusiku.
Tapi, aku diam saja. Membiarkan Julian melakukan apa pun yang ia mau. Toh dia mencari uang juga untukku sekolah, untuk kami makan, dan membayar sewa kamarku yang hanya 4x4 meter, sementara dia tidur di teras.
"Aku akan terus bekerja sampai kudapatkan kembali rumah ayah!" katanya suatu waktu yang justru membuatku tak tenang. Aku tak ingin dia berusaha terlalu keras untuk itu. Julian selalu saja membuatku khawatir jika ia harus kerja lembur. Kukira aku hanya bisa tenang dan merasa aman saat dia ada di dekatku, walau tak bicara, dan itu yang kuinginkan. Aku, yang merasa mati saat ayah tak ada. Perlahan merasa seperti puteri yang berarti keberadaannya, walau setiap hari harus melewati gang sempit becek dan dengan pakaian lusuhku. Ada yang berusaha menghidupiku dengan kerja kerasnya di luar sana. Aku, yang pernah menyesali kehidupan yang berubah drastis, merasa ingin kehidupanku sekarang tetap seperti sekarang, bersama Julian dan hidup seadanya. Aku, ada yang membutakan mataku tentang orang yang harusnya kusebut dia 'Kakak', dialah cinta. Julian, cinta pertamaku.
...]
Plafon keabu-abuan, membuat Ana kecewa ketika sekali lagi terbangun. Sementara di luar, garis jingga membentang indah di langit. Ana cukup akrab dengan semua itu. Tempat yang pagi tadi coba ditinggalkannya, namun tak lama menariknya kembali dalam ketidaksadaran.
"Sudah bangun?"
Ana enggan berpaling. Matahari bulat besar di balik jendela kaca bening rumah sakit menjadi perhatiannya.
"Ya," jawab Ana seadanya.
Dokter Ruin merangkul bahu Ana. "Cobalah sekali-kali menurut. Tidak ada salahnya," katanya.
Ana diam sambil memperhatikan Dokter Ruin. Dokter yang khusus menangani dirinya, sudah hampir setahun. Yang dikatakan Dokter Ruin tentang dirinya yang tak penurut, Ana juga tak bisa mengerti kenapa ia bersikap seperti itu. Hanya tinggal di ruangan seluas 4x6 meter dan membiarkan orang mengobatinya, bukankah itu lebih mudah. Dibanding harus merepotkan orang lain setiap kali ia pingsan di tengah jalan. Untungnya tidak pernah pingsan dihadapan...
"Vanessa," sebut Ana. "Apa ayahnya menjemputnya tepat waktu?"
Doter Ruin tersenyum, "Ya, tadi aku menelpon Nara."
"Dokter bilang padanya aku pingsan lagi?"
"Aku hanya bilang kalau kau tidak bisa menjemput Vanessa."
Ana mengecek ponselnya, lima panggilan tak terjawab dari Nara, mantan suaminya. "Karena Dokter yang bilang, dia pasti berpikir aku pingsan lagi," keluhnya. "Apa dia akan kemari?"
"Tadinya iya. Tapi, kubilang kau sudah tidak apa-apa."
"Baguslah."
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin dia membawa Vanessa menemuiku di rumah sakit."
"Aku heran kenapa kalian bercerai. Padahal, sepertinya Nara masih perhatian banget sama kamu."
Ana menyorotkan pandangan curiga pada Dokter Ruin, ia pikir laki-laki itu terlalu suka mengulang pertanyaan yang sama.
Dan seperti biasa, Ana enggan menjawabnya.
Chapter 93|| ALBERTO'S POV ||I hate to leave plans for Alexis, but I must say—when it comes to starting chaos, he's a master at it. Tonight, he mapped out every guard patrol, every blind spot in the mansion, every alternate escape route. Dressed in the uniform of one of Mikhail's personal enforcers, I passed through the iron gates with a forged ID chip Alexis's crew hastily created. My heart pounded in my ears as the scanner gave me the all-clear to enter. The moment I crossed the threshold into the mansion, the scent enveloped me. Her scent. Clara.My wolf growled within me, restless. I clenched my fists hard to keep from shaking.Concentrate.The corridors smelt rich and cold, with black polished marble casting golden dancing chandeliers above. I kept my head down, mimicking the guard walk I had picked up from spy videos. Sweeping past two guards standing by a staircase, talking, I nodded to them quietly. They barely glanced at me.Clara was in the east wing. Alexis had overheard
Chapter 92|| Clara's POV || (Three Years Ago)My chest thudded as I approached the healer's little hut. I walked closer,feeling vulnerable yet oddly reassured by the emptiness around me.The groan of the wooden door creaking open slowly, and there in the peaceful, knowing eyes of the healer, an old woman whose peaceful presence always had the power to calm my restless soul. She nodded in acknowledgment, stepping aside to let me in."Come in, Clara," she whispered, guiding me into a chair beside the fire. I sat down in the worn seat, letting out a deep, trembling breath.The healer studied me deeply, her understanding eyes easing with compassion. "Have you made up your mind yet, dear? Alberto is suffering, and so are you. Your wolf weakens daily."I swallowed hard, wincing back tears that pricked at the corners of my eyes. "I don't know what to do," I admitted softly, my voice cracking. "I'm afraid of Mikhail's anger more than anything. He is a revengeful man. He won't think twice abo
Chapter 91|| Elinda's POV ||I had barely emerged from the car when the chaos descended on me like a wave.Cameras snapped one after another in my face, and microphones were shoved under my nose in every direction. A group of reporters hovered around me.Their faces were tough and full of judgmental :"Elinda! You actually did run away from the ceremony of finding a mate!""Are you with anyone special last night?""Is your engagement to Duke Alaric cancelled now?"I couldn't answer. I couldn't breathe.They weren't just shoving—they were standing on me, yanking at my sleeves, blocking every move I made towards the palace. A woman's heel ground into my ankle. A man jammed a mic into my shoulder so forcefully I almost stumbled. Panic coursed up my throat."Get back!" Alaric's voice came behind me, deep but not nearly loud enough to overpower the crowd. "You're hurting her! Move aside!"His hand gripped mine tightly, but it was not strong to save me. He seemed more like a noble trying to
