Disclaimer:Jika ada yang bertanya apakah aku senang tinggal di perumahan elit? Jawabannya adalah TIDAK.Kenapa? Karena baru seminggu aku tinggal di perumahan rasanya beratku turun beberapa ons.Penyebabnya tak lain dan tak bukan, karena aku kekurangan bahan asupan jajanan kesukaanku seperti bakso, cendol, siomay sampai kue putu. Tragis!Kukira tinggal di perumahan elit itu menyenangkan karena fasilitas lengkap tersedia tanpa memikirkan esok makan apa, tapi setelah aku jalani rasanya gaya hidup seperti ini tak cocok denganku.Jujur, aku belum terbiasa dengan kondisi sepi dan angkuh seperti ini.Di mana para tetangga bersifat individual tanpa mempedulikan satu sama lain. Pantas saja, jika ada kejadian pembunuhan mereka tak akan tahu karena bagiku masing-masing rumah memiliki barier tersendiri bagi pihak asing.Termasuk rumah Bu Hana dan Vio, sepemantauanku akibat pagar yang tinggi, aku jadi tidak tahu aktivitas mereka padahal aku harus tahu demi kelancaran misi. Sudah kuduga membalas d
Yakinlah sifat dasar manusia itu tidak mungkin langsung berubah dalam satu waktu dan sekarang aku menyesal karena terlalu berharap.Pak Ravi tetaplah dosen menyebalkan yang suka memerintah dan galak. Buktinya, meski semalam dia sudah membelaku di hadapan nenek sihir--Bu Hana, esok harinya dia kembali menjadi manusia paling enggak peka sedunia. Sudah kuduga, baginya aku tak lebih dari sebuah sandiwara.Aku saja yang bodoh membawanya baper sampai ke sumsum tulang. Padahal untuk Pak Ravi, mungkin aku tak lebih dari remahan ranginang di kaleng monde, rasanya ada tapi bukan fokus utama.Luka tapi tak berdarah.Arrh! Apa mungkin dia sebenarnya malu karena ulahku yang memakai barang kawe di pesta kemarin? Sehingga dia kesal kalau aku sudah mempergunakan uangnya untuk hal yang tak berguna.Tuk. Tuk."Sara! Sar! Kamu bisa jaga mereka lebih dekat? Karena mereka mulai berisik," perintah Pak Ravi disertai ketukan di meja berhasil menghancurkan lamunanku.Aku tersentak kaget menatap Pak Ravi yang
"Jangan dekati lelaki mana pun, tanpa seijin saya. Kalau nggak, mungkin saya tidak bisa menahan diri lagi!"Aaaa!Aku meremas rambut sendiri lalu membasuh muka berkali-kali.Nggak! Aku yakin Pak Ravi nggak cemburu! Dia mengatakan itu karena gak mau misinya gagal. Sadar, Ra! Sadar!JANGAN BERHARAP LEBIH!Kembali aku menahan napas, memejamkan mata sejenak lalu menghembuskannya lagi perlahan sampai dadaku tenang, aku mencoba mengembalikan rona wajahku yang memerah sambil menatap wastafel. Aku tidak mau siapa pun tahu kalau diri ini sedang kegeeran karena dosen jutek yang ngomong aja pakai muter-muter kayak kipas angin.Sumpah ya, kata-kata Pak Ravi itu emang menyebalkan. Sekalinya bertitah hatiku dibikin gegana (gelisah, galau dan merana) tiada dua. Mana buat nulis kata 'cemburu' aja dia mah pakai TTS, berasa banget aku nikah sama dosen kalau begini.Namun, kali ini aku tidak akan terpancing dan membodohi diri sendiri. Cukup! Aku tak mau lagi ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Asem."F
Semenjak menikah dengan Pak Ravi ada satu hal yang paling aku takutkan yaitu melihatnya marah. Entahlah, kukira itu hal yang wajar mengingat Pak Ravi itu tipe lelaki yang jarang ngomong tapi sekalinya ngomong membuat orang ingin bakar rumah.Nyelekit banget, sumpah. Pantas jika Bu Gea--mertuaku bilang, harus sabar jadi istri seorang Ravi Mahendra karena dari kecil dia memang sudah hidup penuh dengan kekerasan.Menjadi sebatang kara sebelum akhirnya ditemukan Pak Sasongko membuat Pak Ravi menjadi pribadi yang tak pandai mengekspresikan rasa. Saking dinginnya, dia sampai tak bisa berdekatan dengan perempuan, kecuali Bu Gea dan Wita. Tapi, untungnya semua itu tidak lantas menjadikannya seorang gay karena kalau sampai dia belok, alamat kiamat memang sudah sangat dekat."Eheum!" Aku berdehem. Memberi kode gugup pada Pak Ravi yang sejak tadi menatap tajam ke arahku.Sudah setengah jam kami duduk berhadapan di ruang tamu dan dia hanya memandangku lurus tak berkedip, seolah mau marah tapi ...
