Share

Tiga : Bingung

Langit sudah semakin gelap. Namun berbeda dari malam-malam sebelumnya, malam ini bintang tak menampakan dirinya satupun. Bulan pun enggan untuk menyapa. Yang terlihat hanyalah awan hitam yang berkelompok-kelompok. Seolah sebentar lagi akan turun hujan lebat.

Walaupun malam sudah cukup larut, Alin masih enggan untuk tertidur. Ia masih kesulitan memejamkan matanya. Dalam benaknya sangat dipenuhi dengan masalah yang sama, yaitu hutang kedua orang tuanya dan masa depannya.

Dari rentang waktu yang Tian berikan, hanya tersisa satu hari lagi untuknya berjuang, sedangkan uang dua milyar itu belum ia dapatkan sama sekali.

Di mana ia bisa dapat uang sebanyak itu. Ia bahkan sudah mencoba meminjam uang pada Ruli, namun masih tak cukup. Zaki pun baru mengumpulkan sebanyak lima ratus juta.

Setiap hari, ia selalu dicerca dengan pertanyaan yang sama dari orang tuanya, yaitu 'apa uangnya sudah ada?'. Sungguh, ia nyaris gila. Orang tuanya yang berhutang, tapi justru dirinyalah yang disengsarakan.

Ia tak percaya dengan takdir yang ada padanya saat ini. Seperti ditertawakan oleh waktu. Ia tak diberi kebahagiaan sama sekali dari orang tuanya. Dari kecil ia dibanding-bandingkan dengan kakaknya, bahkan sampai ia besar seperti sekarang ini, bukannya kebahagiaan yang ia dapatkan, melainkan kabar buruk tentang masa depannya.

Kenapa harus dia? Kenapa harus dia yang menanggung semuanya.

Alin mengusap wajahnya kasar. Ia melirik jam kecil yang ada di meja nakas samping tempat tidurnya.

Tengah malam lewat dua puluh lima menit.

Hebat bukan? Alin bukan tipe makhluk Tuhan yang suka bergadang. Namun entah kenapa hampir satu minggu ini, ia selalu susah tidur.

Alin menyibakkan selimut yang ia kenakan lalu duduk di tepian tempat tidurnya. Ia menghela nafas panjang.

Alin berdiri dari sana dan berjalan menuju jendela kamarnya yang posisinya berada di lantai dua. Ia membuka pintu jendela tersebut yang langsung membawanya menuju balkon. Dari atas balkon, Alin bisa melihat halaman rumahnya yang cukup luas dan jalanan yang sudah tak terlalu ramai lagi. Hanya ada satu satu kendaraan yang berlalu lalang. Itu pun kebanyakan kendaraan roda empat.

Alin mengusap lengannya yang terasa semakin dingin.

"Bahkan bintang pun enggan menemanimu malam ini Alin." ucapnya menertawai dirinya sendiri.

Ingin rasanya ia kabur dari rumah ini dan pergi kemanapun ia suka. Tapi nasib orangtuanya bagaimana jika ia melakukan hal tersebut.

Semoga esok akan ada jawabannya.

*****

"Kau sudah kembali menghubungi mereka?" Tian membolak-balik sebuah buku tebal yang ia baca. Di telinganya terpasang earphone bluetooth yang ia gunakan untuk menghubungi seseorang di seberang sana.

"..."

"Lalu?"

"..."

"Baiklah. Kau terus desak mereka. Tak ada tenggang waktu lagi. Jika mereka tak sanggup membayar, mereka harus menerima konsekuensi yang tertulis."

"..."

"Baiklah. Aku tak perlu menyibukkan diriku untuk hal ini bukan? Kuserahkan semuanya padamu dan nanti malam, kita datang lagi ke rumah dua manusia bodoh itu. Jangan lupakan perjanjiannya."

Tian melepas earphone tersebut dan meletakkannya di atas meja.

Ia kembali membaca buku yang sedari tadi ia buka di hadapannya sampai suara ketukan menghentikannya kembali.

"Masuk!" perintah Tian dari dalam.

Tak lama setelahnya pintu ruang kerja itupun terbuka dan yang masuk lebih dulu adalah anak buahnya.

"Ada apa?" tanya Tian. Pria itu melipat bukunya dan meletakkan di atas meja begitu saja.

"Ada yang ingin bertemu dengan anda, bos." jawabnya.

"Suruh masuk."

Pria itu pun mengangguk lalu kembali ke luar. Tak berapa lama, seorang pria masuk ke dalam ruangan Tian. Tian tak mengenal pria tersebut sama sekali.

"Kau siapa?" tanya Tian masih tenang.

"Saya Zaki. Saya ke sini bukan untuk berbasa-basi. Saya hanya ingin mengatakan sebaiknya kau rubah perjanjian sialan mu itu untuk Alin. Gadis itu tak bersalah."

