Share

04 || Masa lalu dan sebias rindu

Welcome 🌷

*****

"Lo?!"

Anak laki-laki yang seragam sekolahnya dikeluarkan dari celana tersebut terus memandangiku tanpa berkedip. Aku merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Apa dia datang karena ingin meminta maaf? Ah, kurasa tidak. Apa dia sungguh tidak merasa bersalah? Sombong sekali.

Aku refleks berdiri dari bangku ketika laki-laki itu berjalan mendekat. Baru satu langkah, dia berhenti kembali, menatapku dengan sorot matanya yang tajam. Aku mati-matian menahan badanku yang sudah gemetar, kedua tanganku tanpa sadar meremas kuat rok abu-abu yang aku kenakan. Aku menunduk lagi tak berani membalas tatapannya.

Sebenarnya aku tidak ingin terlihat lemah di depannya. Namun, entah mengapa aku selalu otomatis akan tertunduk kala ada yang menatapku lekat. Atmosfir kantin berubah mencekam dan sunyi. Aku benci berada di situasi seperti ini.

"Lo bukannya cewek yang tadi pagi jatoh itu kan? Cewek yang bawa kotak isi kue?" tanyanya. Aku tidak menjawab, bisa aku rasakan kini perhatian semua orang tertuju padaku dan laki-laki ini.

"Kok diem? Lo bisu?"

Deg!

Seharusnya aku biasa saja ketika dipanggil seperti itu karena memang tak ada yang salah dengan perkataannya. Tapi ... entah apa penyebabnya, kali ini hatiku terasa sakit. Aku tidak tahu. Namun, ucapan laki-laki asing ini seolah telah menorehkan luka.

"Maksud lo nanya gitu apaan?" sahut Agatha ikut bersuara.

"Gue cuma nanya. Ada yang salah? Soalnya dia ditanya bukannya jawab malah diem aja," bela laki-laki itu lagi. Kalimatnya terdengar santai sekali. Tanpa ada yang mengetahui, kedua pelupuk mataku mulai berkaca-kaca dan dalam satu kedipan siap tumpah.

"Pertanyaan lo itu gak guna sumpah. Kalau mau ngomong itu dipikir dulu, main asal ceplos aja. Cih!" Agatha masih terus membalas. Sebuah tangan tiba-tiba sudah menggenggam lembut telapak tanganku, melirik sekilas ternyata itu tangan milik Agatha yang sudah berdiri di sampingku tapi matanya tetap lurus ke depan.

"Kok lo yang jadi sensi? Jangan-jangan ucapan gue bener lagi kalau cewek itu bisu, iya, kan?"

"Dasar mulut sampah!" desis Agatha kemudian langsung menarik aku pergi dari kantin, beberapa kali bahuku menabrak murid lain yang sedari tadi menonton.

Tangis yang sejak tadi aku tahan, seketika pecah tatkala Agatha membawaku masuk ke dalam salah satu toilet. Aku berjongkok dan menyembunyikan wajahku di lipatan tangan yang berada di atas lutut. Dadaku rasanya sesak luar biasa. Aku ingin berteriak tapi aku tidak bisa. Akhirnya aku membiarkan air mataku mengalir deras membasahi pipi sebagai gantinya.

Sebuah usapan lembut aku rasakan. Aku mengangkat kepala, mendapati Agatha ikut berjongkok di depanku. Tangannya masih setiap mengusap punggungku namun wajahnya datar. Agatha tidak mengucapkan apapun, ia hanya diam melihat aku yang menangis tanpa suara. Aku semakin terisak.

Rasanya sakit sekali, Ya Rabb. Hamba selalu berusaha agar tidak mengeluh atas ketetapan yang telah Engkau tuliskan. Tapi terkadang hati kecil hamba diam-diam merasakan iri saat melihat bagaimana orang-orang bisa berbicara dan tertawa lepas.

*****

Author POV

"Ara anak ibu yang cantik kenapa nangis?" Wanita paruh baya berhijab itu berjongkok di depan putri kecilnya yang menangis sesenggukan.

"Hiks mereka bilang kalau Ara gak bisa ngomong. Jadi mereka gak bolehin Ara ikut main, Bu. Mereka juga bilang kalau Ara gak punya ayah." Anak kecil perempuan yang mengenakan hijab warna merah muda tersebut menggerakkan kedua lengan kecilnya.

"Ara sayang. Dengarkan ibu, ya. Ara itu bukan gak bisa ngomong. Tapi itu satu keistimewaan yang Allah kasih buat Ara. Itu tandanya Allah sayang banget sama Ara. Allah gak mau Ara masuk neraka gara-gara ada kalimat Ara yang bikin orang lain sakit. Bukannya ibu udah sering bilang, ya, kalau Ara itu punya ayah. Bedanya ayah Ara udah ada di tempat yang namanya surga. Ara jangan putus berdoa biar bisa ketemu sama ayah nanti, ya, Nak." Wanita itu mengusap lelehan air mata di pipi anaknya.

"Jadi itu artinya kalau Allah sayang sama Ara, ya, Bu? Terus Ara masih punya ayah? Surga itu apa, Bu? Kapan Ara bisa ketemu sama ayah?" Anak kecil perempuan berusia 3 tahun itu bertanya lagi lewat bahasa isyarat tangannya meskipun sebenarnya ia tidak cukup mengerti akan kalimat sang ibu.

"Iya Ara sayang. Surga itu tempat berkumpulnya orang-orang beriman, orang-orang baik, orang-orang soleh dan solehah. Nanti, ya, Ara pasti bakal ketemu sama ayah."

*****

Ara POV

Sehabis mandi dan melaksanakan solat ashar, aku membaringkan badan ke atas kasur empuk sembari menatap langit-langit kamar berwarna abu-abu. Mataku terpejam, jiwaku terasa tenang sekali. Berbanding terbalik saat aku masih berada di sekolah.

Banyak kejadian baru yang aku lalui selama seharian ini. Dimulai kejadian pagi yang tak sengaja disenggol oleh seseorang hingga jatuh, mendapat seorang teman baru bernama Agatha, hingga kejadian memalukan di kantin. Benar-benar tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Mengenai kue-kue Umi Fatimah, aku bersyukur ternyata beliau sama sekali tidak marah saat aku beritahu jika kue-kuenya bukan habis karena terjual, melainkan jatuh karena sebuah insiden. Yang ada Umi Fatimah malah mengkhawatirkan kondisiku apakah baik-baik saja atau tidak. Ah, mengingatnya kembali aku jadi rindu ibu dan ayah.

Kira-kira mereka sedang apa di sana? Apa mereka merasakan hal yang sama sepertiku? Sudah berapa tahun keduanya pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu denganku? Padahal aku sudah berpesan pada ibu agar jangan seperti ayah yang pergi mendadak lupa berpamitan.

Menghembuskan napas panjang, dalam kesendirian pikiranku kembali berkelana. Tepatnya saat usiaku masih sekitar 7 atau 8 tahun. Masih terekam jelas di benakku, bagaimana aku menangis karena dijauhi oleh teman-teman, diejek karena tidak punya ayah, tidak bisa berbicara. Sebuah senyum samar terukir.

Ibu, anakmu yang dulu pernah menangis ini rupanya masih belum dewasa. Ara gak bisa bohong kalau Ara masih sering sakit hati kalau ada yang bilang Ara bisu. Maafin Ara, Ibu.

•To be continued•

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status