“Kau akan pergi sepagi ini?” Sia terbangun, berusaha melawan kantuk dan lelah usai bercinta.
Tampak rapi dan tampan, Rigel mengangguk dengan senyum sekilas.
“Apa kau ditekan oleh atasanmu?”
Rigel terbahak. “Apa yang kau bicarakan? Tidak ada yang seperti itu.”
Sia memajukan bibirnya. Menghela napas dan membuang ingatan tentang mimpi buruknya. “Ini hari kedua kita. Kau tidak ingin melakukan sesuatu atau pergi ke suatu tempat bersamaku?”
Rigel tersenyum, menaikkan dua alis, tertawa sambil bicara. “Kupikir kau hanya peduli dengan urusan ranjang dan selama apa kita bisa bertahan dalam bercinta. Ternyata kau juga perhatian pada hal lainnya.”
Bibir Sia semakin mengerucut dan ada gerutu pelan di dalamnya. “Salahmu sendiri. Kenapa kau begitu menggairahkan?”
“Apa katamu?” Rigel mendekat, tapi seketika mendapat pelukan.
“Tolong cepat kembali. Aku sud
“Austin Cadee.”“Gre—ah, maksudku, Galexia Pandora.” Sia kikuk. Padahal diawal tadi dia sudah coba menyebut namanya saat sedang berprofesi sebagai salah satu pekerja di rumah Teratai.Austin tersenyum. Harusnya saat ini dia berada di rumah menjaga Disi, tapi wanita itu bersikeras untuk mengusirnya dari sana dan memintanya bekerja seperti pria normal lainnya.Padahal tadi dia sedang memilih satu gaun kejutan untuk dikenakan Disi pada saat makan malam yang direncanakannya nanti, ketika seorang gadis kecil dan wanita dewasa yang cantik sedang bermain air di taman samping toko yang langsung menarik perhatiannya.“Jika tidak cocok, kau boleh pilih yang lainnya Nona Gale.” Austin menunjuk ke arah gantungan pakaian yang berjajar disepanjang ruangan.“Oh, tidak perlu, Tuan Ausi. Ini sudah sangat bagus. Cantik dan mewah.” Sia tersenyum. Pilihan Austin atau bukan, dia akan tetap merasa berterima kasih.
Yurim sedikit bergidik ketika merasakan seorang pencabut nyawa yang kembali pada takdirnya, kini berdiri dibelakangnya, berbisik untuk memprovokasinya.“Senang kau datang kembali pada takdirmu, Malaikat pencabut nyawa,” sambut Yurim, tanpa berbalik.Disi mendengar mereka, meski kedua matanya tidak bisa menangkap jelas utuh gambaran wajah Rigel, dia tahu Yurim baru saja menyebut seseorang sebagai Malaikat pencabut nyawa.Sedang apa lagi jika bukan ingin mengambil nyawanya? Meski masih ada kurang dari enam puluh hari dari sekarang, tetap saja Disi pesimis. Sesuatu selalu bisa saja keliru.Melangkah mundur, Disi terus menjauh, tidak menyadari bahwa langkahnya terus mendekati jalanan berlalu lalang kendaraan, meski tidak terlalu padat terisi.Baik Yurim atau Rigel sama-sama berusaha untuk meraih tangan Disi, bahkan Rigel bergerak cepat untuk menarik tubuh Disi. Tapi ada seseorang yang lebih cepat dari itu, Austin Cadee.Putra Dewa Ai
Austin membaringkan Disi yang masih gemetaran karena kejadian tadi.Memutuskan untuk tidak bertanya apapun sampai Disi sendiri yang berinisiatif untuk bicara, menjadi penekanan dalam benak Austin, walau dia sangat ingin tahu apa yang dikatakan Kakak perempuannya pada Disi.“Kau marah padaku?” Suara bergetarnya terasa menyentuh kulit Austin.“Itu tidak ada gunanya.” Austin menyelimuti Disi, hatinya terasa sakit melihat Disi yang semakin kurus dengan penglihatan yang memburuk sedikit demi sedikit.“Aku keluar karena mendapat panggilan dari wanita yang akan menyerahkan bayinya pada kita.”Austin mengernyit. Wanita itu sedang hamil dan tinggal menanti kelahiran bayinya. Dia ingin bertemu Disi karena akan memeras dengan alasan untuk kebutuhan bayinya.Wanita yang tidak menginginkan bayi itu ada sejak kali pertama dia menyadari bahwa dirinya hamil, dipertemukan dengan Disi dan Austin beberapa hari lalu lewat seo
Rigel mendapatkan amplop hitam keduanya di atas meja kerja tanpa siapapun yang menyadarinya. Membuka dan menarik isinya keluar, seperti sebelumnya, semua tertulis dengan jelas di secarik kertas putih. Menghela napas, Rigel meletakkan begitu saja amplop itu kembali di atas mejanya. Tidak akan ada mata manusia yang bisa melihat benda itu. Rigel menghindari Yoan ketika dia melihat pria itu keluar dari elevator. Tugasnya tiba lebih cepat. Dia tidak harus mendengar omong kosong sangat tidak berguna Yoan hari ini. Yang isinya selalu tentang Greet dan Greet! Rigel tiba di tempat tujuan lima menit lebih cepat. Sepuluh meter dibelakang rumahnya. Suasana berdarah, mencekam, terlihat suram. Rita Adeline. Padang alang-alang. Jam enam kurang sebelas menit. Diperkosa, disiksa, dan dipukul menggunakan batu. Dua dari sahabat Disi Melani Truder di masa sebelumnya sudah mati lebih dulu. Dan Rita Adeline saat ini.
