Accueil / Romansa / Hutang Barang Mantan / Bab 6. Cincin Hilang

Share

Bab 6. Cincin Hilang

Auteur: Fiska Aimma
last update Dernière mise à jour: 2022-05-20 11:40:51

Kesan hari pertama jadi istri yang dinikahi akibat hutang itu rasanya seperti kamu jadi Captain America yang kesasar di negeri Alakadabra alias 'OLENG'.

Seharusnya kurutuki Pak Ravi yang seenak udelnya tak membangunkanku dan berangkat lebih dulu. Sebagai asisten dosen tentu saja ini bencana bagiku, apa pendapat para mahasiswa kalau dosen lebih dulu datang dibanding asdos-nya? Bisa di-bully habis-habisan aku sama mahasiswa yang lagi praktikum.

Mereka kan tengil dan pastinya aku akan jadi bulan-bulanan.

Duh Gusti! Heran deh, segitu kejamnya punya laki enggak ada manis-manisnya. Kalau aku kesiangan, bangunkan kek atau elus kek pipinya biar sadar. Ini bukannya empati tapi malah sengaja biar aku terlena.

Alhasil, dengan langkah terburu-buru aku pamit sama mertua dan memesan ojek untuk sampai di tempat perkuliahan secepat mungkin.

Lalu, berakhirlah aku di sini. Di depan lab Material-1 di mana Pak Ravi sedang berdiri dengan tatapan dingin seraya mengabsen mahasiswa satu-persatu.

Biasanya kalau dalam kondisi normal, aku akan datang lebih dulu dan memastikan semua pendukung pengajaran lengkap. Tapi kali ini aku benar-benar apes.

Semoga aku nggak dipecat. Udah mah berhutang masa kehilangan pekerjaan, meski bosnya suami sendiri.

Tok. Tok. Tok.

"Pa-agi Pak," sapaku gagap pada lelaki tegap berjas lab tersebut.

Pak Ravi dan semua mahasiswa di lab sontak menoleh ke arahku. Di antara mereka ada yang senyum-senyum nakal, merasa puas asdos mereka mungkin akan habis dimarahi oleh dosen killer bernama Ravi Mahendra.

Pak Ravi melirik ke arahku sekilas. "Oh Bu asdos sudah datang rupanya? Kenapa telat?"

Jiaah! Bukannya Bapak yang nggak bangunin saya? Tega.

Ingin rasa kucakar mukanya sekarang juga.

"Bangunnya kesiangan Pak, maaf," jawabku sambil tersenyum ngenes.

Sayang, si cakep tetap datar tanpa berniat membalas senyumanku.

"Bohong Pak, Teh Sara mah pasti abis nangis tuh Pak soalnya ditinggal nikah," celetuk Geri si biang onar di kelas Kimia C.

"Iya, Pak. Pasti hatinya lagi berdarah-darah," timpal yang lain membuatku semakin terpojok.

Ya ampun! Si*lan banget dah mulut-mulut lemes anak mahasiswa ini. Andai ada pelajaran akhlak kukasih nilai E juga nih, biar pada remedial.

Harus kuakui gosipku sebagai mantan yang terbuang dan berhutang memang cukup merebak di kalangan civitas wajar kalau mereka tahu.

Ah ... andai aku bisa jujur mengatakan kalau aku baru nikah sama dosen yang ditakuti sama mereka.

Bisa minta maaf tujuh turunan kali si pembully itu, tapi kami sepakat merahasiakan ini kepada orang-orang kampus karena khawatir rencana kami gagal. Lebih baik mereka tidak tahu kami menikah, hingga jika kami bercerai pun mereka tak akan heboh.

Terlebih sampai saat ini aku masih butuh pekerjaan ini dan Pak Ravi tidak bisa dekat dengan asdos lain.

"Udah Pak, kasih masuk aja, Teh Sara mungkin sulit dapat ojek," kata Kevin si ketua kelas. Akhirnya di antara para solimin ada juga yang soleh beneran.

Pak Ravi yang sejak tadi hanya terdiam mengamati sekelilingnya akhirnya mengalihkan pandangan kepadaku. Mata kami beradu pandang sepersekian detik sebelum dia mengeluarkan suara tegas.

"Masuklah! Bantu saya, lain kali saya minta datang lebih pagi karena ada yang harus kita siapkan sebelum praktikum," ujarnya yang langsung kusambut dengan anggukan.

"Iya, Pak."

Fiuh! Selamat kali ini.

(***)

Di mana-mana yang namanya asisten dosen itu tugasnya adalah menjadi follower setia bagi si dosen dan harus mau disuruh apa saja tanpa ada kata 'capek' atau 'lelah' bahkan untuk berkata 'tidak' saja itu butuh pertimbangan matang.

