Share

Bab 6. Cincin Hilang

Kesan hari pertama jadi istri yang dinikahi akibat hutang itu rasanya seperti kamu jadi Captain America yang kesasar di negeri Alakadabra alias 'OLENG'.

Seharusnya kurutuki Pak Ravi yang seenak udelnya tak membangunkanku dan berangkat lebih dulu. Sebagai asisten dosen tentu saja ini bencana bagiku, apa pendapat para mahasiswa kalau dosen lebih dulu datang dibanding asdos-nya? Bisa di-bully habis-habisan aku sama mahasiswa yang lagi praktikum.

Mereka kan tengil dan pastinya aku akan jadi bulan-bulanan.

Duh Gusti! Heran deh, segitu kejamnya punya laki enggak ada manis-manisnya. Kalau aku kesiangan, bangunkan kek atau elus kek pipinya biar sadar. Ini bukannya empati tapi malah sengaja biar aku terlena.

Alhasil, dengan langkah terburu-buru aku pamit sama mertua dan memesan ojek untuk sampai di tempat perkuliahan secepat mungkin.

Lalu, berakhirlah aku di sini. Di depan lab Material-1 di mana Pak Ravi sedang berdiri dengan tatapan dingin seraya mengabsen mahasiswa satu-persatu.

Biasanya kalau dalam kondisi normal, aku akan datang lebih dulu dan memastikan semua pendukung pengajaran lengkap. Tapi kali ini aku benar-benar apes.

Semoga aku nggak dipecat. Udah mah berhutang masa kehilangan pekerjaan, meski bosnya suami sendiri.

Tok. Tok. Tok.

"Pa-agi Pak," sapaku gagap pada lelaki tegap berjas lab tersebut.

Pak Ravi dan semua mahasiswa di lab sontak menoleh ke arahku. Di antara mereka ada yang senyum-senyum nakal, merasa puas asdos mereka mungkin akan habis dimarahi oleh dosen killer bernama Ravi Mahendra.

Pak Ravi melirik ke arahku sekilas. "Oh Bu asdos sudah datang rupanya? Kenapa telat?"

Jiaah! Bukannya Bapak yang nggak bangunin saya? Tega.

Ingin rasa kucakar mukanya sekarang juga.

"Bangunnya kesiangan Pak, maaf," jawabku sambil tersenyum ngenes.

Sayang, si cakep tetap datar tanpa berniat membalas senyumanku.

"Bohong Pak, Teh Sara mah pasti abis nangis tuh Pak soalnya ditinggal nikah," celetuk Geri si biang onar di kelas Kimia C.

"Iya, Pak. Pasti hatinya lagi berdarah-darah," timpal yang lain membuatku semakin terpojok.

Ya ampun! Si*lan banget dah mulut-mulut lemes anak mahasiswa ini. Andai ada pelajaran akhlak kukasih nilai E juga nih, biar pada remedial.

Harus kuakui gosipku sebagai mantan yang terbuang dan berhutang memang cukup merebak di kalangan civitas wajar kalau mereka tahu.

Ah ... andai aku bisa jujur mengatakan kalau aku baru nikah sama dosen yang ditakuti sama mereka.

Bisa minta maaf tujuh turunan kali si pembully itu, tapi kami sepakat merahasiakan ini kepada orang-orang kampus karena khawatir rencana kami gagal. Lebih baik mereka tidak tahu kami menikah, hingga jika kami bercerai pun mereka tak akan heboh.

Terlebih sampai saat ini aku masih butuh pekerjaan ini dan Pak Ravi tidak bisa dekat dengan asdos lain.

"Udah Pak, kasih masuk aja, Teh Sara mungkin sulit dapat ojek," kata Kevin si ketua kelas. Akhirnya di antara para solimin ada juga yang soleh beneran.

Pak Ravi yang sejak tadi hanya terdiam mengamati sekelilingnya akhirnya mengalihkan pandangan kepadaku. Mata kami beradu pandang sepersekian detik sebelum dia mengeluarkan suara tegas.

"Masuklah! Bantu saya, lain kali saya minta datang lebih pagi karena ada yang harus kita siapkan sebelum praktikum," ujarnya yang langsung kusambut dengan anggukan.

"Iya, Pak."

Fiuh! Selamat kali ini.

(***)

Di mana-mana yang namanya asisten dosen itu tugasnya adalah menjadi follower setia bagi si dosen dan harus mau disuruh apa saja tanpa ada kata 'capek' atau 'lelah' bahkan untuk berkata 'tidak' saja itu butuh pertimbangan matang.

Namun, pengalamanku selama menjadi asdos Pak Ravi perasaan enggak semenderita Rika dan Hani yang menjadi asdos bagi dosen lain karena meski Pak Ravi killer dia cukup tahu kapan memerintah dan kapan dia kerjakan sendiri.

Hanya, entah kenapa semenjak otakku ternoda gara-gara dia bertelanjang dada di malam pertama kami, hati ini suka ketar-ketir tanpa sebab kalau tanpa sengaja kami bersitatap sekali pun dia menatapku karena dia mau meminta salinan file atau membawakan sesuatu.

Benar kata Anjel si centil di kelas ini, kalau Pak Ravi itu gantengnya udah level luar angkasa.

Damage-nya enggak ada obat. Ya ... kecuali kalau dia udah mulai galak, kegantengannya ambruk sampai perut bumi.

"Teh, Teh, mau nanya dong." Tiba-tiba Kevin menyenggol lenganku di saat aku sedang bengong tanpa sadar di pojokan sambil melihat Pak Ravi mengajari kelompok Anjel.

