Share

Bab 5. Malam Pertama? Astaga!

Setelah bertemu dengan Vio dan Pak Ravi ada dua hal yang menjadi prinsip dalam hidupku, prinsip kesatu jangan mudah percaya sama mulut lelaki dan prinsip kedua jangan muda menerima pemberian apa pun dari orang lain.

Kenapa? Karena akan sangat menyusahkan dan merepotkan.

Jika tak ingat kalau aku masih punya iman, aku mungkin sudah bunuh diri. Untunglah, aku pernah dengar kajian kalau orang yang berhutang itu entar di akhiratnya bakal susah. Jadi, dari pada susah mending nikah sama Pak Ravi aja.

Sama-sama susah, kan? Maka, dengan segenap hati dan seberat body akhirnya aku sampai juga di hari ini.

Tepat seminggu sesudah resepsi Vio akhirnya giliran aku yang menggelar akad dan resepsi yang melelahkan. Meski kata Bu Gea masih sangat sederhana karena hanya mengundang kolega penting dan keluarga terdekat, tapi tetap saja badanku berasa remuk semua.

"Hoaaaaam!" Aku kembali menguap ketika tubuh ini berhasil kurebahkan di atas tempat tidur. Mataku mulai menerawang menembus langit-langit kamar.

Aku baru sadar kalau sekarang malam pertama. Iya, malam pertamaku dengan Pak Ravi.

Wait! Please.

Jangan bayangkan kalau akan adegan romantis ala drama korea ya, enggak mungkin dan enggak ada karena yang ada kami saling mengabaikan.

Pak Ravi si kanebo yang pendendam itu mana mau melihatku? Dia sudah bilang berulang kali kalau dia menikahiku karena misi.

Ingat misi! Dan hutang ... tentu saja.

Cklek.

"Kamu belum mandi?"

Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut Pak Ravi saat dia baru masuk ke kamarnya yang sudah di-setting menjadi kamar pengantin.

Aku merubah posisi badanku sebelum menjawab. Khawatir dia khilaf lihat gadis lagi terkapar di atas ranjang.

"Belum, Bapak mau duluan?" tanyaku menawarkan.

Dia tersenyum tipis sambil membuka jas yang sejak tadi dia pakai untuk pernikahan kami. "Boleh. Tapi kamu gak akan ngintip, kan?"

Aku melotot sambil bergidik ngeri. "Dih! Ogah dah, gini-gini mata saya masih suci loh, Pak," sergahku kesal.

Heran, sembarangan banget nih Om-Om kalau ngomong, boro nafsu membayangkan tidur sama dia saja sudah membuatku merinding disko.

"Serius? Apa buktinya? Kamu sama Vio kan pacaran sudah lama, iya kan?"

"Iya, tapi Bapak tahu gak? Kenapa saya putus? Dia bilang saya ini nggak bisa memenuhi keinginan dia."

"Maksud kamu keinginan seperti apa?"

Cihuy! Mulai kepo dia.

"Ya, saya ini kata dia itu nggak asyik karena saya nggak mau dipeluk, nggak mau dicium dan nggak mau skin to skin apa pun bentuknya. Sebenarnya tiga tahun pertama dia baik loh Pak, solimin gitu lah."

"Soleh."

"Iya, soleh. Tapi lama kelamaan jadi aneh, tepatnya setelah kerja di bos Hana. Nah dari itu dia kayak suka nyosor-nyosor gitu kayak apa ya ... pokoknya gitulah gak jelas," jawabku merasa pusing sendiri.

Dia terkekeh melihat ekspresiku yang mungkin lebih terlihat belo**n dibanding orang yang sedang menjelaskan.

"Oke, oke saya paham kok maksud kamu. Tapi, yang saya aneh kenapa kamu menggunakan uangnya sampai empat puluh juta, sih? Gaya pacaran kalian gimana sampai boros begitu?" tanya Pak Ravi menyelidik.

Tuh, kan! Yang namanya Ravi Mahendra itu otaknya enggak jauh dari curiga. Aku menghela napas lelah mendengar pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Bukan apa-apa, ini udah kesekian kali keluar dari mulut para netizen dan handai taulan.

"Dengar ya, Pak. Begini, saya ini udah pacaran sama dia lima tahun, nah saya sih kira dia orang baik ya Pak. Enggak tahu kalau dia itu perhitungannya sampai detail, sampai dari struk nasi padang sampai beli beha eh, dia simpan. Buat apa coba? Terus nih ya Pak, dia tuh kayaknya sakit jiwa deh, soalnya ...."

