Share

Empat : Kenapa Harus Alin

Alin membanting pintu kamarnya dengan sangat keras. Ia tak peduli pintu itu akan hancur. Ia sangat ingin berteriak sekeras mungkin.

"KALIAN MINTA AKU MENGEMBALIKAN SEMUANYA BUKAN? BAIKLAH! AKAN KU TURUTI. TAPI SETELAH INI, JANGAN HARAP AKU AKAN LUNAK!!!"

Alin berteriak keras seperti orang kesetanan. Ia hanya ingin melepaskan sesak di hatinya. Semua kekecewaan yang selama ini ia rasakan dan berakhir dengan puncak yang sudah meledak.

Ia tahu bagaimana akhir dari masa depannya. Karena besok adalah hari penentuan. Sedangkan uang itu belum ia dapatkan. Ia sudah meminjam ke sana ke mari. Menemui satu per satu teman-temannya dulu. Namun sikap mereka seperti tak mengenalnya. Adapun yang sudah berhasil, namun mendadak menjadi manusia paling miskin di dunia.

Apalagi saat ia mendengar kalimat dari mamamya tadi. Ia semakin tak ada semangat lagi untuk mendapatkan uang sebanyak itu.

Pasrah? Memang itu yang akan ia lakukan. Menanti hari esok dengan perasaan campur aduk.

Ia sudah tak peduli lagi dengan masa depannya. Ia tak peduli lagi dengan impiannya menikah dengan pria yang ia cintai, punya anak dan hidup bahagia. Ia sudah tak peduli.

Alin meraih ponselnya. Ia melihat banyak pesan dan panggilan dari Zaki. Alin mencoba menghapus pesan tersebut, tanpa membacanya terlebih dahulu. Bahkan tak ada niatan dari Alin untuk kembali menghubungi Zaki.

Ia menghela nafas panjang. Ia mencoba untuk tak melibatkan Zaki saat ini. Sudah cukup banyak Zaki membantunya. Jadi ia tak mau melibatkan sahabatnya itu lagi.

Esok paginya, Alin terbangun dengan mata yang sembab. Semalam Ia menangis sejadi-jadinya sampai ia tertidur karena lelahnya.

Alin meraih ponselnya yang ada di samping bantalnya dan melihat layar ponsel tersebut. Dan sama seperti semalam, ada banyak panggilan telpon dan pesan dari Zaki. Dan yang ia lakukan adalah menghapus kembali tanpa ia baca.

Ia menghela nafas kasar. Ia tak mau lagi melibatkan Zaki. Alin memutuskan untuk mematikan ponselnya. Menyimpan ponsel tersebut ke dalam koper kecilnya yang semalam sudah ia siapkan. Berharap dengan ini, tak ada yang mencarinya pagi, termasuk Zaki.

Setelah menyimpan ponselnya tersebut, ia pun melanjutkan dengan memilih beberapa pakaian miliknya dan memasukkan pakaian tersebut ke dalam koper kecil miliknya. Ia hanya membawa tujuh pasang baju dan menyingkirkan sisanya.

Sisa dari pakaiannya ia bungkus ke dalam kantong kresek besar dan untuk ia buang. Sungguh, ini jahat memang. Namun ia tahu akan masa depannya seperti apa. Jadi ia tak butuh semua itu lagi. Hak nya di rumah ini pun sudah lenyap. Jadi tak perlu semua barang-barangnya ada di sini lagi.

Alin akan menghilangkan jejak dan hidup dalam penjara seorang pria kaya raya bernama Tian.

Setelah dirasa semua miliknya tak ada lagi yang diluar, ia pun membawa satu persatu turun ke bawah dan langsung ia kumpulkan di depan rumahnya.

Saat ia turun, langkahnya terhenti saat ia melihat mamanya sedang berada di ruang tamu duduk sendirian. Alin mencoba untuk tak peduli lagi. Biarkan ini menjadi pengorbanan terakhirnya sebagai anak. Setelah ini ia sudah tak peduli lagi.

Ia melewati begitu saja mamanya yang sedang menatapnya.

"Mau kamu bawa ke mana itu Alin?" tanya wanita itu pada anaknya.

"Buang." jawab Alin singkat.

Wanita itu terkejut. Ia langsung berdiri dan mendekati Alin. Ia menahan plastik besar yang berisi banyak pakaian Alin.

"Buang gimana? Kenapa di buang?"

"Haaahh! Alin nggak butuh ini lagi."

"Itu kan baju kamu?"

"Karena baju Alin makanya Alin buang."

"Kenapa di buang. Letakkan saja di kamar."

"Itu bukan kamar Alin lagi. Tepatnya setelah Alin putuskan untuk jadikan diri Alin tebusan." wanita itu tersentak mendengar kalimat dari sang anak.

"Itu masih kamar Alin."

Alin tak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu kembali membawa pakaiannya ke tempat pembakaran sampah di rumahnya. Alin melempar pakaian tersebut ke dalam tempat pembakaran lalu membakar bungkusan berisi banyak pakaiannya sampai habis. Ia lalu kembali untuk mengambil yang lain dan melakukan hal yang sama.

Walaupun mamanya mencoba untuk menghalangi, namun Alin tetap tak mempedulikan itu. Baginya, ia sudah tak ada hak dan keperluan di rumah ini lagi. Begitu juga dengan barang-barangnya. Karena itu, saat ia keluar dari rumah ini nanti, ia juga ingin semua barang-barangnya ikut menghilang dari rumah tersebut.

Alin menatap penuh luka tempat pembakaran yang saat ini sedang menghanguskan semua barang-barangnya. Tak terasa air matanya menetes. Dengan cepat Alin menghapusnya. Ia tak mau terlihat cengeng lagi. Ia akan menjadi Alin yang kuat.

"Kau harus kuat Alin." ucap Alin menguatkan dirinya sendiri. Ia bahkan sampai menghela nafas panjang berkali-kali agar sesak di dadanya bisa hilang. Setidaknya sedikit berkurang.

Alin berdiri seperti patung di depan tempat pembakaran sampah tersebut. Ia melihat dengan jelas satu persatu barang-barangnya hangus dibakar api. Semakin banyak api yang menghanguskan semua barang-barangnya, semakin bertambah rasa sakit di hatinya. Ia tak yakin rasa sakit hati itu akan terobati dengan cepat.

Alin menengadahkan kepalanya ke atas. Ia menatap langit luas dengan tatapan lirihnya. Inilah puncak dari kekecewaan yang ia rasakan selama ia Hidup. Dan apakah ia harus membenci Tuhan? apa seburuk ini takdir yang Tuhan goreskan untuknya? Kenapa tak pernah ia rasakan kebahagian di rumah ini. Kenapa ia tak bisa leluasa mendapatkan peluk hangat dari orang tuanya.

Ia juga ingin merasa diperhatikan. Ditanya kapan pulang saat bekerja dan didukung oleh kedua orang tuanya. Tapi apa boleh buat, itu akan hanya jadi hayalannya. Bahkan sampai sekarang.

Setelah kekecewaan ini, ia berjanji tak akan lagi peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Tak akan peduli lagi dengan semuanya. Ia hanya akan menyayangi dirinya sendiri dan akan selalu berterima kasih karena sudah berjuang sampai saat ini.

Setelah semua barangnya menjadi abu, ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam. Namun saat ia hendak melangkahkan kakinya ke dalam rumah, ia dihentikan dengan kedatangan beberapa orang yang ia sudah tahu mereka siapa.

Alin tak menghiraukan. Ia masuk ke dalam dan memberitahu orang tuanya jika beberapa pria brengsek itu sudah datang. Ia Bahkan tak mempedulikan apa yang orang tuanya bicarakan setelah itu. ia sungguh benar-benar sudah tak peduli lagi dengan semuanya.

Alin berjalan masuk ke kamarnya dan mengambil koper kecil berisi pakaian

Yang akan ia bawa dan turun ke bawah. Sebelum turun, Alin memperhatikan kamarnya sekali lagi.

"Jangan menangis Alin. Jangan menangis." ucapnya.

Ia lalu menutup pintu kamar dan turun ke bawah.

Saat pintu tertutup, ia bisa mendengar suara Tian yang menanyakan tentang uang dua mikyar tersebut.

Alin segera turun ke bawah sambil membawa kopernya.

"Kau tak perlu menanyakan uang tersebut. Aku pilih opsi ke dua.!"

*****

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Heru Andok
kenapa mau membuka n harus mengunakan koin. dan tidak ada waktu yg tidak mengunakan koin
goodnovel comment avatar
Topan Setiawan
mantap men
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status