Irene keluar dari rumah yang tampak sederhana dari luar, namun luar biasa pada bagian dalam itu sembari tersenyum sinis. Nyonya rumah ternyata sudah memiliki keberaniannya sendiri. Tenang, dia tidak akan menyerah! Masuk ke mobil tua yang dipinjamnya dari pemilik bar, saat sudah menutup pintu dan duduk sempurna dibalik kemudi, jendela kaca mobilnya diketuk dari luar. Menoleh, Austin Cadee ada di sini. Si wajah rupawan yang bersinar setiap saat walau dalam ekspresi marah sekalipun. “Waktu yang sempurna untuk mengancam seorang wanita lemah. Aku benar?” Austin bertanya sembari melirik melalui kaca spion bagian dalam. Dia yang memaksa untuk mengemudikan mobil tua butut yang bahkan hampir mempertemukan puncak kepalanya dengan langit-langit mobil. “Aku tidak mengancam. Hanya berusaha membuatnya sepakat.” “Dia menerima kesepakatanmu?” “Sayangnya tidak.” Irene mengeluh. Merasa tidak nyaman karena bertemu langsung dengan Austin C
Disi memegangi daun pintu dengan sekuat tenaga hanya untuk memastikan bahwa benar, Austin membawa pulang seorang wanita dan bayi melewati pintu yang dibukanya.Kedua matanya memicing tiada henti hingga menyebabkan kepalanya sakit.Austin menggendong Irene, dan seorang perawat mengantarkan bayi itu ke kamar.“Disi, ayo ke sini, kita lihat bayinya.” Austin membawa Disi ke kamar bayi yang memang sudah Disi siapkan semenjak dia menginginkan bayi untuk mereka.Austin sudah membaringkan tubuh Irene dan meninggalkannya tanpa berucap apapun.Dan sekarang, Irene berbaring di ranjang kamar tamu yang luar biasa nyaman. Masuk ke rumah ini, menjadi bagian dari Austin sudah berhasil dilakukannya.“Aku hanya perlu membuatnya melihatku, sekali saja.” Irene bicara dalam hati.Sementara di kamar bayi, Austin membantu Disi untuk bisa menggendong bayi mungil Irene.“Siapa namanya?” Dengan sangat hati-hati Disi b
Sia cemberut ketika sudah sepenuhnya diabaikan oleh Rigel. Mulai menggoda dengan menyusup di antara kaki pria itu.“Hentikan, Sia. Aku sedang tidak ingin bermain.” Rigel menggigit roti dengan pandangan lurus ke depan, ke televisi yang menayangkan film genre action fantasy di pagi hari.Kesal, sungguh tidak ingin diabaikan. Sia merebut remote televisi, melemparkannya ke dinding hingga rusak, hancur karena kekuatan lemparan Sia yang tidak main-main.“Hei, kau sungguh-sungguh ingin menggangguku, ya?” Rigel menatap Sia yang tiba-tiba menangis. Sadar dengan cepat bahwa Sia di masa ini tidak bisa diabaikan, karena dia wanita yang nekat, keras kepala, dan nakal.“Waktu kita tidak lama lagi!” Sia berteriak dengan frustrasi. “Kau bahkan meninggalkanku semalam. Apa mungkin kau menghabiskan malam dengan istrimu? Kau pulang ke sana? Kenapa penjaga tidak menangkapmu? Apa yang—”“Galexia, cukup!”
Sia tidak menjawab pertanyaan Buckley karena merasa tidak perlu. Sepanjang jalan menuju ke rumah Teratai, Sia mengubah aliran musik klasik menjadi lebih berisik.“Sia, kecilkan volume-nya. Gendang telingaku bisa rusak!”Sekeras apa Buckley melarang dan memperingati, segigih itu pula Sia tidak peduli.Mereka tiba dua puluh tujuh menit setelah perdebatan sengit mengenai musik yang tidak selesai dibahas, karena Limora Catty yang sudah menunggu di halaman.Basa-basi serta pelukan sudah selesai, Sia kembali ke kamarnya dengan seribu satu macam pemikiran tentang Rigel Auberon.“Sudah? Hanya seperti ini saja kami berpisah?” Sia merasa masih sangat tidak percaya pada apa yang baru dialaminya. Segalanya begitu cepat. Bagai mimpi.“Greet ... bisa buka pintunya sebentar?”Sia belum juga berganti pakaian, apalagi beristirahat. Apa dia harus melayani tamu sekarang? Suasana hatinya seketika itu menjadi tidak nyam