Share

Hutang

Part 2

***

[ "kutunggu kamu di cafe biasa ya Tan,"]

Sebuah pesan W* dari lina

membuyarkan lamunanku. Walau dengan rasa malas yang mendera, terpaksa aku bangkit juga. Kasihan Lina harus menunggu, padahal dia sudah bersusah payah untukku.

Sudah dua hari ini aku tidak beraktifitas, seluruh  kegiatan kuserahkan pada asistenku-- Tama. Aku masih syock dengan kejadian ini dan sedang mencoba berdamai dengan keadaan yang ku hadapi ini, sulit memang. Terbayang anak anak kedepannya bagaimana tanpa ayah mereka. Bukan soal materi,bukan karena keuanganku lebih dari Mas Yadi, akan tetapi kasih sayang ayah pada mereka yang terenggut tiba-tiba. Akankah anak-anak sanggup menghadapinya karena yang mereka tahu selama ini ayahnya adalah pahlawan serta superhero mereka. Semua ketakutan itu datang bagai sebuah bayang bayang hitam ingin menangkup diri. Aku tidak lemah hanya aku ingin membimbing hati untuk kuat. 

Seolah tahu dengan apa rasakan dan hadapi handphone ku berdering. panggilan dari ibuku, satu satunya penyemangatku setelah ayah berpulang. Aku yang akan melangkah ke kamar mandi mengurungkan niatku dan mengangkat panggilan dari wanita terkasihku itu.

[Assalamu'alaikum buk,"]

kucoba menahan butiran bening yang sedang berlomba siap untuk menerobos mataku keluar.

[ w*'alaikumussalam. Tantri anak ibu kenapa? Suaranya kok serak? Kamu sakit, Nak?"] Ibu menunggu jaw*banku.

["Tan... Kamu baik-baik saja, Kan? Ibu sudah beberapa hari ini teringat kamu terus,"]

["Nggak papa kok, buk,"]

Air mata itu jatuh juga. ["mas Yadi pergi, buk. Dia meninggalkanku dan anak-anak tanpa kabar,"]

["Ya Allah, nak. Ibu akan segera ke sana! Kamu yang tegar, kamu anak ibu yang kuat. Sabar ya, Nduk. Kamu jangan lemah, ingat anak-anak butuh kamu. Tetap makan dan minum agar kamu tetap kuat."] Terdengar ibu tergesa-gesa berkemas, tetapi nasehatnya tetap menyerocos keluar dari mulutnya. Beliau memang selalu begitu, tak pernah membiarkanku bersedih, sakit dan terluka. Beliau akan selalu terdepan membelaku sejak dulu bahkan sampai sekarang, walaupun putrinya telah memberinya cucu, dia tetap memperlakukanku seperti gadis kecilnya. Bila mendengar aku sakit sedikit saja, beliau akan datang tanpa meminta persetujuanku, merawat dan menjagaku sampai sembuh. Ah, ibuku, wanita terkasihku.

Aku hanya mengangguk lemah mendengarkan nasehat yang selalu berulang kali disampaikannya. Segera kuakhiri telpon agar ibu tidak leluasa bersiap. Langkahku yang semula ke kamar mandi berbelok ke arah lemari. Aku membuka lemari baju Mas Yadi. Utuh tak ada yang berubah, semua pakaiannya yang kuhapal ditinggalkannya. 

"Ma, ada Tante Lina di bawah." Alya mengagetkan ku. 'Aduh Lin, maaf'. Mungkin dia terlalu lama menunggu hingga menyamperiku langsung ke rumah. Lina memang sahabat terbaikku dari dahulu, jaman sekolah menengah Umum sampai kuliah.

"Ya nak, suruh Tante Lina menunggu sebentar, Mama mau mandi dulu." Aku bergegas menutup lemari penuh kenangan itu, lemari yang senantiasa kubuka untuk mengambil baju Mas Yadi bila dia akan berangkat bekerja. Baju yang selalu rapi dan sudah kuhapal dimana letaknya karena dia tak pernah menjamah tempat itu. Semua pakaiannya aku yang memilihkan dan selalu tersedia di atas kasur bila dia selesai mandi.

Tak lama aku menemui Lina sahabatku. Lina segera memelukku sesampainya aku diruang tamu, aku menangis dipelukannya meluapkan rasa yang menyesakkan tenggorokan.

"Menangis lah kalau itu membuatmu lega, Tan," ucap Lina diplomatis. Dia menepuk punggungku mengalirkan kekuatan dari sana.

Cukup lama aku menenangkan diri dalam dekapan Lina. Aku berusaha menguatkan diri di depan Lina, walau airmataku tak mau diajak kompromi. 

