Share

05 || Murid baru?

Welcome 🌷

*****

"Valencia!"

Aku terperanjat ketika wajah Agatha tiba-tiba muncul tepat di hadapanku dan berjarak sangat dekat. Belum lagi Agatha juga memukul meja keras mengakibatkan tulisanku keluar dari garis buku. Aku menghela napas pelan sedangkan Agatha menggaruk belakang kepalanya.

"Kaget, ya? Maaf hehe ....," Agatha meringis sampai memperlihatkan deretan giginya yang putih. Aku menggelengkan kepala, agak takjub juga dengan tingkah gadis yang satu ini. Di satu sisi Agatha bisa terlihat begitu menyeramkan karena wajahnya yang datar, di sisi lain rupanya Agatha juga bisa bertingkah konyol.

"Udah istirahat kaga mau ke kantin? Hari Jumat lo kaga puasa kan?" tanya Agatha. Aku mengangguk.

"Ya udah ayo!" ajak Agatha tidak sabaran. Aku pasrah saat Agatha langsung membereskan buku serta alat tulis milikku. Setelahnya Agatha menarik tanganku, kami berdua berjalan beriringan menuju kantin.

Sepanjang perjalanan, aku menundukkan kepala. Bukan karena apa, hanya saja tatapan orang-orang mengarah padaku semuanya. Aku tidak tahu mengapa, apa karena aku yang terlihat mencolok? Kurasa tidak. Mungkin mereka terheran-heran sebab seingat mereka aku yang biasanya dikenal sebagai murid antisosial pergi ke kantin bersama seseorang.

Aku terus menunduk dan mencoba untuk tetap bersikap biasa saja. Agatha di sebelahku juga hanya diam, berjalan lurus serta sepertinya tak berniat membuka pembicaraan. Sampai ketika seseorang yang datang dari arah berlawanan, berlari kencang dan tak sengaja bahunya menabrak bahu kiri ku.

Tubuhku sontak limbung, hampir terjatuh jika saja Agatha tidak sigap menarik tanganku. Seseorang yang menabrakku tadi yang malah jatuh membuat kertas-kertas yang dibawanya berceceran kemana-mana. Dia terduduk dengan kepalanya yang menunduk, jadi aku tidak begitu jelas melihat wajahnya.

"Heh! Kalau punya mata itu dipakai! Kaga usah lari-larian di koridor segala, lo pikir ini sekolahan punya bapak lo?" sentak Agatha.

Laki-laki asing yang tidak aku kenali itu mengangguk kemudian bergegas mengumpulkan kembali kertas-kertas yang berserakan. Aku berjongkok dan menahan pergerakan tangannya. Dia mendongak, aku langsung mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dari dalam saku seragam.

"Kamu tidak apa-apa? Maaf tadi aku gak lihat jalan sampai nabrak kamu."

Laki-laki itu membaca tulisan di kertas yang aku sodorkan. Maniknya yang berada di balik kacamata tebal mengerjap beberapa kali. Melihatnya aku tersenyum tipis.

"A–ah i–iya nggak apa-apa kok. T–tadi aku juga yang salah. Maaf," ujarnya terbata-bata sembari membenarkan letak kacamatanya.

Aku lagi-lagi hanya tersenyum. Setelah itu membantu mengumpulkan kertas-kertas milik laki-laki tersebut. Jangan tanyakan Agatha karena gadis itu sama sekali tidak berniat menolong, hanya berdiri menonton sembari bersedekap di dada seperti murid-murid lain yang menyaksikan kejadian barusan.

"Ma–makasih. Kalau gitu aku duluan. Permisi." Laki-laki itu langsung pergi begitu saja, dia berlari menuju lantai dua entah hendak menuju kemana. Tapi sepertinya dia sedang terburu-buru.

"Lo gak apa-apa?" tanya Agatha datar setelah kami berdua kembali berjalan menuju kantin sesuai tujuan awal. Aku mengangguk diikuti senyum kecil. Agatha memutar bola matanya malas dan tak membalas lagi.

Entah Agatha sadar atau tidak, atau hanya aku yang menyadari bahwa laki-laki yang tadi aku temui mengingatkanku pada seseorang. Wajahnya nampak familiar di ingatanku tapi aku tidak tahu jelas dia mirip siapa.

Ah, sudahlah untuk apa juga aku memikirkan tentang itu, bukankah katanya manusia memiliki tujuh kembaran?

*****

"Lo makan sedikit banget sih, Ra. Emang kenyang? Nambah sana yang banyak atau beli yang lain kalau perlu," ujar Agatha saat melihat aku yang hanya memakan sebungkus roti dan air mineral.

Aku menggeleng, tetap melanjutkan memakan roti isi coklat bersama Agatha yang memakan sepiring nasi goreng. Bukan tanpa alasan mengapa aku hanya makan roti saja, sebenarnya aku juga ingin seperti Agatha dan murid lain yang bisa memesan bakso, nasi goreng, batagor, mie kuah, siomay, seblak atau semacamnya, namun uang yang aku punya tidak cukup. Lebih tepatnya aku harus hidup berhemat.

Tinggal sebatang kara tanpa orang tua dan saudara menuntutku harus hidup sederhana serta pintar-pintar mengatur keuangan. Upah dari menjual kue basah milik Umi Fatimah hanya cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak apa, lagipula itu hanya makanan.

"Sahara?!"

Aku tersentak. Mataku mengerjap cepat ketika Agatha menyebut namaku dengan panggilan itu. Terdengar aneh karena tidak pernah ada yang memanggilku menggunakan nama tengah. Mentok hanya Ara saja.

Aku melihat Agatha yang sudah memasang wajah datar. Meringis kecil seraya mengangkat jari berbentuk angka dua, tanda peace. Agatha mendengus keras lalu mendorong piringnya yang telah habis.

"Lo tuh! Kenapa sih hobi banget ngelamun? Mikirin apaan? Perekonomian dunia?"

Sontak aku tertawa kecil, detik berikutnya menggeleng pelan. Ada-ada saja Agatha ini. Untuk apa juga aku memikirkan perekonomian dunia jika perekonomian sendiri saja masih berantakan? Aku menuliskan sesuatu di atas kertas, setelah selesai memberikannya pada Agatha.

"Nggak ada yang aku pikirin. Kamu ini jangan ngaco."

"Terus kenapa lo hobi ngelamun sampai gue panggil beberapa kali gak dengar?"

"Entah. Suka aja."

Kali ini Agatha mendengus lebih keras. Aku lagi-lagi dibuat tertawa olehnya, lanjut menulis.

"Ngomong-ngomong kamu kenal sama laki-laki tadi?"

Agatha mengangkat kedua bahunya. "Kaga tuh. Dia murid baru kali. Jangan tanya gue, mending tanya sama kepala sekolah."

Perkataan Agatha ada benarnya juga. Mungkin memang laki-laki berkacamata itu merupakan murid baru. Tapi apa sekolah menerima perpindahan murid di saat mendekati akhir semester?

•To be continued•

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status