Sesuai anjuran mertua yang sudah tidak dapat diganggu gugat. Pada akhirnya dengan sangat terpaksa dua hari ini aku harus berakhir di vila keluarga yang berada dalam area istana bunga yang bernuansa hijau dan menenangkan. Sayangnya, keindahan alam ini harus terusik akibat kabar mantanku yang ternyata mengambil honeymoon di tempat yang sama.Alamak! Ini sih namanya sudah jatuh tertimpa tangga ditambah ketiban Hulk juga. Berat, benar-benar berat. Aneh, entah ini kebetulan atau salah satu dari ketiga orang itu telah merencanakannya. Namun, kurasa ini ide yang buruk karena baru saja kemarin merasakan kebebasan berjauhan dari Vio eh, hari ini aku malah bertemu dengan 'si pelit' di taman sekitar vila--tempat di mana aku sedang melakukan joging. Payahnya, aku sendirian lagi tanpa Pak Ravi karena dia memang selalu sibuk dengan dunianya.Aku memelankan ritme lariku saat jarak kami kian menipis. Dari ekor mata ini, kudapati bayangan sang mantan yang tengah melakukan peregangan sambil memamerk
POV RaviSara itu tipe cewek yang suka memendam segala sesuatu sendiri. Bisa termasuk langka, karena sikapnya yang ceroboh dan ceplas-ceplos kadang dapat mengundang tanya.Sempat aku berpikir dari pada aku jadikan dia istri lebih baik aku museumkan biar terawat keunikannya tapi jika begitu nanti bagaimana dia akan membantuku membalas dendam? Selama ini, kurasa kehadiran Sara cukup membantu dalam hal membuat ibu kandungku menderita.Maka dengan sedikit menyesal kuurungkan niat itu apalagi setelah melihatnya menangis dan dihina pagi ini.Kasian. Itu alasan pertama aku membantunya tapi sekarang ... entah. Kupikir otakku mendadak gila hanya dengan memikirkan Sara.Sepertinya aku harus segera mengakhiri ini sebelum terlambat karena semakin hari aku semakin tak bisa mengendalikan diri. Aku tidak mau dia yang seharusnya menjadi kekuatanku sebaliknya akan menjadi kelemahanku.Bukankah begitulah cara seorang lelaki bertahan? Itulah kenapa di beberapa negara, seorang pasukan khusus sangat menja
Benci. Benci. Benci.Tiga kata yang wajib aku lontarkan pada makhluk posesif yang mengekangku layaknya piaraan. Ke mana-mana aku merasa dibuntuti, dekat dikit sama orang udah dicurigai.Heran. Kenapa hidupku semengenaskan ini? Sebelumnya suamiku melarang aku dekat dengan Kevin, terus Kenzi, sekarang ...? Guruh dong. Padahal Guruh itu mahasiswa terbaik yang diidamkan, maka satu kelompok dengannya jadi anugrah karena aku bisa berpeluang besar dapat hibah.Heran aku tuh sama nasib, kenapa bisa terjebak dalam lingkaran seorang Ravi? Seingatku artis Dind* HW belum bisa masak mie instan dapatnya Rey Mb*yang, terus Nia R*madhani belum bisa buka salak eh dapatnya Ardhi Bakri. Pada keren semua itu mana perhatian lagi.Lah, aku? Bisa masak indomie komplit pakai telor,kornet dan sosis kenapa harus dapat Pak Ravi? Kenapa harus dia yang jadi suamiku?Udah jutek, dingin, nyebelin dan posesif lagi!Ya Allah! Aku boleh meminta jodoh ditukar aja nggak, sih?"Udah manyunnya?"Aku bisa melihat Pak Ravi
Mataku melotot melihat beberapa potongan rak dinding yang berserakan di lantai kamar Pak Ravi.Jadi, ini biang keroknya yang membuat tidurku terganggu?"Pak Ravi?!" panggilku kaget.Ini pertama kalinya aku masuk ke kamar suamiku selama pernikahan kami, karena sesuai kesepakatan satu sama lain tidak boleh melewati batas masing-masing. Namun, tak kusangka aku akan masuk dengan cara seperti ini.Kukira dia sakit eh, ternyata dia hanya gemar berbuat kegaduhan. Pantas saja kudengar ada barang jatuh sejak tadi."Sara? Kamu bangun?" tanyanya tanpa melihatku.Kutebak sepertinya dia punya mata ketiga di belakang kepalanya sehingga tanpa menatap pun dia tahu itu aku."Iya Pak. Tadi saya ....""Maaf, saya tidak bisa tidur dan ada yang harus saya lakukan," katanya memutus ucapanku. Posisinya masih sama berjongkok sambil membelakangiku."Oh, iya Pak."Aku mengangguk memahami karena bingung mau merespon apa lagi. Kali ini dia kumaafkan karena Pak Ravi baru patah hati oleh ibu sendiri.Eh, bentar. A