Chapter 90|| ELINDA's POV ||I awoke curled around Alexis's chest, feeling the gradual beat of his breath against my hand. His skin was warm now. Not fever-burning like last night. Just warm. Alive. I didn't want to move, but the sun that sliced through the blinds brought memory.There was a gentle knock at the door, and then servant's whisper. "My Lady… the healer has arrived."I glanced at Alexis, who remained asleep. His eyelashes fluttered slightly, and I knew he would come awake soon. I moved off the bed, gently tucking the blankets back around him, and opened the door far enough to see."I'll speak with him alone first," I breathed.The servant nodded and disappeared down the hallway. A minute later, the healer—a soft-faced middle-aged man with grey hair and a scent of rosemary—stepped silently in. I guided him into the next room so Alexis wouldn't hear us."He's better, isn't he?" I asked as soon as we'd closed the door behind us.The healer smiled half-heartedly. "Yes… and no
Chapter 89 || Elinda's POV || The clapping palms of the crowd, the flowers, Alaric's soft smile—these all disappeared into the past for me as I boarded the boat. My heart never dwelled inside those walls.It stayed with him.Alexis.Sea air stung my face, but nothing could shake the guilt burning beneath my skin. I shouldn't be doing this. Tonight, of all nights. After accepting another mate before the council mere hours before. But the image of Alexis—sick, alone, possibly dying on that island—called me like a moth to flame. No cause, no royal duties, not even the mate bond could keep me away.The instant the boat docked at the Dark Crescent island's dock, I ran. My heels hit wet soil, and the wind tore through my hair.I did not wait for a servant or for leave. I burst through the entrance and flew up the stairs two steps at a time."Princess!" Lysa's voice echoed in warning as she appeared at the head of the stairs, arms out to hold me back. "You can't go in! Alpha must have rest—
Chapter 88|| ELINDA'S POV ||The council chamber was too silent.Alberto and I sat side by side, hands resting tense in my lap, fingers intertwined.Old, stern-appearing councilors with glaring eyes leaned toward me at a glance that I could not define quite so well—whether it was respect or annoyance.Or maybe… they're just tired of waiting for me to catch up and just make up their minds already, for goodness' sake."Princess Elinda," one of the older males began, his tone like an Alpha, "now that Prince Alberto's been crowned Alpha, the pack will need a strong Beta to support him. Someone familiar with royal bloodline. and fighting." He glared at me. "We all decided it should be you."I swallowed. My throat was dry and tightened.Alberto glared at me sideways, his eyes gentle but supportive. "You're the only one I trust, Elin. You've done it again and again."Have I?The memory of the shattered mate bond danced at the edges of my mind. The pain still hasn't gone yet. I was on my feet,
Chapter 87 || ALBERTO'S POV ||The moment I stepped into the hall, my wolf lifted her head. Not due to the politics or the constant chatter swirling around us, but because she was present.Clara.Even now, even after all of it, my wolf l recognized her. Her presence was a magnet that I couldn't shake from my head, no matter how faint the melody had become. I stood on the sidelines, glass in hand, pretending to listen to Alexis's negotiation with the North Alpha, but my eyes kept wandering to her.And every time I glanced, I saw something that made my blood boil.Mikhail.He loomed over her like a predator, cold and commanding, his voice sharp and snapping whenever he addressed her. I noticed the tension in Clara's posture when he spoke, the way her shoulders tensed, the glint of something in her eyes she tried to hide—fear or indifference, I couldn't tell. But I did.My wolf did too.Go to her, he snarled within me, pacing back and forth."I can't," I grumbled under my breath.Alexis
Chapter 86 || Clara's POV ||I was sitting at the window, pretending to read a book, but my hands trembled so violently.My thoughts were elsewhere, as they always were now—on Alberto, on the painful bond inside me that grew heavier with each passing moment I stayed here, held captive by fear.The door creaked behind me.I didn't need to turn to know who it was. His presence made the room suffocate, forcing me to barely breathe."We are going to a reception tonight," he stated in a neutral tone, showing no feeling whatsoever. "The top designer will be there. Prepare yourself."I kept my back to him, my fingers tightening around the book.A meeting. Meaning all the power players would attend. And if Alberto was indeed in Bravta's borders, he'd certainly be there.The mere idea of being within the same air space as him—to look upon him, feel the tie between us scream for attention— wracked my chest with pain. It would hurt. I would know it would."I am not going," I said, voice small bu
Chapter 85 || Clara's POV ||The sunlight pouring through my window in the morning fell gently on the floor of my bedroom. I had not slept. Not actually. Each time I shut my eyes, the power of the bond felt out and pulled at my soul, whispering a name I could not voice. Alberto. My mate.But I was married to another man.The door creaked open and I stiffened, my heart racing before I could even turn around. To my relief, it was the healer—the elderly woman with warm eyes and gentle fingers. She gave a polite nod before she approached, her bag slung over one shoulder."How do you feel, Lady Clara?" she said softly as she sat beside the bed."Fine," I replied too quickly.Her eyes furrowed together, obviously not believing it, but she did not press the issue. She had grown accustomed to living in this house by now and was smarter than to ask questions she wasn't supposed to ask. I remained numb as she laid cool fingers on my wrist, feeling my pulse. Then her hand moved to my forehead,
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments