Share

Musibah tak terduga

***

"Ma, ada telpon dari lek karyo!" Teriak Tika dari bawah. 

Aku yang ketika itu sedang memeriksa surat surat kepemilikan rumah dan berkas penting lainnya. Aku takut Mas Yadi juga melarikan surat itu, tapi syukurlah, dia tak mengutak atik semua dokumen itu. Segera aku berlari ke bawah menerima telpon tersebut. Perasaan tidak enak menggelayuti pikiranku. Tumben Lek Karyo tiba-tiba menelpon dan ibu yang belum juga sampai padahal dari kemarin beliau bersiap hendak datang.

["Ada apa lek?"] ujarku deg-degan, semoga tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan, harapku.

[Yang sabar ya, Tantri. Tadi pagi ketika ibumu berkemas hendak ke tempatmu, beliau terjatuh di kamar mandi...beliau kritis, Tan. Maaf Lelek baru bilang sekarang, karena pikir Lelek ibumu akan baik segera."]

Aku terduduk lemas, dunia rasa runtuh seketika. Hanya jeritan histeris yang keluar dari mulut ku. "Cobaan apa lagi ini ya Allah, kenapa engkau menghukum ku begini,"

 Tika yang melihat hal itu segera berlari menghampiriku.

"Mama, Kenapa ma. Eyang kenapa?" Tika memapahku duduk di sofa ruang tamu.  

"Eyang, kritis nak! Mama harus segera ke sana sekarang," ucapku menyusut airmata yang setia menemaniku beberapa hari ini. Entah kenapa dia tidak mau kering, padahal sudah berulang kali mengalir dari mata ini.

"Mama pergi sama siapa? Biar Tika yang temani, ya."

Aku hanya mengangguk, badanku lemah terasa tak bertulang tak sanggup lagi untuk berdiri. Siapa lagi harapanku, siapa lagi penyemangat hidupku, selain mama.

Segera Tika memapahku ke atas untuk bersiap.

"Mama yakin akan sanggup pergi?" tanya Tika melihatku seperti orang yang punya tenaga.

"Iya, Nak. Mama harus tahu keadaan Eyang. Mudah-mudahan dengan sampainya kita di sana, Eyang segera pulih."

***

Setelah memakan waktu beberapa jam lamanya, aku sampai juga di kampung halaman. Nampak rumah sudah ramai dengan pelayat, satu jam sebelum sampai, ibuku menghembuskan nafas terakirnya.

Aku langsung menerobos masuk dan memeluk jasad ibuku yang terbujur kaku. Tangis histeris keluar dari mulutku.

"Mengapa ibu juga ikut meninggalkan Tantri buk, kenapa? Tantri sama siapa lagi mengadu, Tantri tak punya siapa-siapa lagi," Jerit tangisku pilu. "Bawa Tantri bersama ibu, Bawa!" Pekikku. Lek Karyo segera menghampiriku.

"Istiqfar, Nak! Istiqfar," ucap Lek Karyo menyadarkanku.

"Tak ada lagi guna Tantri hidup, Lek. Semua sudah lenyap!" pekikku lagi. "Biar Tantri ikut ibu berkalang tanah bersama-sama dan semua beban ini akan selesai."

 Para pelayat pun ikutan sedih mendengar ratapan demi ratapan yang kuucapkan mewakili perasaanku. Kemudian aku jatuh pingsan dan tak ingat apa-apa lagi. Hingga saat pemakaman selesai aku belum juga sadar. Lek karyo adik ibu tidak tega menyadarkanku dari pingsan, takut aku bertambah histeris dan melakukan perbuatan yang tidak-tidak.

Aku tersadar sesaat setelah pengajian tiga hari tiga malam meninggal Ibu selesai dilaksanakan warga kampung. Rumah sudah mulai sepi, hanya ada beberapa tetangga dekat yang masih betah menungguiku.

Tatapanku kosong, jiwaku hampa, serasa semua pergi bersama jasad ibu. "Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, kenapa tak lebih baik aku ikut ibu saja," ratapku dalam hati.

"Makan dulu, Tan. Kamu belum makan dari tadi. Memang tak mudah, Nak. Tapi Lelek yakin kamu mampu menghadapinya karena kamu kuat dan tangguh seperti almarhum ibumu. Kamu ingat bagaimana ibumu bisa sembuh dari kanker rahimnya? Karena dia kuat dan tak patah semangat," Lek karyo terus berusaha menghiburku. Sepiring bubur berada di tangannya, siap untuk disuapkan ke mulutku.