Namun, pengalamanku selama menjadi asdos Pak Ravi perasaan enggak semenderita Rika dan Hani yang menjadi asdos bagi dosen lain karena meski Pak Ravi killer dia cukup tahu kapan memerintah dan kapan dia kerjakan sendiri.

Hanya, entah kenapa semenjak otakku ternoda gara-gara dia bertelanjang dada di malam pertama kami, hati ini suka ketar-ketir tanpa sebab kalau tanpa sengaja kami bersitatap sekali pun dia menatapku karena dia mau meminta salinan file atau membawakan sesuatu.

Benar kata Anjel si centil di kelas ini, kalau Pak Ravi itu gantengnya udah level luar angkasa.

Damage-nya enggak ada obat. Ya ... kecuali kalau dia udah mulai galak, kegantengannya ambruk sampai perut bumi.

"Teh, Teh, mau nanya dong." Tiba-tiba Kevin menyenggol lenganku di saat aku sedang bengong tanpa sadar di pojokan sambil melihat Pak Ravi mengajari kelompok Anjel.

"Iya, Kev? Ada yang bisa dibantu?" tanyaku pada Kevin. Di kelas ini hanya dia dan Sari yang bisa kuandalkan jika Kim-C sudah mulai ricuh.

Mungkin karena jarak umur kami hanya empat tahun jadi mereka jarang memanggilku Ibu, biasanya langsung 'Teteh' karena aku juga mantan kakak tingkat mereka, bedanya sebentar lagi aku akan melaksanakan S-2 di sini jadi tidak bekerja seperti teman angkatanku yang lain.

Eh, salah deng aku bekerja tapi sebagai asdos dan partner in crime-nya si dosen jutek.

"Enggak Teh. Kevin cuman mau nanya, boleh aku minta nomer Teteh? Ya, kali aja kan Pak Ravi lagi halangan hadir, jadi kita bisa komunikasi," kata Kevin seraya menyunggingkan senyumannya.

"Oh gitu, tapi Sari juga udah punya nomer Teteh kok," jawabku sopan. Sebenarnya aku malas memberikan no hape pada sembarang orang, termasuk pada Kevin si mahasiswa berprestasi.

"Ya, beda atuh Teh, saya minta ya? Oh, iya, Teteh pulang dijemput siapa? Mau pulang bareng saya?"

"Saya pulang ...."

"Eheum!"

Mampus. Si killer memergoki kami sedang mengobrol di tengah pengajarannya, siapa pun tahu dia paling anti kalau ada yang berisik.

Sontak saja pandangan Pak Ravi mengarah pada Kevin dan itu membuatku tegang.

Ya Salam ... semoga dia nggak ngamuk.

"Kevin, apa Anda sudah selesai praktikumnya?" tanya Pak Ravi dengan nada yang dibuat normal tapi masih terdengar dingin.

Kevin yang terkejut ditanya begitu langsung mengangguk. "Sudah Pak, tapi saya butuh bantuan Teh Sara buat memeriksa khawatir jurnal saya salah," jawab Kevin berbohong.

"Nggak perlu sama Sara untuk kelompok kamu biar saya yang periksa dan ... Sara!"

Tiba-tiba mata elang Pak Ravi menatap ke arahku tajam, saking tajamnya aku berpikir akan ada cahaya laser keluar dari sana.

"Iya, Pak?" sahutku tegang karena kelas mendadak hening. Semua menahan napas, baru kali ini dia bernada tinggi memanggil namaku di depan yang lain.

"Kamu tolong ambil hasil laporan praktikum dari kelompok lain lalu setelah itu datang di ruangan saya."

"Baik Pak."

"Dan untuk kelas ini. Saya harap sebelum kelas saya berakhir, tidak ada forum dalam forum! Jika ada kesulitan untuk mahasiswi perempuan bisa tanya ke Sara dan yang laki-laki ke saya. Kalian mengerti?"

"Iya, Paaaaaak," jawab anak-anak kompak.

Setelah itu tanpa basa-basi Pak Ravi langsung pergi keluar ruangan dengan wajah beku seakan yang kulakukan adalah kesalahan yang fatal.

What the hell? Terus apalagi katanya?

Kalau ada kesulitan cewek ke cewek, cowok ke cowok? Halo! Emang ini lagi pengajian? Pakai berdasarkan gender?

Duh Gusti! Ada apa dengan dia sih?

(***)

"Permisi Pak," ujarku sambil memasuki ruangan Pak Ravi.

Lelaki itu ternyata sudah bersandar di mejanya sambil melipat tangan di depan dada.

"Kamu senang digoda mahasiswa saya?" sindirnya telak membuatku merasa tak memiliki harga diri.

"Eh? Digoda? Siapa yang digoda Pak, dia hanya minta nomer hape dan menawarkan pulang."

