Share

06 || Dia?

Welcome 🌷

*****

Hari Sabtu yang cerah.

"Nak, tolong gantikan Umi sebentar buat ngaduk adonan kue, ya. Umi ada sedikit urusan, nanti kalau udah langsung masukin ke panci terus di kukus 30 menit. Ngerti?" Umi Fatimah mengusap kepalaku yang tertutup hijab warna biru tua, aku mengangguk sambil tersenyum kemudian langsung mengambil alih pekerjaan Umi.

"Cuma sebentar kok. Nanti Umi langsung pulang."

"Iya, Umi. Tenang aja kalau sama Ara pasti semuanya bisa beres. Hati-hati dijalan."

"Iya Umi percaya deh. Kalau gitu Umi pergi sekarang, ya. Kamu juga hati-hati di rumah. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelah mengusap lembut kepalaku lagi, barulah Umi Fatimah berbalik badan meninggalkan aku di dapur bersama beberapa loyang adonan kue. Aku tidak tahu Umi Fatimah ada urusan apa, jadi lebih baik aku segera menyelesaikan apa yang tadi Umi Fatimah sampaikan. Umi bilang katanya ada orang yang memesan kue untuk acara arisan.

Memang beginilah aku menghabiskan waktu di akhir pekan. Jika tidak di rumah, ya, aku pasti akan berada di rumah Umi untuk sekedar membantu Umi mengerjakan pekerjaan rumah atau membuat kue pesanan orang. Itu sudah menjadi hobi bagiku, tentunya selain hobi melamun yang sering dikatakan oleh Agatha.

Sesuai pesan Umi, begitu adonan kue telah siap dan tercampur sempurna, aku memasukkannya ke dalam panci kukusan yang sebelumnya sudah Umi siapkan. Sambil menunggu selama 30 menit, aku membereskan dapur serta mencuci alat-alat masak.

Entah berapa lama Umi pergi, tiba-tiba Umi sudah datang kembali dan berdiri di sampingku yang masih sibuk bergulat dengan busa sabun cuci piring. Wanita paruh baya itu menatapku lembut serta sarat akan kasih sayang, membuat hatiku menghangat.

"Sudah selesai membuat kuenya, Nak?" tanya Umi.

Aku mengangguk lalu fokus pada kegiatanku, sedangkan Umi kulihat tengah mengeluarkan buah-buahan dari dalam keranjang belanja. Apakah tadi Umi pergi ke pasar? Kira-kira apa yang akan Umi buat dengan buah-buahan sebanyak itu? Aku jadi penasaran dan hendak bertanya, namun kupikir sepertinya tidak perlu.

"Tadi Umi pergi ke rumah Bu Haji, terus beliau kasih Umi buah-buahan ini. Katanya kemarin kebun buah beliau baru panen, hitung-hitung sedekah juga." Umi bercerita tanpa perlu aku tanyai. Aku mengangguk merespon ucapan Umi, selesai mengelap tangan, aku mengambil nanas yang terlihat masih sangat segar.

"Ara mau makan nanas?" tanya Umi lagi.

"Apa boleh, Umi?"

"Boleh dong, Nak. Nanti Umi potongkan buat kamu, ya," balas Umi terkekeh geli melihat bahasa isyarat dariku.

Aku mengangguk semangat. "Terimakasih banyak, Umi."

"Sama-sama, Ara. Oh iya Umi boleh minta tolong satu kali lagi?"

"Apa, Umi?"

"Nanti tolong antarkan kue yang tadi kita bikin ke rumah Ibu Tiara, ya. Biar Umi yang bilang kalau kue pesanannya sama kamu."

Aku terdiam sejenak kemudian mengangguk paham. Hanya mengantarkan kue bukan? Itu mudah dan aku sudah terbiasa.

*****

Langkah kakiku berhenti di depan gerbang berwarna hitam yang menjulang tinggi. Mengecek sekali lagi, memastikan bahwa alamat yang ditulis oleh Umi Fatimah tidak salah. Kemudian mengalihkan pandangan pada sebuah rumah mewah bertingkat dua yang berada di balik gerbang.