Aku mendadak berhenti tak mau melanjutkan ucapanku karena hampir saja aku bilang kalau Vio itu suka main pukul hingga beberapa kali badanku sempat kena tonjok. Namun, untungnya mulutku masih punya rem untuk tak menjelaskan lebih detail. Bukan apa-apa, aku ini istri Pak Ravi yang merupakan anak dari istri Vio.

Entah kenapa tak enak saja menceritakan hal itu lebih jauh karena aku yakin meski Pak Ravi benci ibunya tetap saja ada terselip rasa kasih sayang walau sekarang belum terlihat karena aku yakin Pak Ravi lelaki yang baik.

"Soalnya apa? Kalau ngomong yang jelas dong," ucap Pak Ravi seraya menaikan alisnya. Saking penasarannya dia bahkan maju beberapa langkah mendekatiku yang sedang terduduk di atas ranjang.

Aku mendongak menatap ke arahnya hingga pandangan kami bertemu.

Ya Salam! Kenapa jodoh aku cakep banget ya Allah? Ini bisa jadi jodoh selamanya enggak, sih? Matanya itu ya Allah, udah kayak ngajak bikin anak. Tajam-tajam menggoda gitu ... belum lagi lengannya yang sekuat meriam, pantas mahasiswi bimbingannya pada klepek-klepek.

Sungguh pusing anak gadis jika disuguhi pemandangan yang begini terus. Bisa kalap.

"Sara! Saya lagi ngomong sama kamu. Soalnya apa? Kalau ngomong jangan setengah-setengah," tegurnya lagi semakin merunduk dan mendekatkan wajahnya yang tampan.

Duh! Jantung, apa kabar denganmu?

Aku menelan ludah. "Soalnya Pak Ravi bau, mandi sana gih!" elakku yang langsung mendapat lemparan kemeja yang dipakai Pak Ravi.

Wangi syurga. Lumayan.

(***)

"Pak Ravi! Udah belum mandinya?" Aku mengetuk pintu kamar mandi berulang kali tapi makhluk yang ada di dalam belum juga mau keluar.

Heran, ini orang mandi apa semedi? Kok, lama banget? Enggak tahu apa kalau aku lagi kebelet? Kalau tahu bakal lama kayak gini, mending aku duluan tadi.

"Pak ...!"

Cklek.

Akhirnya setelah satu jam menunggu, Pak Ravi keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan selembar handuk yang menutupi bagian bawahnya dan untuk bagian atas ter-ekspose dengan jelas.

Reflek aku menelan ludah dan kuyakin mukaku saat ini sudah memerah sempurna. Malu banget rasanya.

"Kenapa kamu liatin saya gitu?" tanyanya sangar karena aku hanya bisa bengong tanpa berkedip.

Siapa yang nggak bengong kalau suguhannya begini? Ternoda sudah mataku.

"Anu Pak gak apa-apa. Saya mau ke kamar mandi, saya sakit perut," jawabku pura-pura meringis.

"Oh sakit perut? Bilang dong, kalau gitu saya cepat-cepat tadi," ujarnya seraya melepaskan handuk bagian bawahnya secara tiba-tiba dan itu sontak membuatku berteriak.

"Aaaaaaaa! Jangan dibuka di sini!" larangku sambil menahan handuknya dengan tangan hingga kami berdiri sangat dekat.

Dia mengerjapkan mata, aku juga.

"Eh, kamu kenapa sih?" tanyanya kaget melihat sikapku.

"Jangan Pak, please! Mata dan jantung saya kasian. Mending Bapak di kamar mandi saja gantinya," bujukku lagi. Tanganku masih saja memegang handuknya, bahaya kalau terbuka.

"Kamu kenapa, sih? Aneh. Udah ah, awas!" sergahnya sembari menepis tanganku dan membuka si handuk dengan leluasa.

Tadinya aku mau berlari sambil menutup wajah karena membayangkan apa yang ada di baliknya tapi tidak jadi karena ternyata di balik handuk itu ternyata dia masih memakai boxer.

Huuh! Syukurlah. Sesuatu yang sedang kubayangkan tak terjadi.

Melihatku yang bengong, dia sontak tertawa geli.

"Dasar omes (otak mesum)! Makanya mikirnya jangan yang aneh-aneh, saya juga malas kali lihatin 'barang' berharga saya sama kamu," katanya kalem sambil ngeloyor melintasiku begitu saja.

Agh, si-al! Aku tertipu. Padahal udah husnudzon eh suudzon. Kali aja dapat durian runtuh.

Eh, astaghfirullah ... sekarang otakku-lah yang ternoda.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status