"Jangan belaga polos. Kamu tahu kan, tandanya lelaki tertarik pada wanita itu adalah ketika dia mengganggunya."

"Seperti Bapak gitu?" balasku dengan mata yang tak kalah tajam.

Heran, masalah kecil saja dia besar-besarkan.

"Saya bukannya mau ganggu kamu tapi kamu yang ganggu saya. Sekarang saya tanya, mana cincin nikah kamu?" tanyanya membuatku langsung mengecek jari manis dan seketika mataku membulat.

"Loh, kok gak ada? Kemarin aku pakai Pak, serius." Seperti baru kerampokan, aku langsung mengecek seluruh saku dan tas yang kubawa tapi hasilnya nihil. Mana cincin mahal lagi.

"Aduh, di mana ya?" keluhku panik karena takut mertua bertanya juga.

Dia menghela napas berat melihatku yang kelimpungan, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan cincin dari dalam sakunya.

"Dasar ceroboh! Nih! Jangan tinggalkan lagi di kamar mandi," ujarnya seraya menyerahkan cincin nikah ke depan wajahku.

Mataku sontak membelalak lebar. "Wah! Akhirnya ketemu. Eh, bentar jadi Pak Ravi nyuruh saya ke sini dan berantem kayak tadi cuman untuk ...."

"Ya, cincin itulah! Apalagi? Biar cowok yang deketin kamu tahu kalau kamu sudah nikah. Ah ya setelah pakai itu, kamu boleh pergi dari ruangan ini karena saya banyak urusan," usirnya kalem sambil duduk di kursi tanpa melihat wajahku yang semi frustasi.

AAAAA! Otewe hipertensi.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Hutang Barang Mantan   Bab 30. Hutang Barang Mantan (Ending)

    Aku sungguh tak menginginkan acara penyambutan yang kaku dan menyedihkan seperti ini ketika kembali ke kediaman keluarga Sasongko.Namun, apa yang aku bisa harapkan? Jika kehadiran kami saja membuat semua orang kecewa karena Bang Ravi menyampaikan kabar tentang kehamilanku pada keluarga yang jelas-jelas tak menginginkannya."Sudah berapa bulan?" tanya Bu Gea dengan nada berat sehingga terdengar seperti gumaman.Saat ini kami sekeluarga berkumpul di ruang tamu dengan formasi lengkap. Bu Gea, Wita dan Pak Songko ketiganya seketika diliputi atmosfer gelap terutama Wita. Gadis itu sampai menundukan kepala menahan tangis yang hendak keluar.Aku paham kondisi ini pasti sangat sulit bagi semua. Sebagai wanita, Wita pasti sangat sakit hati ketika tahu lelaki yang ia cintai selama ini ternyata telah memiliki anak dari perempuan yang ia benci. Apalagi pernikahannya pun harus gagal karena Bang Ravi lebih memilih aku."Kata Dokter baru lima minggu Bu, minta doanya," kata Bang Ravi. Kurasakan geng

  • Hutang Barang Mantan   Bab 29. Penghutang Barang Mantan

    Aku memainkan sendok yang kupegang dengan perasaan malas. Sudah setengah jam berlalu tapi aku masih saja tak bisa menghabiskannya. Rendang, nasi, parkedel dan lalaban yang ada di hadapanku benar-benar tak dapat menggugah selera.Hari ini tepat dua minggu berselang dari hari di mana aku diminta pergi dengan paksa dan berakhir di villa persembunyian Bu Hana yang berada di kaki gunung Pangrango. Bu Hana? Bu Hana ibu kandung Bang Ravi? Iya dia. Siapa sangka, di saat aku merasa ingin pingsan di pinggir jalan karena merasa kehilangan tujuan, dialah yang membawaku ke sini. Sungguh kebetulan, aku yang hendak melarikan diri setelah dihina dan diusir bertemu dengan seorang perempuan yang kukira musuh. Beruntung, saat itu tak ada Vio di sana sehingga dengan amannya aku bisa menyembunyikan diri. Entah, ini karena kasian atau dia berpikir sebaiknya merawatku demi rasa bersalahnya kepada seorang Ravi, jujur aku tak peduli. Aku tidak tahu ada modus apa di balik kebaikan Bu Hana yang tiba-tiba ini

  • Hutang Barang Mantan   Bab 28. Unboxing? (POV RAVI)

