Rosa memoles bibirnya dengan lipstik warna cokelat kemerahan yang memberi kesan alami namun tegas. Di bawah langit yang belum lama berganti malam, mobil melaju tenang membawa Rosa dan beberapa staf menuju Grand Aurora.“Jatuh cinta memang indah, ya,” gumam Larasati di jok samping. Bibirnya melengkung nakal. “Seandainya permintaan ini bukan dari suamimu, aku yakin kau sudah mengamuk ke pimpinan karena diberi pekerjaan mendadak begini. Bahkan setelah seharian syuting, wajahmu terlalu cerah untuk dibilang lelah.”“Jangan mengejekku,” dengus Rosa, menatap pantulan dirinya di kaca jendela.“Siapa yang mengejek? Aku bisa mengerti. Ini demi suami tercinta. Jadi, ini bukan pekerjaan, tapi pelayanan. Bakti pada suami,” Larasati tertawa, tawanya mengisi kabin mobil dengan riang yang sedikit berlebihan.Rosa mengembuskan napas, bersikap seakan-akan ia kesal. Padahal, jauh di dalam hati, ia tak sepenuhnya menyangkal ucapan Larasati. Tapi benarkah ini demi Geral?Mungkin, iya. Mungkin, juga tidak.
Geral melepas kancing jas yang entah mengapa terasa menekan dadanya. Usulan Stevie benar-benar menyebalkan—atau mungkin lebih tepatnya, ia kesal karena tidak punya pilihan selain menerimanya.Berat hati, ia menempelkan ponsel ke telinga. Nada tunggu berdering cukup lama hingga akhirnya terputus tanpa jawaban. Dia mencoba lagi. Beberapa detik berlalu, tetap tanpa respon. Geral memutuskan, jika kali ini pun tidak dijawab, ia tidak akan menghubungi lagi.“Halo?”Suara seorang wanita terdengar di seberang, tapi Geral tidak cukup yakin itu Rosa.“Rosa?”“Ya. Ada apa meneleponku? Aku sedang di lokasi syuting.”Dari balik telepon, terdengar riuh aktivitas orang-orang. Geral makin ragu Rosa bisa membantu.“Kau syuting sampai jam berapa?”“Mmm… mungkin sampai sore. Memangnya kenapa?” Nada Rosa mulai terdengar tidak sabar.Geral menggaruk pelipis, mencari cara yang pas untuk memulai. “Begini… apa… kau bisa membantuku?”“Apa itu?”“Kau mungkin sudah dengar berita tentang Kayla.”“Oh ya, semua or
Sejak fajar menyingsing, ponsel Yunda tak berhenti berdering. Besok, Grand Aurora akan menggelar peragaan busana yang menampilkan para selebriti papan atas dengan koleksi perhiasan berlian dari merek-merek ternama. Namun pagi ini, kabar buruk menghantam: seorang artis tertangkap basah berpesta narkoba semalam.Sialnya, artis itu adalah Kayla Aurellia. Bintang utama yang seharusnya melenggang di runway Grand Aurora.Yunda bahkan belum sempat sarapan ketika bergegas meninggalkan rumah. Rambut yang biasanya ditata bergelombang kini dicepol seadanya. Riasan pun hanya dipoles cepat, yang penting wajahnya tak ikut suram seperti situasi yang sedang mereka hadapi.Pintu lift terbuka dengan denting pelan, tapi langkah Yunda di lantai marmer terdengar bagai dentuman. Udara kantor yang biasanya hangat oleh sapaan kini kaku. Tatapan karyawan yang berpapasan dengannya sarat kecemasan.Begitu tiba di ruangannya, Yunda meletakkan tas dan langsung menyalakan komputer. Jemarinya cekatan menekan nomor
Aroma pasta menguar memenuhi dapur. Yunda tidak begitu pandai memasak, tapi untuk urusan pasta, dia ahlinya. Itu karena Geral sangat menyukai pasta karbonara.Apartemennya memiliki dua kamar. Satu kamar tidur dan satunya lagi dijadikan ruang kerja Geral setiap kali menginap. Yunda menghampiri ruangan itu, mengintip lewat celah pintu yang dibiarkan sedikit terbuka. Di dalam, Geral terlihat fokus menatap layar komputer hingga kemudian suara ketukan pintu membuatnya menoleh. Matanya menyipit di balik kacamata karena tersenyum.“Boleh aku masuk?” tanya Yunda.“Tentu saja, Sayang.”Yunda melangkah masuk sambil membawa nampan berisi pasta hangat dan segelas air dingin.“Aku tahu kau sudah makan di rumah orang tua Rosa tadi,” ujarnya sambil meletakkan nampan di meja. “Tapi tanganku gatal ingin membuatkan ini. Kalau tidak habis, nanti aku yang makan.”“Aku tidak makan banyak di sana, jadi akan kuhabiskan. Terima kasih, Sayang,” kata Geral, melingkarkan lengannya mesra di pinggang Yunda.Setel
Kebahagiaan tampaknya sedang berpihak pada Rosa. Manajernya baru saja menyampaikan bahwa MAISON sedang mencari wajah baru untuk kampanye koleksi akhir tahun mereka. Dan, kabar baiknya, sebelum manajernya turun tangan mendapatkan proyek itu, pihak MAISON sudah lebih dulu menghubungi agensinya. Mereka meminta agar kerja sama dengan Rosa dipertimbangkan kembali.“Kau memang punya daya tarik yang luar biasa, Rosaline,” puji sang manajer sambil merapikan letak kacamatanya.Sebelah sudut bibir Rosa terangkat, “Anggap saja aku cukup beruntung dalam hal itu.”Dengan anggun, ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi ruang meeting. Sekelebat pikiran melintas, menancap cukup dalam, dan ia memutuskan membaginya dengan wanita di hadapannya.
Kalau bukan karena Geral, Rosa tidak akan repot-repot datang ke kediaman orang tuanya. Beberapa hari lalu, Geral memberi tahu bahwa ayah Rosa mengundang mereka makan malam. Wajar undangan itu tidak disampaikan langsung pada Rosa karena ayahnya tahu ia pasti akan menolak dengan beribu alasan.Dan kini, di sinilah Rosa. Duduk di meja makan panjang berbahan marmer. Di hadapannya, hidangan tersaji dengan mewah, tapi suasananya tetap terasa hambar. Geral duduk di sampingnya, sopan dan tenang seperti biasa.Kakak tertuanya datang bersama suami dan kedua anak mereka yang sejak tadi sibuk dengan gawai. Wanita yang sebentar lagi menginjak usia empat puluh itu berusaha tampil elegan dengan gaun satin berpotongan ramping, rambut disanggul tinggi, dan kalung mutiara yang terlalu mencolok untuk disebut berkelas. Sementara itu, kakak laki-lakinya datang bersama seorang wanit