"Iya, Kev? Ada yang bisa dibantu?" tanyaku pada Kevin. Di kelas ini hanya dia dan Sari yang bisa kuandalkan jika Kim-C sudah mulai ricuh.

Mungkin karena jarak umur kami hanya empat tahun jadi mereka jarang memanggilku Ibu, biasanya langsung 'Teteh' karena aku juga mantan kakak tingkat mereka, bedanya sebentar lagi aku akan melaksanakan S-2 di sini jadi tidak bekerja seperti teman angkatanku yang lain.

Eh, salah deng aku bekerja tapi sebagai asdos dan partner in crime-nya si dosen jutek.

"Enggak Teh. Kevin cuman mau nanya, boleh aku minta nomer Teteh? Ya, kali aja kan Pak Ravi lagi halangan hadir, jadi kita bisa komunikasi," kata Kevin seraya menyunggingkan senyumannya.

"Oh gitu, tapi Sari juga udah punya nomer Teteh kok," jawabku sopan. Sebenarnya aku malas memberikan no hape pada sembarang orang, termasuk pada Kevin si mahasiswa berprestasi.

"Ya, beda atuh Teh, saya minta ya? Oh, iya, Teteh pulang dijemput siapa? Mau pulang bareng saya?"

"Saya pulang ...."

"Eheum!"

Mampus. Si killer memergoki kami sedang mengobrol di tengah pengajarannya, siapa pun tahu dia paling anti kalau ada yang berisik.

Sontak saja pandangan Pak Ravi mengarah pada Kevin dan itu membuatku tegang.

Ya Salam ... semoga dia nggak ngamuk.

"Kevin, apa Anda sudah selesai praktikumnya?" tanya Pak Ravi dengan nada yang dibuat normal tapi masih terdengar dingin.

Kevin yang terkejut ditanya begitu langsung mengangguk. "Sudah Pak, tapi saya butuh bantuan Teh Sara buat memeriksa khawatir jurnal saya salah," jawab Kevin berbohong.

"Nggak perlu sama Sara untuk kelompok kamu biar saya yang periksa dan ... Sara!"

Tiba-tiba mata elang Pak Ravi menatap ke arahku tajam, saking tajamnya aku berpikir akan ada cahaya laser keluar dari sana.

"Iya, Pak?" sahutku tegang karena kelas mendadak hening. Semua menahan napas, baru kali ini dia bernada tinggi memanggil namaku di depan yang lain.

"Kamu tolong ambil hasil laporan praktikum dari kelompok lain lalu setelah itu datang di ruangan saya."

"Baik Pak."

"Dan untuk kelas ini. Saya harap sebelum kelas saya berakhir, tidak ada forum dalam forum! Jika ada kesulitan untuk mahasiswi perempuan bisa tanya ke Sara dan yang laki-laki ke saya. Kalian mengerti?"

"Iya, Paaaaaak," jawab anak-anak kompak.

Setelah itu tanpa basa-basi Pak Ravi langsung pergi keluar ruangan dengan wajah beku seakan yang kulakukan adalah kesalahan yang fatal.

What the hell? Terus apalagi katanya?

Kalau ada kesulitan cewek ke cewek, cowok ke cowok? Halo! Emang ini lagi pengajian? Pakai berdasarkan gender?

Duh Gusti! Ada apa dengan dia sih?

(***)

"Permisi Pak," ujarku sambil memasuki ruangan Pak Ravi.

Lelaki itu ternyata sudah bersandar di mejanya sambil melipat tangan di depan dada.

"Kamu senang digoda mahasiswa saya?" sindirnya telak membuatku merasa tak memiliki harga diri.

"Eh? Digoda? Siapa yang digoda Pak, dia hanya minta nomer hape dan menawarkan pulang."

"Jangan belaga polos. Kamu tahu kan, tandanya lelaki tertarik pada wanita itu adalah ketika dia mengganggunya."

"Seperti Bapak gitu?" balasku dengan mata yang tak kalah tajam.

Heran, masalah kecil saja dia besar-besarkan.

"Saya bukannya mau ganggu kamu tapi kamu yang ganggu saya. Sekarang saya tanya, mana cincin nikah kamu?" tanyanya membuatku langsung mengecek jari manis dan seketika mataku membulat.

"Loh, kok gak ada? Kemarin aku pakai Pak, serius." Seperti baru kerampokan, aku langsung mengecek seluruh saku dan tas yang kubawa tapi hasilnya nihil. Mana cincin mahal lagi.

"Aduh, di mana ya?" keluhku panik karena takut mertua bertanya juga.

Dia menghela napas berat melihatku yang kelimpungan, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan cincin dari dalam sakunya.

"Dasar ceroboh! Nih! Jangan tinggalkan lagi di kamar mandi," ujarnya seraya menyerahkan cincin nikah ke depan wajahku.

Mataku sontak membelalak lebar. "Wah! Akhirnya ketemu. Eh, bentar jadi Pak Ravi nyuruh saya ke sini dan berantem kayak tadi cuman untuk ...."

"Ya, cincin itulah! Apalagi? Biar cowok yang deketin kamu tahu kalau kamu sudah nikah. Ah ya setelah pakai itu, kamu boleh pergi dari ruangan ini karena saya banyak urusan," usirnya kalem sambil duduk di kursi tanpa melihat wajahku yang semi frustasi.

AAAAA! Otewe hipertensi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status