'Komplek perumahan Cendana Indah, rumah nomor 23. Kalau dari alamat yang Umi tulis emang bener ini rumahnya. Tapi kok kelihatannya sepi banget, ya?' gumamku dalam hati.

Aku berjalan lebih mendekat ke arah gerbang. Mencari siapa tahu ada bel yang bisa aku pencet. Namun, seorang satpam sudah terlebih dahulu keluar dari dalam sebuah pos yang letaknya agak jauh dari gerbang. Satpam pria paruh baya itu segera berlari.

"Maaf cari siapa mbak?" tanyanya. Aku terdiam sejenak, mencoba berpikir bagaimana caranya aku memberitahu satpam itu bahwa aku ingin mengantarkan kue pada Ibu Tiara sementara aku sendiri juga lupa membawa buku kecil ataupun pulpen.

"Mbak?"

Tersadar aku mengerjap beberapa kali. Menggaruk pipi bingung, kira-kira jika aku menggunakan bahasa isyarat apakah satpam itu akan mengerti? Akhirnya tak ada pilihan lain lagi. Setelah menarik napas panjang, tanganku mulai menunjuk ke arah box berisi kue, lalu beralih menunjuk ke arah rumah berlantai dua tersebut. Semoga pak satpam itu paham.

"Maaf ... mbak tunawicara, ya?" tanya satpam itu pelan. Aku mengangguk kecil.

"Mau bertemu dengan nyonya?" tanyanya lagi, aku kembali mengangguk. Lantas pria yang aku prediksi berusia sekitar 40 tahunan tersebut langsung membukakan gerbang, mempersilahkan aku masuk.

Mataku menatap ke seluruh penjuru halaman rumah yang begitu luas, mengalahkan luasnya lapangan bola. Menelisik bangunan mewah yang tampak sangat indah dan mempesona. Ternyata Ibu Tiara bukan orang sembarangan.

"Mari mbak saya akan mengantar mbak bertemu dengan nyonya." Aku menoleh pada pak satpam itu, mengikutinya di belakang menuju pintu utama rumah. Dalam hati aku terus berdecak kagum.

"Hai! Kamu pasti Ara kan? Anaknya Umi Fatimah?" Seorang wanita cantik berpenampilan modis keluar dari dalam. Menganggukkan kepala kemudian aku meraih tangan kanan wanita itu untuk selanjutnya aku kecup.

"Ya ampun cantik banget, ya, kamu. Solehah pula," ujarnya setelah aku mencium punggung tangannya, mengelus kepalaku yang tertutup hijab. Berikutnya tanpa berlama-lama di luar, Ibu Tiara membawaku masuk. Kami berdua duduk berdampingan di sofa, aku menyerahkan box yang sedari tadi dibawa.

"Terimakasih, ya, Ara. Saya baru tahu loh kalau Umi Fatimah punya anak secantik kamu. Padahal saya udah cukup lama langganan kue sama beliau."

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Ibu Tiara yang ceria, bahkan senyum manis terus ditampakkannya. Selain kaya raya, ternyata Ibu Tiara cantik luar bisa. Kulitnya seputih susu, wajahnya awet muda mirip remaja berusia 17 tahun, pakaiannya elegan dan tak terlalu terbuka walaupun beliau tidak berhijab. 

Kami terus berbincang, lebih tepatnya Ibu Tiara terus berceloteh riang bagai anak kecil yang sedang menceritakan kegiatannya selama di sekolah kepada ibunya. Ibu Tiara membicarakan banyak hal, pembawaannya tenang serta tidak canggung meskipun baru pertama bertemu denganku.

Sesekali aku akan tertawa tanpa suara, apalagi ketika Ibu Tiara menceritakan perihal anaknya yang susah sekali diatur. Atau tentang suaminya yang suka bepergian ke luar negeri karena urusan pekerjaan hingga berbulan-bulan lamanya.

Aku masih asik mendengarkan cerita Ibu Tiara, sedetik kemudian perhatianku teralihkan ketika mendengar suara seseorang dan ketukan sepatu yang beradu dengan lantai.

"Bunda! Aku pergi keluar dulu sama temen-temen, ya!"

•To be continued•

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status