    Langkah ini begitu gontai saat keluar dari ruang perawatan Pak Sasongko. Pikiranku berkecamuk tak tentu arah karena memikirkan permintaan Ayah angkat yang tetap mau menikahkanku dengan Wita. Kata beliau hanya aku harapan dia untuk menjaga anak bungsunya.Sejujurnya, sampai saat ini aku masih belum bisa memberi jawaban. Sekali pun Ibu mendesak dan Wita tentu saja berharap, aku memilih bersikeras menunda keputusan. Aku tak ingin emosi dan mengambil jalan yang salah. Terutama, aku tak ingin menyakiti Sara.Aku mencintainya. Itu pasti. Hanya saja aku belum menemukan cara agar membuat Sara tetap di sisiku tanpa menjadikannya objek kemarahan keluarga Sasongko. Sebagai lelaki aku tak boleh gegabah bertindak."Ravi tunggu!" Suara tegas milik Ibu menahan langkahku yang hendak menuju ke arah pintu keluar. "Ibu ingin bicara."Aku berbalik dan memaksakan senyum. "Iya Bu. Ada apa lagi?" tanyaku menahan rasa enggan.Otakku benar-benar penat dan butuh istirahat."Kamu bisa jagain Wita malam ini?""L

  • Hutang Barang Mantan   Bab 27. Penjelasan Hati

    Patah hati adalah sebuah kejadian yang pasti dialami oleh hampir seluruh manusia yang mengaku pernah jatuh cinta. Kisah patah hati pun nggak sama, semua orang punya kisah berbeda. Tapi, berkali-kali patah hati karena suami tak membuat hatiku menyerah. Entah mungkin karena sudah terbiasa.Bang Ravi, pria itu terlalu nyata untuk aku lupakan. Kenangan dan segala sesuatu tentangnya membuatku tak bisa beralih pikiran. Lalu, aku harus apa? Ketika aliran sesak ini semakin tak tahu diri.Menangis? Ah, aku lelah! Bahkan rasanya aku seperti menjilat ludahku sendiri.Dulu, aku mengatakan, menangis untuk Bang Ravi sama saja dengan menangisi kebodohan tapi fakta membuktikan kalau aku malah tenggelam dalam kebodohanku sendiri.Baru seminggu saja aku bersembunyi, ternyata diri ini sudah sangat merindu seorang Ravi.Aku rindu wanginya.Aku rindu suaranya.Aku rindu tatapannya, tawanya, ciumannya, dekapannya dan semua tentangnya.Aku hampir merasa gila tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak kusangka

  • Hutang Barang Mantan   Bab 26. Sebuah Pilihan

    Apa yang kamu harapkan Sara? Ngimpi!Sejak awal pernikahanku memang sudah salah. Tak seharusnya mempermainkan pernikahan dan kutahu Bang Ravi hanya ingin memperalatku sebagai objek balas dendam.Tak lebih! Sepantasnya aku sadar itu hingga tak terlalu menyuapi angan dengan harapan. Namun, aku saja yang bodoh masih merasa semua akan baik-baik saja.Padahal setelah ini selesai, dia tetap milik keluarganya dan aku tetap kembali ke titik semula seorang gadis yang berhutang barang pada mantannya.Bruk!Aku menutup pintu dengan keras. Entahlah, ubun-ubunku terasa mendidih melihat Bang Ravi memeluk Wita.Apakah arti dari pelukan itu adalah mereka akan menikah? Dan lelaki itu akan menuruti perintah orang tua angkatnya?"Sialan!" Spontan aku membanting bantal ke lantai. Mulai dari sekarang, aku tak akan percaya mulut lelaki satu pun.Aku tak akan mendengarkan Bang Ravi sama sekali. Aku akan bertindak sesukaku, kami hanya suami-istri di atas kertas. Untuk apa aku setia? Jika pada akhirnya akulah

  • Hutang Barang Mantan   Bab 25. Sakit Tak Berdarah

    "Sebelum dia menjadi suami kamu. Ravi adalah anak angkat kami. Jadi, saya harap kamu sadar kedudukanmu Sara."Kata-kata Pak Sasongko terus saja terngiang di kepalaku. Bagaikan sebuah kaset yang terus diputar di kepala dan membuat gelisah.Emang seharusnya aku tak perlu sekhawatir ini karena Bang Ravi sudah berjanji mau menjagaku. Namun, tetap saja rasa keberatan itu timbul karena bukan Bu Gea yang berbicara tapi Pak Sasongko.Ayah angkat Bang Ravi yang terbiasa diam itu sekarang seolah bersebrangan denganku. Sebagai menantu aku jadi merasa serba salah dan juga tak yakin akan hubungan ini. Lambat-laun belang dari keluarga ini terlihat, sekali pun mereka baik jika berkenaan dengan anak kesayangan pasti apa pun dikorbankan termasuk perasaan orang lain.Karena Wita. Rasa cinta Wita pada Bang Ravi-lah yang menjadi alasan aku menjadi ragu dan sekarang adik iparku itu kecelakaan tepat di mana aku sedang berbulan madu.Haruskah aku curiga? Mungkinkah ini disengaja?Memikirkan ini semua membua

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status