"Lelek masih ada disini nak, sebagai pengganti ibumu. Kamu harus kuat nduk, harus demi anak anakmu, mereka masih kecil kecil, Tan."

Aku menggeleng menerima suapan beliau. Aku tak menggubris ucapan yang keluar dari mulut Lek Karyo yang duduk di hadapanku.

Kesadaran masih bersamaku, kutatap Lelaki baik berwajah teduh itu. "Tantri harus pulang besok lek, Tantri harus menyelesaikan urusan utang piutang Mas Yadi dengan bank, Tantri masuk dulu." 

Aku segera beranjak pergi dari hadapan lek karyo. Lek Karyo menatapku iba, beliau membiarkanku berlalu, mungkin beliau ingin aku tenang dulu. Aku tak ingin menjadi orang yang dikasihani. Beruntung fikiran buruk tidak menghampiriku ditengah masalah dan cobaan yang menimpanku ini, di tambah imanku yang lemah yang mudah dibelokkan syetan. Anak-anaklah yang menjadi alasanku untuk tidak meneguk pembunuh serangga atau menyayat nadiku atau gantung diri sekalian biar masalahku lenyap seketika.

Aku hanya tidak ingin berfikir, saat ini aku hanya ingin memotivasi diri untuk tidak jatuh. Mungkin dengan menangis di atas sajadah bisa mengurangi bebanku, menghadap Allah yang masih sayang padaku walau pun aku jarang mengingatNYA. Sholat yang kadang kukerjakan karena sibuk dengan bisnisku. Hanya dalam urusan berderma aku patut diacungi jempol. Aku merupakan salah satu penggalang dana pendiri pesantren Darul quran dan mesjid megah disekitar tempat tinggalku.

***

Masa berkabung bagiku sudah tidak ada lagi. Bagaimanapun hidup akan terus berlanjut, toh suatu hari akupun akan menyusul ibu, tinggal menunggu saatnya saja. Aku harus menata diri mengingat anak anak yang selalu memandang iba padaku. Aku menitipkan semua peninggalan ibu pada Lek Karyo. Mungkin suatu saat aku butuh, baru aku akan ambil hakku sebagai ahli waris satu-satunya.

 Sehari setelah pulang dari kampung, aku harus berkemas untuk segera pindah dari rumah ini, karena rumah ini sudah disita Bank. Rumah mewah bertingkat dua, hasil jerih payahku yang bertahap demi bertahap kubangun hingga menjadi rumah megah seperti sekarang ini. Akan tetapi dengan sangat terpaksa harus kulepaskan demi membayar hutang yang jumlahnya tak bisa dikalkulasikan lagi. Semua aset juga sudah terjual hanya menyisakan satu motor matic dan satu buah ruko yang akan menjadi tempat tinggalku dan anak anak. Itupun semua hutang belum juga habis, entah bagaimana hutang itu segera lunas, aku tak sanggup berpikir lagi.

"Kita mau pindah kemana, ma?" tanya Bimo heran. 

"Untuk sementara kita harus tinggal di ruko di dekat pasar pagi itu, nak. Hanya itu saja yang kita punya,"

"Itu kan rukonya kecil, ma? Mana muat untuk barang barang kita yang banyak ini," Sahut Tika malas. 

"Kita membawa barang yang penting saja, Tika. kalau barang barang mewah ini sudah disita Bank juga, nanti kalau ada duit kita beli lagi ya," ujarku menenangkan anak anak yang sudah biasa hidup senang dengan fasilitas mencukupi, tapi sekarang mereka harus hidup apa adanya. Tapi aku tidak akan tinggal diam, aku akan berusaha mencukupi kehidupan mereka. Aku ahli dalam memasak, aku akan berjualan di ruko.

Begitulah aku dan anak anak segera pindah, menggunakan mobil pick up salah satu restro miliknya yang biasa digunakan untuk membawa pesanan besar pelanggan. 

Comments (5)
goodnovel comment avatar
D'naya
Semangat Tantri
goodnovel comment avatar
Goresan Pena93
seru banget ceritanya
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
Kasihannya...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status