Tian mengangkat sebelah alisnya sembari menatap pada Zaki.

"Apa kau kekasih dari gadis itu?"

"Saya tak perlu memberitahukan pada anda siapa saya bagi Alin. Yang jelas, hutang itu tak ada hubungannya dengan Alin."

"Itu bukan urusanmu."

"Akan jadi urusan saya jika itu menyangkut dengan Alin.!"

Tian menatap tajam Zaki. Begitu pun pria tersebut.

Tian berdiri lalu bertepuk tangan, Sungguh ini dunia lucu. Drama apalagi ini? Setelah drama orang tua yang menjadikan anaknya penjamin, kini drama seorang kekasih yang tak ingin gadisnya dirampas?.

"Kau tenang saja. Kekasihmu tak akan kuterkam." ucap Tian dengan smirk andalannya, yang tentu saja akan membuat lawannya tersulut emosi.

"Brengsek kau!" teriak Zaki. Ia ingin memukul Tian, namun anak buah Tian langsung menghantam kaki Zaki membuat pria itu seketika tersungkur.

Tian berjongkok lalu menarik rambut Zaki ke belakang, "Kau tak akan bisa menghalangiku, kecuali kau membayar semua hutang orangtua dari kekasihmu itu padaku." Dengan cukup kasar, Tian melepaskan genggamannya dari rambut Tian.

Pria yang tadi menghantam kaki Zaki langsung menarik Zaki keluar dari ruangan Tian. Walaupun Zaki memberontak, namun usahanya sia-sia saja sampai ia dilempar keluar dari rumah Tian.

"Jangan pernah ke sini lagi!" bentak pria yang melempar Zaki tadi.

Zaki meringis karena hantaman di bagian kakinya tadi. Walaupun terasa sakit, ia mencoba untuk berdiri dan berjalan menuju mobilnya.

Sementara di dalam, Tian mengumpat kasar karena ada yang ikut campur dengan urusannya.

"Kau selidiki pria tadi. Apa hubungannya dengan Alin. Aku tak ingin ketenanganku nanti diusik." ucap Tian pada anak buahnya.

Ia meremas ponselnya dengan kuat.

*****

"Kenapa harus Alin?" suasana ruang keluarga di rumah Alin mendadak sunyi kembali. Setelah sebelumnya tadi ada sedikit tawa di sana dari mamanya Alin karena baru saja menghubungi anak perempuan pertamanya yang sedang belajar di luar negeri.

"Kenapa harus Alin ma, pa? Kenapa bukan kak Diana?"

Papanya Alin berdehem. Ia melirik istrinya sejenak lalu kembali menatap Alin.

"Alin, mama bukannya nggak mau melibatkan kak Diana. Tapi kamu tahu kan kak Diana sekarang sedang kuliah, dan satu tahun lagi akan wisuda."

Alin mencelos. Dadanya terasa perih mendengar jawaban mamanya. Apa seburuk itu dirinya? Sampai sampai mamanya sendiri lebih memilih menjualnya dari pada kakaknya. Apa kehadirannya sungguh tak berharga?.

"Lalu bagaimana dengan masa depan Alin? Apa kalian tak memikirkannya?"

Sepasang suami istri itu saling tatap. Mamanya Alin langsung berdiri mendekati sang anak, namun Alin justru mundur beberapa langkah.

"Apa setidak berharga itu Alin di mata mama sama papa. Apa seburuk itu Alin bagi kalian? Apa yang sudah Alin perbuat sampai-sampai kalian tega perlakukan ini pada Alin." Alin merasakan cairan hangat itu mengalir dari matanya membasahi pipinya.

"Alin, dengarkan mama dulu. Mama sama papa--"

"Sejak kecil Alin selalu dibanding-bandingkan dengan kakak. Kakak yang selalu sempurna di mata kalian. Dan Alin yang paling buruk. Jika memang sepeti itu, kenapa bukan kak Diana yang kalian jual? Kenapa harus Alin? Biarkan berharga kalian itu yang menyelamatkan kalian. Jangan jual Alin! Jangan jadikan Alin pelacur!!"

PLAAK!

Alin menyentuh pipinya yang memanas karena baru saja ditampar oleh mamanya sendiri.

"Kamu jangan lancang mengatai kami seperti itu Alin. Dari kecil kamu kamu didik dan jaga, apa seperti ini balasanmu pada kami? Apa kamu bisa mengganti semua yang sudah kami berikan? Jadi jangan pernah mengatai kami seperti itu."

Alin tertawa sinis. Ia menatap mamanya, "Jadi kalian minta Alin balas semua yang sudah kalian beri? Haaaa, atau karena itu kalian jadikan Alin tumbal dari semua hutang kalian?" Alin bertepuk tangan takjub, "Baiklah. Jika itu yang kalian mau."

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status