"Maaf tidak datang menemuimu di kafe, Lin." Aku mengusap airmata yang masih setia meleleh. "Maaf karena masalahku juga kamu ikut pusing."

Lina menggeleng. "Tan, lihatlah dirimu, pucat, lemah dengan kantung mata besar. Dimana Tantri sahabatku yang kuat yang aku kenal dulu," ucap Lina prihatin.

"Aku tidak menyangka seburuk ini keadaanmu, kalau tahu begini usah ku selidiki keberadaan Yadi." Lina memasang wajah cemberut.

Androidku tiba-tiba berdering kali ini telpon dari Tama--asistenku. 

["kenapa, Tam?"]

["Beberapa Bank mendatangi restro kita dikawasan kemang mencari ibuk,"]

["Ada apa ya?"]

tanyaku heran, karena aku tak pernah berurusan dengan Bank terkait semua bisnis yang kujalani. Semua bersih dari modalku sendiri tak ada sangkut pautnya dengan Bank.

["Entah buk, saya kurang tahu." ] 

["Aku segera ke sana, Tam. Suruh mereka menunggu sebentar,"]

"Kenapa Tan?" tanya Lina menyelidik mungkin melihat air mukaku yang berubah.

"Ada pihak bank mendatangi restro di kemang, Lin. Entah masalah apa. Aku harus ke sana sekarang." 

"Ayok aku temani." Lina berdiri mengikutiku.

Aku dan Lina segera ke kawasan kemang dengan mengendarai mobil Lina. Kami sampai lima belas menit kemudian. 

Aku mempersilahkan pihak bank masuk ke ruangan rapat yang memang disediakan di restro ini. Mereka menjelaskan secara detail pinjaman dua ratus juta yang hampir jatuh tempo dengan agunan rumah yang aku tempati sekarang juga atas namaku. Semua dilakukan oleh Mas Yadi. Dia menumpuk hutang atas namaku.

Aku terbelalak kaget, tak pernah sekalipun aku tahu mengenai pinjaman ini. Untuk apa dan bagaimana dia melakukan semua itu? Bagaimana pula tanda tangan di sana adalah tanda tanganku, kenapa bisa terjadi padahal setahuku aku tak pernah memberi tanda tangan kalau bukan untuk restro? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku.

Mereka memberiku tenggang waktu tiga hari untuk melunasi semua utang tersebut. Itu baru satu bank bagaimana dengan bank lainnya? Aku rasa bukan satu Bank saja, karena beberapa nomor telpon kantor lagi yang menghubungi Restro. Ah, Kepalaku rasa pecah memikirkan semua ini. 

"Sabar Tan. Kita coba cari jalan keluar," ujar Lina sambil memeluk pundakku berusaha menguatkan. 

"Gimana kalau kita cari dulu keberadaan Yadi, masih ada waktu untuk menemukan nya dan menyeret dia ke sini untuk membayar hutangnya." Saran Lina. "Pertama kita datangi pihak developer dulu, barangkali ada petunjuk di sana."

"Aku nggak yakin Lin, tapi ya sudah kita coba dulu, semoga berhasil." Aku tertunduk lesu, semangatku langsung padam. Terbayang apa yang akan terjadi ke depan. Rumah, Restro dan semua bisnis yang kumulai dari nol akan lenyap begitu saja. Mudah-mudahan aku tidak gila menghadapi semua ini.

Dalam Jangka waktu yang tersisa, aku dan Lina berusaha mencari keberadaan Mas Yadi. Tapi nihil malah masalahku bertambah karena Mas Yadi melarikan uang muka calon pembeli rumah dan mereka akan menuntut ku bila tidak mengembalikan uang itu karena aku masih istri sahnya, jadi akulah yang menanggung semuanya. 

Mas Yadi seolah hilang ditelan bumi bersama wanita selingkuhannya itu. Aku akan melapor pada polisi dengan laporan kasus penipuan, tapi Lina bilang tak usah dan biar suaminya yang akan mencari keberadaan Mas Yadi.

"Biar suamiku saja yang mencari keberadaan Yadi, Tan. Kita usahakan dulu dengan cara kekeluargaan. Tapi kalau masih tidak bisa, baru kita tempuh jalur hukum."

"Tidak usah, Lin. Aku hanya akan merepotkanmu dan suamimu," ucapku khawatir.

"Enggak, Lin. Kita sudah seperti keluarga, kamu tak usah sungkan padaku."

TBC...

Comments (4)
goodnovel comment avatar
D'naya
Terimakasih untuk orang baik
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
untung ada penolong
goodnovel comment avatar
D Lista
semangat ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status